William menyandarkan punggungnya di kursi. Memejamkan mata lelah. Pikirannya kini tidak bisa berpikir jernih. Tujuannya kembali ke Kanada, hanya untuk memimpin perusahaan tapi dia harus di hadapkan dengan kenyataan harus menikahi wanita yang bahkan dia tidak mengenal wanita itu. Hingga detik ini, William masih terus memikirkan cara bagaimana dirinya harus menjelaskan pada Alice. Tidak mungkin William membiarkan kekasihnya harus terluka karena ini.
Terdengar suara dering ponsel membuat William menghentikan lamunannya. William membuka matanya, dia mengambil ponselnya yang berada di atas meja. William membuang napas kasar, ketika menatap ke layar tertera ibunya menghubungi dirinya. Tidak ada pilihan lain, tidak mungkin William tidak menjawab panggilan itu. William menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan, sebelum kemudian meletakan ke telinganya. "Ya?" jawab William saat panggilannya sudah tersambung. "William, apa kau sibuk?" tanya Veronica dari seberang line. "Tidak, ada apa?" "Mama ingin besok, kau mengajak Marsha berkencan. Kalian kan akan menikah, mama ingin kalian mengenal lebih dekat satu sama lain." "Tidak bisa, besok aku sibuk!" "William! Mama tidak mau tahu, kau harus mengajak Marsha berkencan. Kau ini jangan hanya memikirkan pekerjaanmu!" William mengumpat dalam hati. "Ya, nanti aku akan mengubungi Marsha." "Good, mama senang mendengarnya. Kalau begitu mama matikan dulu. Ingat besok kau dan Marsha harus berkencan." Tanpa menjawab, William langsung memutuskan panggilan teleponnya. Tidak ada pilihan lain, jika William tidak menuruti keinginan ibunya itu sama saja dengan dirinya yang mencari masalah. Padahal Marsha baru saja keluar dari kantornya, tapi kini dia harus menghubungi wanita itu. Dengan malas, William mencari kontak Marsha dan mulai menghubungi wanita itu."Marsha," sapa Willam panggilannya terhubung.
"Astaga paman, ada apa kau menghubungiku? Bukannya tadi aku sudah menandatangani surat perjanjian," seru Marsha dari seberang line. "Berhenti memanggilku paman! Atau aku akan melemparmu!" desis William. "Ya yaa maaf, ada apa William?" tanya Marsha, sinis. "Besok malam kita harus berkencan." tukas William yang sontak membuat Marsha terkejut. "Eh?" "Jangan terlalu percaya diri. Aku tidak tertarik dengan gadis kecil sepertimu. Ibuku yang memaksaku untuk berkencan denganmu besok malam!" seru William. "Kenapa kau tidak menolaknya?" "Kau jangan berisik! Kalau aku bisa menolaknya, aku pasti akan menolaknya!" "CK, baiklah. besok malam kau jemput aku di rumahku saja." "Besok, jam 7 malam aku akan menjemputmu. Kau sudah harus siap saat aku datang. Aku tidak suka menunggu!" "Ya, tenang saja. Aku tidak akan terlambat." balas Marsha yang langsung mematikan teleponnya. "Sialan, gadis itu berani mematikan telepon dari ku." geram William saat Marsha dengan berani langsung mematikan teleponnya. *** Marsha meletakan ponselnya ke atas meja, dia mendengus kesal setelah mendapatkan telepon dari William. "Sha, siapa yang telepon?" tanya Karin sambil manatap Marsha. "William," jawab Marsha dengan nada yang kesal. "Ada apa William menghubungi mu, bukannya kalian tadi baru bertemu?" tanya Karin kembali."Besok aku harus berkencan dengannya," balas Marsha.
