"Pa, aku tidak mau pa. papa tahu kan aku ini masih belum lulus kuliah? usia ku masih sangat muda untuk menikah. Aku tidak mau paa..." kata Marsha dengan nada memohon pada ayahnya.
"Papa tidak mau tahu, kau harus menikah dengan William. Anak sahabat papa itu bukan pria sembarangan Marsha, papa memberikan masa depan yang baik untuk mu!" seru Mario dengan nada penekanan dan tidak ingin di bantah.
"Ma, bantuin aku ma. Jangan diam saja ma, aku tidak mau menikah muda mah," bujuk Marsha dengan penuh permohonan pada Clara.
"Sayang, apa yang di katakan papa itu benar. Kau pasti akan bahagia dengan William. Dia anak dari Paman Lukas. kau tahu kan Paman Lukas pemilik Geovan Group? masa depan mu akan sangat baik jika kau menikah dengan William sayang," ujar Clara dengan suara lembut.
"Kenapa mama sama saja dengan papa!" ucap Marsha ketus.
"Marsha, meskipun nanti kamu menikah dengan William. Kau akan tetap bisa melanjutkan kuliah mu, jadi papa tidak ingin mendengar alasan apapun dari mu. Kau akan tetap menikah dengan William!" kata Mario tegas. Kemudian dia langsung meninggalkan putrinya itu.
Marsha menghela napas dalam, percuma saja membantah ayahnya. Itu tidak akan pernah berhasil untuknya.
Marsha Nicholas seorang gadis yang sangat cantik dan periang. Marsha adalah mahasiswi jurusan bisnis di salah satu universitas ternama di Toronto, Kanada. Di kampus Marsha sangat terkenal, bahkan banyak pria yang menganggumi Marsha. Marsha memiliki tubuh yang sangat ideal, tubuhnya ramping dan kulitnya putih.
Ayah Marsha berasal dari Kanada sedangkan ibunya asli orang indonesia. Marsha sudah tiga tahun tinggal di Kanada, sebelumnya Marsha bersekolah di Indonesia.
Marsha terpaksa meninggalkan Indonesia karena keinginan Mario membuka perusahaan di Kanada. Mario adalah pengusaha property yang cukup sukses. Sedangkan Clara sang ibu sering membantu perusahaan Mario.
Jika boleh memilih, Marsha lebih suka tinggal di Indonesia dari pada di Kanada. Masakan Indonesia adalah makanan kesukaan Marsha. Tapi Mario dan Clara melarang Marsha tinggal sendiri di Indonesia. Mungkin karena Marsha adalah anak tunggal jadi kedua orang tuanya banyak sekali melarang Marsha.
Tahun ini usia Marsha baru saja menginjak usia ke 20 tahun, Saat ini Marsha masih baru semester lima. Tapi ayahnya sudah berniat menjodohkannya dengan anak sahabatnya. Marsha memang mengenal sahabat dari ayahnya. Siapa yang tidak mengenal pemilik Geovan Group, perusahaan terbesar yang memiliki banyak anak perusahaan yang tersebar di berbagai negara.
Marsha memang tidak pernah mengenal sosok William putra dari sahabat ayahnya. Karena memang ayahnya mengatakan jika William baru saja pindah dari Italia ke Kanada. Entah harus di katakan beruntung atau sial karena memang Marsha tidak perduli dengan kekayaan seorang William Geovan.
Marsha ingin sekali menolak, tapi dia tidak bisa melakukan apa pun. Alasan Marsha ingin menolak adalah karena sudah ada pria yang telah berada dihatinya. Pria bernama Raymond Jefferson yang sudah sejak dulu selalu ada di hari Marsha. Pria yang selalu Marsha tunggu. Pria itu juga yang Marsha inginkan menjadi suaminya. Namun kini, Marsha tidak tahu apa dia mampu melewati ini semua.
***
Marsha duduk di sebuah kafe dekat dengan kampusnya. Pagi ini Marsha datang lebih awal dari sebelumnya. Pikirannya terus memikirkan banyak hal tentu tentang perjodohan yang dia sediri tidak pernah menginginkan itu.
