Marsha memarkiran mobilnya di salah satu butik Hermes Toronto. Tadi siang, setelah Marsha menyelesaikan kuliahnya Veronica mengirimkan pesan padanya untuk bertemu di salah satu butik Hermes. Kini Marsha melangkah masuk ke dalam butik. Saat tiba di dalam, Marsha sudah melihat Veronita tengah memilih tas. Marsha melangkah mendekat ke arah Veronica. "Bibi Veronica," sapa Marsha yang kini berada di belakang Veronica. Tentu Veronica belum menyadari kedatangannya. Karena Veronica tengah fokus pada tas-tas yang dipilih olehnya. Veronica mengalihkan pandangannya, seketika senyum di bibirnya terukir saat melihat Marsha sudah berada di hadapannya. "Sayang, kau sudah datang? Maafkan bibi yang tidak melihatmu sayang.." "Tidak apa-apa bibi," jawab Marsha. "Aku juga baru datang." "Baiklah, sayang bibi sudah memilihkan beberapa dress keluaran terbaru untukmu. Dan bibi juga sudah memilihkan tas keluaran terbaru untukmu," ujar Veronica. Marsha mendelik, maenatap tak percaya. Marsha menelan saliv
Pagi hari, Marsha sudah tiba di kampus. Beruntung lah hari ini dia tidak datang terlambat. Sebenarnya semester ini dia tengah dipusingkan dengan menentukan perusahaan untuk magang. Marsha bisa saja memilih magang di perusahaan keluarganya. Tapi Marsha ingin berusaha sendiri, dan tidak mungkin juga dia magang di tempat William itu adalah hal yang paling Marsha hindari. Jika saja Marsha magang di perushaan William, sudah pasti dirinya akan selalu berdebat dengan pria itu.Kini Marsha duduk disebuah kafe terdekat dengan kampus. Hari ini Marsha sengaja tidak sarapan di rumah, dia lebih memilih untuk sarapan di kampus. Marsha memesan hot chocolate dan sandwich tuna untuknya. Karin yang baru saja tiba di kafe, dia menatap Marsha berada di kafe itu, dengan cepat Karin berjalan menghampiri Marsha. "Masha?" panggil Karin, dia langsung duduk di hadapan Marsha. "Tidak biasanya kau pagi hari ini kafe. Biasanya kau selalu sarapan di rumah.""Karin? Kau datang pagi?" tanya Marsha sembari menikmat
Menjelang hari pernikahan, William semakin sibuk dengan pekerjaannya. Bahkan beberapa kali, William berpegian keluar kota. William memang tidak memperdulikan pernikahan ini. Dengan bekerja membuat pikiran William teralihkan dari rasa bersalahnya pada Alice. William duduk di kursi kebesarannya, dia baru saja menanda tangani dokumen yang diberikan Albert. Jika biasanya William selalu membaca dokumen yang diberikan Albert, kali ini Wiliam mempercayakan Albert untuk memeriksa dokumen itu."Tuan," panggil Albert yang kini berada di hadapan William. "Ada apa?" tanya William dingin."Maaf tuan, apa tuan akan berniat berbulan madu? Jika tuan ingin berbulan madu, saya akan menunda jadwal meeting tuan dengan client kita," ujar Albert. William membuang napas kasar. "Tidak, aku tidak akan berbulan madu.""Baik tuan," jawab Albert. CeklekSuara pintu terbuka, William dan Albert mengalihkan pandangannya ke arah pintu. Terlihat raut wajah kesal William karena ada yang membuka pintu ruang kerjany
