Waktu sudah sore, Marsha dan Karin mereka berjalan ke arah lobby perusahaan. Karena Marsha tidak membawa mobil, tentu saja William harus menjemputnya. Marsha melirik arlojinya sudah pukul enam sore tapi mobil William belum juga muncul. Marsha membuang napas kasar, ketika dirinya berada di lobby perusahaan tapi William belum juga datang. Padahal, sebelumnya Marsha sudah mengatakan jika tidak bisa menjemput, pria itu bisa meminta sopir untuk menjemputnya. Tapi tetap saja William ingin sendiri menjemput dirinya. "Marsha, kalau suamimu tidak menjemput aku bisa mengantarmu," kata Karin yang tengah menemani Marsha di lobby perusahaan. "Tidak perlu, mansionmu dengan mansion William sangat jauh. Nanti kasihan kau harus bolak-balik," ujar Marsha. Dia tidak enak jika harus diantar oleh Karin. Meskipun Karin tidak keberatan, tapi bagaimanapun Karin seorang perempuan. Jarak mansion Karin dengan Mansion milik William tidak searah. "Tapi kau harus menunggu lama seperti ini. Dan aku tahu kau san
Marsha bersantai di taman sambil menikmati salad buah dan susu kacang yang disiapkan oleh pelayan. Dia sendiri sudah terbiasa dengan pelayan yang menyiapkan segala kebutuhannya. Hanya saja di mansion milik William, tidak ada pelayan yang asal Indonesia. Padahal Marsha sangat menyukai masakan Indonesia. Negara asal dari ibunya. Weekend ini Marsha memilih untuk bersantai di rumah. Biasanya Marsha selalu jalan bersama Karin menghabiskan weekend bersama sahabatnya. Tapi entah kenapa dia lebih memilih di rumah saja. Marsha mengambil majalah di atas meja. Untuk mengurangi bosan, dia memilih untuk membaca majalah. Ketika Marsha membuka majalah yang di tangannya, ternyata itu adalah majalah bisnis. Marsha memperhatikan dengan jelas, wajah sang ayah Mario Nicholas masuk ke dalam berita sebagai salah satu pengusaha property terkenal. Senyum di bibir Marsha terukir ketika melihat ayahnya. Dia memang sangat bangga dengan ayahnya. Dulu perusahaan keluarganya tidak terlalu besar. Tapi kini perus
Marsha terbangun dari tidurnya, dia menggeliat dan menguap. Perlahan Marsha mulai membuka matanya dan mengerjap beberapa kali. Sampai dia merasa kepalanya memberat. Ketika Marsha bangun, dia merasakan tangan kokoh melingkar di perutnya. Marsha membulatkan matanya, saat melihat William memeluk dirinya. "William!!" jerit Marsha kencang. Hingga membuat William terkejut. "Shit! Kenapa kau berteriak pagi-pagi bodoh!" seru William. Telinganya sakit mendengar jeritan Marsha yang sangat kencang. "Kenapa kau memelukku! Kau kurang ajar! Tanganmu tidak memiliki sopan! Beraninya memelukku!" protes Marsha. Dia tidak terima William memeluknya. Itu artinya sepanjang malam dia tertidur, Wiliam memeluk dirinya, Padahal di tengah selalu ada guling yang menjadi pembatas mereka. "Kau pikir saat aku tidur, aku tahu kemana saja gerakan tanganku? Lagi pula itu tidak di sengaja. Tubuh kurus sepertimu tidak pernah membuatku tertarik!" William beranjak dari tempat tidur. "Sekarang kau menghina ku kurus?"
