"P-Pagi Mel maksud ku Tuan Melvin," sapa Marsha. Dia menggigit bibirnya hampir saja dia hanya menyebutkan nama."Selamat Pagi Marsha," balas Melvin sambil tersenyum. "Baiklah, Lauren kau ajak Karin untuk memperkenalkan diri dengan divisi lain, ada hal yang harus aku tanyakan dengan Marsha," ujar Melvin yang sengaja meminta Lauren meninggalkannya."Baik tuan," jawab Lauren, dia membawa karin meninggalkan ruang kerja Melvin. Sedangkan Marsha, kini dia hanya berdua di ruang kerja Melvin. Dia sedikit gugup karena sejak tadi Melvin selalu menatap dirinya."P-Pagi Tuan Melvin," sapa Marsha lagi. "Panggil aku Melvin ketika hanya kita berdua saja di kantor," kata Melvin. Dia lebih nyaman saat Marsha memanggilnya dengan sebutan nama."Tapi itu tidak sopan, kau pemilik perusahaan ini," balas Marsha. "Suamimu bahkan seorang pengusaha yang hebat Marsha. Perusahaan milik suamimu jauh lebih besar dari perusahaanku. Aku sendiri sangat tersanjung ketika Nyonya Geovan magang di perusahaanku. Jadi
Marsha turun dari mobil, dia melangkah masuk ke dalam rumah. Marsha melirik arloji, kini sudah jam empat sore. Sebelumnya Marsha melihat di halaman parkir rumahnya belum ada mobil yang dipakai William hari ini. Itu artinya William masih belum pulang. Saat tiba di dalam kamar, Marsha melepaskan sepatunya dan duduk di sofa. Seketika mengingat dirinya belum menghubungi Veronica. Marsha langsung mengeluarkan ponselnya dari dalam tas. Mencari kontak Veronica dan menekan tombol hijau untuk menghubungi ibu mertuanya itu. "Mama?" sapa Marsha saat panggilan terhubung."Ya sayang?" Suara lembut Veronica terdengar dari sebrang line, "Mama, maaf mengganggu mama." "Tidak sayang, kau tidak sama sekali mengganggu mama. Ada apa sayang?" "Begini ma, aku ingin berterima kasih pada mama karena mama sudah membelikanku banyak barang. Di walk in closet milikku penuh dengan branded stuff yang di belikan oleh mama. Ini sungguh berlebihan ma, aku tidak enak menerimanya. Sebelum menikah saja mama sudah me
Pagi hari, Marsha tengah bersiap-siap. Marsha memilih memakai mini dress berwarna maroon lengan pendek. Dipadukan dengan wedges berwarna cream yang membuat kaki jenjangnya semakin indah. Setelah selesai berias, Marsha sebenarnya ingin lebih dulu ke ruang makan. Tapi dia memutuskan untuk ke walk in closet milik William, sejak tadi William belum juga selesai. Saat Marsha tibda di walk in closet milik William, Marsha menatap William tengah mengancingkan kemejanya. Pria yang telah menjadi suaminya itu masih belum memilih dasi dan juga arloji.Tidak ingin menunggu lama, Marsha langsung berjalan masuk. Dia memilihkan dasi dan juga arloji untuk William. Pilihan Marsha jatuh pada dasi berwarna navy dan arloji merk Rolex berwarna silver. Seketika William terkejut melihat Marsha membantunya memakai dasi. Dalam hidup William, ini pertama kali ada seorang wanita yang memasang dasi untuknya. Alice kekasihnya saja tidak pernah memakaikan dasi untuknya. Biasanya jika William tidur bersama Alice d
Melvin duduk di kursi kebesarannya dengan menatap William yang kini berdiri di hadapannya. Beberapa detik mereka saling melayangkan tatapan tajam dan mengintimidasi satu sama lain. Melvin menarik sudut bibirnya membentuk seringai kecil. Sedangkan William dia menampilkan aura dingin dan datar. Seperti sedang berhadapan dengan musuh. "William Geovan, ada hal apa pewaris Geovan Group mendatangi perusahaan ku?" tanya Melvin dengan nada sinis dan terus menatap William. William mendekat ke arah Melvin. "Aku hanya ingin berkunjung ke perusahaan yang pemiliknya tertarik pada istriku," sindir William dengan seringai di wajahnya. Dulunya William dan Melvin adalah teman dekat saat di Harvard University. Lalu pertemanan mereka hancur karena Melvin berusaha mendekati Anna kekasih William dulu. Sejak saat itu William sudah tidak lagi menganggap Melvin sebagai temannya. Sejak saat Wiliam memegang kendali di Geovan Company, tentu saja membuat Melvin sangat iri. Bagaimana tidak, perusahaan William
