Senin. Adit paling nggak ngeh sama hari itu. Bukannya dia menyalahkan makhluk jenius yang ngasih nama hari Senin setelah Minggu dan sebelum Selasa. Sama sekali nggak. Juga bukan karena Senin adalah hari upacara se-Indonesia yang membuatnya wajib fardhu ain ikut upacara. Nggak bisa bolos seperti yang kebanyakan dilakukan teman-temannya. Iyalah! Dia kan selalu jadi pemimpin upacara. Langsung dicari via speaker sama Kepala sekolah kalau batang hidungnya nggak nongol.
Hari senin adalah hari di mana mood Adit bisa langsung berantakan kalau sampai rumah. Nggak peduli kalau di rumah tuh ada omelet bikinan Mama. Nggak peduli kalau dirumah tuh udah ada bejibun oleh-oleh Papa setelah dua minggu dinas di Jakarta. Atau nggak peduli kalau di rumah sudah ada moge gress yang mejeng di garasi. Ehem…kayaknya yang terakhir nggak bakal terjadi deh.
Adit meniup poni tamparnyanya setelah melepas helm. Dilirik matic biru yang terpakir manis disamping motornya. Agh…harusnya tadi dia terima aja ajakan si Rian dan Deni buat main futsal ketimbang ngeliat makhluk satu itu nangkring di rumahnya. Tapi hari ini dia capek banget, sumpah! Udah MOSnya molor, endingnya panitia ikut molor pulangnya.
“Oh, kamu udah pulang ya?” Riani, ibunya Adit, langsung menyambut sulungnya dengan senyum wah begitu Adit melangkah masuk. Wanita dengan jilbab abu-abu itu terkekeh melihat tampang sinis Adit. Yah, taulah dia alasannya apa.
Mata Adit melirik pojokan ruang tengah tempat dimana Yoga belajar. Dan seperti yang dia duga, anak itu tengah asyik-asyiknya bertanya kayak bom Molotov sama guru privatnya. Guru privat? Adit nyinyir.
“Mbak , kenapa bulan itu bentuknya nggak segi lima?” Yoga menatap cewek yang duduk di depannya penasaran. “Kan keren tho?”
Cewek yang jadi guru privat mereka itu tersenyum menatap Yoga sebelum akhirnya menjawab. “Supaya dia bisa berputar mengelilingi bumi, Ga.”
“Ah…kayaknya aku lebih seneng kalau Aya yang jadi kakak mereka ketimbang kamu deh, Dit,” Riani menyikut rusuk Adit yang udah pasang cemberut. Ya Allah…nih ibu tega banget sama anaknya.
Adit melengos. Ditatapnya lagi Aya yang masih asyik mengajari Yoga sambil sesekali tertawa. Bahkan pada si bungsu Wisnu, Aya masih bisa tersenyum hangat. Herannya lagi, anak empat tahun itu bisa duduk tenang di samping Aya tanpa niat mengganggu. Bungsu yang merupakan anak istimewa itu, adalah salah satu hal yang nggak bisa Adit ungkapkan di hidupnya. Entah kenapa, sampai usianya 18 tahun ini, dia nggak bisa nerima kenyataan kalau Wisnu lain dari dirinya dan Yoga.
Wisnu mengalami down syndrome[1] sejak lahir. Entah penyakit dari mana, yang jelas Adit malu kalau disuruh mengakui kalau Wisnu itu adiknya. Karena alasan itu juga Adit nggak pernah ngijinin teman-temannya main ke rumahnya, selain Reza. Iyalah, orang rumah Reza cuma dibelakang rumahnya doang. Dan ketika Aya mengetahui tentang Wisnu gara-gara jadi guru privat Yoga, Adit sempet emosi. Tapi untungnya Aya nggak pernanh berkomentar apa pun soal Wisnu di depan Adit. Sama sekali.
Huff… Ya Gusti…apa dosaku sampai membuatku harus melihatnya di mana-mana. Nggak di sekolah, di ruang OSIS, di rumah pula.