"Marsha," Suara seorang perempuan memanggil nama Marsha dengan cukup keras. Hingga membuat Marsha yang terngah duduk, menoleh ke sumber suara itu. Marsha tersenyum tipis saat melihat sosok perempuan berjalan menghampirinya, "Karin?" sapa Marsha.
"Marsha kenapa kau disini? kenapa tidak masuk kelas?" tanya Karin, lalu dia duduk di hadapan Marsha.
"Tidak rin. nanti saja," jawab Marsha singkat.
Karin mengerutkan dahinya, lalu dia menatap lekat Marsha. "Kau kenapa? Kau ada masalah?"
Marsha menghela nafas dalam. "Apa kau tahu ayah ku akan menjodohkan ku dengan anak dari sahabatnya."
"Apa? Dijodohkan? Kau serius?" tanya Karin kembali yang terkejut mendengar Marsha akan dijodohkan.
Marsha mengangguk singkat. "Ya, dan itu terlihat sangat bodoh bukan? Diusiaku yang masih 20 tahun aku harus menikah. That is crazy!"
"Lalu bagaimana dengan kuliah mu?" tanya Karin pelan. Dia melihat dengan jelas wajah Marsha yang terlihat begitu muram.
"Ayahku mengatakan, aku akan tetap berkuliah meski aku sudah menikah nanti," balas Marsha.
Karin menganggukan kepalanya. "Apa kau sudah mengenal siapa yang akan menjadi suami mu?"
"Anak dari pemilik Geovan Group," jawab Marsha dengan helaan napas berat.
"Geovan Group? Kau sedang tidak bercanda kan Marsha?" Kali ini Karin benar-benar terkejut mendengar ucapan Marsha.
Marsha berdecak kesal. "Untuk apa aku bercanda Karin! Kau yang benar saja!"
"Apa kau tahu itu adalah perusahaan besar. Artinya kau tidak perlu lagi itu menghemat uang jajan dari orang tua mu. Sudah pasti suami mu akan memberikan uang bulanan yang besar pada mu," kata Karin dengan antusias saat mendengar sahabatnya itu akan menikah dengan anak pemilik dari Geovan Goup.
"Kau ini sama saja dengan orang tua ku!" seru Marsha kesal. "Aku tidak perduli dengan Geovan Group. Meskipun itu adalah perusahaan besar tapi aku tetap tidak mau dijodohkan!" lanjutnya dengan tegas.
Karin mengela napas berat. "Tapi kau tahu bukan ayah mu itu sama kerasnya dengan mu, percuma saja kau menolak aku yakin ayah mu sudah pasti akan memaksa mu untuk menikah."
"Kau benar Karin, tapi bagaimana kau tahu aku hanya mencintai Raymond," kata Marsha dengan wajah yang muram. Dia langsung meletakan kepalanya di atas meja.
Karin terdiam, lalu dia menyentuh punggung tangan sahabatnya itu. "Marsha, menurut ku perasaanmu dengan Raymond hanya perasaan yang tidak serius. Lagi pula dulu Raymond pernah menyatakan perasaannya tapi kau tolak Jadi lupakanlah Raymond dan mulailah kehidupanmu dengan pria lain."
Marsha mendengus kesal. "Ini semua karena ayahku yang melarangku memiliki kekasih! jika tidak sudah sejak dulu Raymond menjadi kekasihku."
Karin menggeleng pelan, lalu menarik napas dalam dan menghembuskan perlahan. "Marsha, dengarkan aku. Menurutku tidak ada salahnya kau menemui anak dari pemiliki Geovan Group, siapa tahu anak dari Geovan Group itu pria yang tampan. Atau mungkin bisa jadi dia lebih tampan dari Raymond."
"Aku tidak perduli Karin! intinya aku tidak mau menikah di usia muda. Bagaimana kalau orang mengira aku hamil di luar nikah?" dengus Marsha kesal.
Karin berdecak pelan. "Kau ini bodoh atau apa Marsha! we are living in Kanada not Indonesia anymore!" tukas Karin menekankan. "Di Kanada orang tidak perduli kau hamil di luar nikah atau tidak."
"Tapi tetap saja, kau tahu teman-teman kita banyak yang di Indonesia. Aku tidak ingin mereka berpikir tidak-tidak tentangku!" balas Marsha yang begitu frustasi. Dia langsung mengacak-ngacak rambut panjangnya.
