Marsha mendengus tak suka. "Aku tidak perduli dengan mu yang tidak tertarik. Tapi usia ku sudah 20 tahun. Bukan gadis kecil lagi!"
"Terserah, lebih baik kau tanda tangan." William menyerahkam pena pada Marsha. "Ya," Marsha mengambil pena yang ada di atas meja dan langsung menandatangani surat perjanjian itu. "Sudah. " Marsha memberikan surat perjanjian pada William. "William, aku ingin bertanya sesuatu pada mu," ucap Marsha setelah menyerahkan surat perjanjian itu. William menatap lekat Marsha. "Apa yang ingin kau katakan?" "Hem.. begini apa aku boleh memiliki kekasih?" tanya Marsha hati-hati. "Tidak," jawab William dingin. Marsha mendelik, dia menatap tajam William. "Kenapa aku tidak boleh memiliki kekasih?" "Aku tahu kau ini belum pernah memiliki kekasih bukan? Jika sampai orang tuamu tahu kau memiliki kekasih. Lalu kau kenapa-kenapa mereka akan menyalahkanku. Aku tidak mau di salahkan atas perbuatan bodohmu!" tukas William dingin. "CK! aku ini bukan anak kecil lagi. Aku bisa memilih mana yang baik dan mana yang buruk," balas Marsha tidak terima. "Dengarkan aku, kau bisa memiliki kekasih saat perjanjian kita ini berakhir." William mengatakan dengan tegas. Marsha mendegus tak suka. "Tiga tahun itu lama sekali William." "Jangan berisik, kau ini masih kuliah. Lebih baik selesaikan pendidikanmu," jawab William dingin. "Sudahlah, aku harus pulang sekarang." Marsha yang langsung bangkit dari tempat duduknya dan meninggalkan ruang kerja William. *** "Marsha!" suara Karin berteriak saat melihat Marsha melangkah masuk ke dalam kafe.Marsha tersenyum, dia langsung berjalan menghampiri Karin. "Maaf, aku terlambat."
"Lama sekali kau Marsha!" dengus Karin kesal. "Maaf tadi aku harus menyelesaikan urusanku dulu dengan William," balas Marsha. Karin mengangguk. "Bagaimana pertemuan mu dengan William?" Marsha tersenyum senang. "Itu yang aku ingin katakan padamu." "Kenapa kau terlihat sangat bahagia?" Karin memincingkan matanya menatap sahabatnya penuh selidik. "Kau jauh cinta pada William?" Marsha berdecak. "Kau ini! siapa yang jatuh cinta!" "Jadi kalau bukan jatuh cinta. kenapa wajahmu seperti bahagia setelah bertemu William?" tanya Karin lagi. "Ya tentu aku bahagia! aku dan William sama-sama menolak pernikahan ini. Dan kami memutuskan untuk membuat perjanjian," jawab Marsha antusias. Karin menatap tak percaya. "Perjanjian? Perjanjian apa maksud mu?" "Kami hanya menikah tiga tahun saja dan kami juga berpura-pura mesra di depan orang tua kami. Selain itu aku dengan William dilarang ikut campur masalah pribadi." Marsha menjelaskan pada Karin dan tersirat di wajahnya sangat senang. "Marsha, Apa kau ini sudah kehilangan akal sehat mu? Tiga tahun kemudian artinya kau akan menjadi janda?" tanya Karin yang masih tidak percaya, dengan apa yang diucapkan oleh sahabatnya ini. "Memangnya kenapa kalau aku janda? Kami tidak akan berhubungan suami istri, itu sudah ada di perjanjian. Kami juga dilarang bersentuhan," ujar Marsha dengan senyuman diwajahnya. "Apa kau ini yakin itu tidak akan terjadi? Kalian tinggal satu atap lalu satu kamar, apa bisa itu tidak akan terjadi?" tanya Karin memastikan. "CK! kau jangan gila Karin. Aku tidak mungkin melakukan itu dengan William. Aku hanya mencintai Raymond!" jawab Marsha menegaskan."Aku tidak mengerti dengan apa yang kau pikirkan," balas Karin. "Lebih baik aku mencari di internet artikel tentang William Geovan. Aku akan melihat apa dia lebih tampan dari Raymond." Karin mengambil ponsel di dalam tas. Lalu dia mulai mencari artikel mengenai William Geovan di Internet. Saat Karin melihat artikel tentang William Geovan di internet, seketika matanya membulat sempurna. Dia kembali memastikan pria itu. "Marsha, ini bukannya pria tampan yang kau tabrak dengan kue mu itu?"
