Share

1. Prolog

Author: amie
last update Last Updated: 2024-12-07 09:07:47

Yogyakarta....

Petikan gitar mengalun lembut.  Kres di nada ke lima dilanjutkan petikan lembut  kunci G, A, F dan seterusnya membuat suasana malam itu makin syahdu. Ditemani cahaya lampu PAR (Parabolic Aluminized Reflector) di sebuah bar bilangan Kaliurang, seorang gadis menyanyikan lagu lawas Blank Space  dari Taylor Swift. Hujan rintik merembes turun dari balik kaca. Menimbulkan uap dingin yang juga mengembun di balik kaca.

Dihadapan si Gadis,  belasan pasangan duduk dengan dunia mereka. Si Gadis juga tidak ambil pusing apa mereka mendengarkan atau tidak. Dia hanya menjalankan tugasnya karena dia dibayar di tempat ini.  Yah, jujur dia merasa risih juga harus duduk di panggung dan hanya ditemani sebuah gitar. Meski kadang ada satu dua orang bermain duet dengannya, tetap saja dia merasa risih. Risih dengan polesan wajahnya yang menurutnya terlalu menor. Juga bajunya yang kurang bahan. Memperlihat bahu mungil dan tungkai jenjangnya. Gadis itu menggigit ujung bibir. Mungkin memang saatnya aku berhenti! Makin ke sini makin nggak nyaman.

 “Kamu bisa lho nambah jam kalau mau. Suaramu bagus.”

Si Gadis mengulum senyum. Dia sudah mengganti atribut panggungnya dengan jaket kedodoran yang ia bawa dari rumah. Fiew! Dia sudah cukup prihatin dengan malam minggu yang selalu ia habiskan di luar hingga dini hari. Jadi, dia tidak akan mengambil jam part time tambahan di tempat seperti ini. No way!

 Kalau nggak kepaksa aku juga nggak bakal mau, kalii!!

 “Ini gajimu bulan ini. Ngomong-ngomong orang tuamu tahu kan kalau kamu kerja di sini?”

 Si Gadis tertegun. Detik berikutnya, dia nyengir kecil sambil memeberesi tas selempangnya sedikit gugup.

  “Eeee… mungkin.”

 “Menurut, Om sih….”

“Om, makasih ya buat hari ini,” potong si Gadis cepat. Buru-buru dia berlari keluar dan menutup pintu ruang kerja manager bar tempatnya parttime. Membiarkan laki-laki paruh baya itu menghela napas mahfum.

Si Gadis menghela napas begitu sampai di parkiran yang  makin sepi. Meski banyak mobil yang berjajar, sudah tidak ada satu pun orang yang berlalu lalang. Maklum sih, jam 2 dini hari. Kepala si Gadis mendongak. Menghitung kerlip malam yang sedikit kabur.

Kadang setiap manusia itu punya rahasia yang tidak bisa ia ceritakan ke siapapun. Bahkan pada diri sendiri pun dia kadang tidak mau tahu. Atau lebih tepatnya, pura-pura lupa kalau dia menyimpan rahasia yang tidak-akan-diceritakan-pada-siapapun. Itu haknya sih. Apalagi jika rahasia itu mempengaruhi seluruh hidupnya. Pasti dia akan menyimpannya rapat-rapat. Menguncinya dalam pikiran yang terdalam sampai dia lupa. Iya kan?

***

Kelas XI IPA 2, SMA Penabur Pelita, Yogyakarta

                Jantung Adit berdebar menatap wanita  di depannya. Hanya menatap kucir kudanya sebenarnya. Perutnya juga terasa kram mendadak. Diketukkan jarinya ke meja gugup. Ini  ngungkulin orang mau nembak aja  deh. Pandanganya beralih pada cewek dengan kucir asal yang duduk di meja sampingnya. Mbelgedes!!  Pake mantra apaan dia bisa pasang tampang datar sok nggak peduli  gitu sih. Adit kembali menghentakkan  kakinya di kaki meja, keki.   Sialan!