Marsha mematut cermin, merapihkan rambut panjangnya. Hari ini William meminta dirinya untuk ikut bertemu rekan bisnisnya."William, apa kau tidak salah mengajakku meeting dengan clientmu?" tanya Marsha kesal tanpa melihat ke arah William yang tengah berkutat pada ipad di tangan pria itu. Marsha sungguh tidak mau menemani William meeting dan hanya berdiam diri. Itu akan sangat membosankan. "Ya, kau harus menemaniku," jawab William dengan suara dingin. Wiliam memang sengaja membawa Marsha untuk ikut meeting dengannya. Alasanya, Wiilliam tidak ingin gadis kecil itu membuat masalah ketika dia meninggalkannya sendirian.Marsha membuang napas kasar "Baiklah." Kini William dan Marsha, berjalan meninggalkan kamar. Setibanya mereka di lobby, William dan Marsha langsung masuk ke dalam mobil. Sopir sudah sejak tadi menjemput mereka. Selama di Berlin, William sudah menyewa mobil dan beserta dengan sopir. Tidak lama kemudian, Mobil yang membawa William dan Marsha mulai berjalan meninggalkan l
"Apa kau ingin ikut denganku? Aku bisa membantumu," tawar Jacob. Kemudian Marsha menatap Jacob hati-hati. "Kau takut padaku Marsha?" tanya Jacob kembali."Kau orang yang baru saja aku kenal. Tidak mungkin aku menerima tawaranmu," jawab Marsha. Meskipun Marsha saat ini membutuhkan bantuan tapi tetap saja dia harus waspada pada orang asing. Karena banyak orang, yang memperlihatkan kebaikannya untuk menutupi kejahatannya. Itu yang membuat Marsha harus berhati-hati, terlebih pada orang yang baru saja dia temui.Jacob tersenyum, lalu dia berkata. "Kau memang benar, aku orang yang baru kau kenal. Tapi aku tidak mungkin menculikmu. Jika kau tidak percaya aku akan memberikanmu kartu namaku.""Marsha!" teriak suara seorang pria begitu keras, hingga membuat Marsha terkejut.Marsha beranjak dari tempat duduknya, dia membalikan tubuhnya ke arah sumber suara yang memanggil namanya dengan keras tadi. "W-Wiliam?" Marsha menatap tak percaya, yang tadi memanggilnya adalah William. Dengan cepat Mar
Marsha berjalan keluar dari kamar mandi dengan memakai bathdrobe dan rambut yang diliit oleh handuk. Marsha melangkah mengambil gaun tidurnya yang berada di dalam koper. Setelah mengganti pakaiannya, dia langsung menuju ranjang. Tatapan Marsha teralih menatap William tengah duduk di ranjang, dengan punggung yang bersandar di kepala ranjang sambil melihat ipad. Marsha menelan salivanya susah payah, ketika melihat William hanya memakai celana saja tanpa memakai kaos. William memang suka bertelanjang dada memperlihatkan dada bidang dan otot perut yang sempurna. 'Astaga, kenapa William suka sekali tidak memakai baju,' batin Marsha. Kemudian dengan cepat, Marsha segera mengalihkan pandangannya dan langsung duduk tepat di samping William. "William," panggil Marsha. "Ya," jawab William singkat tanpa melihat ke arah Marsha. "Apa kau masih marah padaku?" tanya Marsha. Dia melihat dari wajah William, terlihat jika suaminya itu masih marah dengannya. "Menurut mu?" William tetap melihat ke
Marsha dan William sudah tiba Kurfurstendamn, tempat di mana surga belanja bagi para wanita. Butik-butik merk tenama dunia ada di sini. Dengan antusias Marsha langsung mengajak William mengunjungi Louis Vuitton, Gucci, Prada, dan juga Hermes. William membuang napas kasar menemani Marsha yang tengah berbelanja. Marsha membelikan oleh-oleh untuk mertuanya, orang tuanya sendiri dan juga untuk sahabatnya. Tidak hanya itu, dia pun memilihkan baju untuk Willim. Baju, sepatu, jaket semua Marsha pilihkan untuk William. Sedangkan William, dia tidak menyangka di tengah Marsha yang sedang berbelanja tapi Marsha ternyata memilihkan untuknya juga. "William, apa sepupumu ada di Kanada?" tanya Marsha sembari memilih tas yang dia inginkan. "Maksudmu Frans?" Willliam mengerutkan keningnya. "Ya, apa Frans ada di Kanada saat ini?" tanya Marsha memastikan."Harusnya saat kita kembali, dia ada di Kanada. Memangnya kenapa?" tanya William bingung. Tidak biasanya Marsha menanyakan tentang sepupunya itu.
Sinar matahari pagi menembus jendela, menyetuh wajah Marsha. Hingga membuat Marsha mulai membuka matanya. Marsha menguap dan menggeliat. Marsha melihat ke samping ternyata William tidak ada. Pasti William sudah lebih dulu bangun. Marsha beranjak dari tempat tidur, lalu mengikat asal rambutnya. Pandangan Marsha melihat tubuhnya masih terbalut pakaian yang dia pakai kemarin. Marsha menepuk keningnya pelan, dia pasti tertidur di mobil. Marsha menggeleng tak percaya, dirinya tidur begitu lama. Bahkan William membopong dirinya, tapi tetap tidak terbangun. Marsha mendesah lega, beruntung William tidak berani menggantikan pakaiannya. Tidak lama kemudian, William keluar dari kamar mandi hanya memakai handuk yang dililit dipinggangnya. Marsha menatap William, dengan dada telanjang dan hanya memakai handuk, dia menelan salivanya susah payah. Tubuh suaminya itu begitu sempurna. Dada bidang, otot perut tercetak begitu sempurna. Marsha tersenyum canggung, dia bersikap untuk seperti biasa tapi ja