Marsha mematut cermin, merapihkan rambut panjangnya. Hari ini William meminta dirinya untuk ikut bertemu rekan bisnisnya."William, apa kau tidak salah mengajakku meeting dengan clientmu?" tanya Marsha kesal tanpa melihat ke arah William yang tengah berkutat pada ipad di tangan pria itu. Marsha sungguh tidak mau menemani William meeting dan hanya berdiam diri. Itu akan sangat membosankan. "Ya, kau harus menemaniku," jawab William dengan suara dingin. Wiliam memang sengaja membawa Marsha untuk ikut meeting dengannya. Alasanya, Wiilliam tidak ingin gadis kecil itu membuat masalah ketika dia meninggalkannya sendirian.Marsha membuang napas kasar "Baiklah." Kini William dan Marsha, berjalan meninggalkan kamar. Setibanya mereka di lobby, William dan Marsha langsung masuk ke dalam mobil. Sopir sudah sejak tadi menjemput mereka. Selama di Berlin, William sudah menyewa mobil dan beserta dengan sopir. Tidak lama kemudian, Mobil yang membawa William dan Marsha mulai berjalan meninggalkan l
"Apa kau ingin ikut denganku? Aku bisa membantumu," tawar Jacob. Kemudian Marsha menatap Jacob hati-hati. "Kau takut padaku Marsha?" tanya Jacob kembali."Kau orang yang baru saja aku kenal. Tidak mungkin aku menerima tawaranmu," jawab Marsha. Meskipun Marsha saat ini membutuhkan bantuan tapi tetap saja dia harus waspada pada orang asing. Karena banyak orang, yang memperlihatkan kebaikannya untuk menutupi kejahatannya. Itu yang membuat Marsha harus berhati-hati, terlebih pada orang yang baru saja dia temui.Jacob tersenyum, lalu dia berkata. "Kau memang benar, aku orang yang baru kau kenal. Tapi aku tidak mungkin menculikmu. Jika kau tidak percaya aku akan memberikanmu kartu namaku.""Marsha!" teriak suara seorang pria begitu keras, hingga membuat Marsha terkejut.Marsha beranjak dari tempat duduknya, dia membalikan tubuhnya ke arah sumber suara yang memanggil namanya dengan keras tadi. "W-Wiliam?" Marsha menatap tak percaya, yang tadi memanggilnya adalah William. Dengan cepat Mar
Marsha berjalan keluar dari kamar mandi dengan memakai bathdrobe dan rambut yang diliit oleh handuk. Marsha melangkah mengambil gaun tidurnya yang berada di dalam koper. Setelah mengganti pakaiannya, dia langsung menuju ranjang. Tatapan Marsha teralih menatap William tengah duduk di ranjang, dengan punggung yang bersandar di kepala ranjang sambil melihat ipad. Marsha menelan salivanya susah payah, ketika melihat William hanya memakai celana saja tanpa memakai kaos. William memang suka bertelanjang dada memperlihatkan dada bidang dan otot perut yang sempurna. 'Astaga, kenapa William suka sekali tidak memakai baju,' batin Marsha. Kemudian dengan cepat, Marsha segera mengalihkan pandangannya dan langsung duduk tepat di samping William. "William," panggil Marsha. "Ya," jawab William singkat tanpa melihat ke arah Marsha. "Apa kau masih marah padaku?" tanya Marsha. Dia melihat dari wajah William, terlihat jika suaminya itu masih marah dengannya. "Menurut mu?" William tetap melihat ke
Marsha dan William sudah tiba Kurfurstendamn, tempat di mana surga belanja bagi para wanita. Butik-butik merk tenama dunia ada di sini. Dengan antusias Marsha langsung mengajak William mengunjungi Louis Vuitton, Gucci, Prada, dan juga Hermes. William membuang napas kasar menemani Marsha yang tengah berbelanja. Marsha membelikan oleh-oleh untuk mertuanya, orang tuanya sendiri dan juga untuk sahabatnya. Tidak hanya itu, dia pun memilihkan baju untuk Willim. Baju, sepatu, jaket semua Marsha pilihkan untuk William. Sedangkan William, dia tidak menyangka di tengah Marsha yang sedang berbelanja tapi Marsha ternyata memilihkan untuknya juga. "William, apa sepupumu ada di Kanada?" tanya Marsha sembari memilih tas yang dia inginkan. "Maksudmu Frans?" Willliam mengerutkan keningnya. "Ya, apa Frans ada di Kanada saat ini?" tanya Marsha memastikan."Harusnya saat kita kembali, dia ada di Kanada. Memangnya kenapa?" tanya William bingung. Tidak biasanya Marsha menanyakan tentang sepupunya itu.