                “Nah, anak-anak…test kali ini kalian bisa nggak nebak yang menduduki mahkota 10 besar di kelas kalian?” Wanita yang sejak tadi  ditatap Adit dengan mata bengis itu  tersenyum sumringah menatap kelas perwaliannya.

                Ya memang, meski peringkat sudah tidak berlaku di kurikulum terbaru Indonesia, SMA Penabur Pelita yang merupakan SMA swasta masih memberlakukannya. Itu karena setiap 10 besar di masing-masing kelas berhak mendapatkan beasiswa dan potongan uang daftar ulang tiap tahunnya. Lumayan kan.

                Kelas gaduh. Suaranya langsung disahut simpang siur dari penjuru kelas.

                “Palingan juga sama kayak tahun kemarin, Bu. Itu-itu doang. Nggak pernah kegeser.”

                “Kalau mahkota pertama dan kedua bisa dipastiin kalau nggak Aya ya Adit,” Chika mendesah pelan.

                “Iya. Bu…tapi kalau kali ini saya yakin bisa masuk sepuluh besar,” sahut suara lain.

                “Alah pede amat! Sepuluh dari bawah maksudnya?” Royan berseru menghina.

                “Lho kan sama-sama sepuluhnya…” Galih membela diri.

                “Kalau saya bisa masuk sepuluh besar, Bu, babe bakal nyembelih sapi kayaknya.”

                Adit mengabaikan suara nggak penting itu. Dia sudah  beneran nafsu  melarin tubuh tuh guru 10 kali lipat dari tubuhnya yang emang udah melar dari sononya.  Damn it!  Kenapa dari tadi cuma itu doang sih yang dibahas. Kenapa nggak langsung aja dikatain siapa yang duduk di first place dan second place. Gue atau cewek dengan kucir asal yang rada freak itu. Sekali lagi dia melirik cewek yang ternyata hanya tersenyum tipis menanggapi sahutan kawannya.

                “Ehm…gimana kalau kita main teka-teki  lagi. Bagi yang bisa jawab, ibu kasih tau deh dia dapet peringkat berapa?”

                Yaelah, guru satu ini!!! Adit beneran gemes. Nggak masalah deh kalau teka-tekinya fantastik  plus bikin otak terasah dikit. Lha teka-teki guru ini coba…nggak nyambung blas. Misalnya: Kenapa undur-undur jalannya mundur? Waktu ditanya kayak gitu, Adit jelas-jelas mikir kemana-mana.

                Secara logika hewan selalu berjalan maju, undur-undur berjalan mundur pasti dia punya sistem tubuh sendiri atau rangka tubuh sendiri yang menggerakkannya secara otomatis ke belakang. Sumpeh ya, nyaris aja Adit buka suara menjelaskan hipotesanya yang sungguh terlalu. Tapi sayangnya dia keduluan sama Tian, cowok yang hobi molor di kelas. Coba  apa jawabannya.

                “Ya kalau jalannya maju, ntar namanya jadi uju-uju dong, Bu. Jalanya nyamping ntar namanya amping-amping. Kan lugu bu. Lucu tur wagu.”

                Java soundsnya langsung disambut gelak sekelas. Tapi herannya Bu Naim, malah membenarkan jawaban ngaco Tian sambil menahan tawa. Walah….! Apa hubungannya nama sama cara berjalan coba. Coba kalau Carolus Linnaeus[1] denger tuh alasan, pasti dia bakal bangkit dari kubur buat nyembit cowok yang hobi ngasal itu. Adit manyun sebel.

                Entahlah! Otak cowok itu memang rada kelainan. Mungkin gegara waktu kecil sering dicecokin jamu sama eyangnya, jadi pikirannya agak menyimpang dari jalan yang lurus (baca: jalan pikiran orang-orang pada umumnya). Reza, sohib sebangku Adit bahkan sampai melongo nggak ngerti begitu Adit merepet soal jawaban Tian—masih aja masalah undur-undur.              