Marsha mengangguk. "Kau mengingatnya?" "Astaga sha, siapa yang tidak mengingatnya. Dalam hidup ku, aku belum pernah bertemu dengan pria setampan dia. Dan kau lihat tubuhnya sangat menggoda. Ah dia benar-benar idaman para gadis." Karin terus menatap layar ponselnya itu. "Sudahlah kau jangan berlebihan, dia itu sudah tua dan menyebalkan," seru Marsha kesal. "Apa kau itu buta? Dia jauh lebih tampan dari Raymod. Kau benar-benar beruntung memiliki calon suami seperti dia." balas Karin. "Dan apa kau bilang tadi? Tua? Kau ini sungguh gila Marsha! Usianya masih 28 tahun. Itu masih muda!" "Aku tidak perduli! Jika memang kau menyukainya untukmu saja," jawab Marsha tidak perduli. Karin menggeleng pelan. "Percayalah Marsha Nicholas, aku yakin kau nanti akan jatuh cinta padanya. Apalagi jika sudah satu rumah, bagaimana bisa kau menolak pesona dari seorang Willoam Geovan. Dia ini sungguh tampan." "CK! sudah ku katakan, aku tidak akan jatuh hati padanya Karin! kau ini benar-benar menyebalkan!" dengus Marsha. "Ya, ya terserah kau saja. Tapi apa kau tidak takut orang tua kalian mengetahui ini?" tanya Karin. "Tidak akan, lagi pula aku hanya menceritakan pada mu. Jadi kau harus menjaga mulut mu ini, jangan sampai kau keceplosan bicara," peringat Marsha. "Tenanglah, aku tidak mungkin keceplosan. Kau ini sudah tahu kita bersahabat sejak kecil!" balas Karin. "Tapi tunggu, jadi kapan kalian menikah?""Satu minggu lagi."
Karin membelalak. "Apa? Satu minggu lagi?" "Ya, ternyata orang tua kami sudah merencanakannya, Jadi tidak mungkin kami membatalkannya, lagi pula pernikahanku dengannya hanya pura-pura saja. Jadi meskipun statusku sudah menikah, aku akan bebas!" kata Marsha dengan senyum bahagia di wajahnya. Karin menghela napas dalam. "Terserah kau saja, intinya aku akan selalu mendukung mu." "Aku tahu itu. kau memang sahabat terbaikku." "Tapi, apa William memiliki kekasih?" Marsha mengangkat bahunya. "Aku tidak tahu dan aku juga tidak perduli." Karin mengambil ponselnya dan kembali mencari artikel di internet tentang kehidupan pribadi William Geovan. Saat mendapatkan satu artikel tentang kehidupan pribadi William. Karin langsung menunjukan pada Marsha. "Lihatlah artikel ini, dia pernah dekat dengan artis cantik asal dari Italia." Marsha menatap layar ponsel Karin, sosok wanita cantik dan seksi tengah berfoto dengan William. "Mereka sangat cocok," komentar Marsha. "Apa kau tidak marah?" Karin menautkan alisnya menatap bingung Marsha. "Marah? Untuk apa? Aku mencintai Raymond. Dan dia juga mungkin mencintai gadis itu, lalu adil bukan?" balas Marsha yang tidak peduli. "Aku bisa gila dengan mu Marsha! apa kau sama sekali tidak tertarik dengan William?" seru Karin. Dia tidak percaya dengan apa yang dikatakan Marsha. "William dia memang pria yang tampan, aku mengakui itu. Tapi kau tahu, aku dengannya menikah hanya karena perjodohan saja. Bukan karena kami saling mencintai." Marsha kembali menegaskan. Karin mendengus tak suka. "Terserah, tapi aku sangat yakin kalian pasti akan segera jatuh cinta. Dan aku akan menunggu waktu di mana kau menceritakan tentang perasaanmu pada William." Marsha mencebik. "Tidak mungkin Karin Wiratmaja! aku tidak mungkin jatuh cinta padanya!"William menyandarkan punggungnya di kursi. Memejamkan mata lelah. Pikirannya kini tidak bisa berpikir jernih. Tujuannya kembali ke Kanada, hanya untuk memimpin perusahaan tapi dia harus di hadapkan dengan kenyataan harus menikahi wanita yang bahkan dia tidak mengenal wanita itu. Hingga detik ini, William masih terus memikirkan cara bagaimana dirinya harus menjelaskan pada Alice. Tidak mungkin William membiarkan kekasihnya harus terluka karena ini. Terdengar suara dering ponsel membuat William menghentikan lamunannya. William membuka matanya, dia mengambil ponselnya yang berada di atas meja. William membuang napas kasar, ketika menatap ke layar tertera ibunya menghubungi dirinya. Tidak ada pilihan lain, tidak mungkin William tidak menjawab panggilan itu. William menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan, sebelum kemudian meletakan ke telinganya. "Ya?" jawab William saat panggilannya sudah tersambung. "William, apa kau sibuk?" tanya Veronica dari seberang line. "Tidak, ada apa
