Share

Bab 3

Bagaimanapun juga, dia sangat berharap aku mati.

Jadi aku akan memberinya kejutan terakhir.

"Siapa yang peduli kamu mau diet atau nggak? Aku malah berharap kamu mati kelaparan!" kata Alvin.

Alvin mendengus pelan, melangkah melewatiku untuk menuangkan segelas air hangat, lalu meletakkannya di atas meja.

"Melihatmu benar-benar merusak suasana. Andai aku tahu, aku nggak akan pulang!"

Dia terlihat sangat muak berada di ruangan yang sama denganku. Bahkan air yang baru saja dia tuang pun tak diminumnya.

Aku memandangnya saat dia mengambil jasnya, berjalan cepat keluar dari vila.

Dia membenciku seperti seorang musuh bebuyutan, menghindariku seperti menghadapi harimau buas.

Sudah enam tahun aku menjalani kehidupan seperti ini.

Apa yang aku andalkan untuk bisa melewati semua ini?

Melihat riak di gelas kaca, aku tak bisa menahan diri untuk menyesapnya sedikit.

Rasanya masih hangat seperti biasa.

Pada saat itu, penglihatanku menjadi buram.

Sebenarnya aku sendiri pun tidak tahu.

Aku tidak bisa memahami mengapa aku terus mengejar Alvin meski setelah kami putus.

Mungkinkah itu karena tangannya yang menolongku dari lumpur, atau karena dia adalah tempat berbagi cerita di tengah kesulitan?

Alvin memberiku kebahagiaan selama setahun. Ini membuatku bertahan melewati enam tahun penderitaan.

Aku bahkan mulai meragukan diriku sendiri. Meski bukan karena kanker hati yang tiba-tiba ini, mungkin aku benar-benar akan berhenti mencintainya.

Namun, meski aku akan segera mati, aku tetap ingin terus mencintainya.

Seolah-olah aku sedang menenun mimpi manis untuk diriku sendiri.

Di jalan menuju alam baka, aku masih bisa dengan bangga berkata ....

Aku pernah memiliki cinta yang paling tulus.

Aku bertemu Alvin lagi di departemen kebidanan rumah sakit.

Aku menemani sahabatku, Angel Wijaya, untuk pemeriksaan kehamilan.

Sedangkan pria itu, dia bersama dengan tunangannya, Ajeng Gunawan.

Aku merasa seperti tikus selokan yang takut pada cahaya. Aku berusaha keras mencari tempat untuk menyembunyikan diri.

Namun, gerakanku begitu canggung sehingga orang-orang di sekitarku menatapku seperti sedang melihat orang gila.

Beberapa orang bahkan sengaja berjalan memutar hanya untuk menghindariku.

Namun, aku tidak peduli dengan tatapan-tatapan aneh dari orang-orang. Pikiranku hanya dipenuhi dengan bayangan Alvin yang tersenyum lembut pada Ajeng.

Ada senyum bahagia yang sudah lama tidak aku lihat di wajahnya.

Dia selalu memasang ekspresi dingin di wajahnya, serta berbicara dengan nada yang serius.

Aku dulu berpikir bahwa setelah bekerja, semua orang akan berubah menjadi dingin seperti itu.

Namun, ternyata aku salah.

Alvin hanya bersikap seperti itu padaku.

Aku mengangkat kepala untuk melihat apakah dia sudah pergi, tetapi aku justru bertemu dengan tatapan penuh selidik dari Alvin.

Dia mengerutkan kening, lalu berjalan dengan cepat ke loket lain.

Dia melihatku, tapi dia tidak menghampiriku.

Aku selalu merasa bahwa diriku adalah orang yang sangat canggung.

Aku tidak suka mengambil inisiatif mengungkapkan apa yang aku inginkan.

Namun, ketika aku benar-benar tidak mendapatkan apa pun, aku hanya akan menyimpan rasa kesal sendirian dalam diam.

Bahkan ibuku sendiri tidak menyadari hal ini. Namun, selama setahun aku pacaran dengan Alvin, dia selalu memperlakukanku seperti seorang putri.

Dia memanjakan kecanggunganku, menempatkan segala sesuatu yang aku inginkan di depanku tanpa aku harus mengatakannya.

Awalnya, itu adalah boneka Barbie yang tidak pernah aku miliki sejak kecil. Kemudian, gaun-gaun putri yang indah serta berkilauan ....

Bagaimana mungkin aku bisa melupakan seorang pemuda yang pernah mencintaiku sepenuh hati?

Perutku mulai terasa sakit lagi.

Angel sudah selesai dengan pemeriksaannya. Ketika melihatku duduk di bangku dengan wajah pucat, dia mulai menangis lagi dengan penuh empati.

"Vina, kamu harus bertahan. Bayiku masih harus memanggilmu Bibi."

Aku menatap iri pada perutnya yang sudah mulai membesar. Kemudian, aku melirik ke perutku yang masih datar.

Dulu, di sini juga pernah ada benih kehidupan.

Sayangnya, dia tidak sempat tumbuh di dalam rahimku.

"Angel, jangan menangis. Ibu hamil nggak boleh menangis."

Aku mengulurkan tangan untuk menyeka air matanya, lalu berujar, "Demi panggilan Bibi ini, aku akan terus hidup beberapa tahun lagi."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status