                “Dit, kayaknya lo musti dibawa ke rumah sakit deh?”

                “Hah?! Buat apa?!”

                “Di X-ray. Kali aja otak lo kepelintir.”

                Adit melotot. Siap menggampar Reza dengan tangannya. Tapi buru-buru diurungkan niatnya begitu mendengar suara Bu Naim kembali.

                 “So…kita mulai aja ya pembagian rapot tengah semesternya ya,” Bu Naim menebar senyum. Pipinya yang over chubby menenggelamkan mata sipitnya. “Ehm…oke….dan juara pertama untuk term kali ini adalah….”

[1] Bapak ilmu taksonomi, yaitu ilmu tentang pembagian kelas makhluk hidup, misalnya monera protita, fungi, plantae dan animalia

Related chapters

  • Take a Chance with Me!   2. Aditya

    Rasanya tuh mirip liat kambing dikulitin pas lebaran haji. Reza mulai merasa nggak nyaman dengan sikap Adit yang menurutnya overreactive banget. Gimana nggak over coba! Gara-gara Adit mendapat peringkat dua, alias satu peringkat tepat di bawah Aya, dia langsung uring-uringan dari pagi. Melotot pada semua orang yang nyapa dia dan menghentakkan kakinya sejak sampai di kantin tadi. Reza-lah yang kena efek paling parah. Dia sampai nggak sanggup menelan bakso sarapannya gara-gara Adit memelototinya dari tadi. Berasa cowok spike itu yang mau nelen Reza.Aditya Pandu Aji. Siapa sih di Penabur Pelita yang nggak kenal cowok well built dengan mata elang dan rambut licin yang nggak pernah absen diminyakin. Kulitnya yang kecoklatan gara-gara dipanggang matahari pas jadi Paskibraka Kabupaten membuatnya kelihatan maskulin. Yah, itu sih bagi mereka punya mata minus dan nggak pakai kacamata. Kalau aslinya sih sebenernya biasa aja. Kalau Aya ditanya gimana pendapatnya soal Adit pasti jawabannya bakal

    Last Updated : 2024-12-07
  • Take a Chance with Me!   3. Kesal

    “Ckckck….lo ngapain, Za? Serius amat ngeliatin Adit.” Reza tersentak. Buru-buru menoleh ke sumber suara. Roy tengah berdiri sambil membawa semangkok bakso dan es teh. Cowok yang kesohor playboynya itu tersenyum menyeringai. “Eh, geser dong! Kursinya pada penuh nih.” Reza tambah manyun. Well, sekarang dia bener-bener diapit dua Rajawali SMA PP. Si Intelek Adit dan the most wanted boy, Roy. Cowok tajir, sama-sama keren kayak Adit, Koordinator Keolahragaan OSIS sekaligus kapten basket SMA, tapi playboy dan rada bengal. Kenapa hidup gue jadi dikelilingi sama anak-anak OSIS gini sih! Kesell! “Eh, Dit…gue denger lo kalah saing nih sama cewek lo?” Roy tertawa. Adit yang memang sedang posisi senggol bacok langsung mendengus mendengar komentar Roy. “Heh, siapa yang cewek gue?! Nggak usah ngadi-ngadi deh, Roy!!!” Muka Adit memerah. Bukan karena malu, tapi karena emosi.Roy tertawa. “At