Marsha mematut cermin, hari ini adalah hari pernikahannya. Rasa gugup dan cemas tentu saja dia rasakan. Tidak pernah pernah ada dipikiran Marsha, dia akan menikah diusia yang masih muda. Terlebih pernikahannya bukan dilandasi oleh cinta, memang William adalah pria yang sangat tampan dan Marsha sangat tahu, dia akan hidup sangat baik ketika menjadi istri William. Hanya saja, impian Marsha adalah menikah dengan pria yang dia cintai dan itu bukan William.Marsha menghela napas dalam, dia kembali mengingat jika pernikahan ini disertai dengan kontrak pernjanjian dengan William. Itu artinya, pernikahannya dengan William hanya sebatas status saja. Kini Marsha telah di make up, Veronica khusus mendatangkan make up artist terbaik dari Russia. Veronica ingin penampilan Marsha hari ini sangat sempurna."Perfect,." ucap Debora make up artist yang baru saja selesai merias wajah Marsha. "Kau sangat cantik Nona Marsha," puji Debora sambil menatap Marsha."Benarkah? Apa ini tidak terlalu tebal?" t
Setelah acara pernikahan, William kini membawa Marsha ke mansion yang baru dibeli olehnya. Marsha mengedarkan pandangannya pada mansion mewah milik William. Terlebih berderet koleksi mobil sport milik William yang membuat Marsha menelan salivanya susah payah.‘Ternyata dia sangat kaya,’ batin Marsha."William, kenapa kau membeli mansion untuk kita tinggal sangat besar?" tanya Marsha sambil menatap setiap sudut mansion milik William. Mata Marsha tidak henti menatap mansion milik suaminya ini. Bahkan mansion ini jauh lebih besar dari mansion miliknya."Karena aku menyukai mansion ini," jawab William dingin.Marsha mendengus tak suka. "Tapi kita hanya tinggal berdua, kenapa kita tidak mencari mansion lebih kecil saja?""Kita tidak tinggal berdua, ada pelayan, sopir dan keamanan. Jadi tidak mungkin aku membeli mansion yang kecil." balas William yang malas menanggapi ucapan Marsha."Sudah jangan banyak bertanya! Lebih baik aku antar kau ke kamar." William membawa Marsha ke kamar mereka, ka
Cuaca pagi hari begitu cerah. Marsha sudah lebih dulu terbangun. Hari ini adalah hari pertama Marsha menjadi seorang istri. Tidak hanya itu tapi Hari ini juga merupakan hari pertama Marsha magang di Stefano Group. Marsha memang sengaja memilih untuk langsung magang setelah menikah. Lagi pula, William juga tidak mengambil cuti. William tetap bekerja setelah menikah. Jadi tidak masalah bagi Marsha untuk tidak mengambil libur.Marsha melangkah menuju walk in closet. Dia memilih memakai mini dress berwarna mustard lengan pendek, yang di padukan dengan flat shoes merk Gucci. Ya, semua barang-barang Marsha sudah pasti branded stuff karena memang Veronica membelikan banyak sekali barang-barang merk ternama dunia. Setelah berias, Marsha berjalan menuju ruang makan. Pelayan sudah menyiapkan sarapan untuk Marsha dan juga William, tidak lama setelah Marsha tiba di ruang makan, William juga sudah bersiap berangkat ke kantor."Pagi," sapa Marsha saat masuk ke dalam ruang makan, lalu duduk di samp
"P-Pagi Mel maksud ku Tuan Melvin," sapa Marsha. Dia menggigit bibirnya hampir saja dia hanya menyebutkan nama."Selamat Pagi Marsha," balas Melvin sambil tersenyum. "Baiklah, Lauren kau ajak Karin untuk memperkenalkan diri dengan divisi lain, ada hal yang harus aku tanyakan dengan Marsha," ujar Melvin yang sengaja meminta Lauren meninggalkannya."Baik tuan," jawab Lauren, dia membawa karin meninggalkan ruang kerja Melvin. Sedangkan Marsha, kini dia hanya berdua di ruang kerja Melvin. Dia sedikit gugup karena sejak tadi Melvin selalu menatap dirinya."P-Pagi Tuan Melvin," sapa Marsha lagi. "Panggil aku Melvin ketika hanya kita berdua saja di kantor," kata Melvin. Dia lebih nyaman saat Marsha memanggilnya dengan sebutan nama."Tapi itu tidak sopan, kau pemilik perusahaan ini," balas Marsha. "Suamimu bahkan seorang pengusaha yang hebat Marsha. Perusahaan milik suamimu jauh lebih besar dari perusahaanku. Aku sendiri sangat tersanjung ketika Nyonya Geovan magang di perusahaanku. Jadi
