SMA Penabur Pelita sudah cukup ramai. Banyak panitia MOS yang bersliweran di halaman. Beberapa juga terburu memakan sarapan mereka sebelum ikutan pontang-panting di hari pertama MOS itu. Para petugas kebersihan ngrumpi sambil ngomel gara-gara guguran daun yang kayaknya nggak pernah berkurang walau udah disapu belasan kali—maklum musim kerontang gini. Ehm… Kelihatan juga beberapa anak baru yang berdiri kebingungan di gerbang sekolah. Mereka sudah pasang tampang mirip orang yang mau liat atraksi orang kesurupan.
Aya bergegas ke lantai dua. Kelas barunya. Tepatnya di kelas XII IPA 2, kelas tertua. Hem…karena posisinya dilantai dua, bisa ngencengin adik kelas nih. Haha. Niatnya sih nglemparin tasnya lalu buru-buru turun buat bantuin anak OSIS lainnya. Tapi belum juga niatnya kesampaian, sesosok malaikat pencabut nyawa mendelik menatapnya. Plus dengan posisi tangan yang siap-siap melolosin tulang Aya satu persatu. Nyaris Aya merapalkan ayat kursi sebelum dia nyadar kalau sosok itu tak lain dan tak bukan adalah Ketua OSIS SMA PP yang masa jabatannya tinggal dihitung jari.
“Kenapa sih?! Ada masalah?!” Aya membalas delikan Adit dengan ekpresi datar. Otak Aya berputar cepat. Kira-kira proposal apa lagi yang belum Aya selesaiin. Laporan pertanggungjawaban mana yang belum dia tumplekin ke muka tuh cowok. Timeline mana yang belum dia tulis dan umumkan. Kayaknya semua tugasnya sebagai sekretaris sudah beres deh. Trus kenapa cowok ini malah pasang tampang macam rentenir mau nuntut utang gitu sih.
Big problem becase of you! Adit manyun. Memamerkan bibirnya yang nggak punya logo seksi sama sekali. Dia makin merentangkan tangannya saat Aya berusaha masuk kelas. Menghalagi jalan Aya.
“Adit!? Kenapa sih? Aku kan nggak punya utang ke kamu,” Aya protes. Bukannya dia ya yang punya utang jajan oleh-oleh pas ke Makasar kemarin. Mana nggak dibayar-bayar lagi
Adit menghela napas pelan, menahan kekesalannya. Dia cuma menatap bete cewek yang dengan tenangnya meletakkan tasnya lalu menyampirkan jaketnya asal. Masih terlintas di kepalanya kejadian dua minggu lalu. Saat Kepsek PP yang udah hampir botak total itu menyerahkan piala wahid ke tangan cewek di depannya. Dan Adit cuma bisa berdiri di samping cewek itu sambil berusaha ceria menikmati piala the second yang dipegangnya.
Igh…dendam buanget aku sama dia. Sialan! Cewek ini susah banget sih dikalahin. Pakai mantra apaan juga nih orang bisa sepinter itu.
“Aya…” panggil Adit begitu Aya sudah melemparkan tasnya dan siap-siap keluar lagi.
“Kenapa sih!?”
Adit menyilangkan kakinya di depan pintu. Ketara sekali kalau dia sengaja menghalangi jalan keluar-masuk Aya.
“ADITTTT! Kenapa sih?! Dendam sama aku?!”
Gantian tangan Adit yang menyilang. Aya mundur selangkah begitu cowok itu melangkah mendekatinya. Aya bahkan bisa merasakan hembusan napas Adit di depan mukanya.
“Denger ya, Attaya Putri Sachika!! Semester ini gue jamin kalau gue bakal ngalahin lo. Lalu gue dengan bangganya ngibarin bendera kemenangan di depan lo. Catet itu!”
“Adit! Astaghfirullah…lo ….”
Adit buru-buru berbalik begitu mendengar seruan Rian dibelakangnya. Sie Olahraga dan Kebugaran OSIS itu menatap shock Adit dan Aya bergantian. Dia melongok ke kelas yang memang belum ada manusia satu pun selain mereka berdua. “Kalian nggak…”
“Bu-bukan seperti… yang lo pikirin. Gue tuh cuma…,” Adit gelagapan. Bingung mau ngomong apaan. Diliriknya Aya yang masih setor tampang cuek. Seolah tatapan menuduh Rian nggak masalah buatnya.