    Last Updated : 2024-12-07
  • Take a Chance with Me!   4. Aya

    Kaki mungil itu melesak cepat diantara pengunjung kantin yang masih berjubel. Sedikit diangkat rok semata kakinya, takut kalau kesrimpet langkahnya yang terburu. Padahal lima menit lagi bel masuk akan berdering. Tapi sepertinya anak-anak SMA PP itu masih enggan beranjak dari tempat duduk kantin yang sebenarnya biasa saja. Gadis itu berhenti melangkah saat mencapai dapur Bu Marni. Dia tersenyum ringan melihat wanita paruh abad itu masih sibuk menggoreng timus—makanan khas jawa yang terbuat dari ketela yang digoreng. “Ibu…” “Oh, Mbak Aya ya? Mau ambil uang jualan ya, Mbak?” Aya mengangguk cepat. Kucir kudanya bergoyang mengikuti gerak kepalanya. Diambilnya wadah pukis yang diletakkan di bawah meja. “Besok bawa lebih banyak aja, Mbak. Siang kemaren aja sudah langsung ludes.” “Siap, Bu.” Aya tertawa. Disentuhkan ujung telunjukknya ke alis, hormat. Dia melambaikan tangan setelah memasukkan uang pemberian Bu Ma

    Last Updated : 2024-12-07
  • Take a Chance with Me!   5. Awal Kata tanpa Rasa

    SMA Penabur Pelita sudah cukup ramai. Banyak panitia MOS yang bersliweran di halaman. Beberapa juga terburu memakan sarapan mereka sebelum ikutan pontang-panting di hari pertama MOS itu. Para petugas kebersihan ngrumpi sambil ngomel gara-gara guguran daun yang kayaknya nggak pernah berkurang walau udah disapu belasan kali—maklum musim kerontang gini. Ehm… Kelihatan juga beberapa anak baru yang berdiri kebingungan di gerbang sekolah. Mereka sudah pasang tampang mirip orang yang mau liat atraksi orang kesurupan. Aya bergegas ke lantai dua. Kelas barunya. Tepatnya di kelas XII IPA 2, kelas tertua. Hem…karena posisinya dilantai dua, bisa ngencengin adik kelas nih. Haha. Niatnya sih nglemparin tasnya lalu buru-buru turun buat bantuin anak OSIS lainnya. Tapi belum juga niatnya kesampaian, sesosok malaikat pencabut nyawa mendelik menatapnya. Plus dengan posisi tangan yang siap-siap melolosin tulang Aya satu persatu. Nyaris Aya merapalkan ayat kursi sebelum dia nyadar kalau sosok itu tak

    Last Updated : 2024-12-09
  • Take a Chance with Me!   6. Senin

    Senin. Adit paling nggak ngeh sama hari itu. Bukannya dia menyalahkan makhluk jenius yang ngasih nama hari Senin setelah Minggu dan sebelum Selasa. Sama sekali nggak. Juga bukan karena Senin adalah hari upacara se-Indonesia yang membuatnya wajib fardhu ain ikut upacara. Nggak bisa bolos seperti yang kebanyakan dilakukan teman-temannya. Iyalah! Dia kan selalu jadi pemimpin upacara. Langsung dicari via speaker sama Kepala sekolah kalau batang hidungnya nggak nongol. Hari senin adalah hari di mana mood Adit bisa langsung berantakan kalau sampai rumah. Nggak peduli kalau di rumah tuh ada omelet bikinan Mama. Nggak peduli kalau dirumah tuh udah ada bejibun oleh-oleh Papa setelah dua minggu dinas di Jakarta. Atau nggak peduli kalau di rumah sudah ada moge gress yang mejeng di garasi. Ehem…kayaknya yang terakhir nggak bakal terjadi deh.Adit meniup poni tamparnyanya setelah melepas helm. Dilirik matic biru yang terpakir manis disamping motornya. Agh…harusnya tadi dia terima aja ajakan si

    Last Updated : 2024-12-09
  • Take a Chance with Me!   7. Orientasi Hati (1)