Awalnya, Riani nggak pernah punya pikiran buat nyariin Yoga guru privat. Dia nggak mau membuat anaknya tertekan gara-gara belajar di mana-mana. Udah sekolah SD aja full day, masih juga dikasih les privat. Tapi begitu Wisnu mulai tidak bisa dikendalikan, mau tidak mau Riani harus mencurahkan sebagian besar waktunya untuk si bungsu. Sebenarnya Riani punya pikiran untuk menyuruh sulungnya menjadi guru les privat Yoga. Yah, gimanapun Adit kan udah punya otak top cer. Jadi masalah ajar-mengajar si tengah, diserahkan sama Adit. Terutama kalau Wisnu sedang rewel. Tapi dasar emang Adit nggak punya bakat jadi guru, yang ada malah Yoga nanngis terus kalau kakaknya yang ngajarin.
Sampai akhirnya, nggak tau juga asal muasalnya Riani mengenalkan Aya sebagai guru privat. Iya…si Aya! Si cewek berkulit pasir dengan hidung bangir yang…Agh!!! Sumpeh deh! Adit langsung kena stroke dadakan waktu liat cewek itu di rumahnya. Ya Tuhan…apa dosaku?!
“Oh…Mama kenalan waktu ambil rapot kamu di sekolahpas kelas satu,” terang Riani waktu Adit tanya kenapa dia bisa kenal Aya. “Dan karena kayaknya adikmu suka sama dia, ya, Mama jadi punya ide buat jadiin dia guru privat. Toh, Aya mau kan.” Riani tertawa kecil.
“Tapi, Ma… kenapa harus dia?” Adit protes nggak terima.
“Lho, emang kenapa? Kamu sewot gara-gara dia rival yang selalu kamu certain ke Mama dengan tampang kayak orang mau diamputasi gitu?” Riani tertawa lagi melihat tampang uring-uringan Adit.
Hufff…tapi sekeras-kerasnya usaha Adit buat ngajuin protes, ujung-ujung gagal juga. Mama udah kadung suka sama Aya. Yoga juga udah terlanjur asyik diajarin sama guru privat mereka yang lumayan manis. What?! Manis?! Bilang apa aku tadi? Ghostt…aku pasti mulai nggak waras.
“Eh, kamu mau ke mana, Dit?” teriakan Riani menahan Adit yang sudah melangkah di tangga.
“Tidur.”
“Kamu nggak nemenin Aya ngajarin adik-adikmu?”
What?! Demi apa aku musti nglakuin itu?!
“Itu bakal aku lakuin kalau aku kena stroke sampai aku nggak bisa jalan dan naik tangga ke kamarku sendiri,” sungutnya sewot.
Adit masih bisa mendengar suara cekikikan Riani saat dia munutup pintu kamarnya. Agh…terserahlah!!!
Senin. Di mana mood Adit ancur total gara-gara ngeliat cewek yang jadi rival abadinya itu di rumahnya. Rasanya pingin… Adit menaikkan alisnya. Rasanya pingin…nonjokin bantal sampai ambruladul deh.
[1] Merupakan kelainan genetik pada kromosom 21. Kelainan ini menyebabkan adanya keterbelakangan pertumbuhan fisik dan mental. Ciri fisik yang menonjol seperti kepala yang kecil, bagian wajahnya biasanya tampak sela hidung yang datar, mulut kecil, mata sipit atau juling.