Waktu sudah sore, Marsha dan Karin mereka berjalan ke arah lobby perusahaan. Karena Marsha tidak membawa mobil, tentu saja William harus menjemputnya. Marsha melirik arlojinya sudah pukul enam sore tapi mobil William belum juga muncul. Marsha membuang napas kasar, ketika dirinya berada di lobby perusahaan tapi William belum juga datang. Padahal, sebelumnya Marsha sudah mengatakan jika tidak bisa menjemput, pria itu bisa meminta sopir untuk menjemputnya. Tapi tetap saja William ingin sendiri menjemput dirinya. "Marsha, kalau suamimu tidak menjemput aku bisa mengantarmu," kata Karin yang tengah menemani Marsha di lobby perusahaan. "Tidak perlu, mansionmu dengan mansion William sangat jauh. Nanti kasihan kau harus bolak-balik," ujar Marsha. Dia tidak enak jika harus diantar oleh Karin. Meskipun Karin tidak keberatan, tapi bagaimanapun Karin seorang perempuan. Jarak mansion Karin dengan Mansion milik William tidak searah. "Tapi kau harus menunggu lama seperti ini. Dan aku tahu kau san
Marsha bersantai di taman sambil menikmati salad buah dan susu kacang yang disiapkan oleh pelayan. Dia sendiri sudah terbiasa dengan pelayan yang menyiapkan segala kebutuhannya. Hanya saja di mansion milik William, tidak ada pelayan yang asal Indonesia. Padahal Marsha sangat menyukai masakan Indonesia. Negara asal dari ibunya. Weekend ini Marsha memilih untuk bersantai di rumah. Biasanya Marsha selalu jalan bersama Karin menghabiskan weekend bersama sahabatnya. Tapi entah kenapa dia lebih memilih di rumah saja. Marsha mengambil majalah di atas meja. Untuk mengurangi bosan, dia memilih untuk membaca majalah. Ketika Marsha membuka majalah yang di tangannya, ternyata itu adalah majalah bisnis. Marsha memperhatikan dengan jelas, wajah sang ayah Mario Nicholas masuk ke dalam berita sebagai salah satu pengusaha property terkenal. Senyum di bibir Marsha terukir ketika melihat ayahnya. Dia memang sangat bangga dengan ayahnya. Dulu perusahaan keluarganya tidak terlalu besar. Tapi kini perus
Marsha terbangun dari tidurnya, dia menggeliat dan menguap. Perlahan Marsha mulai membuka matanya dan mengerjap beberapa kali. Sampai dia merasa kepalanya memberat. Ketika Marsha bangun, dia merasakan tangan kokoh melingkar di perutnya. Marsha membulatkan matanya, saat melihat William memeluk dirinya. "William!!" jerit Marsha kencang. Hingga membuat William terkejut. "Shit! Kenapa kau berteriak pagi-pagi bodoh!" seru William. Telinganya sakit mendengar jeritan Marsha yang sangat kencang. "Kenapa kau memelukku! Kau kurang ajar! Tanganmu tidak memiliki sopan! Beraninya memelukku!" protes Marsha. Dia tidak terima William memeluknya. Itu artinya sepanjang malam dia tertidur, Wiliam memeluk dirinya, Padahal di tengah selalu ada guling yang menjadi pembatas mereka. "Kau pikir saat aku tidur, aku tahu kemana saja gerakan tanganku? Lagi pula itu tidak di sengaja. Tubuh kurus sepertimu tidak pernah membuatku tertarik!" William beranjak dari tempat tidur. "Sekarang kau menghina ku kurus?"