    Hari ke-dua MOS di SMA PP. Dan agendanya masih sama saja dengan yang kemarin. Adel sampai sebel dan pingin bolos aja. Tapi Aya jelas akan mencekik Adel kalau dia melakukan niatnya itu.“Yaelah, Del. MOS aja bolos. Apalagi ntar kalau udah masuk kelas. Mau bolos berapa kali tuh. Inget! Sekolah di SMA PP itu nggak murahh!”Adel dongkol abis dengan sindiran Aya tadi pagi. Sebel!! Dia menjejakkan kakinya tanda mulai pegel setelah nyaris dua jam digaringin di bawah terik matahari. Apalagi matahari Jogja lagi semangat banget nyiksa anak-anak di lapangan SMA PP. Tampang mereka udah menyatakan kalau sebentar lagi mereka pasti pingsan. Mana gara-gara telat tadi pagi, dia suruh nulis esai lagi. Dia kemaren udah nggak tidur gara-gara nulis 100 surat pernyataan kalau dia nggak bakal telat lagi lho. Agh…I hate ospek! Bibirnya merepet begitu pemandu ospeknya mulai teriak-teriak.Apa aku pura-pura pingsan aja ya? “…NGERTI NGGAK, DEK?!”“SIAP. DIMENGERTI!”Sialan! Untung nih ya kakak pemandunya gan

    Last Updated : 2024-12-11
  • Take a Chance with Me!   8. Orientasi Hati (2)

    “Kamu nggak pa-pa?” Seorang cowok spike menahan lengan Adel.Adel terperangah. Dia mengangguk pelan lalu buru-buru berdiri setelah memberesi kardus yang jatuh gara-gara ditabrak orang yang kini berjongkok membantunya. Adel masih ngedumel pelan begitu dia membawa kardus yang berhasil didapatkannya setelah ngedapetin bejibun pertanyaan dari kakak kelas yang jaga di sana. Sialan! Dia terus saja merutuki kakak pemandu yang namanya Roy itu. Sampai-sampai dia nggak merhatiin tangga di depannya dan dengan suksesnya menubruk orang yang kini berdiri dihadapannya.“Maaf ya, dek…”“I-iya…”Adel salting sendiri. Entah kenapa. Dia cuma mengangguk saja saat orang itu bertanya apa dia terluka, mana yang sakit, dan kenapa dia bisa ada di sini. Tapi rentetan pertanyaan itu cuma dijawab dengan kedipan bingung dari Adel.“Dek?”“Eh…oh…nggak pa-pa kok.” Pipi Adel memerah. Dia buru-buru menunduk dan ngacir pergi. Ya ampun!!! Kakaknya keren banget!!!! Dia tersenyum sendiri. Lupa sama tampang kakak pan

    Last Updated : 2024-12-28
  • Take a Chance with Me!   9. Kamu mau sama aku? (1)

    Sebuah bolpoint biru laut terketuk di meja empunya. Suara ketukannya menemani si pemilik yang tengah melamun. Aya membiarkan begitu saja MP3 dari netbooknya mengalun pelan. List lagu Taylor Swift yang selalu membuatnya bersemangat, kini sedikit ia abaikan. Dia bahkan membiarkan begitu saja buku dihadapannya berserakan tanpa ada minat dibaca. Otaknya sibuk mengingat percakapan yang tadi sore didengarnya dari Roy.Nembak Adel begitu selesai ospek?!! Gila betul tuh cowok. Cewek melulu yang ada di otaknya.Aya mengatupkan bibirnya. Awas aja nanti. Aku pastiin tangannya patah kalau berani nyentuh rambut Adel sehelai saja. Aya nggak bakalan ngijinin Adel punya hubungan apapun sama cowok mesum dan playboy itu. Orang sama cowok alim masjid sebelah aja Aya nggak ngijinin, apalagi cowok yang dipikirannya cuma ada spesies cewek doang. Halah…bakalan Aya smackdown sampai mampus.“…Mbak…Mbak Aya…Mbak dengerin aku nggak sih?”“Eh, oh..apa, Del?” Aya berbalik menatap Adel yang duduk merengut di kas