"Sudahlah Marsha, teman-teman kita pasti tahu bagaimana sifatmu. Kau bukan gadis seperti itu," kata Karin yang berusaha menenangkan Marsha. "Menurutku, lebih baik kau jalanin saja dulu, bahkan kau belum bertemu dengan pria itu bukan?"
"Ah, aku tidak tahu lagi..." Marsha kembali membenturkan kepalanya di atas meja.
***
Hi, ini kisah awal orang tua Sean, Miracle, Selena, dan Dominic. (Yang baru tayang Sean dan Miracle, Selenam dan Dominic soon yaa)
Follow I*: abigail_kusuma95 (Boleh DM aku misalkan bingung.)
Selamat membaca :)
Marsha yang baru saja kembali dari kampus. Dia memutuskan mendengarkan saran dari Karin. Paling tidak Marsha bertemu dahulu dengan anak dari Geovan Group. Akhirnya Marsha mengatakan pada kedua orang tuanya jika ia mau untuk di pertemukan terlebih dahulu dengan sosok William Geovan.Kedua orang tuanya pun sangat bahagia dengan keputusan Marsha ini. Tapi Marsha sudah mengatakan pada orang tuanya, jika dia hanya ingin bertemu terlebih dahulu. Marsha ingin tahu apakah pria yang di jodohkan padanya menyukai perjodohan ini. Marsha sangat berharap pria itu tidak menyukai perjodohan ini.Entah harus bicara apa dengan Raymond. Karena Raymond sebenarnya tahu jika Marsha menyukai Raymond. Hanya saja Marsha menolak Raymond karena larangan dari orang tuanya, yang tidak memperbolehkan dirinya memiliki seorang kekasih.Raymond pernah mengatakan pada Marsha, jika dia akan menunggu Marsha hingga Marsha siap untuk menerima dirinya. Dan Marsha sudah berencana menerima Raymond saat dirinya lulus kuliah n
Siang itu William baru saja kembali dari Italia. William memegang perusahaan keluarganya yang berada di Italia. Karena keinginan ayahnya untuk ia pindah ke Kanada tahun ini. Dengan terpaksa William pun akhirnya kembali ke Kanada."William," panggil Lukas saat melihat William baru saja tiba di rumah.William langsung menoleh dan menatap Lukas "Ya, ada apa?""Kemarilah, ada hal penting yang harus papa bicarakan dengan mu," ujar Lukas dan William langsung berjalan mendekat ke arah orang tuanya."William, apa kau masih ingat dengan sahabat lama papa yang bernama Mario Nicholas?" tanya Lukas menatap lekat William."Ya, aku mengingatnya. Paman Mario yang istrinya adalah orang Indonesia itu?" tanya William. Lukas mengangguk."Papa sudah memutuskan akan menjodohkanmu dengan anak dari sahabat papa itu, namanya Marsha. Papa yakin kau pasti akan menyukai gadis itu." Lukas berkata dengan yakin."Tunggu, maksud papa jadi papa memintaku kembali ke Kanada hanya karena papa ingin menjodohkanku dengan
Marsha mematut cermin, kini dirinya tengah di rias oleh make up artist yang telah di sewa oleh ibunya. Setelah selesai di make up, Marsha langsung memakai strap dress yang telah di siapkan oleh ibunya.Saat Marsha sudah mengganti pakainnya dengan gaun berwarna navy yang sangat kontras di kulit putih miliknya, Clara dan Rossa penata riasnya sangat terkejut saat melihat Marsha yang saat ini jauh lebih dewasa. Marsha terlihat sangatlah cantik dan anggun."Nona Marsha, anda sangat cantik," puji Rossa."Sayang, mama tidak menyangka putri mama sangatlah cantik," kata Clara, dia tidak berhenti menatap putrinya yang terlihat sangat cantik hari ini.Marsha hanya memutar bola matanya malas. Sangat menyebalkan hanya bertemu dengan pria yang di jodohkan, dia harus di rias seperti ini."Rossa, bisa tinggalkan aku sebentar dengan putri ku?" pinta Clara."Baik nyonya," Rossa langsung berjalan meninggalkan Clara dan Marsha.Clara melangkah mendekat ke arah Marsha, lalu dia mengelus dengan lembut pipi