Marsha mematut cermin, merapihkan rambut panjangnya. Hari ini William meminta dirinya untuk ikut bertemu rekan bisnisnya."William, apa kau tidak salah mengajakku meeting dengan clientmu?" tanya Marsha kesal tanpa melihat ke arah William yang tengah berkutat pada ipad di tangan pria itu. Marsha sungguh tidak mau menemani William meeting dan hanya berdiam diri. Itu akan sangat membosankan. "Ya, kau harus menemaniku," jawab William dengan suara dingin. Wiliam memang sengaja membawa Marsha untuk ikut meeting dengannya. Alasanya, Wiilliam tidak ingin gadis kecil itu membuat masalah ketika dia meninggalkannya sendirian.Marsha membuang napas kasar "Baiklah." Kini William dan Marsha, berjalan meninggalkan kamar. Setibanya mereka di lobby, William dan Marsha langsung masuk ke dalam mobil. Sopir sudah sejak tadi menjemput mereka. Selama di Berlin, William sudah menyewa mobil dan beserta dengan sopir. Tidak lama kemudian, Mobil yang membawa William dan Marsha mulai berjalan meninggalkan l
Beberapa bulan kemudian... Tokyo, Japan... "Selena... Miracle... Hati-hati, jangan melempar bola salju seperti itu," seru Marsha memberikan peringatan pada kedua putrinya itu, yang tengah bermain salju. "Sean, jaga kedua adikmu. Jangan sampai mereka terluka," lanjutnya yang sedikit berteriak memperingatkan putra sulungnya itu, yang juga ikut bermain salju dengan Selena dan Miracle. "Sayang, Sean akan menjaga Selena dan Miracle dengan baik. Kau tenang saja," William merengkuh bahu Marsha seraya mengecup kening Marsha. "Lihatlah, Dominic masih tertidur pulas, meski tadi suaramu kencang. Tapi dia tetap tenang," ujarnya yang kini melihat ke arah Dominic yang tengah dalam pelukan Marsha. Marsha mendesah pelan, kemudian dia menatap Dominic yang masih tertidur pulas. Beruntung, putra bungsunya itu, tidak terbangun karena mendengar suaranya yang sedikit kencang memperingati ketiga anaknya. Ya, waktu berjalan begitu cepat. Kini Dominic berusia delapan bulan. William dan Marsha, sengaja men
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi laki-lakinya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak keempat mereka adalah laki-laki. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sesaat William menatap Marsha dengan tatapan yang begitu bahagia. Tidak pernah terpikir dalam hidup mereka, akan kembali merasakan kebahagiaan ini lagi."Dia mirip dengan Sean saat bayi," ucap William di telinga Marsha seraya memberikan banyak kecupan dipipi istrinya itu. "Terima kasih, sayang. Terima kasih telah memberikanku hadiah yang luar biasa."Marsha tersenyum dia terus mengusap lembut kepala bayi laki-lakinya itu. "Aku juga sangat bahagia, William. Melahirkan buah cinta kita adala
Marsha mematut cermin. Tubuhnya kini telah terbalut dress khusus wanita hamil yang membuat Marsha sangat nyaman. Ya, lagi dan lagi Marsha mengalami kenaikan berat badan cukup drastis. Berkali-kali suaminya mengatakan dirinya sangat cantik dan seksi saat hamil, namun Marsha tentu tidak akan percaya. Bagaimana tidak? Setiap kali Marsha menatap ke cermin, dia selalu melihat tubuhnya tampak begitu besar. Beruntung, kali ini adalah kehamilan yang terakhirnya. Memiliki empat anak sudah lebih dari cukup bagi Marsha. Padahal dulu, dia hanya menginginkan dua anak saja. Tapi William tidak akan pernah mau jika hanya dua anak. Bahkan hingga detik ini, William selalu meminta untuk kembali menambah anak. Marsha benar-benar tidak habis pikir dengan keinginan sang suami. "Setelah melahirkan, aku harus berolah raga. Aku tidak ingin gemuk seperti ini terus," gumam Marsha seraya mengusap perut buncitnya. "Sayang, Mommy sangat mencintaimu. Tenang saja, Mommy tidak akan menyalahkanmu karena kau membuat t
Suara teriakan yang keras membuat Laura yang baru saja menata pajangan di rumahnya, langsung terkejut. Dengan cepat Laura mengalihkan pandangannya, menatap ke arah pintu rumahnya. Seketika Laura mengerutkan keningnya, melihat Lea yang baru saja pulang sekolah, dengan raut wajah yang marah melangkah masuk ke dalam rumah. "Ahg! Kenapa mereka itu menyebalkan sekali! Mereka menggangguku!" seru Lea dengan suara keras kala tiba di rumah. "Sayang? Kau kenapa?" Laura mendekat ke arah Lea, dia langsung mengelus lembut pipi putrinya itu. "Tidak baik, gadis cantik masuk ke dalam rumah dengan wajah yang kesal. Sekarang katakan pada Mommy ada apa dan di mana Ken? Kenapa Ken tidak pulang bersama denganmu?" Lea mendengus, dia mencebikan bibirnya. "Ken masih berada di sekolah. Ada khursus yag harus dia ikuti. Mommy, aku rasanya ingin pindah sekolah saja. Aku tidak mau bersekolah di sekolah yang sama dengan Ka Sean. Aku pusing, Mommy!" Laura menautkan alisnya menatap bingung Lea. "Kenapa, sayang?