Marsha turun dari mobil, dia melangkah masuk ke dalam rumah. Marsha melirik arloji, kini sudah jam empat sore. Sebelumnya Marsha melihat di halaman parkir rumahnya belum ada mobil yang dipakai William hari ini. Itu artinya William masih belum pulang. Saat tiba di dalam kamar, Marsha melepaskan sepatunya dan duduk di sofa. Seketika mengingat dirinya belum menghubungi Veronica. Marsha langsung mengeluarkan ponselnya dari dalam tas. Mencari kontak Veronica dan menekan tombol hijau untuk menghubungi ibu mertuanya itu. "Mama?" sapa Marsha saat panggilan terhubung."Ya sayang?" Suara lembut Veronica terdengar dari sebrang line, "Mama, maaf mengganggu mama." "Tidak sayang, kau tidak sama sekali mengganggu mama. Ada apa sayang?" "Begini ma, aku ingin berterima kasih pada mama karena mama sudah membelikanku banyak barang. Di walk in closet milikku penuh dengan branded stuff yang di belikan oleh mama. Ini sungguh berlebihan ma, aku tidak enak menerimanya. Sebelum menikah saja mama sudah me
Pesawat yang membawa William dan Marsha, telah mendarat di Bandar Udara Internasional Malpensa. Kini William dan Marsha turun dari pesawat, mereka berjalan keluar dari pesawat, menuju lobby. Sebelumnya, William sudah meminta sopir dari perusahaan kakeknya yang ada di Milan untuk menjemput. Terlihat Marsha yang tampak begiti kelelahan. Marsha terus memeluk lengan William, menyandarkan kepalanya di lengan kekar sang suami. Ketika sudah tiba di lobby, William dan Marsha melihat sopir sudah menjemput mereka. Sang sopir langsung menundukan kepalanya, menyapa William dan Marsha. Kemudian, William dan Marsha masuk ke dalam mobil. Kini mobil yang membawa William dan Marsha, mulai berjalam meninggalkan lobby bandara. Sepanjang perjalanan, Marsha menyandarkan kepalanya di bahu William. Berkali-kali William menawarkan untuk memanggil dokter, tapi istrinya tida pernah mau. Ya, Marsha saat ini hanya ingin segera tiba di hotel, dan langsung beristirahat. "Marsha, apa besok kau tidak usah datang
Waktu menunjukan pukul tujuh pagi, Marsha sudah bangun lebih awal. Ya, pagi ini Marsha harus bersiap-siap karena hari ini dia dan William akan terbang ke Milan. Sungguh, suaminya itu sangat mengejutkannya. Marsha bahkan belum menyiapkan apapun. Beruntung, William sudah menyiapkan hadiah pernikahan Orina dan Antonio, jika belum, sudah pasti dia akan kesal karena semuanya harus terburu-buru. "Sudah semua belum ya?" gumam Marsha seraya mengetuk pelan dagunya dengan telunjuknya. Tatapannya, mentap barang-barang pribadi miliknya dan William. Khusus keberangkatan hari ini, William memutuskan untuk tidak membawa Sean. Tadi pagi, Sean sudah dititipkan pada Veronica dan Lukas. William sengaja tidak membawa Sean, karena putranya itu baru masuk sekolah. Tidak hanya itu, tapi beberapa minggu terakhir, Sean akan banyak berlajar bahasa asing. Itu yang membuat William dan Marsha tidak mungkin membawa Sean. Mengingat pendidikan Sean jauh lebih penting. "Astaga, aku belum membawa perawatan kulit."