Gawat! Bisa-bisa tersebar gosip kalau aku sama cewek ini….ehem…..
Rian mesem. “Yah, kalau emang kalian kayak gitu sih nggak masalah kok. Cucok…100% cocok kok. Semesta merestui dan pasti….agh…aduh…sakit, Dit…” Belum sempat Rian menyelesaikan kalimatnya, lehernya sudah dipiting Adit duluan.
Senin. Adit paling nggak ngeh sama hari itu. Bukannya dia menyalahkan makhluk jenius yang ngasih nama hari Senin setelah Minggu dan sebelum Selasa. Sama sekali nggak. Juga bukan karena Senin adalah hari upacara se-Indonesia yang membuatnya wajib fardhu ain ikut upacara. Nggak bisa bolos seperti yang kebanyakan dilakukan teman-temannya. Iyalah! Dia kan selalu jadi pemimpin upacara. Langsung dicari via speaker sama Kepala sekolah kalau batang hidungnya nggak nongol. Hari senin adalah hari di mana mood Adit bisa langsung berantakan kalau sampai rumah. Nggak peduli kalau di rumah tuh ada omelet bikinan Mama. Nggak peduli kalau dirumah tuh udah ada bejibun oleh-oleh Papa setelah dua minggu dinas di Jakarta. Atau nggak peduli kalau di rumah sudah ada moge gress yang mejeng di garasi. Ehem…kayaknya yang terakhir nggak bakal terjadi deh.Adit meniup poni tamparnyanya setelah melepas helm. Dilirik matic biru yang terpakir manis disamping motornya. Agh…harusnya tadi dia terima aja ajakan si
Hari ke-dua MOS di SMA PP. Dan agendanya masih sama saja dengan yang kemarin. Adel sampai sebel dan pingin bolos aja. Tapi Aya jelas akan mencekik Adel kalau dia melakukan niatnya itu.“Yaelah, Del. MOS aja bolos. Apalagi ntar kalau udah masuk kelas. Mau bolos berapa kali tuh. Inget! Sekolah di SMA PP itu nggak murahh!”Adel dongkol abis dengan sindiran Aya tadi pagi. Sebel!! Dia menjejakkan kakinya tanda mulai pegel setelah nyaris dua jam digaringin di bawah terik matahari. Apalagi matahari Jogja lagi semangat banget nyiksa anak-anak di lapangan SMA PP. Tampang mereka udah menyatakan kalau sebentar lagi mereka pasti pingsan. Mana gara-gara telat tadi pagi, dia suruh nulis esai lagi. Dia kemaren udah nggak tidur gara-gara nulis 100 surat pernyataan kalau dia nggak bakal telat lagi lho. Agh…I hate ospek! Bibirnya merepet begitu pemandu ospeknya mulai teriak-teriak.Apa aku pura-pura pingsan aja ya? “…NGERTI NGGAK, DEK?!”“SIAP. DIMENGERTI!”Sialan! Untung nih ya kakak pemandunya gan
“Kamu nggak pa-pa?” Seorang cowok spike menahan lengan Adel.Adel terperangah. Dia mengangguk pelan lalu buru-buru berdiri setelah memberesi kardus yang jatuh gara-gara ditabrak orang yang kini berjongkok membantunya. Adel masih ngedumel pelan begitu dia membawa kardus yang berhasil didapatkannya setelah ngedapetin bejibun pertanyaan dari kakak kelas yang jaga di sana. Sialan! Dia terus saja merutuki kakak pemandu yang namanya Roy itu. Sampai-sampai dia nggak merhatiin tangga di depannya dan dengan suksesnya menubruk orang yang kini berdiri dihadapannya.“Maaf ya, dek…”“I-iya…”Adel salting sendiri. Entah kenapa. Dia cuma mengangguk saja saat orang itu bertanya apa dia terluka, mana yang sakit, dan kenapa dia bisa ada di sini. Tapi rentetan pertanyaan itu cuma dijawab dengan kedipan bingung dari Adel.“Dek?”“Eh…oh…nggak pa-pa kok.” Pipi Adel memerah. Dia buru-buru menunduk dan ngacir pergi. Ya ampun!!! Kakaknya keren banget!!!! Dia tersenyum sendiri. Lupa sama tampang kakak pan