"Mommy..." Seorang anak perempuan berusia empat tahun berlari menghampiri Karin yang tengah memasak di dapur. Disusul dengan anak laki-laki yang juga berusia empat tahun, ikut berlari menghampiri Karin. Karin yang baru saja selesai masak, dan hendak meletakan makanan di atas meja, dia langsung mengalihkan pandangannya kala ada yang memanggilnya. Seketika senyum di bibir Karin terukir, melihat kedua anaknya tengah menghampirinya. Dengan cepat Karin langsung membuka tangannya dan memberikan pelukan hangat pada kedua anaknya itu. "Kelvin... Charlotte... Kalian sudah pulang?" Karin memberikan banyak kecupan pada kedua anaknya itu. "Ya, Mommy. Kami sudah pulang," jawab Kelvin dan Charlotte bersamaan seraya memeluk erat tubuh Karin. "Bagaimana hari kalian di sekolah? Apa kalian selalu bersama Selena dan Miracle?" tanya Karin sambil mengelus lembut pipi Kelvin dan Charlotte. Kelvin Frans Geovan dan Charlotte Frans Geovan, anak kembar dari Frans dan Karin yang berusia empat tahun ini ben
Lima Tahun Kemudian..."Astaga, Miracle. Hentikan bermain dengan pisau! Nanti kau terluka, Miracle!" Suara Marsha berseru dengan nada yang keras, agar putri kecilnya itu menghentikan bermain dengan pisau. Vanessa Miracle William Geovan, sejak kecil William mengajarkan bela diri pada Miracle, demi melindungi dirinya sendiri. Tentu William melakukan itu semua karena Miracle tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. William selalu waspada jika suatu saat ada yang berusaha mencelakai putrinya. Namun, Miracle sangat berbeda dengan Selena, saudara kembarnya yang berambut pirang, memiliki sifat yang begitu lemah lembut. Sangat sulit bagi William, mengajarkan Selena bela diri, karena berkali-kali Selena akan selalu terluka. Itu kenapa Willliam lebih memilih menjaga Selena dengan banyak pengawal yang mengikuti putrinya itu. "Mom, aku bisa melempar pisau di papan tepat sasaran. Aku hebat, kan, Mom?" Miracle tersenyum bangga, kala pisau yang dia lempar ke papan, tepat sasaran. Kemudian, dia pun
Karin menatap keindahan Canada's sugar beach. Sudah sejak beberapa hari lalu dirinya ingin pergi ke pantai ini. Tapi dia terpaksa menunda karena Frans disibukan dengan pekerjaannya. Dengan kaki telanjang, dan perut yang membuncit Karin melangkah melusuri pantai. Ya, kini kandangan Karin memasuki minggu ke tiga puluh empat. Selama kehamilan ini. Karin dilarang untuk melakukan kegiatan berat. Biasanya Karin menghabiskan waktu bersantai di rumah atau menonton film drama kesukannya. Jika Karin ingin keluar rumah, maka Frans harus ikut dengannya. Sejak hamil, sifat Frans memang begitu overprotective padanya. Dulu Karin berpikir, dia tidak akan pernah tahu bagaiamaa sifat seorang suami yang mengatasi istrinya yang tengah mengandung, tapi ternyata Tuhan begitu baik padanya, hingga memberikan kesempatan untuknya hamil. Kebahagiaan Frans dan Karin bertambah saat Dokter memberitahu dia hamil bayi kembar. Tentu Karin dan Frans begitu bahagia menyambut bayi kembar mereka. "Frans, kenapa kau tid
"Karin, pagi ini aku berangkat lebih awal. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan menggantikan William. Beberapa hari ke depan, William tidak masuk ke kantor," ucap Frans seraya memakai dasi. Karin yang tengah duduk, dia bangkit berdiri mendekat ke arah Frans, dan langsung mengambil alih Frans yang tengah memakai dasi. "Aku mengerti, William pasti sedang menemani Marsha yang baru melahirkan. Saat ini Marsha benar-benar membutuhkan William berada disisinnya." Karin menepuk pelan dada Frans kala selesai memakaikan dasi suaminya. "Terima kasih sudah mengerti," Frans menarik dagu Karin, mencium dan melumat lembut bibir Karin. "Yasudah aku berangkat sekarang. Malam ini kau tidurlah duluan. Jangan menungguku." "Hati-hati. Kabari aku jika kau sudah di kantor. Jangan lupakan makan siangmu," balas Karin mengingatkan. Frans mengangguk. Kemudian, dia mengecup singkat bibir Karin, lalu melangkah keluar meninggalkan kamar. Karin hendak menemani Frans, namun, Frans memintanya untuk tetap di
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi kembarnya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak kembar mereka adalah perempuan. Hal yang membuat William bertambah bahagia adalah saat sang Dokter mengatakan anak kembar mereka bukanlah kembar identik. Anak perempuan pertama yang lebih dulu lahir memiliki rambut pirang seperti Marsha. Sedangkan anak perempuan kedua yang lahir, memiliki rambut coklat seperti William. Sungguh, William tidak menyangka, bayi kembarnya akan lahir dengan begitu special. Kini Marsha tidak akan lagi iri, karena sekarang, Marsha memiliki satu anak yang begitu mirip dengannya. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sedangkan William d