"Apa kau ingin ikut denganku? Aku bisa membantumu," tawar Jacob. Kemudian Marsha menatap Jacob hati-hati. "Kau takut padaku Marsha?" tanya Jacob kembali."Kau orang yang baru saja aku kenal. Tidak mungkin aku menerima tawaranmu," jawab Marsha. Meskipun Marsha saat ini membutuhkan bantuan tapi tetap saja dia harus waspada pada orang asing. Karena banyak orang, yang memperlihatkan kebaikannya untuk menutupi kejahatannya. Itu yang membuat Marsha harus berhati-hati, terlebih pada orang yang baru saja dia temui.Jacob tersenyum, lalu dia berkata. "Kau memang benar, aku orang yang baru kau kenal. Tapi aku tidak mungkin menculikmu. Jika kau tidak percaya aku akan memberikanmu kartu namaku.""Marsha!" teriak suara seorang pria begitu keras, hingga membuat Marsha terkejut.Marsha beranjak dari tempat duduknya, dia membalikan tubuhnya ke arah sumber suara yang memanggil namanya dengan keras tadi. "W-Wiliam?" Marsha menatap tak percaya, yang tadi memanggilnya adalah William. Dengan cepat Mar
Marsha berjalan keluar dari kamar mandi dengan memakai bathdrobe dan rambut yang diliit oleh handuk. Marsha melangkah mengambil gaun tidurnya yang berada di dalam koper. Setelah mengganti pakaiannya, dia langsung menuju ranjang. Tatapan Marsha teralih menatap William tengah duduk di ranjang, dengan punggung yang bersandar di kepala ranjang sambil melihat ipad. Marsha menelan salivanya susah payah, ketika melihat William hanya memakai celana saja tanpa memakai kaos. William memang suka bertelanjang dada memperlihatkan dada bidang dan otot perut yang sempurna. 'Astaga, kenapa William suka sekali tidak memakai baju,' batin Marsha. Kemudian dengan cepat, Marsha segera mengalihkan pandangannya dan langsung duduk tepat di samping William. "William," panggil Marsha. "Ya," jawab William singkat tanpa melihat ke arah Marsha. "Apa kau masih marah padaku?" tanya Marsha. Dia melihat dari wajah William, terlihat jika suaminya itu masih marah dengannya. "Menurut mu?" William tetap melihat ke
Marsha dan William sudah tiba Kurfurstendamn, tempat di mana surga belanja bagi para wanita. Butik-butik merk tenama dunia ada di sini. Dengan antusias Marsha langsung mengajak William mengunjungi Louis Vuitton, Gucci, Prada, dan juga Hermes. William membuang napas kasar menemani Marsha yang tengah berbelanja. Marsha membelikan oleh-oleh untuk mertuanya, orang tuanya sendiri dan juga untuk sahabatnya. Tidak hanya itu, dia pun memilihkan baju untuk Willim. Baju, sepatu, jaket semua Marsha pilihkan untuk William. Sedangkan William, dia tidak menyangka di tengah Marsha yang sedang berbelanja tapi Marsha ternyata memilihkan untuknya juga. "William, apa sepupumu ada di Kanada?" tanya Marsha sembari memilih tas yang dia inginkan. "Maksudmu Frans?" Willliam mengerutkan keningnya. "Ya, apa Frans ada di Kanada saat ini?" tanya Marsha memastikan."Harusnya saat kita kembali, dia ada di Kanada. Memangnya kenapa?" tanya William bingung. Tidak biasanya Marsha menanyakan tentang sepupunya itu.