Sebuah bolpoint biru laut terketuk di meja empunya. Suara ketukannya menemani si pemilik yang tengah melamun. Aya membiarkan begitu saja MP3 dari netbooknya mengalun pelan. List lagu Taylor Swift yang selalu membuatnya bersemangat, kini sedikit ia abaikan. Dia bahkan membiarkan begitu saja buku dihadapannya berserakan tanpa ada minat dibaca. Otaknya sibuk mengingat percakapan yang tadi sore didengarnya dari Roy.Nembak Adel begitu selesai ospek?!! Gila betul tuh cowok. Cewek melulu yang ada di otaknya.Aya mengatupkan bibirnya. Awas aja nanti. Aku pastiin tangannya patah kalau berani nyentuh rambut Adel sehelai saja. Aya nggak bakalan ngijinin Adel punya hubungan apapun sama cowok mesum dan playboy itu. Orang sama cowok alim masjid sebelah aja Aya nggak ngijinin, apalagi cowok yang dipikirannya cuma ada spesies cewek doang. Halah…bakalan Aya smackdown sampai mampus.“…Mbak…Mbak Aya…Mbak dengerin aku nggak sih?”“Eh, oh..apa, Del?” Aya berbalik menatap Adel yang duduk merengut di kas
Roy celingukan di lantai dua. Tempat di mana jajaran laboraturium berada. Dia membaca pesan dari Aya sekali lagi dan memastikan kalau dia nggak salah baca. Di depan laboraturium kimia. Cih, tempat mangkalnya cewek itu ya. Dia celingukan sebentar sebelum akhirnya menemukan cewek itu berdiri sambil memandang langit di depan lab kimia. Entah kenapa jantung Roy grogi mendadak. Oi!Oi! Ini kan bukan kali pertama lo liat dia, Roy!!! Si muka datar!“Hey…”Aya berbalik. Sedikit canggung sebenarnya, tapi dia tetap berusaha senormal mungkin. Cowok playboy, tukang tebar pesona, tukang PHP. “Makasih ya Roy udah mau datang.” Senyum Aya tekembang, dan justru membuat Roy salting sendiri.“Eh, iya... Emang kenapa sih?” Ditatapnya lagi Aya dari ujung sepatu sampai ujung kepala. Bener-bener beda banget penampilannya hari ini. Apa gara-gara ada panggung buat anak-anak baru
“Lo beneran jadian sama Roy?” Adit berdiri menyilangkan kaki di bibir pintu rumahnya. Masih dengan mata mengantuk setelah tidur sore, ditatapnya Aya penuh selidik.Aya menghentikan gerakan tangannya yang masih mengikat sepatu. Dia sudah siap hengkang dari rumah Adit setelah berpamitan pada Bu Riani. Maghrib sudah berlalu setengah jam lalu. Dia musti sampai rumah sebelum jalanan Kaliurang kilometer 12 tambah sepi. Lagipula badannya sudah minta diselonjorin di kasur.Hari ini cukup melelahkan bagi Aya. Penutupan MOS, besih-bersih sekolah, lanjut mengajar Yoga dan…tragedi deklarasi jadiannya Roy-Aya yang mengundang banyak tanya sejak tadi siang (duh bahasanya…).“Kenapa emang?”“Gue kan cuma tanya.” Adit melengos. Jadi sebel sendiri kenapa dia harus menanyakan hal nggak guna kayak gitu. Mau dia jadian apa nggak kan bukan urusan gue!“Kenapa harus tanya? Kan bukan urusanmu…”Emang bukan urusan gue!!“Gue kan cuma tanya. Seenggaknya dipikiran gue, kalau lo jadian, lo nggak bakal jadian sam