"Tuan William, aku rasa kita bisa membahas kerja sama bisnis," ujar George sambil menatap William yang berdiri di hadapannya. William tersenyum tipis. "Ya, aku rasa itu bukan ide yang buruk. Kita bisa membahas kerja sama." "Nyonya Sofia, Boleh aku menggendong Aurora?" pinta Marsha yang sudah sejak tadi sangat gemas pada bayi perempuan yang digendong Sofia. "Tentu Boleh, Nyonya Marsha..." Sofia langsung memberikan Aurora pada Marsha. Dengan wajah yang begitu bahagia Marsha menggendong Aurora, dia memberikan banyak kecupan pada bayi perempuan yang sangat cantik itu. "Mommy... Mommy menggendong siapa?" Sean yang tadi tengah bermain dengan Lea, dia langsung menghampiri Marsha yang tengah menggendong seorang baik. Marsha mengalihkan pandangannya, melihat Sean yang kini berada di hadapannya. Kemudian dia menundukan tubuhnya seraya berkata, "Sean, apa bayi perempuan ini sangat cantik?" tanyanya dengan lembut pada putranya. Sean mengangguk, lalu dia membawa tangan mungilnya menyentuh pi
Pagi hari semua orang terlihat begitu sibuk. Para pelayan, modar mandir membantu menyiapkan segala kebutuhan ulang tahun Sean. Terlebih tadi pagi, hadiah dari Clara baru saja datang. Sebuah mobil Bugatti Centodieci telah disiapkan oleh Clara dan Mario untuk Sean. Orang pertama yang begitu terkejut adalah Marsha, dia sungguh tidak berpikir orang tuanya akan membelikan sebuah mobil sport untuk Sean. Terlebih Bugatti Centodieci adalah salah satu mobil yang hanya diproduksi sebanyak sepuluh unit. Tentu yang memiiki mobil Bugatti Centodieci, harus rela mengeluarkan uang yang besar. Kini Marsha baru saja selesai berias. Tubuhnya terbalut oleh gaun berwarna merah dengan model atas kemben. Gaun ini benar-benar membuat lengkuk tubuhnya terlihat sempurna. Riasan bold, dengan lipstik merah membuat bibir ranumnya tampak penuh dan seksi. Rambut pirang dan tebalnya, Marsha biarkan tergerai indah, menutupi punggung polosnya. William yang berdiri di ambang pintu, dia tersenyum melihat sang istri ya
Menjelang pesta ulang tahun Sean, Marsha disibukan dengan banyaknya yang harus diurus. Meski, dia menyerahkan pada Luna, assistantnya, tapi tetap saja Marsha ingin terlibat pada pesat ulang tahunnya Sean. Tidak hanya sendiri, Marsha pun turut dibantu oleh Ibu mertuanya. Paling tidak meski Clara, ibunya sendiri tidak ada di dekatnya, ada Ibu mertuanya yang selalu membantu dirinya.Kini Marsha tengah berada di dapur—memasak untuk sang suami. Hari ini, Marsha ingin khsus memasak makanan untuk William. Sudah beberapa minggu terakhir, sang suami selalu masak makanan yang telah disiapkan oleh Andine, chefnya. Untuk kali ini, Marsha ingin sendiri memasak untuk William. "Selesai," ucap Marsha ketika menata tenderloin steak dengan mashed potato di atas piring. Tidak lupa dia menambahkan tartar sauce dan lemon untuk menambah citra rasa makanan yang telah dibuatnya. Setelah selesai memasak, Marsha mengalihkan pandangannnya ke jam dinding, kini sudah pukul enam sore, biasanya William sudah pula
"William, ada yang ingin aku bicarakan padamu.." Marsha melangkah keluar dari walk-in closetnya. Dia baru saja mengganti pakaiannya dengan gaun tidur nyaman. Tatapannya kini menatap sang suami yang duduk di ranjang dengan punggung yang bersandar di kepala ranjang seraya fokus pada iPad ditangannya. Kemudian Marsha mendekat, lalu duduk di samping suaminya. "Apa kau sibuk?" William mengalihkan pandangannya, lalu saat dia melihat sang istri sudah duduk di sampingnya, dia langsung meletakan iPad yang ada di tangannya itu ke atas nakas. Kemudian dia menarik tangan Marsha masuk ke dalam pelukannya seraya menjawab, "Apa yang kau ingin bicarakan, sayang?""Aku ingin membahas tentang tadi. Kenapa kau dan Mama sudah membahas tentang jodoh untuk Sean? Putra kita masih sagat kecil, William," ujar Marsha yang memprotes. Sudah sejak tadi dai menahan diri. Meski dia tahu, percuma saja memprotes, tapi setidaknya dia berbicara pada sang suami apa yang dia tidak sukai. "Kenapa kau tidak membiarkan Sea