"What? Kencan? Are you kidding me?" Karin benar-benar tidak percaya, Marsha akan berkencan dengan William. "CK! Jangan berpikir yang tidak-tidak. Kami berkencan karena keinginan ibunya!" seru Marsha kesal. Karin mengangguk paham. "Baiklah, siapa tahu dengan berkencan kau akan semakin mengenal William. Dan bisa membuka hatimu untuk William." "Jangan bicara yang tidak-tidak Karin!" Marsha mendengus tak suka. "Sudahlah, aku ingin pulang. Kepalaku pusing! Saat ini aku membutuhkan berendam." Karin terkekeh. "Baiklah, selamat menikmati waktu bersantaimu." Marsha mengangguk singkat, dia beranjak dan langsung meninggalkan kafe. Sebelum meninggalkan kafe, Marsha sudah lebih dulu melunasi bill makanan yang dia pesan tadi. *** Marsha melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Kini Mobil Marsha mulai memasuki halaman parkir mansionnya. Marsha turun dari mobil, dia melangkah masuk ke dalam rumah. Saat Marsha hendak masuk ke dalam kamar, langkah Marsha terhenti ketika melihat ibunya berada di hadapannya. "Marsha? Kau sudah pulang sayang?" Clara melangkah mendekat ke arah putrinya itu. "Ya ma," jawab Marsha. "Sayang, mama dengar dari Bibi Veronica, kau dan William akan berkencan. Apa itu benar?" Marsha menghela napas kasar. "Benar." Clara tersenyum. "Kalau begitu mama harus menyiapkan gaun untukmu. Mama ingin membuat William tidak henti menatap dirimu." "Ma, jangan berlebihan. Aku hanya jalan dengan William," balas Marsha malas. "Kau ini bagaimana, karena kau ingin berkencan dengan William. Itu yang harus membuatmu terlihat jauh lebih cantik. Mama ingin William menatap kagum dirimu," seru Clara antusias.Marsha memutar bola matanya malas. "Terserah mama kalau begitu aku mau masuk ke kamar dulu." Marsha langsung berjalan meninggalkan Clara, dia tidak perduli dengan apa yang direncanakan ibunya itu.
*** Marsha melangkah masuk ke dalam kamar, dia menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang. Dalam beberapa hari ini, pikirannya benar-benar sangat kacau. Hidupnya berubah saat orang tuanya menjodohkan dirinya dengan William, Seketika Marsha mengingat Raymond. Pria yang terus berada dihatinya. Pria yang berhasil membuatnya menunggu. Meski kini Marsha tidak tahu bagaimana menjalani semua ini. Marsha mengambil ponsel, dia mencari berita terbaru tentang Raymond diinternet. Senyum dibibir Marsha terukir, ketika melihat foto Raymond. Pria itu selalu terlihat tampan dengan senyuman ramah diwajah pria itu. Marsha membaca artikel Raymond yang telah berhasil memimpin perusahaan keluarganya. Sudah lima tahun Raymond memimpin perusahaan keluarganya di Jepang. Tahun ini harusnya Raymond sudah kembali ke Kanada. Jika saja Marsha masih memiliki nomor telepon Raymond, pasti Marsha ingin seklai menghubunginya. Marsha sungguh merindukannya. Namun, meski Marsha tidak bisa menghubungi Raymond. Marsha selalu percaya dengan janji Raymond. Pria itu meminta Marsha untuk menunggu, maka Marsha akan tetap menunggu. Marsha yakin, Raymond akan kembali padanya. Marsha juga yakin, hubungannya dengan Raymond akan berhasil. Beruntung, pernikahan Marsha dan William hanya pura-pura. Setelah pernikahnya berakhir, Marsha bisa kembali dengan Raymond. Marsah terus menatap artikel tentang Raymond. Kening Marsha berkerut dalam, ketika membaca salah satu artikel yang mengatakan Raymond berkencan dengan seorang wanita. Marsha terus membaca artikel itu. terlihat jelas foto Raymond yang tengah memeluk pinggang seorang wanita. "Siapa wanita ini?" gumam Marsha. Dengan cepat Marsha menepis pikiran buruk tentang Raymond. Marsa yakin, Raymond tidak mungkin membohongi dan melukai dirinya. Marsha sangat mengenal Raymond dengan baik. Raymond selalu menunjukan cintanya yang besar pada dirinya.Marsha percaya, wanita yang ada di artikel itu hanya teman Raymond. Marsha tidak akan pernah berpikir buruk tentang Raymond. Selama ini Raymond selalu bersikap baik dan lembut padanya. Bahkan Raymond sudah berjanji akan kembali.