William kembali menatap Marsha yang tengah mengalihkan pandangannya, jika di lihat-lihat memang Marsha adalah gadis yang sangat cantik. Itulah yang di pikir oleh William, Tapi tetap saja, William tidak pernah memiliki pasangan seorang gadis kecil seperti Marsha."Jadi kau ini tidak suka dengan perjodohan ini?" tanya William kembali."Tentu, jika aku bisa melarikan diri dan menghindar dari perjodohan ini. Percaya lah aku akan melakukannya," jawab Marsha.William menyeringai. "Good, kalau begitu kita buat kesepakatan.""Kesepakatan?" Marsha mengerutkan dahinya. Dia sedikit bingung dengan ucapan William."Ya, kesepakatan. Kita akan tetap menikah. Dan berpura-pura kita menerima perjodohan ini, aku akan membuat perjanjian besok untuk kita. Besok pagi kau ke kantor ku. Aku akan memberikan surat perjanjian itu pada mu," jelas William.Mendengar ucapan William membuat Marsha tersenyum. "Setuju! tentu aku menyetujuinya!""Allright, sekarang berikan nomor ponsel mu." William menyerakan ponsel m
Marsha mendengus tak suka. "Aku tidak perduli dengan mu yang tidak tertarik. Tapi usia ku sudah 20 tahun. Bukan gadis kecil lagi!" "Terserah, lebih baik kau tanda tangan." William menyerahkam pena pada Marsha."Ya," Marsha mengambil pena yang ada di atas meja dan langsung menandatangani surat perjanjian itu. "Sudah. " Marsha memberikan surat perjanjian pada William."William, aku ingin bertanya sesuatu pada mu," ucap Marsha setelah menyerahkan surat perjanjian itu. William menatap lekat Marsha. "Apa yang ingin kau katakan?" "Hem.. begini apa aku boleh memiliki kekasih?" tanya Marsha hati-hati."Tidak," jawab William dingin.Marsha mendelik, dia menatap tajam William. "Kenapa aku tidak boleh memiliki kekasih?" "Aku tahu kau ini belum pernah memiliki kekasih bukan? Jika sampai orang tuamu tahu kau memiliki kekasih. Lalu kau kenapa-kenapa mereka akan menyalahkanku. Aku tidak mau di salahkan atas perbuatan bodohmu!" tukas William dingin."CK! aku ini bukan anak kecil lagi. Aku bisa m
William menyandarkan punggungnya di kursi. Memejamkan mata lelah. Pikirannya kini tidak bisa berpikir jernih. Tujuannya kembali ke Kanada, hanya untuk memimpin perusahaan tapi dia harus di hadapkan dengan kenyataan harus menikahi wanita yang bahkan dia tidak mengenal wanita itu. Hingga detik ini, William masih terus memikirkan cara bagaimana dirinya harus menjelaskan pada Alice. Tidak mungkin William membiarkan kekasihnya harus terluka karena ini. Terdengar suara dering ponsel membuat William menghentikan lamunannya. William membuka matanya, dia mengambil ponselnya yang berada di atas meja. William membuang napas kasar, ketika menatap ke layar tertera ibunya menghubungi dirinya. Tidak ada pilihan lain, tidak mungkin William tidak menjawab panggilan itu. William menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan, sebelum kemudian meletakan ke telinganya. "Ya?" jawab William saat panggilannya sudah tersambung. "William, apa kau sibuk?" tanya Veronica dari seberang line. "Tidak, ada apa
