Share

Bab 5

Ini adalah satu-satunya foto kami.

Aku akan membakarnya untuk diriku sendiri setelah mati.

Bagaimanapun juga, jika bayi kami yang ada di jalan menuju akhirat ingin melihat seperti apa ayahnya, aku bisa menunjukkan foto ini.

Aku akan memberitahunya bahwa dia punya sepasang orang tua yang sangat mencintainya, serta membesarkannya dalam cinta.

Ketika aku melihat Alvin lagi, dia sudah kembali ke sosoknya yang anggun dan sopan.

Dia dengan cekatan berbicara dengan para tamu, sesekali memberikan camilan untuk Ajeng dengan penuh perhatian.

Wanita itu terlihat tidak suka dengan suasana seperti itu. Raut wajahnya tampak tidak sabaran.

Alvin membungkuk untuk berbisik di telinganya. Setelah itu, wajah wanita itu yang tadinya penuh kekesalan langsung berubah ceria.

Aku pikir Ajeng akan kembali untuk beristirahat, tetapi ternyata dia langsung berjalan ke arahku.

"Kamu pasti Vina, 'kan? Alvin khawatir aku merasa bosan, jadi dia memintaku untuk menemanimu."

Ajeng tersenyum cerah seperti mawar yang tumbuh dalam rumah kaca, tanpa ada beban sedikit pun.

Namun, pandanganku secara alami tertuju pada perutnya yang mulai sedikit membuncit.

"Nona Ajeng, selamat atas pertunanganmu dengan kakakku. Semoga kalian selalu bahagia dan cepat mendapatkan momongan."

Aku pikir ini adalah ucapan selamat yang menyenangkan, tetapi wajahnya yang tadinya ceria langsung berubah muram.

"Bagaimana kamu tahu kalau aku hamil? Apakah Alvin yang memberitahumu? Apakah dia juga memberitahumu tentang ini?"

Wajahnya penuh kemarahan. Dia segera berlari ke arah Alvin sambil mengangkat gaunnya.

Aku tertegun melihat sikapnya yang penuh kemarahan, hanya bisa berbisik pelan untuk meminta maaf.

Aku tidak bermaksud jahat.

Aku hanya berpikir bahwa akhirnya Alvin akan memiliki keluarga hangat yang selalu dia impikan.

Aku seharusnya merasa bahagia.

Entah apa yang dikatakan Ajeng pada Alvin, tapi mereka mulai bertengkar hebat di balkon.

Tak lama kemudian, Alvin menghampiriku, menarik tanganku, lalu membawaku ke tempat yang sepi.

"Vina, apa kamu begitu nggak sabar mau membuatku malu?" tanya pria itu.

Aku memandangnya dengan penuh kebingungan.

Kesalahan apa lagi yang sudah aku lakukan?

"Aku sudah meminta secara khusus agar kamu berdandan cantik. Apa begini caramu membalaskan dendam padaku?"

Pandangan merendahkannya tertuju padaku, lalu dia berkata, "Apa Keluarga Setio kekurangan makanan atau pakaian untukmu?"

Aku menundukkan kepala dengan rasa bersalah.

Namun, aku sudah berusaha sebaik mungkin.

Tidak ada gadis yang tidak suka tampil cantik.

Hanya saja, kanker hati stadium akhir ini seperti makhluk yang rakus, tak pernah merasa puas.

Ia menguras semua energiku, membuat tubuhku yang dulu penuh semangat menjadi kurus kering.

Aku mulai sering merasa kedinginan.

Bahkan mengenakan jaket tebal pun tidak bisa menghangatkanku, apa lagi gaun malam yang memperlihatkan lenganku.

"Selain itu, jangan pernah mencoba mendekati Ajeng lagi! Meski kamu berusaha untuk menyenangkannya, aku nggak akan pernah menyukaimu!" tambah Alvin.

Aku tahu.

Aku tahu kamu tidak menyukaiku.

Aku tahu kamu sudah punya orang yang kamu cintai, tapi mengapa kamu harus terus menekankan hal itu di hadapanku?

Aku merasa seolah terjebak dalam badai yang tak pernah berakhir. Rasa sakit yang datang terus mengiris tubuhku seperti ribuan pisau yang tajam, membuatku sulit bernapas.

"Baik ...."

"Aku nggak akan mengganggumu dan Ajeng lagi."

"Aku akan menuruti perintahmu, pindah dari rumah Keluarga Setio. Aku nggak akan muncul di hadapanmu lagi."

Aku bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya aku katakan. Aku hanya terus membuat janji dan meminta maaf.

"Lebih baik kamu menepati ucapanmu. Melihatmu saja sudah membuatku ...."

Belum selesai kata-katanya, Alvin mengernyitkan kening sambil bertanya, "Vina, kenapa kamu mimisan?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status