    Last Updated : 2024-12-28

Latest chapter

  • Take a Chance with Me!   36. Rasa Tanpa Kata (4)

    Meski malam, udara Jakarta tidak pernah kurang dari 32 derajat Celcius. Panas, pengap dan gerah banget. Nggak ada bedanya antara malam dan siang. Itulah alasan kenapa Adit dan dua adiknya nggak mau hidup di Jakarta meski ayah mereka kerja di kota megapolitan itu. Meski begitu, Mama dan Wisnu yang paling sering ke Jakarta buat nengokin Papa kalau laki-laki itu nggak bisa pulang.Cowok itu kini mematung di balkon mungil apartemen ayahnya. Berdiri dengan secangkir caffe latte tanpa krim di tangan. Hasil delivery yang dipesan ayahnya bersama dengan sekotak pizza tadi. Sebenarnya Adit berniat tidur setelah mandi, secara tubuhnya sudah berontak menyuruhnya merebahkan diri. Tapi pikirannya melayang ke mana-mana. Apalagi duduk di sebelah Papanya membuat Adit ingin mengobrol banyak dengan laki-laki itu. Menceritakan perjalanan penuh adrenalin dari Yogja dan Jakarta bareng Aya, termasuk kelelahannya mendengarkan kisah hidup Aya yang menurutnya benar-benar dramatis. Rasan

  • Take a Chance with Me!   35. Rasa Tanpa Kata (3)

    Sepintar-pintarnya manusia merencanakan, akan selalu kalah dengan rencana Tuhan. Itulah yang dialami Adit yang mulai emosi begitu tahu kalau tiket Pasar Senen-Yogyakarta habis. Dan tiket pertama yang tersisa dengan tujuan Yogja adalah hari Senin pagi. Gila kan!! Iya sih, ini kan malam minggu. Malam akhir pekan dan liburan sejuta umat di dunia. Dia nyaris mengutuk gadis di depannya yang dengan bodohnya membawanya pergi tapi tidak bertanggungjawab memulangkannya.“Maaf, Diiiiit!!! Aku lupaa.” Aya sudah mulai kembali seperti semula. Ribut sendiri dengan kepikunannya.“Ishh! Kapan sih lo nggak lupa?!! Beli tiket pergi kenapa nggak sekalian tiket pulang?!!”"Nggak setiap hari lhoo, aku lupaa. Kemarin kan mendadak!"Aya merengut dengan tampang bersalah. “Trus sekarang gimana?” Digigit ujung bibirnya takut. Dia nggak punya kawan dekat di Jakarta, saudara pun sudah nggak ada yang tinggal di Jakarta. Lebih tepatnya, Aya su

  • Take a Chance with Me!   34. Rasa Tanpa Kata (2)

    “Makam?” Adit mengernyit ragu begitu Aya menghentikan taksi online yang mereka tumpangi. Dua puluh menit perjalanan dari tempat mereka semula. Mungkin tempat ini menjadi satu-satunya tempat di Jakarta yang masih sunyi dengan wangi kamboja yang menyengat.“Aku mau mengunjungi Papa sebentar. Itu alasan kenapa aku ke Jakarta. Till now, I’m still missing him so much.”Adit memilih tidak menimpali, hanya mengangguk pelan. Ashar baru saja berakhir. Tapi panas matahari masih menyengat di kulit Adit. Dilangkahkan kaki jenjangnya mengikuti langkah kecil Aya menyusuri makam. Makam itu sudah sepi. Iya sih, sudah sore juga. Serem juga sebenarnya kalau sore-sore di sini. Kali ini dia tidak protes atau mengeluh saat Aya terdiam cukup lama. Hanya memandangi makam di depannya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.“Adel nggak punya ayah sejak lahir, meninggalkan Ibu dan anaknya entah ke mana. Mereka berdua juga dari keluarga

  • Take a Chance with Me!   34. Rasa Tanpa Kata (1)