Sinar matahari pagi menembus jendela, menyetuh wajah Marsha. Hingga membuat Marsha mulai membuka matanya. Marsha menguap dan menggeliat. Marsha melihat ke samping ternyata William tidak ada. Pasti William sudah lebih dulu bangun. Marsha beranjak dari tempat tidur, lalu mengikat asal rambutnya. Pandangan Marsha melihat tubuhnya masih terbalut pakaian yang dia pakai kemarin. Marsha menepuk keningnya pelan, dia pasti tertidur di mobil. Marsha menggeleng tak percaya, dirinya tidur begitu lama. Bahkan William membopong dirinya, tapi tetap tidak terbangun. Marsha mendesah lega, beruntung William tidak berani menggantikan pakaiannya. Tidak lama kemudian, William keluar dari kamar mandi hanya memakai handuk yang dililit dipinggangnya. Marsha menatap William, dengan dada telanjang dan hanya memakai handuk, dia menelan salivanya susah payah. Tubuh suaminya itu begitu sempurna. Dada bidang, otot perut tercetak begitu sempurna. Marsha tersenyum canggung, dia bersikap untuk seperti biasa tapi ja
Marsha keluar dari kamar mandi, dan berjalan menuju ranjang. Dia melihat William tengah berkutat dengan ipadnya. Marsha langsung segera melupakan kejadian tadi. Astaga padahal Marsha hampir tidak bisa melupakan jantungnya berdegup kencang saat William menciumnya. Tapi tidak boleh, dia harus berusaha untuk biasa saja. Kemudian Marsha membaringkan tubuhnya di samping William. Pandangan William melirik ke arah Marsha yang sudah membaringkan tubuhya. Lalu dia kembali berkutat pada ipadnya seolah tidak terjadi apa pun."Besok aku ada meeting terakhir, dua hari lagi kita sudah kembali ke Kanada. Banyak yang aku kerjakan di perusahaan. Aku masih harus mengurus proyek dengan perusahaan ayahmu," kata William yang lebih dulu memulai percakapan. "Apa kau memintaku untuk ikut meeting lagi denganmu di tempat sebelumnya?" tanya Marsha. Dia mencoba melupakan kejadian tadi. Dia menganggap itu sebuah ketidaksengajaan. Meskipun kini jantungnya semakin berdegup kencang ketika berada di samping William
Setelah meeting, William membawa Marsha ke salah satu restoran. Mereka memutuskan untuk makan malam sebelum kembali ke hotel. Karena besok mereka sudah kembali ke Kanada, malam ini mereka harus merapihkan barang-barang mereka. William harus segera kembali ke Kanada, karena masih banyak pekerjaan yang harus dia kerjakan. Terutama dia sekarang memiliki proyek kerja sama dengan Mario ayah mertuanya. William memesan, salmon steak dan mashed potato untuk Marsha. Sedangkan dirinya lebih memilih tenderloin steak. Tidak lama kemudian pelayan pun mengantarkan makanan ke meja mereka. "William, apa kau akan bekerja sama dengan pamannya Jacob?" tanya Marsha sambil menikmati makanannya. "Ya, aku akan bekerja sama dengannya. Rencananya aku akan membuka perusahaan cabang di sini," jawab William dengan suara dingin tanpa melihat ke arah Marsha.Marsha mengangguk paham. "Kenapa tadi Jacob bisa ada bersamamu?" tanya William dengan nada ketidaksukaannya. "Aku juga tidak tahu, aku berada di ruang t