Hari ke-dua MOS di SMA PP. Dan agendanya masih sama saja dengan yang kemarin. Adel sampai sebel dan pingin bolos aja. Tapi Aya jelas akan mencekik Adel kalau dia melakukan niatnya itu.“Yaelah, Del. MOS aja bolos. Apalagi ntar kalau udah masuk kelas. Mau bolos berapa kali tuh. Inget! Sekolah di SMA PP itu nggak murahh!”Adel dongkol abis dengan sindiran Aya tadi pagi. Sebel!! Dia menjejakkan kakinya tanda mulai pegel setelah nyaris dua jam digaringin di bawah terik matahari. Apalagi matahari Jogja lagi semangat banget nyiksa anak-anak di lapangan SMA PP. Tampang mereka udah menyatakan kalau sebentar lagi mereka pasti pingsan. Mana gara-gara telat tadi pagi, dia suruh nulis esai lagi. Dia kemaren udah nggak tidur gara-gara nulis 100 surat pernyataan kalau dia nggak bakal telat lagi lho. Agh…I hate ospek! Bibirnya merepet begitu pemandu ospeknya mulai teriak-teriak.Apa aku pura-pura pingsan aja ya? “…NGERTI NGGAK, DEK?!”“SIAP. DIMENGERTI!”Sialan! Untung nih ya kakak pemandunya gan
“Kamu nggak pa-pa?” Seorang cowok spike menahan lengan Adel.Adel terperangah. Dia mengangguk pelan lalu buru-buru berdiri setelah memberesi kardus yang jatuh gara-gara ditabrak orang yang kini berjongkok membantunya. Adel masih ngedumel pelan begitu dia membawa kardus yang berhasil didapatkannya setelah ngedapetin bejibun pertanyaan dari kakak kelas yang jaga di sana. Sialan! Dia terus saja merutuki kakak pemandu yang namanya Roy itu. Sampai-sampai dia nggak merhatiin tangga di depannya dan dengan suksesnya menubruk orang yang kini berdiri dihadapannya.“Maaf ya, dek…”“I-iya…”Adel salting sendiri. Entah kenapa. Dia cuma mengangguk saja saat orang itu bertanya apa dia terluka, mana yang sakit, dan kenapa dia bisa ada di sini. Tapi rentetan pertanyaan itu cuma dijawab dengan kedipan bingung dari Adel.“Dek?”“Eh…oh…nggak pa-pa kok.” Pipi Adel memerah. Dia buru-buru menunduk dan ngacir pergi. Ya ampun!!! Kakaknya keren banget!!!! Dia tersenyum sendiri. Lupa sama tampang kakak pan
Sebuah bolpoint biru laut terketuk di meja empunya. Suara ketukannya menemani si pemilik yang tengah melamun. Aya membiarkan begitu saja MP3 dari netbooknya mengalun pelan. List lagu Taylor Swift yang selalu membuatnya bersemangat, kini sedikit ia abaikan. Dia bahkan membiarkan begitu saja buku dihadapannya berserakan tanpa ada minat dibaca. Otaknya sibuk mengingat percakapan yang tadi sore didengarnya dari Roy.Nembak Adel begitu selesai ospek?!! Gila betul tuh cowok. Cewek melulu yang ada di otaknya.Aya mengatupkan bibirnya. Awas aja nanti. Aku pastiin tangannya patah kalau berani nyentuh rambut Adel sehelai saja. Aya nggak bakalan ngijinin Adel punya hubungan apapun sama cowok mesum dan playboy itu. Orang sama cowok alim masjid sebelah aja Aya nggak ngijinin, apalagi cowok yang dipikirannya cuma ada spesies cewek doang. Halah…bakalan Aya smackdown sampai mampus.“…Mbak…Mbak Aya…Mbak dengerin aku nggak sih?”“Eh, oh..apa, Del?” Aya berbalik menatap Adel yang duduk merengut di kas