    Kesel! Itu komentar Adit begitu mengekor ke mana cewek ini melangkah. Sumpah dia capek banget setelah 10 jam duduk kepanasan di kereta. Setelah sholat dan menikmati pecel lele di warung dekat stasiun tadi pagi, Adit makin merasa kalau cewek itu tengah menculiknya (dan sekarang mengabaikannya). Mereka menyusuri jalanan panas, berdebu dan penuh polusi Jakarta . Menyusuri gang-gang sempit, becek dengan kaki dan tubuh yang nyaris pingsan. Apalagi Aya terus membisu sejak tadi. Kayaknya, Aya sedang berniat ngacangin Adit, deh!Brak!!“Agh!! Kenapa mendadak berhenti sih?!!” Adit gondok.Aya tengah berdiri mematung di depan sebuah rumah. Rumah dua lantai yang cukup megah jika dilihat dari sudut pandang Adit. Cat putih dan abu-abunya menampilkan kesan klasik. Halamannya luas. Dengan sebuah air mancur di tepi sebelah kiri. Beberapa anggur merambat hingga balik pagar jeruji yang membatasi rumah itu dengan jalan. Jarang sekali orang punya halaman seluas ini di Jakarta kalau bukan orang tajir gila

  • Take a Chance with Me!   33. Journey (6)

    “Cuma?! Kamu bisa ngomong segampang itu karena kamu anak pejabat BUMN, Dit. Apa yang kamu minta pasti dapet. Dengan mudahnya kamu bisa ngedapetin apa yang kamu mau. Serasa dunia berpihak padamu kan?! Tapi nggak semua orang itu kamu, Dit. Yang bisa dengan gampangnya ngedapetin kertas brengsek yang kamu anggap ‘cuma’,” suara Aya meninggi. Bahkan beberapa orang yang masih terjaga mulai melongok bangku mereka.Mulut Adit nganga begitu sadar kalau pipi cewek di depannya ternyata sudah basah. Dia nangis? Seriusan?!“Emang, Dit. Uang itu cuma benda brengsek yang bikin orang cacat rela mengemis di jalanan, membuat si miskin nggak sanggup makan beras, bahkan rela membuat seorang perempuan ngejual harga dirinya. Itu juga karena uang. Dan benda itu yang membuat gue membuang harga diri gue buat pekerjaan yang lo pikir malu-maluin. Ah, buat kerjaan yang menurut lo menjijikkan. Iya kan?!”Air mata Aya benar-benar

  • Take a Chance with Me!   32. Journey (5)

    “Maaf ya, Dit…”Adit membuka matanya pelan, setengah mati menahan kantuk yang sudah melanda dari tadi. Dilirik arlojinya. Lewat tengah malam. Nyaris semua penumpang sudah pulas. Perjalanan belum sampai separuh dan kereta sudah benar-benar sunyi. Hanya decit roda beradu dengan rel yang terdengar, mengalahkan dengkuran halus seorang bapak yang duduk di sebelah Adit.“…aku pingin cerita ke seseorang. Semuanya tentang hidupku yang nggak pernah baik-baik saja. Tapi aku nggak pernah bisa. Aku nggak pernah menemukan orang yang bisa kupercaya. Dan hidupku adalah titik kelemahanku, Dit.”“Trus, lo mau cerita ke gue?”Aya menggeleng.Adit langsung melek lalu bengong. Trus apa gunanya gue duduk sampai pantat tepos di sini? Hadehhh, kereta bisnis jarak jauh meamang bikin badan meriang semua.“Aku…,” mata Aya lurus menatap Adit. Memohon sedikit pengertian. “…setidaknya, aku butuh seseorang untuk berbagi tentang siapa sebenarnya diriku. Itu sih…”Ada sesuatu yang melesak cepat di pembuluh darah Adi

  • Take a Chance with Me!   31. Journey (4)