Sinar matahari pagi menembus jendela menyentuh wajah Marsha yang tengah tertidur pulas. Perlahan Marsha mulai membuka matanya. Dia mengerjap beberapa kali dan menguap. Marsha melirik ke samping, melihat William sudah tidak ada di sampingnya. Marsha yakin, William sudah lebih dulu bangun.Marsha mengambil ponselnya di atas nakas, dia melihat kini sudah pukul delapan pagi. Dia ingat William mengatakan jika pukul sebelas adalah penerbangan mereka. Dengan cepat Marsha bangun dan langsung berlari menuju kamar mandi.Setelah Marsha sudah selesai mandi, dan sudah mengganti pakaiannya dengan mini dress berwarna pink muda lengan pendek. Kini Marsha memoles wajahnya dengan make up tipis dengan rambut yang dia biarkan tergerai indah. CeklekPintu kamar terbuka, Marsha mengalihkan pandangannya ke arah pintu. Dia melihat William baru saja masuk. Karena bangun terlambat, Marsha baru menyadari jika tadi dia tidak mencari William. "Kau dari mana?" tanya Marsha saat melihat William masuk ke dalam ka
Toronto, Canada. Marsha dan William kini sudah tiba di Kanada. Sopir sudah menjemput William dan Marsha. Kemudian William dan Marsha berjalan ke arah mobil. Barang-barang milik William dan Marsha sudah di bawa oleh anak buah William yang sengaja William panggil untuk menjemputnya di bandara.Marsha melihat paparazzi yang tengah memotret dirinya bersama dengan William. Marsha mendengus kesal, dia tidak suka kehidupan pribadinya harus berada di media. Jika seperti ini, suatu saat Raymond kembali ke Kanada akan sulit membuat Marsha bertemu dengan Raymond. Marsha dan William kini masuk ke dalam mobil, bahkan sampai mereka masuk ke dalam mobil tetap saja masih ada yang memotret mereka. "Apa kau msih mengantuk?" tanya Willim melihat ke arah Marsha."Tidak, aku sudah tidak mengantuk." jawab Marsha datar."Good, aku tidak mau direpotkan harus menggendongmu," balas William dingin."Kau tidak mau di repotkan tapi selalu menggendong ku, aku rasa kau menyukai menggendongku!" tukas Marsha yang
Pesawat yang membawa William dan Marsha, telah mendarat di Bandar Udara Internasional Malpensa. Kini William dan Marsha turun dari pesawat, mereka berjalan keluar dari pesawat, menuju lobby. Sebelumnya, William sudah meminta sopir dari perusahaan kakeknya yang ada di Milan untuk menjemput. Terlihat Marsha yang tampak begiti kelelahan. Marsha terus memeluk lengan William, menyandarkan kepalanya di lengan kekar sang suami. Ketika sudah tiba di lobby, William dan Marsha melihat sopir sudah menjemput mereka. Sang sopir langsung menundukan kepalanya, menyapa William dan Marsha. Kemudian, William dan Marsha masuk ke dalam mobil. Kini mobil yang membawa William dan Marsha, mulai berjalam meninggalkan lobby bandara. Sepanjang perjalanan, Marsha menyandarkan kepalanya di bahu William. Berkali-kali William menawarkan untuk memanggil dokter, tapi istrinya tida pernah mau. Ya, Marsha saat ini hanya ingin segera tiba di hotel, dan langsung beristirahat. "Marsha, apa besok kau tidak usah datang
Waktu menunjukan pukul tujuh pagi, Marsha sudah bangun lebih awal. Ya, pagi ini Marsha harus bersiap-siap karena hari ini dia dan William akan terbang ke Milan. Sungguh, suaminya itu sangat mengejutkannya. Marsha bahkan belum menyiapkan apapun. Beruntung, William sudah menyiapkan hadiah pernikahan Orina dan Antonio, jika belum, sudah pasti dia akan kesal karena semuanya harus terburu-buru. "Sudah semua belum ya?" gumam Marsha seraya mengetuk pelan dagunya dengan telunjuknya. Tatapannya, mentap barang-barang pribadi miliknya dan William. Khusus keberangkatan hari ini, William memutuskan untuk tidak membawa Sean. Tadi pagi, Sean sudah dititipkan pada Veronica dan Lukas. William sengaja tidak membawa Sean, karena putranya itu baru masuk sekolah. Tidak hanya itu, tapi beberapa minggu terakhir, Sean akan banyak berlajar bahasa asing. Itu yang membuat William dan Marsha tidak mungkin membawa Sean. Mengingat pendidikan Sean jauh lebih penting. "Astaga, aku belum membawa perawatan kulit."