Roy celingukan di lantai dua. Tempat di mana jajaran laboraturium berada. Dia membaca pesan dari Aya sekali lagi dan memastikan kalau dia nggak salah baca. Di depan laboraturium kimia. Cih, tempat mangkalnya cewek itu ya. Dia celingukan sebentar sebelum akhirnya menemukan cewek itu berdiri sambil memandang langit di depan lab kimia. Entah kenapa jantung Roy grogi mendadak. Oi!Oi! Ini kan bukan kali pertama lo liat dia, Roy!!! Si muka datar!“Hey…”Aya berbalik. Sedikit canggung sebenarnya, tapi dia tetap berusaha senormal mungkin. Cowok playboy, tukang tebar pesona, tukang PHP. “Makasih ya Roy udah mau datang.” Senyum Aya tekembang, dan justru membuat Roy salting sendiri.“Eh, iya... Emang kenapa sih?” Ditatapnya lagi Aya dari ujung sepatu sampai ujung kepala. Bener-bener beda banget penampilannya hari ini. Apa gara-gara ada panggung buat anak-anak baru
“Lo beneran jadian sama Roy?” Adit berdiri menyilangkan kaki di bibir pintu rumahnya. Masih dengan mata mengantuk setelah tidur sore, ditatapnya Aya penuh selidik.Aya menghentikan gerakan tangannya yang masih mengikat sepatu. Dia sudah siap hengkang dari rumah Adit setelah berpamitan pada Bu Riani. Maghrib sudah berlalu setengah jam lalu. Dia musti sampai rumah sebelum jalanan Kaliurang kilometer 12 tambah sepi. Lagipula badannya sudah minta diselonjorin di kasur.Hari ini cukup melelahkan bagi Aya. Penutupan MOS, besih-bersih sekolah, lanjut mengajar Yoga dan…tragedi deklarasi jadiannya Roy-Aya yang mengundang banyak tanya sejak tadi siang (duh bahasanya…).“Kenapa emang?”“Gue kan cuma tanya.” Adit melengos. Jadi sebel sendiri kenapa dia harus menanyakan hal nggak guna kayak gitu. Mau dia jadian apa nggak kan bukan urusan gue!“Kenapa harus tanya? Kan bukan urusanmu…”Emang bukan urusan gue!!“Gue kan cuma tanya. Seenggaknya dipikiran gue, kalau lo jadian, lo nggak bakal jadian sam
Jam masih menunjukkan pukul 13.40. Sepuluh menit setelah dering mata pelajaran terakhir berbunyi. Dan seperti biasa, kantin masih saja ramai. Beberapa anak malah memulai menyebar gosip sambil membuka gadget. Bu Marni juga masih bugar melayani pesanan anak-anak SMA yang kadang agak rewel. Misalnya kayak:“Bu, aku mau es teh tapi es-nya jangan banyak-banyak ya.”“Bu, soto satu, gak pake MSG, gak pake toge, gak pake seledri, nasinya setengah, kuahnya banyakin.”Atau…“Bu, bisa buatin mie goreng nggak. Pingin mie soalnya.”Padahal sudah jelas pake banget ketulis di pintu kantin dengan huruf Times New Roman size 120 kalau kantin itu namaya: KANTIN SOTO DAN BAKSO BU MARNI. Heghh!!Dan di salah satu pojokan kantin, Cahya sedang menemani sohibnya yang kelihatan suntuk banget. Aneh sih sebenarnya. Biasanya jam segini Roy sedang duduk mojok berdua dengan ceweknya. Yah, biasanya sih gitu. Cuma kali ini cewek baru Roy kan lain.Roy me
Dia nggak mungkin kan repot-repot nganterin pukis ke gue kalau nggak suka ke gue?Roy melirik ponselnya. Chatnya dengan Aya tadi pagi bahkan belum terkirim. Asemmm! Dia sibuk ngapain aja sih sampai siang begini belum pegang ponselnya. Cahya mengulum senyum begitu Roy cuma terdiam. “Eh, lo masih sering ngobrol sama Calista dan Rona?”Tubuh Roy menggeliat di kursi. “Iyalah. Sayang kan cewek cute kayak mereka dilewatin.”“Mau maen sama mereka?”Roy mengangkat sebelah alis. “Yah…mereka kan gampang diajak keluar.”“Well, kalau gitu ajak Aya malem mingguan bareng. Gimana kalau have fun bareng di tempat Andre. Bokepnya lagi ke Bali katanya. Masa ngajakin cewek sendiri aja gagal melulu.”Roy mendesah. Kesal! Halah…ngajakin cewek itu keluar udah kayak ngajakin perang Baratayuda. Bejibuuun alasannya. Yang ngerjain proposal lah. Buat timel