    Udah sampe? Lamaaa.Set 9 nggak sampe, aku cabut yaAdit nyaris membanting ponselnya. Dia gondok setengah mati pada cewek itu. Sumpah!!! Dia minta penjelasan dari kemarin dan yang didapatnya cuma pesan nggak jelas yang menyuruhnya ke stasiun Tugu-Yogyakarta, Jumat jam setengah 9 malam.Stasiun Tugu-Yogyakarta. 20.20 kudu tet sampe di tempat. Aku akan ngasih tau semuanyaa.Sial!! Dan herannya Adit nurut begitu saja padanya. Bahkan saat cewek itu memintanya membeli beberapa camilan dan air mineral. Kesel kan?! Mana sekarang dia kebingungan harus memarkir motornya di mana lagi. Akhir pekan parkiran stasiun rebutan dengan mahasiswa yang mau pulang kampung dengan kereta.Dan kenapa dia minta ketemu di stasiun coba? Kenapa nggak di sekolah besok. Atau besok Senin. Atau pas dia ke rumah Adit buat ngelesin Yoga. Kayak besok dunia bakal kiamat dan Adit bakal mati di tempat. Hishhh! Kesel.Pukul 20.15 WIB. Adit cukup bengong melihat Aya yang tergopoh mendekatinya. Ketara banget desah kelegaan

  • Take a Chance with Me!   30.Journey (3)

    Hari ini tepat setahun 40 hari masa bakti Adit dan kawan-kawannya di OSIS berakhir. Pagi tadi, kepala sekolah dengan resmi menyerahkan kepengurusan OSIS pada Very dan kawan-kawannya yang sudah terpilih. Cowok yang masih duduk di kelas XI itu menepuk pundak Adit begitu upacara bendera selesai. Ketara banget kalau Adit beneran jadi role model buat si Ketua OSIS baru. “Cie, yang fansnya makin banyak,” Niken nyinyir disamping Adit. Mereka alias anak-anak yang sudah mantan pengurus OSIS, tengah makan-makan di salah satu rumah makan di bilangan Babarsari sepulang sekolah. Merayakan akhir tugas mereka, ngilangin stress, sekaligus ngabisin dana sisa yang berhasil dikumpulkan Niken, the best treasure in this year. “Iya dong! Dari lahir udah banyak fans nih!” Jawaban Adit kontan mendapat timpukan dari kawan-kawannya. “Heh, Dit!! Ambil satu fans lo tuh buat jadi cewek. Apa gunanya punya banyak fans, cewek satu aja nggak punya,” Roy komentar. Dia mengusap rambut Aya yang duduk di sebelahnya

  • Take a Chance with Me!   29. Journey (2)

    “Alasan dia ngelakuin hal yang bikin lo gondok kayak gini, mending lo tanyain ke orangnya. Dia pasti punya alasan kenapa dia nglakuin itu.”Adit membeku sejenak. Reza tau? Apa dia ngebaca pikiran gue ya?“Gue cuma asal tebak kok,” Reza nyengir begitu sadar pandangan Adit tajam menatapnya.Adit kembali ke posisi duduknya. Dia menghela napas lalu tersenyum masygul. Jitu banget perkataan Reza. Cowok itu menghela napas lagi. Dibenahi kembali pantatnya di samping Reza.“Gue kenal dia bukan sehari dua hari, Za. Bisa dibilang gue banyak ngabisin waktu sama dia. Gue kenal dia sebagai orang baik, supel, pokoknya semua yang baik-baik deh. Tapi apa yang gue tahu belakangan ini memutar balikkan sosok dia di mata gue. Orang yang selama gue anggap baik, entah kenapa jadi sosok yang pingin gue hindari sejauh-jauhnya. Gue bahkan merasa rugi banget buat waktu yang gue habisin bareng dia. Tapi di sisi lain, gue nggak punya alasan yang jelas buat ngehin

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status