Marsha memilih untuk menutup ponselnya, dia tidak ingin lagi membaca artikel itu. Hingga kemudian, Marsha mulai memejamkan matanya. Tubuhnya terasa begitu lelah. Terlebih banyaknya masalah yang datang di kehidupannya.Marsha mematut cermin, kini tubuhnya sudah terbalut dengan gaun berwarna merah lengan panjang. Gaun ini sungguh indah dan berkelas. Tubuh Marsha terlihat sempurna saat memakai gaun ini. Gaun lengan panjang yang memperlihatkan punggung mulus milik Marsha ini memang sangat menawan.Gaun pemberian Clara sang ibu, harus Marsha akui ibunya memiliki selera yang sangat berkelas dalam fashion. Setiap gaun yang dipilihakan oleh Clara, membuat Marsha terlihat dewasa dan sangat cantik.Marsha mengambil clutch di atas meja rias, dia kembali menatap cermin memastikan tidak ada yang kurang dari dirinya. Meski hanya bertemu dengan William, tapi Marsha selalu ingin tampil sempurna di mana pun dia berada. "Oh sweetheart, you're looking wonderfull," seru Clara dengan tatapan kagum ketika melihat Marsha menghampirinya. "Marsha, kau tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik," Mario mengusap rambut putrinya itu. 'Sayangnya aku sudah berdandan cantik hanya pergi dengan William. Harusnya jika sudah berdan
Sinar matahari pagi bersinar begitu cerah. Kini Marsha sudah berada di kampus, dia lebih menyukai datang ke kampus lebih awal. Sejak dirinya akan dijodohkan dengan William, membuat dirinya selalu ingin datang ke kampus lebih awal. Marsha duduk di taman sembari menikmati cuaca pagi yang begitu menyejukan. Musim semi adalah musim terbaik bagi Marsha. Hembusan angin begitu menenangkan. Marsha memejamkan mata sebentar, menikmati cuaca yang begitu indah. "Marsha?" panggil Karin, saat dia melangkah menuju taman dan mendapati sahabatnya tengah berada di taman.Marsha membuka matanya, dia mengalihkan pandanganya. Lalu menatap Karin yang duduk di sampingnya."Kau tidak masuk kelas?" tanya Marsha. "Tidak, nanti saja," jawab Karin. "Kau kenapa datang ke kampus Marsha? pernikahanmu sebentar lagi. Apa kau tidak melakukan persiapan?"Marsha mendesah pelan."Persiapan apa yang kau maksud? Semua telah diatur, aku tidak perlu melakukan persiapan." "Aku lupa kalau semua telah diatur," jawab Karin de
Mobil Rolls Royce milik William, kini sudah tiba di butik. William dan Marsha turun dari mobil, mereka melangkah masuk ke dalam butik itu. Pandangan Marsha kini menatap sosok wanita yang berjalan ke arahnya. "Selamat siang Tuan William dan Nona Marsha, perkenalkan saya Grace designer gaun pernikahan kalian," ujar Grace dengan senyuman hangat di wajahnya. "Siang Grace," balas Marsha. William hanya membalas dengan anggukan singkat di kepalanya. "Nona.. Mari ikut saya ke fiiting room," kata Grace."Ya," jawab Marsha singkat. Kemudian, Marsha melangkah masuk ke dalam fitting room. Seketika Marsha terdiam, menatap sebuah gaun mewah dengan taburan swarovski di gaun itu. Marsha mendekat, dia menyentuh gaun yang sangat indah itu. "Nona, apa anda menyukai gaun ini?" tanya Grace saat Marsha menyentuh gaun di hadapannya. "Aku tidak mungkin tidak menyukai gaun seindah ini," jawab Marsha dengan tatapan kagum pada gaun itu. "Ini gaun pengantin anda nona," balas Grace. "Silahkan dicoba terleb
William menyandarkan punggungnya di kursi, sembari menyesap wine di tangannya. William menatap tumpukan dokumen di hadapannya. Pikirannya sedang tidak bisa berpikir jernih. Terlebih menjelang hari pernikahannya, membuat William terus memikirkan Alice. Hingga detik ini William masih belum tahu, bagaimana harus menjelaskannya ada Alice. Terdengar suara ketukan pintu membuat William menghentikan lamunannya, William mengalihkan pandangannya, dia menatap ke arah pintu dan langsung menginterupsi untuk masuk."Tuan," sapa Albert menundukan kepalanya saat masuk ke dalam ruang kerja William. "Ada apa Albert?" tanya William dingin. "Tuan, saya ingin menginformasikan jika dua hari lagi grand launching dari perusahaan teknologi Xavier Company," ujar Albert.William membuang napas kasar. "Apa tidak bisa di wakilkan denganmu?" "Maaf tuan, tapi tidak bisa. Jika Tuan Lukas sampai tahu, beliau akan marah," jawab Albert William mengangguk. "Aku akan ke sana.""Tuan, ada hal penting yang ingin saya