Marsha mematut cermin, kini tubuhnya sudah terbalut dengan gaun berwarna merah lengan panjang. Gaun ini sungguh indah dan berkelas. Tubuh Marsha terlihat sempurna saat memakai gaun ini. Gaun lengan panjang yang memperlihatkan punggung mulus milik Marsha ini memang sangat menawan.Gaun pemberian Clara sang ibu, harus Marsha akui ibunya memiliki selera yang sangat berkelas dalam fashion. Setiap gaun yang dipilihakan oleh Clara, membuat Marsha terlihat dewasa dan sangat cantik.Marsha mengambil clutch di atas meja rias, dia kembali menatap cermin memastikan tidak ada yang kurang dari dirinya. Meski hanya bertemu dengan William, tapi Marsha selalu ingin tampil sempurna di mana pun dia berada. "Oh sweetheart, you're looking wonderfull," seru Clara dengan tatapan kagum ketika melihat Marsha menghampirinya. "Marsha, kau tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik," Mario mengusap rambut putrinya itu. 'Sayangnya aku sudah berdandan cantik hanya pergi dengan William. Harusnya jika sudah berdan
Sinar matahari pagi bersinar begitu cerah. Kini Marsha sudah berada di kampus, dia lebih menyukai datang ke kampus lebih awal. Sejak dirinya akan dijodohkan dengan William, membuat dirinya selalu ingin datang ke kampus lebih awal. Marsha duduk di taman sembari menikmati cuaca pagi yang begitu menyejukan. Musim semi adalah musim terbaik bagi Marsha. Hembusan angin begitu menenangkan. Marsha memejamkan mata sebentar, menikmati cuaca yang begitu indah. "Marsha?" panggil Karin, saat dia melangkah menuju taman dan mendapati sahabatnya tengah berada di taman.Marsha membuka matanya, dia mengalihkan pandanganya. Lalu menatap Karin yang duduk di sampingnya."Kau tidak masuk kelas?" tanya Marsha. "Tidak, nanti saja," jawab Karin. "Kau kenapa datang ke kampus Marsha? pernikahanmu sebentar lagi. Apa kau tidak melakukan persiapan?"Marsha mendesah pelan."Persiapan apa yang kau maksud? Semua telah diatur, aku tidak perlu melakukan persiapan." "Aku lupa kalau semua telah diatur," jawab Karin de
Mobil Rolls Royce milik William, kini sudah tiba di butik. William dan Marsha turun dari mobil, mereka melangkah masuk ke dalam butik itu. Pandangan Marsha kini menatap sosok wanita yang berjalan ke arahnya. "Selamat siang Tuan William dan Nona Marsha, perkenalkan saya Grace designer gaun pernikahan kalian," ujar Grace dengan senyuman hangat di wajahnya. "Siang Grace," balas Marsha. William hanya membalas dengan anggukan singkat di kepalanya. "Nona.. Mari ikut saya ke fiiting room," kata Grace."Ya," jawab Marsha singkat. Kemudian, Marsha melangkah masuk ke dalam fitting room. Seketika Marsha terdiam, menatap sebuah gaun mewah dengan taburan swarovski di gaun itu. Marsha mendekat, dia menyentuh gaun yang sangat indah itu. "Nona, apa anda menyukai gaun ini?" tanya Grace saat Marsha menyentuh gaun di hadapannya. "Aku tidak mungkin tidak menyukai gaun seindah ini," jawab Marsha dengan tatapan kagum pada gaun itu. "Ini gaun pengantin anda nona," balas Grace. "Silahkan dicoba terleb