Marsha mematut cermin, kini tubuhnya sudah terbalut dengan gaun berwarna merah lengan panjang. Gaun ini sungguh indah dan berkelas. Tubuh Marsha terlihat sempurna saat memakai gaun ini. Gaun lengan panjang yang memperlihatkan punggung mulus milik Marsha ini memang sangat menawan.Gaun pemberian Clara sang ibu, harus Marsha akui ibunya memiliki selera yang sangat berkelas dalam fashion. Setiap gaun yang dipilihakan oleh Clara, membuat Marsha terlihat dewasa dan sangat cantik.Marsha mengambil clutch di atas meja rias, dia kembali menatap cermin memastikan tidak ada yang kurang dari dirinya. Meski hanya bertemu dengan William, tapi Marsha selalu ingin tampil sempurna di mana pun dia berada. "Oh sweetheart, you're looking wonderfull," seru Clara dengan tatapan kagum ketika melihat Marsha menghampirinya. "Marsha, kau tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik," Mario mengusap rambut putrinya itu. 'Sayangnya aku sudah berdandan cantik hanya pergi dengan William. Harusnya jika sudah berdan
Sinar matahari pagi bersinar begitu cerah. Kini Marsha sudah berada di kampus, dia lebih menyukai datang ke kampus lebih awal. Sejak dirinya akan dijodohkan dengan William, membuat dirinya selalu ingin datang ke kampus lebih awal. Marsha duduk di taman sembari menikmati cuaca pagi yang begitu menyejukan. Musim semi adalah musim terbaik bagi Marsha. Hembusan angin begitu menenangkan. Marsha memejamkan mata sebentar, menikmati cuaca yang begitu indah. "Marsha?" panggil Karin, saat dia melangkah menuju taman dan mendapati sahabatnya tengah berada di taman.Marsha membuka matanya, dia mengalihkan pandanganya. Lalu menatap Karin yang duduk di sampingnya."Kau tidak masuk kelas?" tanya Marsha. "Tidak, nanti saja," jawab Karin. "Kau kenapa datang ke kampus Marsha? pernikahanmu sebentar lagi. Apa kau tidak melakukan persiapan?"Marsha mendesah pelan."Persiapan apa yang kau maksud? Semua telah diatur, aku tidak perlu melakukan persiapan." "Aku lupa kalau semua telah diatur," jawab Karin de
Pesawat yang membawa William dan Marsha, telah mendarat di Bandar Udara Internasional Malpensa. Kini William dan Marsha turun dari pesawat, mereka berjalan keluar dari pesawat, menuju lobby. Sebelumnya, William sudah meminta sopir dari perusahaan kakeknya yang ada di Milan untuk menjemput. Terlihat Marsha yang tampak begiti kelelahan. Marsha terus memeluk lengan William, menyandarkan kepalanya di lengan kekar sang suami. Ketika sudah tiba di lobby, William dan Marsha melihat sopir sudah menjemput mereka. Sang sopir langsung menundukan kepalanya, menyapa William dan Marsha. Kemudian, William dan Marsha masuk ke dalam mobil. Kini mobil yang membawa William dan Marsha, mulai berjalam meninggalkan lobby bandara. Sepanjang perjalanan, Marsha menyandarkan kepalanya di bahu William. Berkali-kali William menawarkan untuk memanggil dokter, tapi istrinya tida pernah mau. Ya, Marsha saat ini hanya ingin segera tiba di hotel, dan langsung beristirahat. "Marsha, apa besok kau tidak usah datang
Waktu menunjukan pukul tujuh pagi, Marsha sudah bangun lebih awal. Ya, pagi ini Marsha harus bersiap-siap karena hari ini dia dan William akan terbang ke Milan. Sungguh, suaminya itu sangat mengejutkannya. Marsha bahkan belum menyiapkan apapun. Beruntung, William sudah menyiapkan hadiah pernikahan Orina dan Antonio, jika belum, sudah pasti dia akan kesal karena semuanya harus terburu-buru. "Sudah semua belum ya?" gumam Marsha seraya mengetuk pelan dagunya dengan telunjuknya. Tatapannya, mentap barang-barang pribadi miliknya dan William. Khusus keberangkatan hari ini, William memutuskan untuk tidak membawa Sean. Tadi pagi, Sean sudah dititipkan pada Veronica dan Lukas. William sengaja tidak membawa Sean, karena putranya itu baru masuk sekolah. Tidak hanya itu, tapi beberapa minggu terakhir, Sean akan banyak berlajar bahasa asing. Itu yang membuat William dan Marsha tidak mungkin membawa Sean. Mengingat pendidikan Sean jauh lebih penting. "Astaga, aku belum membawa perawatan kulit."