Jam masih menunjukkan pukul 13.40. Sepuluh menit setelah dering mata pelajaran terakhir berbunyi. Dan seperti biasa, kantin masih saja ramai. Beberapa anak malah memulai menyebar gosip sambil membuka gadget. Bu Marni juga masih bugar melayani pesanan anak-anak SMA yang kadang agak rewel. Misalnya kayak:“Bu, aku mau es teh tapi es-nya jangan banyak-banyak ya.”“Bu, soto satu, gak pake MSG, gak pake toge, gak pake seledri, nasinya setengah, kuahnya banyakin.”Atau…“Bu, bisa buatin mie goreng nggak. Pingin mie soalnya.”Padahal sudah jelas pake banget ketulis di pintu kantin dengan huruf Times New Roman size 120 kalau kantin itu namaya: KANTIN SOTO DAN BAKSO BU MARNI. Heghh!!Dan di salah satu pojokan kantin, Cahya sedang menemani sohibnya yang kelihatan suntuk banget. Aneh sih sebenarnya. Biasanya jam segini Roy sedang duduk mojok berdua dengan ceweknya. Yah, biasanya sih gitu. Cuma kali ini cewek baru Roy kan lain.Roy me
Dia nggak mungkin kan repot-repot nganterin pukis ke gue kalau nggak suka ke gue?Roy melirik ponselnya. Chatnya dengan Aya tadi pagi bahkan belum terkirim. Asemmm! Dia sibuk ngapain aja sih sampai siang begini belum pegang ponselnya. Cahya mengulum senyum begitu Roy cuma terdiam. “Eh, lo masih sering ngobrol sama Calista dan Rona?”Tubuh Roy menggeliat di kursi. “Iyalah. Sayang kan cewek cute kayak mereka dilewatin.”“Mau maen sama mereka?”Roy mengangkat sebelah alis. “Yah…mereka kan gampang diajak keluar.”“Well, kalau gitu ajak Aya malem mingguan bareng. Gimana kalau have fun bareng di tempat Andre. Bokepnya lagi ke Bali katanya. Masa ngajakin cewek sendiri aja gagal melulu.”Roy mendesah. Kesal! Halah…ngajakin cewek itu keluar udah kayak ngajakin perang Baratayuda. Bejibuuun alasannya. Yang ngerjain proposal lah. Buat timel
Sejak kemarin, Adit jadi sering menghilang ke masjid atau perpustakaan tiap istirahat. Sendirian. Dia bahkan balik lagi seperti dulu saat dia marah ke Aya. Datang setiap mepet bel masuk dan langsung melesat pulang begitu bel pulang. Udah merasa bebas banget sejak kepengursan lepas dari dia. Dia juga makin serius baca buku. Dia bahkan menolak saat diajak main futsal bareng. Alasannya sih nggak masuk akal banget. “Gue mau belajar!” What the hell?!! Sumpah, konyol banget!! Sejak kapan Adit belajar. Otak manusia itu kan kayak windows 10 yang nyimpen semua hal yang dia lihat, processor RAM 8GB, dengan memori 5 tera. Jadi mustahil banget Adit bilang kalau dia mau belajar. “Lo kenapa lagi sih?” Reza menyambangi perpustakan begitu melihat cowok itu tengah bergumul dengan buku…koreksi…komik ding. “Hah? Gue kenapa? Nggak kenapa-napa kok.” Padahal kemarin Reza sudah melihat Aya dan Adit baik-baik aja. Mereka udah
“Kenapa mawar putih?” Aya bersandar di bodi depan mobil Roy. Roy mengajaknya ke Merapi sepulang sekolah. Menikmati angin sore di titik pendakian gunung di Yogyakarta itu. Semburat kekuningan yang menampar pipi Aya membuat wajah bersih gadis itu kelihatan bercahaya. Ya gimana ya, mau ngajak cewek ini dugem keknya juga Aya yang bakal kabur duluan.“Itu tandanya aku respect padamu. Masa’ nggak tau?”“Respect?”Roy mengangguk. Dia mengambil tempat di samping Aya. Melemparkan pandangannya pada sawah yang mulai menghijau di depannya. Beberapa bagian masih disemai malah. Meninggalkan kesan permadani hijau di lumpur coklat. “Mawar merah itu tanda cinta, mawar putih itu tanda penghormatan. Aku salut sama kamu, Ay. Semuanya yang ada dalam diri kamu itu aku suka. Tentang betapa baik, polos dan supelnya dirimu. Aku suka semuanya. Sampai di titik aku sadar betapa beruntungnya aku jadi cowok kamu. T
