4. Aya

Kaki  mungil itu melesak cepat diantara pengunjung kantin yang masih berjubel. Sedikit diangkat rok semata kakinya, takut kalau kesrimpet langkahnya yang terburu. Padahal lima menit lagi bel masuk akan berdering. Tapi sepertinya anak-anak SMA PP itu masih enggan beranjak dari tempat duduk kantin yang sebenarnya biasa saja. Gadis itu berhenti melangkah saat mencapai dapur Bu Marni. Dia tersenyum ringan melihat wanita paruh abad itu masih sibuk menggoreng timus—makanan khas jawa yang terbuat dari ketela yang digoreng.

                “Ibu…”

                “Oh, Mbak Aya ya? Mau ambil uang jualan ya, Mbak?”

                Aya mengangguk cepat. Kucir kudanya bergoyang mengikuti gerak kepalanya. Diambilnya wadah pukis yang diletakkan di bawah meja.

                “Besok bawa lebih banyak aja, Mbak. Siang kemaren aja sudah langsung ludes.”

                “Siap, Bu.” Aya tertawa. Disentuhkan ujung telunjukknya ke alis, hormat. Dia melambaikan tangan setelah memasukkan uang pemberian Bu Marni ke sakunya.

                BRAK!!

                “Ah!”

                KRINCING!

                Aya menggigit bibir begitu beberapa koin yang belum sempet nyemplung di saku roknya menggelinding ke mana-mana. Ditatap cowok di depannya kesal.

                “Ups. Sorry! Nggak sengaja nih,” cengirnya tanpa merasa bersalah.

                Aya mengangguk. Buru-buru diburu koinnya yang tercecer. Dia memasukkan recehan itu cepat lalu mengangguk pada cowok yang masih mematung di depannya sebelum berlalu.

                Roy menghembuskan napas. Dia tersenyum jahil mengingat kesengajaannya menabrak gadis itu. Attaya. Apa sih menariknya cewek itu?

Roy memungut satu koin 1000 perak yang terinjak sepatunya. Dia mau memanggil Aya tapi diurungkan niatnya. Cuma seribu doang. Bayar parkir juga kurang. Dimasukkan koin itu ke saku bajunya. Buat jimat! Hihihi.

***

Empat bulan kemudian….

                Matahari pagi di Yogyakarta hari ini sepertinya masih malu-malu menyeret kelam sisa semalam. Kota Pelajar itu pun terlihat masih lengang. Entah karena mendung atau karena memang subuh yang baru selesai beberapa menit lalu.  Udara kemarau yang dingin makin memperlambat kota itu untuk menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Bahkan  di wilayah kampus yang biasanya bertebaran jajanan sarapan, baru bermunculan satu dua pedagang yang masih ditemani lampu jalan. Mereka menatap jalanan aspal yang baru terisi satu dua orang dengan pandangan kosong.

                Tapi satu rumah di bilangan Kali Kuning itu sudah hidup sejak dini hari. Daerah Kaliurang kilometer 21 itu memang dingin, tapi pemilik rumah sederhana bercat hijau muda itu sudah berakivitas sejak dua jam lalu. Gadis 17 tahun itu mulai menghitung beberapa pukis yang ia buat, memasukkannya ke wadah kotak sebelum mengikatnya dengan raffia.

                “Kamu nggak mandi, ya?” Seorang perempuan paruh baya keluar dari sisi rumah yang lain. Menyeret tas kresek berisi pakaian yang akan masuk laundryan.

                Aya menatap perempuan di depannya dalam. Mata sayu dan lelah itu ditutup sempurna dengan senyum lebar dari si empunya. Ah, perempuan itu masih cantik di usianya yang mulai memasuki kepala lima

                “Iya, Bu. Bentar lagi deh.”

                “Oh ya, Ibu sudah buatin sarapan. Habis ini langsung sarapan ya. Katanya berangkat setengah enam.”

                Aya benar-benar tidak bisa menahan diri untuk nggak memeluk perempuan itu. Dia juga ingin menumpahkan semua ucapan terima kasih yang ia tahu padanya. Terimakasih, Bu sudah mau menerimaku meski aku bukan siapa-siapa bagi Ibu. Terimakasih masih mau merawatku meski aku ini merepotkan bagi Ibu. Makasih tidak meninggalkanku sendirian di sana. Semua kata-kata itu tertahan di kerongkongan. Kalah oleh sesak yang menelusup cepat.

                “Ay, kamu kenapa? Sakit?” Wanita itu mengusap pipi Aya. Dibalas tatapan putri sulungnya itu dalam. Pelukan sulungnya itu sedikit menyakitkan. Dia bisa merasakan tubuh Aya makin kurus tiap harinya.

                Kepala Aya menggeleng cepat. “Aku cuma bilang kalau aku sayang banget sama, Ibu. Itu sih.” Tawanya lepas. Dikecup perempuan itu lembut. “Aku mandi deh.”