"Tuan William, aku rasa kita bisa membahas kerja sama bisnis," ujar George sambil menatap William yang berdiri di hadapannya. William tersenyum tipis. "Ya, aku rasa itu bukan ide yang buruk. Kita bisa membahas kerja sama." "Nyonya Sofia, Boleh aku menggendong Aurora?" pinta Marsha yang sudah sejak tadi sangat gemas pada bayi perempuan yang digendong Sofia. "Tentu Boleh, Nyonya Marsha..." Sofia langsung memberikan Aurora pada Marsha. Dengan wajah yang begitu bahagia Marsha menggendong Aurora, dia memberikan banyak kecupan pada bayi perempuan yang sangat cantik itu. "Mommy... Mommy menggendong siapa?" Sean yang tadi tengah bermain dengan Lea, dia langsung menghampiri Marsha yang tengah menggendong seorang baik. Marsha mengalihkan pandangannya, melihat Sean yang kini berada di hadapannya. Kemudian dia menundukan tubuhnya seraya berkata, "Sean, apa bayi perempuan ini sangat cantik?" tanyanya dengan lembut pada putranya. Sean mengangguk, lalu dia membawa tangan mungilnya menyentuh pi
Pagi hari semua orang terlihat begitu sibuk. Para pelayan, modar mandir membantu menyiapkan segala kebutuhan ulang tahun Sean. Terlebih tadi pagi, hadiah dari Clara baru saja datang. Sebuah mobil Bugatti Centodieci telah disiapkan oleh Clara dan Mario untuk Sean. Orang pertama yang begitu terkejut adalah Marsha, dia sungguh tidak berpikir orang tuanya akan membelikan sebuah mobil sport untuk Sean. Terlebih Bugatti Centodieci adalah salah satu mobil yang hanya diproduksi sebanyak sepuluh unit. Tentu yang memiiki mobil Bugatti Centodieci, harus rela mengeluarkan uang yang besar. Kini Marsha baru saja selesai berias. Tubuhnya terbalut oleh gaun berwarna merah dengan model atas kemben. Gaun ini benar-benar membuat lengkuk tubuhnya terlihat sempurna. Riasan bold, dengan lipstik merah membuat bibir ranumnya tampak penuh dan seksi. Rambut pirang dan tebalnya, Marsha biarkan tergerai indah, menutupi punggung polosnya. William yang berdiri di ambang pintu, dia tersenyum melihat sang istri ya
Menjelang pesta ulang tahun Sean, Marsha disibukan dengan banyaknya yang harus diurus. Meski, dia menyerahkan pada Luna, assistantnya, tapi tetap saja Marsha ingin terlibat pada pesat ulang tahunnya Sean. Tidak hanya sendiri, Marsha pun turut dibantu oleh Ibu mertuanya. Paling tidak meski Clara, ibunya sendiri tidak ada di dekatnya, ada Ibu mertuanya yang selalu membantu dirinya.Kini Marsha tengah berada di dapur—memasak untuk sang suami. Hari ini, Marsha ingin khsus memasak makanan untuk William. Sudah beberapa minggu terakhir, sang suami selalu masak makanan yang telah disiapkan oleh Andine, chefnya. Untuk kali ini, Marsha ingin sendiri memasak untuk William. "Selesai," ucap Marsha ketika menata tenderloin steak dengan mashed potato di atas piring. Tidak lupa dia menambahkan tartar sauce dan lemon untuk menambah citra rasa makanan yang telah dibuatnya. Setelah selesai memasak, Marsha mengalihkan pandangannnya ke jam dinding, kini sudah pukul enam sore, biasanya William sudah pula
"William, ada yang ingin aku bicarakan padamu.." Marsha melangkah keluar dari walk-in closetnya. Dia baru saja mengganti pakaiannya dengan gaun tidur nyaman. Tatapannya kini menatap sang suami yang duduk di ranjang dengan punggung yang bersandar di kepala ranjang seraya fokus pada iPad ditangannya. Kemudian Marsha mendekat, lalu duduk di samping suaminya. "Apa kau sibuk?" William mengalihkan pandangannya, lalu saat dia melihat sang istri sudah duduk di sampingnya, dia langsung meletakan iPad yang ada di tangannya itu ke atas nakas. Kemudian dia menarik tangan Marsha masuk ke dalam pelukannya seraya menjawab, "Apa yang kau ingin bicarakan, sayang?""Aku ingin membahas tentang tadi. Kenapa kau dan Mama sudah membahas tentang jodoh untuk Sean? Putra kita masih sagat kecil, William," ujar Marsha yang memprotes. Sudah sejak tadi dai menahan diri. Meski dia tahu, percuma saja memprotes, tapi setidaknya dia berbicara pada sang suami apa yang dia tidak sukai. "Kenapa kau tidak membiarkan Sea