William menyandarkan punggungnya di kursi, sembari menyesap wine di tangannya. William menatap tumpukan dokumen di hadapannya. Pikirannya sedang tidak bisa berpikir jernih. Terlebih menjelang hari pernikahannya, membuat William terus memikirkan Alice. Hingga detik ini William masih belum tahu, bagaimana harus menjelaskannya ada Alice. Terdengar suara ketukan pintu membuat William menghentikan lamunannya, William mengalihkan pandangannya, dia menatap ke arah pintu dan langsung menginterupsi untuk masuk."Tuan," sapa Albert menundukan kepalanya saat masuk ke dalam ruang kerja William. "Ada apa Albert?" tanya William dingin. "Tuan, saya ingin menginformasikan jika dua hari lagi grand launching dari perusahaan teknologi Xavier Company," ujar Albert.William membuang napas kasar. "Apa tidak bisa di wakilkan denganmu?" "Maaf tuan, tapi tidak bisa. Jika Tuan Lukas sampai tahu, beliau akan marah," jawab Albert William mengangguk. "Aku akan ke sana.""Tuan, ada hal penting yang ingin saya
Marsha memarkiran mobilnya di salah satu butik Hermes Toronto. Tadi siang, setelah Marsha menyelesaikan kuliahnya Veronica mengirimkan pesan padanya untuk bertemu di salah satu butik Hermes. Kini Marsha melangkah masuk ke dalam butik. Saat tiba di dalam, Marsha sudah melihat Veronita tengah memilih tas. Marsha melangkah mendekat ke arah Veronica. "Bibi Veronica," sapa Marsha yang kini berada di belakang Veronica. Tentu Veronica belum menyadari kedatangannya. Karena Veronica tengah fokus pada tas-tas yang dipilih olehnya. Veronica mengalihkan pandangannya, seketika senyum di bibirnya terukir saat melihat Marsha sudah berada di hadapannya. "Sayang, kau sudah datang? Maafkan bibi yang tidak melihatmu sayang.." "Tidak apa-apa bibi," jawab Marsha. "Aku juga baru datang." "Baiklah, sayang bibi sudah memilihkan beberapa dress keluaran terbaru untukmu. Dan bibi juga sudah memilihkan tas keluaran terbaru untukmu," ujar Veronica. Marsha mendelik, maenatap tak percaya. Marsha menelan saliv
Pagi hari, Marsha sudah tiba di kampus. Beruntung lah hari ini dia tidak datang terlambat. Sebenarnya semester ini dia tengah dipusingkan dengan menentukan perusahaan untuk magang. Marsha bisa saja memilih magang di perusahaan keluarganya. Tapi Marsha ingin berusaha sendiri, dan tidak mungkin juga dia magang di tempat William itu adalah hal yang paling Marsha hindari. Jika saja Marsha magang di perushaan William, sudah pasti dirinya akan selalu berdebat dengan pria itu.Kini Marsha duduk disebuah kafe terdekat dengan kampus. Hari ini Marsha sengaja tidak sarapan di rumah, dia lebih memilih untuk sarapan di kampus. Marsha memesan hot chocolate dan sandwich tuna untuknya. Karin yang baru saja tiba di kafe, dia menatap Marsha berada di kafe itu, dengan cepat Karin berjalan menghampiri Marsha. "Masha?" panggil Karin, dia langsung duduk di hadapan Marsha. "Tidak biasanya kau pagi hari ini kafe. Biasanya kau selalu sarapan di rumah.""Karin? Kau datang pagi?" tanya Marsha sembari menikmat
Menjelang hari pernikahan, William semakin sibuk dengan pekerjaannya. Bahkan beberapa kali, William berpegian keluar kota. William memang tidak memperdulikan pernikahan ini. Dengan bekerja membuat pikiran William teralihkan dari rasa bersalahnya pada Alice. William duduk di kursi kebesarannya, dia baru saja menanda tangani dokumen yang diberikan Albert. Jika biasanya William selalu membaca dokumen yang diberikan Albert, kali ini Wiliam mempercayakan Albert untuk memeriksa dokumen itu."Tuan," panggil Albert yang kini berada di hadapan William. "Ada apa?" tanya William dingin."Maaf tuan, apa tuan akan berniat berbulan madu? Jika tuan ingin berbulan madu, saya akan menunda jadwal meeting tuan dengan client kita," ujar Albert. William membuang napas kasar. "Tidak, aku tidak akan berbulan madu.""Baik tuan," jawab Albert. CeklekSuara pintu terbuka, William dan Albert mengalihkan pandangannya ke arah pintu. Terlihat raut wajah kesal William karena ada yang membuka pintu ruang kerjany