Share

Bab 2

Ibuku tidak bertanya apakah aku bertengkar dengan Alvin, melainkan hanya memandang wajahku dengan penuh kasih sayang, lalu bertanya dari mana darah itu berasal.

Tatapan matanya dipenuhi ketakutan yang sudah familier.

Ini adalah sebuah jejak dari kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan ayah kandungku sebelum ibuku menikah lagi.

Aku tidak ingin membuatnya khawatir, jadi aku hanya tersenyum sambil menjelaskan bahwa ini hanya karena panas dalam.

Baru setelah itu ibuku merasa lega, lalu mendesakku untuk segera beristirahat.

Aku kembali ke kamar tidur sambil menahan rasa sakit. Aku berbaring di tempat tidur dengan keringat dingin yang terus mengucur dari dahiku.

Aku menelan beberapa tablet pereda sakit, lalu dengan paksa menutup mata, berusaha agar bisa tertidur.

Saat tertidur, aku tidak merasakan sakit lagi.

Dalam mimpiku, tidak ada Alvin yang galak, juga tidak ada ibuku yang selalu menangis.

Di tengah kabut kesadaranku, aku seolah kembali ke masa-masa paling manis bersama Alvin.

Waktu itu, aku masih tinggal di daerah kumuh di bagian selatan kota. Kami berdua sedang menjalani cinta yang paling polos.

Kami berjalan berdua, saling bergandengan tangan, serta berkeliaran tanpa tujuan di sepanjang jalan.

Aku tidak menyebutkan soal masalah kemiskinan keluargaku, sementara dia pun tidak pernah mengatakan kalau dia berasal dari keluarga kaya.

Kami berdua adalah anak-anak dari keluarga yang tidak bahagia, yang saling menghibur serta menghangatkan satu sama lain.

Dia bilang bahwa suatu hari nanti dia akan membangun segalanya dari nol, agar ayahnya bisa memandangnya dengan tatapan kagum.

Aku bilang bahwa aku ingin ibuku bercerai, menjauh dari ayahku yang suka melakukan kekerasan.

Saat aku mengatakan ini, remaja pendiam itu memandangku dengan mata penuh kasih sayang.

Dia mengangkat tangannya untuk menyeka air mata di sudut mataku, lalu dengan kaku memelukku. Dia mengucapkan janjinya sambil menepuk-nepuk pundakku.

"Vina, selama ada aku di sini, aku nggak akan pernah membiarkan kamu merasa takut lagi."

Aku tidak tahu bagaimana menggambarkan perasaanku saat itu. Hanya saja, rasanya hatiku begitu sesak.

Pada hari itu, kemeja Alvin basah oleh air mataku.

Aku pikir kami akan baik-baik saja selamanya. Namun, dia tiba-tiba memutuskan hubungan kami.

Aku menolak untuk putus darinya, bertanya alasannya dengan mata memerah.

Dia bilang bahwa dia sudah tidak menyukaiku lagi, sesederhana itu.

Aku tidak bisa menerima alasan yang begitu sederhana ini, jadi aku mulai mengejarnya lagi.

Aku memetik bunga mawar liar dengan tangan sendiri. Meski jariku terluka hingga berdarah, aku tetap melakukannya tanpa berhenti.

Aku mengantri berjam-jam di bawah terik matahari demi membeli minuman dari toko terkenal. Aku menikmatinya meski merasa lelah.

Akhirnya, semua orang tahu bahwa di Universitas Harmoni ada Vina yang tidak tahu malu.

Mereka semua bertaruh kapan kami akan kembali bersama.

Namun ....

Ketika Alvin tahu bahwa calon ibu tirinya adalah ibuku ....

Aku tahu dengan sangat baik.

Kami tak akan pernah bisa bersama lagi.

Tidurku sebenarnya sangat nyenyak, kalau saja aku tidak terbangun karena rasa sakit.

Aku memegang perut kananku yang terasa tidak nyaman dengan sangat erat, begitu kuat hingga hampir membuat kulitku tergores.

Biasanya, cara ini bisa sedikit meredakan rasa sakitnya, tapi kali ini tidak memberikan pengaruh apa pun.

Dengan wajah pucat, aku sangat ingin meminum segelas air hangat.

Namun, aku tidak menyangka bahwa Alvin yang seharusnya sudah lama meninggalkan rumah, sedang duduk di sofa.

Lampu di ruang tamu tidak menyala, hanya ada cahaya lampu jalan dari luar yang membuatku bisa melihatnya dengan samar.

Saat itu, Alvin sedang duduk bersandar di sofa dengan tenang. Jarinya yang panjang memegang sebatang rokok yang masih menyala dengan cahaya merah.

Sepertinya dia mendengar suara langkahku, karena dia langsung melirikku dengan tatapan tidak sabaran.

"Vina, apa kamu ingin berpura-pura jadi hantu malam-malam begini untuk menakutiku sampai mati?"

"Maaf, aku hanya ingin minum air."

Aku mengerucutkan bibirku, lalu memalingkan wajah, tidak ingin pria itu melihat betapa menyedihkannya diriku.

Namun, sepertinya dia memang ingin mempersulitku.

Alvin berdiri, berjalan ke arahku, lalu berkata, "Keluarga Setio bukanlah keluarga yang pelit. Kalau kamu mau berpura-pura menyedihkan untuk mencari simpati, hanya ayahku yang akan tertipu."

Alvin mengerutkan kening, memandang tubuhku yang kurus kering dengan tatapan merendahkan, lalu berujar, "Kalau berat badanmu terus turun begini, nanti kamu dan peti matinya mungkin hanya seberat lima kilogram."

Aku terdiam sejenak, lalu menunjukkan senyum simpul.

Kata-katanya itu benar-benar akan menjadi kenyataan.

Aku memang hampir mati.

"Ya, aku nggak akan diet lagi," ujarku.

Aku terdiam lama, akhirnya memilih untuk tidak memberitahunya tentang penyakitku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status