Adit nyinyir ngeliat dua pasangan yang barusan lewat di depannya. Keduanya menuju mobil merah Roy yang terparkir tak jauh dari tempat Adit parkir. Nih momen musti jadi salah satu keajaiban di dunia deh. Hadeh, gimana mungkin coba cewek yang Adit pikir nggak punya ketertarikan sama cowok trus jadian sama makhluk yang cuma terkenal karena tampang bleaching-annya itu. Mau dipikir gimana pun tetep bikin pening. Igh…“Lo nggak usah ngeliatin mereka dengan tampang mupeng gitu dong, Dit…” Reza menusuk rusuk Adit dengan sikutnya. Dia terkekeh geli melihat ekspresi merengut kawannya. “Halah! Kalau cemburu bilang aja!” Dia nyengir.Adit langsung pasang tampang jijik. “Hah?! Cerita dari mana gue cemburu!”“Yaelah, kalau kagak ya nggak usah ngegas-ngegas gitu kali ngomongnya.” Reza mengambil helmnya yang nangkring di motor Adit sambil geleng-geleng kepala.“Gue cuma ngerasa aneh aja sih ngeliat mereka berdua…”“Ya, iyalah aneh. Orang biasanya Aya sama elu trus sekarang dia sama orang lain…” Rez
Meski malam, udara Jakarta tidak pernah kurang dari 32 derajat Celcius. Panas, pengap dan gerah banget. Nggak ada bedanya antara malam dan siang. Itulah alasan kenapa Adit dan dua adiknya nggak mau hidup di Jakarta meski ayah mereka kerja di kota megapolitan itu. Meski begitu, Mama dan Wisnu yang paling sering ke Jakarta buat nengokin Papa kalau laki-laki itu nggak bisa pulang.Cowok itu kini mematung di balkon mungil apartemen ayahnya. Berdiri dengan secangkir caffe latte tanpa krim di tangan. Hasil delivery yang dipesan ayahnya bersama dengan sekotak pizza tadi. Sebenarnya Adit berniat tidur setelah mandi, secara tubuhnya sudah berontak menyuruhnya merebahkan diri. Tapi pikirannya melayang ke mana-mana. Apalagi duduk di sebelah Papanya membuat Adit ingin mengobrol banyak dengan laki-laki itu. Menceritakan perjalanan penuh adrenalin dari Yogja dan Jakarta bareng Aya, termasuk kelelahannya mendengarkan kisah hidup Aya yang menurutnya benar-benar dramatis. Rasan
Sepintar-pintarnya manusia merencanakan, akan selalu kalah dengan rencana Tuhan. Itulah yang dialami Adit yang mulai emosi begitu tahu kalau tiket Pasar Senen-Yogyakarta habis. Dan tiket pertama yang tersisa dengan tujuan Yogja adalah hari Senin pagi. Gila kan!! Iya sih, ini kan malam minggu. Malam akhir pekan dan liburan sejuta umat di dunia. Dia nyaris mengutuk gadis di depannya yang dengan bodohnya membawanya pergi tapi tidak bertanggungjawab memulangkannya.“Maaf, Diiiiit!!! Aku lupaa.” Aya sudah mulai kembali seperti semula. Ribut sendiri dengan kepikunannya.“Ishh! Kapan sih lo nggak lupa?!! Beli tiket pergi kenapa nggak sekalian tiket pulang?!!”"Nggak setiap hari lhoo, aku lupaa. Kemarin kan mendadak!"Aya merengut dengan tampang bersalah. “Trus sekarang gimana?” Digigit ujung bibirnya takut. Dia nggak punya kawan dekat di Jakarta, saudara pun sudah nggak ada yang tinggal di Jakarta. Lebih tepatnya, Aya su