Marsha memarkiran mobilnya di salah satu butik Hermes Toronto. Tadi siang, setelah Marsha menyelesaikan kuliahnya Veronica mengirimkan pesan padanya untuk bertemu di salah satu butik Hermes. Kini Marsha melangkah masuk ke dalam butik. Saat tiba di dalam, Marsha sudah melihat Veronita tengah memilih tas. Marsha melangkah mendekat ke arah Veronica. "Bibi Veronica," sapa Marsha yang kini berada di belakang Veronica. Tentu Veronica belum menyadari kedatangannya. Karena Veronica tengah fokus pada tas-tas yang dipilih olehnya. Veronica mengalihkan pandangannya, seketika senyum di bibirnya terukir saat melihat Marsha sudah berada di hadapannya. "Sayang, kau sudah datang? Maafkan bibi yang tidak melihatmu sayang.." "Tidak apa-apa bibi," jawab Marsha. "Aku juga baru datang." "Baiklah, sayang bibi sudah memilihkan beberapa dress keluaran terbaru untukmu. Dan bibi juga sudah memilihkan tas keluaran terbaru untukmu," ujar Veronica. Marsha mendelik, maenatap tak percaya. Marsha menelan saliv
Pagi hari, Marsha sudah tiba di kampus. Beruntung lah hari ini dia tidak datang terlambat. Sebenarnya semester ini dia tengah dipusingkan dengan menentukan perusahaan untuk magang. Marsha bisa saja memilih magang di perusahaan keluarganya. Tapi Marsha ingin berusaha sendiri, dan tidak mungkin juga dia magang di tempat William itu adalah hal yang paling Marsha hindari. Jika saja Marsha magang di perushaan William, sudah pasti dirinya akan selalu berdebat dengan pria itu.Kini Marsha duduk disebuah kafe terdekat dengan kampus. Hari ini Marsha sengaja tidak sarapan di rumah, dia lebih memilih untuk sarapan di kampus. Marsha memesan hot chocolate dan sandwich tuna untuknya. Karin yang baru saja tiba di kafe, dia menatap Marsha berada di kafe itu, dengan cepat Karin berjalan menghampiri Marsha. "Masha?" panggil Karin, dia langsung duduk di hadapan Marsha. "Tidak biasanya kau pagi hari ini kafe. Biasanya kau selalu sarapan di rumah.""Karin? Kau datang pagi?" tanya Marsha sembari menikmat
Menjelang hari pernikahan, William semakin sibuk dengan pekerjaannya. Bahkan beberapa kali, William berpegian keluar kota. William memang tidak memperdulikan pernikahan ini. Dengan bekerja membuat pikiran William teralihkan dari rasa bersalahnya pada Alice. William duduk di kursi kebesarannya, dia baru saja menanda tangani dokumen yang diberikan Albert. Jika biasanya William selalu membaca dokumen yang diberikan Albert, kali ini Wiliam mempercayakan Albert untuk memeriksa dokumen itu."Tuan," panggil Albert yang kini berada di hadapan William. "Ada apa?" tanya William dingin."Maaf tuan, apa tuan akan berniat berbulan madu? Jika tuan ingin berbulan madu, saya akan menunda jadwal meeting tuan dengan client kita," ujar Albert. William membuang napas kasar. "Tidak, aku tidak akan berbulan madu.""Baik tuan," jawab Albert. CeklekSuara pintu terbuka, William dan Albert mengalihkan pandangannya ke arah pintu. Terlihat raut wajah kesal William karena ada yang membuka pintu ruang kerjany
Marsha mematut cermin, hari ini adalah hari pernikahannya. Rasa gugup dan cemas tentu saja dia rasakan. Tidak pernah pernah ada dipikiran Marsha, dia akan menikah diusia yang masih muda. Terlebih pernikahannya bukan dilandasi oleh cinta, memang William adalah pria yang sangat tampan dan Marsha sangat tahu, dia akan hidup sangat baik ketika menjadi istri William. Hanya saja, impian Marsha adalah menikah dengan pria yang dia cintai dan itu bukan William.Marsha menghela napas dalam, dia kembali mengingat jika pernikahan ini disertai dengan kontrak pernjanjian dengan William. Itu artinya, pernikahannya dengan William hanya sebatas status saja. Kini Marsha telah di make up, Veronica khusus mendatangkan make up artist terbaik dari Russia. Veronica ingin penampilan Marsha hari ini sangat sempurna."Perfect,." ucap Debora make up artist yang baru saja selesai merias wajah Marsha. "Kau sangat cantik Nona Marsha," puji Debora sambil menatap Marsha."Benarkah? Apa ini tidak terlalu tebal?" t