"Tuan William, aku rasa kita bisa membahas kerja sama bisnis," ujar George sambil menatap William yang berdiri di hadapannya. William tersenyum tipis. "Ya, aku rasa itu bukan ide yang buruk. Kita bisa membahas kerja sama." "Nyonya Sofia, Boleh aku menggendong Aurora?" pinta Marsha yang sudah sejak tadi sangat gemas pada bayi perempuan yang digendong Sofia. "Tentu Boleh, Nyonya Marsha..." Sofia langsung memberikan Aurora pada Marsha. Dengan wajah yang begitu bahagia Marsha menggendong Aurora, dia memberikan banyak kecupan pada bayi perempuan yang sangat cantik itu. "Mommy... Mommy menggendong siapa?" Sean yang tadi tengah bermain dengan Lea, dia langsung menghampiri Marsha yang tengah menggendong seorang baik. Marsha mengalihkan pandangannya, melihat Sean yang kini berada di hadapannya. Kemudian dia menundukan tubuhnya seraya berkata, "Sean, apa bayi perempuan ini sangat cantik?" tanyanya dengan lembut pada putranya. Sean mengangguk, lalu dia membawa tangan mungilnya menyentuh pi
Pagi hari semua orang terlihat begitu sibuk. Para pelayan, modar mandir membantu menyiapkan segala kebutuhan ulang tahun Sean. Terlebih tadi pagi, hadiah dari Clara baru saja datang. Sebuah mobil Bugatti Centodieci telah disiapkan oleh Clara dan Mario untuk Sean. Orang pertama yang begitu terkejut adalah Marsha, dia sungguh tidak berpikir orang tuanya akan membelikan sebuah mobil sport untuk Sean. Terlebih Bugatti Centodieci adalah salah satu mobil yang hanya diproduksi sebanyak sepuluh unit. Tentu yang memiiki mobil Bugatti Centodieci, harus rela mengeluarkan uang yang besar. Kini Marsha baru saja selesai berias. Tubuhnya terbalut oleh gaun berwarna merah dengan model atas kemben. Gaun ini benar-benar membuat lengkuk tubuhnya terlihat sempurna. Riasan bold, dengan lipstik merah membuat bibir ranumnya tampak penuh dan seksi. Rambut pirang dan tebalnya, Marsha biarkan tergerai indah, menutupi punggung polosnya. William yang berdiri di ambang pintu, dia tersenyum melihat sang istri ya
Menjelang pesta ulang tahun Sean, Marsha disibukan dengan banyaknya yang harus diurus. Meski, dia menyerahkan pada Luna, assistantnya, tapi tetap saja Marsha ingin terlibat pada pesat ulang tahunnya Sean. Tidak hanya sendiri, Marsha pun turut dibantu oleh Ibu mertuanya. Paling tidak meski Clara, ibunya sendiri tidak ada di dekatnya, ada Ibu mertuanya yang selalu membantu dirinya.Kini Marsha tengah berada di dapur—memasak untuk sang suami. Hari ini, Marsha ingin khsus memasak makanan untuk William. Sudah beberapa minggu terakhir, sang suami selalu masak makanan yang telah disiapkan oleh Andine, chefnya. Untuk kali ini, Marsha ingin sendiri memasak untuk William. "Selesai," ucap Marsha ketika menata tenderloin steak dengan mashed potato di atas piring. Tidak lupa dia menambahkan tartar sauce dan lemon untuk menambah citra rasa makanan yang telah dibuatnya. Setelah selesai memasak, Marsha mengalihkan pandangannnya ke jam dinding, kini sudah pukul enam sore, biasanya William sudah pula
"William, ada yang ingin aku bicarakan padamu.." Marsha melangkah keluar dari walk-in closetnya. Dia baru saja mengganti pakaiannya dengan gaun tidur nyaman. Tatapannya kini menatap sang suami yang duduk di ranjang dengan punggung yang bersandar di kepala ranjang seraya fokus pada iPad ditangannya. Kemudian Marsha mendekat, lalu duduk di samping suaminya. "Apa kau sibuk?" William mengalihkan pandangannya, lalu saat dia melihat sang istri sudah duduk di sampingnya, dia langsung meletakan iPad yang ada di tangannya itu ke atas nakas. Kemudian dia menarik tangan Marsha masuk ke dalam pelukannya seraya menjawab, "Apa yang kau ingin bicarakan, sayang?""Aku ingin membahas tentang tadi. Kenapa kau dan Mama sudah membahas tentang jodoh untuk Sean? Putra kita masih sagat kecil, William," ujar Marsha yang memprotes. Sudah sejak tadi dai menahan diri. Meski dia tahu, percuma saja memprotes, tapi setidaknya dia berbicara pada sang suami apa yang dia tidak sukai. "Kenapa kau tidak membiarkan Sea