Kalau boleh milih, Aya ingin sembunyi saja seharian ini dari Roy. Tingkah cowok itu udah kelewatan abnormal. Contohnya saat istirahat pertama ini. Aya mendapatkan satu buket mawar putih dari Cahya.“Dari Roy,” itu kata Cahya saat menyadari wajah cengoh Aya.Langsung saja anak sekelas gempar. “Sejak kapan Roy jadi seromantis itu, woy?”“Ay, sini, deh!” Adit memanggilnya dari pinggir pagar pembatas lantai dua. Dia menunjuk pada Roy dan cs-annya yang tengah melambai dari lantai bawah. Membawakan buket bunga merah dan boneka berbentuk love.Muka Aya memerah malu. Sumpah!! Cowok itu kenapa??? Digigit ujung bibirnya ketakutan. Seumur-umur dia kenal Roy, belum pernah dia ngeliat Roy memperlakukan cewek—koreksi: mantan ceweknya—seperti apa yang dia lakukan ke Aya barusan.“Lo nyantet cowok lo sendiri?” Adit nyaris terbahak melihat tingkah Roy. Tuh, orang kesambet apa
“Lo serius ngomong barusan?” Cahya memastikan lagi tingkah Roy yang aneh. Belum pernah dia ngeliat Roy bela-belain nongkrong di parkiran sekolah dari jam 6 pagi. Mantengin parkiran mortor dan harap-harap cemas kalau ceweknya bakal datang pagi.Roy mengangguk tegas. “Gue ngerasa bersalah banget sama Aya. Selama ini gue sering main dibelakang dia. Mulai sekarang gue mau serius. Bantuin gue ngurusin cewek-cewek gue yang lain ya?”PLAK!!“Shittt!! Aduhhh!! Sakit tau!!” Roy menggerang saat tangan Cahya menamparnya. Berani bener cowok ini nampar gue!! “Lo pasti kesantet, Roy!”Roy menghela napas. Dia tertawa sejurus kemudian.“… Mbak Aya itu mengorbankan semuanya, Kak. Waktu main, waktu hangout cuma buat kerja parttime. Mulai dari jualan pukis, jualan pulsa, ngajar les, sampe sesekali terima orderan desain dari beberapa orang…”“Buat
“Udah, jangan diliatin terus. Entar lama-lama suka lho,” Papa menowel pinggang Adit subuh tadi, saat mengantar ke stasiun. Dia menggoda Adit yang menatap Aya berlari ke sana kemari seperti kelinci hanya untuk mencetak kode booking tiket yang mereka punya. Dasar cewek rempong!“Sama dia?!! Itu nggak akan terjadi, Pa!!” Adit melengos keki.“Apanya yang nggak mungkin. Cowok hanya butuh waktu 8 detik untuk menyukai seseorang, Dit.”“Pokoknya nggak mungkin aku suka sama dia. Dia itu udah punya cowok, Pa. Dan sekalipun dia nggak punya cowok, aku udah ilfeel sama cewek freak kayak dia.”Kata-kata yang Adit ucapkan tadi pagi, seperti menguap begitu mereka berdua mulai duduk di dalam kereta. Adit menggaruk kepalanya setengah gelisah ketika duduk di depan kursi Aya. Padahal tiket bisnis yang dibelikan Papanya seharusnya membuatnya lebih nyaman dibanding saat berangkat kemarin. Tapi entah kenapa dia justru makin nggak nyaman dengan duduk tepat di depan Aya seperti ini. Padahal gadis itu sudah p
“Kenapa? Ada yang salah sama wajahku ya?” tanya Aya polos begitu sadar kalau cowok di depannya menatapnya lama. Adit bahkan nggak bereaksi saat Aya mengulurkan gula-gula kapas padanya.Hembusan napas Adit keluar. “Jangan ngomong kayak gitu ke gue. Terserah lo mau ngomong ke siapapun, tapi jangan ke gue!!”“Why?” “Karena lo nggak tahu, di mana titik ketika kata-kata lo membuat gue….” Adit melengos. Nyebelin banget sih nih anak.“Membuat kamu….?” Bisa menatap lo lebih dari seorang temen.“Udahlah!! Lupain!!!” Adit menyambar gula-gula dari tangan Aya. Dihela napasnya dalam-dalam. Gue positif gilaaa! “Nyobain Kora-kora yuk! Let’s break our adrenalin!”Aya tersenyum sumringah. “Serius?!!”Apa ya…Adit juga nggak tahu kenapa dia punya ide untuk jalan-jalan—jalan-jalan dalam arti yang sebenarnya—sebagai bentuk permintaan maafnya kemarin. Dia nggak minat sebenarnya, apalagi cuma berdua dengan Aya. Salah-salah dikira mereka lagi pacaran pula. Tapi ide jalan-jalan itu lebih baik ketimbang cu