"Kalian nikmatilah liburan. Pergilah berbulan madu, nanti Dokter bisa menemani kalian. Ini waktunya kalian menikmati hidup kalian. Masalah perusaahan, biar aku semua yang menanganinya. Setelah Sean berulang tahun nanti, aku akan menyiapkan liburan untuk kalian berdua," ujar William sambil menatap kedua orang tuanya.Veronica dan Lukas sama-sama tersenyum. "Ya, kami percaya, kau bisa mengatasi perusahaan dengan baik," jawab Lukas.Kemudian, tatapan Veeronica teralih pada Marsha yang duduk di samping Wiliam. "Marsha, Mama ingin membahas hal penting..""Ada apa, Ma?" Marsha mengerutkan keningnya, menatap bingung Ibu mertuanya."Ini tentang hadiah ulang tahun, Sean," balas Veronica. Marsha mendesah lega, ternyata mertuanya membahas tentang ulang tahun Sean. Dia berpikir, Ibu mertuanya akan memaksa dirinya agar hamil. Mengingat sudah cukup lama dia menikah dengan William, namun hanya memiliki satu orang putranya. Marsha benar-benar bersyukur memiliki mertua yang begitu pengertian dan meny
Marsha melangkah masuk ke dalam kamar William. Kamar yang dulu William sebelum mereka menikah. Entah kenapa, Marsha ingin berada di kamar lama milik William. Kini Marsha duduk di tepi ranjang. Tatapannya, teralih pada foto dirinya dan Sean yang terletak di atas nakas. Marsha langsung mengambil bingkai foto itu, dia menatap wajah putranya yang sekarang sudah tumbuh besar. Ingatan Marsha mengingat, kala Sean masih bayi, sejak dulu putranya itu sudah begitu menggemaskan. Di saat Marsha tengah menatap foto dirinya dan Sean, dia kembali mengingat tanpa terasa pernikahannya dnegan William hampir empat tahun. Dan selama itu juga dirinya masih belum memberikan adik untuk Sean. Marsha mendesah pelan, tadi Laura memberikan kabar bahagia, bahwa telah hamil. Tentu Masha begitu bahagia mendengar kabar itu. Dia sangat senang, melihat adik iparnya memiliki kehidupan yang sempurna. Lea akan segera memiliki seorang adik. Pikiran Marsha mengingat permintaan Sean yang ingin segera memiliki seorang adik
Suara dering ponsel terdengar, Marsha yang baru saja selesai mandi dan masih memakai bathrobe, langsung menuju pada ponselnya yang terus berdering itu. Kemudian, dia mengambil ponselnya yang terletak di atas nakas—menatap ke layar, tertera nomor Laura yang menghubunginya. Tanpa menunggu lama, Marsha langsung menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan, sebelum kemudian meletakan ke telinganya. "Ya, Laura?" jawab Marsha saat panggilan terhubung. "Marsha, apa aku mengganggumu? Kau di mana?" tanya Laura dari seberang line. "Tidak, Laura. Aku baru saja selesai mandi. Ada apa?" "Marsha, aku dan Raymond sudah di Toronto, apa kau bisa hari ini ke rumah Mama? Aku dan Raymond hari ini ke rumah Mama." "Kau sudah pulang? Bukannya kau akan pulang besok?" "Tidak, aku dan Raymond memajukan kepulangan kami. Jadi apa kau hari ini bisa datang ke rumah Mama?""Jam berapa kau ke sana?" "Jam sepuluh nanti kalau kakakku tidak bisa ikut, tidak apa-apa, kau saja dengan Sean." "Baiklah aku akan k