"Kalian nikmatilah liburan. Pergilah berbulan madu, nanti Dokter bisa menemani kalian. Ini waktunya kalian menikmati hidup kalian. Masalah perusaahan, biar aku semua yang menanganinya. Setelah Sean berulang tahun nanti, aku akan menyiapkan liburan untuk kalian berdua," ujar William sambil menatap kedua orang tuanya.Veronica dan Lukas sama-sama tersenyum. "Ya, kami percaya, kau bisa mengatasi perusahaan dengan baik," jawab Lukas.Kemudian, tatapan Veeronica teralih pada Marsha yang duduk di samping Wiliam. "Marsha, Mama ingin membahas hal penting..""Ada apa, Ma?" Marsha mengerutkan keningnya, menatap bingung Ibu mertuanya."Ini tentang hadiah ulang tahun, Sean," balas Veronica. Marsha mendesah lega, ternyata mertuanya membahas tentang ulang tahun Sean. Dia berpikir, Ibu mertuanya akan memaksa dirinya agar hamil. Mengingat sudah cukup lama dia menikah dengan William, namun hanya memiliki satu orang putranya. Marsha benar-benar bersyukur memiliki mertua yang begitu pengertian dan meny
Marsha melangkah masuk ke dalam kamar William. Kamar yang dulu William sebelum mereka menikah. Entah kenapa, Marsha ingin berada di kamar lama milik William. Kini Marsha duduk di tepi ranjang. Tatapannya, teralih pada foto dirinya dan Sean yang terletak di atas nakas. Marsha langsung mengambil bingkai foto itu, dia menatap wajah putranya yang sekarang sudah tumbuh besar. Ingatan Marsha mengingat, kala Sean masih bayi, sejak dulu putranya itu sudah begitu menggemaskan. Di saat Marsha tengah menatap foto dirinya dan Sean, dia kembali mengingat tanpa terasa pernikahannya dnegan William hampir empat tahun. Dan selama itu juga dirinya masih belum memberikan adik untuk Sean. Marsha mendesah pelan, tadi Laura memberikan kabar bahagia, bahwa telah hamil. Tentu Masha begitu bahagia mendengar kabar itu. Dia sangat senang, melihat adik iparnya memiliki kehidupan yang sempurna. Lea akan segera memiliki seorang adik. Pikiran Marsha mengingat permintaan Sean yang ingin segera memiliki seorang adik
Suara dering ponsel terdengar, Marsha yang baru saja selesai mandi dan masih memakai bathrobe, langsung menuju pada ponselnya yang terus berdering itu. Kemudian, dia mengambil ponselnya yang terletak di atas nakas—menatap ke layar, tertera nomor Laura yang menghubunginya. Tanpa menunggu lama, Marsha langsung menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan, sebelum kemudian meletakan ke telinganya. "Ya, Laura?" jawab Marsha saat panggilan terhubung. "Marsha, apa aku mengganggumu? Kau di mana?" tanya Laura dari seberang line. "Tidak, Laura. Aku baru saja selesai mandi. Ada apa?" "Marsha, aku dan Raymond sudah di Toronto, apa kau bisa hari ini ke rumah Mama? Aku dan Raymond hari ini ke rumah Mama." "Kau sudah pulang? Bukannya kau akan pulang besok?" "Tidak, aku dan Raymond memajukan kepulangan kami. Jadi apa kau hari ini bisa datang ke rumah Mama?""Jam berapa kau ke sana?" "Jam sepuluh nanti kalau kakakku tidak bisa ikut, tidak apa-apa, kau saja dengan Sean." "Baiklah aku akan k