“Aaaaaaaaaaaaaaaa.”Aya memuaskan teriakannya saat roller coaster yang ia naiki berada di titik tertinggi Dufan. Disebelahnya Adit tengah menahan mual dan napasnya secara bersamaan.Tadi pagi, Adit nyamperin Aya di apartemen sebelah dengan tampilan rapi. Dengan polo yang dilapis kemeja dan jins abu-abu gelap. Rambutnya bahkan di gel licin. Dia menyerahkan plastik berisi sarapan dan baju. “Dari bokap gue. Abis ini keluar yuk. Kita masih punya waktu seharian di Jakarta kan?” “Ke mana?” “Terserah. Ke manapun asal nggak nganggur di rumah.” Aya mengiyakan saja saat akhirnya Adit memutuskan untuk menyambangi Dufan. Main aja sih. Sekalian menjajal semua wahana di taman bermain cukup terkenal di Jakarta itu. Tentu saja Papa Adit yang mensubsidi. Katanya sebagai permintaan maaf pada Adit karena harus meninggalkannya demi meeting.Dalam hati kecil Adit, dia memang berniat mengajak Aya keluar jalan-jalan. Dengan atau tanpa subsidi Papanya, Adit bakal mengajak cewek itu hangout. Itung-itung
Sabtu, sebenarnya hanya diisi dengan kegaitan ekstrakulikuler sampai tengah hari. Tapi memang semua siswa SMA PP wajib masuk tanpa kecuali.“Aya nggak masuk?!” Roy langsung dongkol begitu tidak menemukan Aya sepulang sekolah. Ditatap ponselnya sekali lagi. Kok cewek itu nggak ngasih tahu apa-apa kalau dia nggak masuk? pesan yang dari pagi dia kirim pun nggak dibaca sama sekali. Dia kenapa sih?!!“Tapi dia ngasih tahu kalian gitu nggak, kenapa nggak masuk?”Icha yang lagi ngobrol sambil main kartu dengan Reza menggeleng cepat. “Aku chat juga nggak dibales. PMS mungkin. Aya kan kalau mau dapet biasanya pake acara tepar di rumah.”“Ngomong-ngomong, Adit juga nggak masuk lho. Dia udah ngilang dari semalem,” Reza memberi tahu.Roy cuma nyinyir menanggapi. Dia mah nggak ambil pusing soal Adit. Mau cowok itu tewas diterkam harimau juga Roy nggak bakal peduli. “Paling dia nyari wangsit biar bisa n
Meski malam, udara Jakarta tidak pernah kurang dari 32 derajat Celcius. Panas, pengap dan gerah banget. Nggak ada bedanya antara malam dan siang. Itulah alasan kenapa Adit dan dua adiknya nggak mau hidup di Jakarta meski ayah mereka kerja di kota megapolitan itu. Meski begitu, Mama dan Wisnu yang paling sering ke Jakarta buat nengokin Papa kalau laki-laki itu nggak bisa pulang.Cowok itu kini mematung di balkon mungil apartemen ayahnya. Berdiri dengan secangkir caffe latte tanpa krim di tangan. Hasil delivery yang dipesan ayahnya bersama dengan sekotak pizza tadi. Sebenarnya Adit berniat tidur setelah mandi, secara tubuhnya sudah berontak menyuruhnya merebahkan diri. Tapi pikirannya melayang ke mana-mana. Apalagi duduk di sebelah Papanya membuat Adit ingin mengobrol banyak dengan laki-laki itu. Menceritakan perjalanan penuh adrenalin dari Yogja dan Jakarta bareng Aya, termasuk kelelahannya mendengarkan kisah hidup Aya yang menurutnya benar-benar dramatis. Rasan