"Kalian nikmatilah liburan. Pergilah berbulan madu, nanti Dokter bisa menemani kalian. Ini waktunya kalian menikmati hidup kalian. Masalah perusaahan, biar aku semua yang menanganinya. Setelah Sean berulang tahun nanti, aku akan menyiapkan liburan untuk kalian berdua," ujar William sambil menatap kedua orang tuanya.Veronica dan Lukas sama-sama tersenyum. "Ya, kami percaya, kau bisa mengatasi perusahaan dengan baik," jawab Lukas.Kemudian, tatapan Veeronica teralih pada Marsha yang duduk di samping Wiliam. "Marsha, Mama ingin membahas hal penting..""Ada apa, Ma?" Marsha mengerutkan keningnya, menatap bingung Ibu mertuanya."Ini tentang hadiah ulang tahun, Sean," balas Veronica. Marsha mendesah lega, ternyata mertuanya membahas tentang ulang tahun Sean. Dia berpikir, Ibu mertuanya akan memaksa dirinya agar hamil. Mengingat sudah cukup lama dia menikah dengan William, namun hanya memiliki satu orang putranya. Marsha benar-benar bersyukur memiliki mertua yang begitu pengertian dan meny
Marsha melangkah masuk ke dalam kamar William. Kamar yang dulu William sebelum mereka menikah. Entah kenapa, Marsha ingin berada di kamar lama milik William. Kini Marsha duduk di tepi ranjang. Tatapannya, teralih pada foto dirinya dan Sean yang terletak di atas nakas. Marsha langsung mengambil bingkai foto itu, dia menatap wajah putranya yang sekarang sudah tumbuh besar. Ingatan Marsha mengingat, kala Sean masih bayi, sejak dulu putranya itu sudah begitu menggemaskan. Di saat Marsha tengah menatap foto dirinya dan Sean, dia kembali mengingat tanpa terasa pernikahannya dnegan William hampir empat tahun. Dan selama itu juga dirinya masih belum memberikan adik untuk Sean. Marsha mendesah pelan, tadi Laura memberikan kabar bahagia, bahwa telah hamil. Tentu Masha begitu bahagia mendengar kabar itu. Dia sangat senang, melihat adik iparnya memiliki kehidupan yang sempurna. Lea akan segera memiliki seorang adik. Pikiran Marsha mengingat permintaan Sean yang ingin segera memiliki seorang adik
Suara dering ponsel terdengar, Marsha yang baru saja selesai mandi dan masih memakai bathrobe, langsung menuju pada ponselnya yang terus berdering itu. Kemudian, dia mengambil ponselnya yang terletak di atas nakas—menatap ke layar, tertera nomor Laura yang menghubunginya. Tanpa menunggu lama, Marsha langsung menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan, sebelum kemudian meletakan ke telinganya. "Ya, Laura?" jawab Marsha saat panggilan terhubung. "Marsha, apa aku mengganggumu? Kau di mana?" tanya Laura dari seberang line. "Tidak, Laura. Aku baru saja selesai mandi. Ada apa?" "Marsha, aku dan Raymond sudah di Toronto, apa kau bisa hari ini ke rumah Mama? Aku dan Raymond hari ini ke rumah Mama." "Kau sudah pulang? Bukannya kau akan pulang besok?" "Tidak, aku dan Raymond memajukan kepulangan kami. Jadi apa kau hari ini bisa datang ke rumah Mama?""Jam berapa kau ke sana?" "Jam sepuluh nanti kalau kakakku tidak bisa ikut, tidak apa-apa, kau saja dengan Sean." "Baiklah aku akan k