Sinar matahari pagi menembus jendela, menyetuh wajah Marsha. Hingga membuat Marsha mulai membuka matanya. Marsha menguap dan menggeliat. Marsha melihat ke samping ternyata William tidak ada. Pasti William sudah lebih dulu bangun. Marsha beranjak dari tempat tidur, lalu mengikat asal rambutnya. Pandangan Marsha melihat tubuhnya masih terbalut pakaian yang dia pakai kemarin. Marsha menepuk keningnya pelan, dia pasti tertidur di mobil. Marsha menggeleng tak percaya, dirinya tidur begitu lama. Bahkan William membopong dirinya, tapi tetap tidak terbangun. Marsha mendesah lega, beruntung William tidak berani menggantikan pakaiannya. Tidak lama kemudian, William keluar dari kamar mandi hanya memakai handuk yang dililit dipinggangnya. Marsha menatap William, dengan dada telanjang dan hanya memakai handuk, dia menelan salivanya susah payah. Tubuh suaminya itu begitu sempurna. Dada bidang, otot perut tercetak begitu sempurna. Marsha tersenyum canggung, dia bersikap untuk seperti biasa tapi ja
Marsha keluar dari kamar mandi, dan berjalan menuju ranjang. Dia melihat William tengah berkutat dengan ipadnya. Marsha langsung segera melupakan kejadian tadi. Astaga padahal Marsha hampir tidak bisa melupakan jantungnya berdegup kencang saat William menciumnya. Tapi tidak boleh, dia harus berusaha untuk biasa saja. Kemudian Marsha membaringkan tubuhnya di samping William. Pandangan William melirik ke arah Marsha yang sudah membaringkan tubuhya. Lalu dia kembali berkutat pada ipadnya seolah tidak terjadi apa pun."Besok aku ada meeting terakhir, dua hari lagi kita sudah kembali ke Kanada. Banyak yang aku kerjakan di perusahaan. Aku masih harus mengurus proyek dengan perusahaan ayahmu," kata William yang lebih dulu memulai percakapan. "Apa kau memintaku untuk ikut meeting lagi denganmu di tempat sebelumnya?" tanya Marsha. Dia mencoba melupakan kejadian tadi. Dia menganggap itu sebuah ketidaksengajaan. Meskipun kini jantungnya semakin berdegup kencang ketika berada di samping William
Setelah meeting, William membawa Marsha ke salah satu restoran. Mereka memutuskan untuk makan malam sebelum kembali ke hotel. Karena besok mereka sudah kembali ke Kanada, malam ini mereka harus merapihkan barang-barang mereka. William harus segera kembali ke Kanada, karena masih banyak pekerjaan yang harus dia kerjakan. Terutama dia sekarang memiliki proyek kerja sama dengan Mario ayah mertuanya. William memesan, salmon steak dan mashed potato untuk Marsha. Sedangkan dirinya lebih memilih tenderloin steak. Tidak lama kemudian pelayan pun mengantarkan makanan ke meja mereka. "William, apa kau akan bekerja sama dengan pamannya Jacob?" tanya Marsha sambil menikmati makanannya. "Ya, aku akan bekerja sama dengannya. Rencananya aku akan membuka perusahaan cabang di sini," jawab William dengan suara dingin tanpa melihat ke arah Marsha.Marsha mengangguk paham. "Kenapa tadi Jacob bisa ada bersamamu?" tanya William dengan nada ketidaksukaannya. "Aku juga tidak tahu, aku berada di ruang t
Sinar matahari pagi menembus jendela menyentuh wajah Marsha yang tengah tertidur pulas. Perlahan Marsha mulai membuka matanya. Dia mengerjap beberapa kali dan menguap. Marsha melirik ke samping, melihat William sudah tidak ada di sampingnya. Marsha yakin, William sudah lebih dulu bangun.Marsha mengambil ponselnya di atas nakas, dia melihat kini sudah pukul delapan pagi. Dia ingat William mengatakan jika pukul sebelas adalah penerbangan mereka. Dengan cepat Marsha bangun dan langsung berlari menuju kamar mandi.Setelah Marsha sudah selesai mandi, dan sudah mengganti pakaiannya dengan mini dress berwarna pink muda lengan pendek. Kini Marsha memoles wajahnya dengan make up tipis dengan rambut yang dia biarkan tergerai indah. CeklekPintu kamar terbuka, Marsha mengalihkan pandangannya ke arah pintu. Dia melihat William baru saja masuk. Karena bangun terlambat, Marsha baru menyadari jika tadi dia tidak mencari William. "Kau dari mana?" tanya Marsha saat melihat William masuk ke dalam ka