“Makam?” Adit mengernyit ragu begitu Aya menghentikan taksi online yang mereka tumpangi. Dua puluh menit perjalanan dari tempat mereka semula. Mungkin tempat ini menjadi satu-satunya tempat di Jakarta yang masih sunyi dengan wangi kamboja yang menyengat.“Aku mau mengunjungi Papa sebentar. Itu alasan kenapa aku ke Jakarta. Till now, I’m still missing him so much.”Adit memilih tidak menimpali, hanya mengangguk pelan. Ashar baru saja berakhir. Tapi panas matahari masih menyengat di kulit Adit. Dilangkahkan kaki jenjangnya mengikuti langkah kecil Aya menyusuri makam. Makam itu sudah sepi. Iya sih, sudah sore juga. Serem juga sebenarnya kalau sore-sore di sini. Kali ini dia tidak protes atau mengeluh saat Aya terdiam cukup lama. Hanya memandangi makam di depannya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.“Adel nggak punya ayah sejak lahir, meninggalkan Ibu dan anaknya entah ke mana. Mereka berdua juga dari keluarga
Kesel! Itu komentar Adit begitu mengekor ke mana cewek ini melangkah. Sumpah dia capek banget setelah 10 jam duduk kepanasan di kereta. Setelah sholat dan menikmati pecel lele di warung dekat stasiun tadi pagi, Adit makin merasa kalau cewek itu tengah menculiknya (dan sekarang mengabaikannya). Mereka menyusuri jalanan panas, berdebu dan penuh polusi Jakarta . Menyusuri gang-gang sempit, becek dengan kaki dan tubuh yang nyaris pingsan. Apalagi Aya terus membisu sejak tadi. Kayaknya, Aya sedang berniat ngacangin Adit, deh!Brak!!“Agh!! Kenapa mendadak berhenti sih?!!” Adit gondok.Aya tengah berdiri mematung di depan sebuah rumah. Rumah dua lantai yang cukup megah jika dilihat dari sudut pandang Adit. Cat putih dan abu-abunya menampilkan kesan klasik. Halamannya luas. Dengan sebuah air mancur di tepi sebelah kiri. Beberapa anggur merambat hingga balik pagar jeruji yang membatasi rumah itu dengan jalan. Jarang sekali orang punya halaman seluas ini di Jakarta kalau bukan orang tajir gila
“Cuma?! Kamu bisa ngomong segampang itu karena kamu anak pejabat BUMN, Dit. Apa yang kamu minta pasti dapet. Dengan mudahnya kamu bisa ngedapetin apa yang kamu mau. Serasa dunia berpihak padamu kan?! Tapi nggak semua orang itu kamu, Dit. Yang bisa dengan gampangnya ngedapetin kertas brengsek yang kamu anggap ‘cuma’,” suara Aya meninggi. Bahkan beberapa orang yang masih terjaga mulai melongok bangku mereka.Mulut Adit nganga begitu sadar kalau pipi cewek di depannya ternyata sudah basah. Dia nangis? Seriusan?!“Emang, Dit. Uang itu cuma benda brengsek yang bikin orang cacat rela mengemis di jalanan, membuat si miskin nggak sanggup makan beras, bahkan rela membuat seorang perempuan ngejual harga dirinya. Itu juga karena uang. Dan benda itu yang membuat gue membuang harga diri gue buat pekerjaan yang lo pikir malu-maluin. Ah, buat kerjaan yang menurut lo menjijikkan. Iya kan?!”Air mata Aya benar-benar
“Maaf ya, Dit…”Adit membuka matanya pelan, setengah mati menahan kantuk yang sudah melanda dari tadi. Dilirik arlojinya. Lewat tengah malam. Nyaris semua penumpang sudah pulas. Perjalanan belum sampai separuh dan kereta sudah benar-benar sunyi. Hanya decit roda beradu dengan rel yang terdengar, mengalahkan dengkuran halus seorang bapak yang duduk di sebelah Adit.“…aku pingin cerita ke seseorang. Semuanya tentang hidupku yang nggak pernah baik-baik saja. Tapi aku nggak pernah bisa. Aku nggak pernah menemukan orang yang bisa kupercaya. Dan hidupku adalah titik kelemahanku, Dit.”“Trus, lo mau cerita ke gue?”Aya menggeleng.Adit langsung melek lalu bengong. Trus apa gunanya gue duduk sampai pantat tepos di sini? Hadehhh, kereta bisnis jarak jauh meamang bikin badan meriang semua.“Aku…,” mata Aya lurus menatap Adit. Memohon sedikit pengertian. “…setidaknya, aku butuh seseorang untuk berbagi tentang siapa sebenarnya diriku. Itu sih…”Ada sesuatu yang melesak cepat di pembuluh darah Adi
Udah sampe? Lamaaa.Set 9 nggak sampe, aku cabut yaAdit nyaris membanting ponselnya. Dia gondok setengah mati pada cewek itu. Sumpah!!! Dia minta penjelasan dari kemarin dan yang didapatnya cuma pesan nggak jelas yang menyuruhnya ke stasiun Tugu-Yogyakarta, Jumat jam setengah 9 malam.Stasiun Tugu-Yogyakarta. 20.20 kudu tet sampe di tempat. Aku akan ngasih tau semuanyaa.Sial!! Dan herannya Adit nurut begitu saja padanya. Bahkan saat cewek itu memintanya membeli beberapa camilan dan air mineral. Kesel kan?! Mana sekarang dia kebingungan harus memarkir motornya di mana lagi. Akhir pekan parkiran stasiun rebutan dengan mahasiswa yang mau pulang kampung dengan kereta.Dan kenapa dia minta ketemu di stasiun coba? Kenapa nggak di sekolah besok. Atau besok Senin. Atau pas dia ke rumah Adit buat ngelesin Yoga. Kayak besok dunia bakal kiamat dan Adit bakal mati di tempat. Hishhh! Kesel.Pukul 20.15 WIB. Adit cukup bengong melihat Aya yang tergopoh mendekatinya. Ketara banget desah kelegaan
Hari ini tepat setahun 40 hari masa bakti Adit dan kawan-kawannya di OSIS berakhir. Pagi tadi, kepala sekolah dengan resmi menyerahkan kepengurusan OSIS pada Very dan kawan-kawannya yang sudah terpilih. Cowok yang masih duduk di kelas XI itu menepuk pundak Adit begitu upacara bendera selesai. Ketara banget kalau Adit beneran jadi role model buat si Ketua OSIS baru. “Cie, yang fansnya makin banyak,” Niken nyinyir disamping Adit. Mereka alias anak-anak yang sudah mantan pengurus OSIS, tengah makan-makan di salah satu rumah makan di bilangan Babarsari sepulang sekolah. Merayakan akhir tugas mereka, ngilangin stress, sekaligus ngabisin dana sisa yang berhasil dikumpulkan Niken, the best treasure in this year. “Iya dong! Dari lahir udah banyak fans nih!” Jawaban Adit kontan mendapat timpukan dari kawan-kawannya. “Heh, Dit!! Ambil satu fans lo tuh buat jadi cewek. Apa gunanya punya banyak fans, cewek satu aja nggak punya,” Roy komentar. Dia mengusap rambut Aya yang duduk di sebelahnya
“Alasan dia ngelakuin hal yang bikin lo gondok kayak gini, mending lo tanyain ke orangnya. Dia pasti punya alasan kenapa dia nglakuin itu.”Adit membeku sejenak. Reza tau? Apa dia ngebaca pikiran gue ya?“Gue cuma asal tebak kok,” Reza nyengir begitu sadar pandangan Adit tajam menatapnya.Adit kembali ke posisi duduknya. Dia menghela napas lalu tersenyum masygul. Jitu banget perkataan Reza. Cowok itu menghela napas lagi. Dibenahi kembali pantatnya di samping Reza.“Gue kenal dia bukan sehari dua hari, Za. Bisa dibilang gue banyak ngabisin waktu sama dia. Gue kenal dia sebagai orang baik, supel, pokoknya semua yang baik-baik deh. Tapi apa yang gue tahu belakangan ini memutar balikkan sosok dia di mata gue. Orang yang selama gue anggap baik, entah kenapa jadi sosok yang pingin gue hindari sejauh-jauhnya. Gue bahkan merasa rugi banget buat waktu yang gue habisin bareng dia. Tapi di sisi lain, gue nggak punya alasan yang jelas buat ngehin