William kembali menatap Marsha yang tengah mengalihkan pandangannya, jika di lihat-lihat memang Marsha adalah gadis yang sangat cantik. Itulah yang di pikir oleh William, Tapi tetap saja, William tidak pernah memiliki pasangan seorang gadis kecil seperti Marsha.
"Jadi kau ini tidak suka dengan perjodohan ini?" tanya William kembali.
"Tentu, jika aku bisa melarikan diri dan menghindar dari perjodohan ini. Percaya lah aku akan melakukannya," jawab Marsha.
William menyeringai. "Good, kalau begitu kita buat kesepakatan."
"Kesepakatan?" Marsha mengerutkan dahinya. Dia sedikit bingung dengan ucapan William.
"Ya, kesepakatan. Kita akan tetap menikah. Dan berpura-pura kita menerima perjodohan ini, aku akan membuat perjanjian besok untuk kita. Besok pagi kau ke kantor ku. Aku akan memberikan surat perjanjian itu pada mu," jelas William.
Mendengar ucapan William membuat Marsha tersenyum. "Setuju! tentu aku menyetujuinya!"
"Allright, sekarang berikan nomor ponsel mu." William menyerakan ponsel miliknya. Marsha langsung menerima ponsel milik William.
"Aku sudah missed call nomorku dari ponselmu." Marsha menyerahkan ponsel milik William.
"Aku akan mengirimkan alamat kantor ku, sekarang lebih baik kita masuk," balas William.
Marsha mengangguk setuju, kemudian dia berjalan masuk ke dalam mengikuti William. Sejak tadi Marsha tidak berheti tersenyum senang, karena itu artinya meski dirinya sudah menikah tapi dia tetap bebas.
Veronica menatap William dan Marsha masuk ke dalam dan menatap mereka dengan tatapan lembut. "Kalian sudah selesai bicara?"
William mengangguk singkat. "Ya."
Veronica tersenyum. "Marsha sayang, kau sering datang ke sini ya."
"Ya bibi.. aku akan mengusahakan untuk datang," balas Marsha dengan senyuman hangat di wajahnya.
"Baiklah, Lukas kami harus pulang," pamit Mario.
Lukas mengangguk. "Ya, hati-hati. Kau seringlah main ke sini. Kita sudah lama tidak bertemu."
Mario menepuk bahu Lukas. "Sebentar lagi anak-anak kita akan menikah. Kita akan sering bertemu."
"Kau benar," balas Lukas.
Setelah keluarga Marsha berpamitan, mereka langsung berjalan menuju mobil dan segera meninggalkan kediaman rumah milik Keluarga Geovan.
***
Keesokan hari, Marsha langsung bersiap menuju kantor William. Kemarin, saat Marsha sudah pulang William mengirimkan alamat kantornya pada Marsha. Marsha sudah tidak sabar untuk membahas perjanjian yang di maksud William.
Beruntunglah, hari ini Marsha tidak memilki jadwal kuliah. Jadi dia tidak perlu terburu-buru. Marsha menuju walk in closet miliknya, dia memilih mini dress berwarna kuning bermotif tanpa lengan. Dipadukan dengan sepatu flat shoes merk gucci pemberian dari ibunya,
Marsha memoles wajahnya dengan make up tipis. Kemudian, dia mengambil kunci mobil di atas meja riasnya. Dia berjalan meninggalkan kamar menuju mobil. Tidak lama kemudian, Marsha masuk ke dalam mobil dan mulai melajukan mobilnya menuju perusahaan millik William.
Setelah dari kantor William, Marsha sudah mengirim pesan pada Karin untuk bertemu di caffe. Dia sudah tidak sabar menceritakan ini pada Karin. Dia memang benar-benar beruntung. Ternyata Dewi Fortuna masih memihak padanya.
Empat puluh lima menit, waktu yang di tempuh Marsha menuju kantor William. Kini mobil Marsha mulai memasuki halaman parkir perusahan milik William. Marsha turun dari mobil, dia melangkah masuk ke dalam lobby perusahaan.
"Selamat pagi nona, ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang receptionist ketika Marsha menghamirinya.
"Pagi, aku Marsha. Aku ingin bertemu dengan William Geovan," jawb Marsha.
"Maaf, apa nona sudah membuat janji dengan Tuan William?"
"Sudah, kemarin aku sudah membuat janji dengannya."
"Baik, kalau begitu mohon di tunggu nona."
Marsha mengangguk. Kemudian receptionist itu melakukan panggilan telepon.
"Nona, nona bisa langsung naik ke lantai 98. Di sana adalah ruangan Tuan William," ujar receptionist itu sambil menyerahkan kartu akses gedung.
"Baiklah, terima kasih. " Marsha langsung mengambil kartu akses gedung dan berjalan menuju lift.
Ting
Pintu lift terbuka, Marsha melangkah keluar dari pintu lift. Dia menatap sosok pria yang melangkah mendekat ke arahnya.
"Selamat pagi nona, saya Albert assistant dari Tuan William," sapa Albert ketika melihat Marsha keluar dari pintu lift.
"Pagi, aku Marsha Nicholas," jawab Marsha dengan lembut.
"Mari nona.. Tuan William sudah menunggu anda," kata Albert. Marsha menganguk lalu mengikuti Albert masuk ke ruang kerja William.
Marsha melangkah masuk ke ruang kerja William. Saat dia tiba di ruang kerja William, mata Marsha tidak henti menatap ruang kerja yang sangat besar dan mewah. Ruang kerja yang jauh lebih besar dari ruang kerja ayahnya.
"Aku pikir kau terlambat," tukas William dingin saat melihat Marsha melangkah masuk ke ruang kerjanya.
"Aku tidak mungkin terlambat ketika membahas penting," balas Marsha dengan santai. Lalu dia berjalan menuju sofa dan duduk di sofa itu.
William bangkit dari kursi kerjanya, dia berjalan ke arah sofa dan duduk di hadapan Marsha. "Baca ini dan pelajari dengan baik," William menyerahkan map coklat pda Marsha.
Marsha menerima map coklat itu, dan langsung membukanya. Terdapat sebuah lembar perjanjian. Dengan cepat Marsha menguarkan kertas itu dan membacanya.
Pihak Pertama : William Geovan
Pihak Kedua : Marsha Nicholas
Pernikahan hanya berjalan tiga tahun.
Tidur harus satu kamar demi menjaga rahasia tidak terbongkar, tapi di larang untuk bersentuhan.
Pihak pertama memberikan uang bulanan dan juga menghidupi pihak kedua.
Di larang ikut campur urusan masalah pribadi masing-masing.
Pihak pertama dan pihak kedua harus terlihat bahagia dan mesra hanya di depan orang tua saja.
Pihak kedua di larang melawan pada pihak pertama.
Pihak ke dua harus menuruti permintaan pihak pertama.
Marsha menutup perjanjian itu, lalu meletakannya di atas meja. "Aku sudah membaca tapi ada dua point yang memberatkanku."
William menautkan alisnya, "Point mana yang membuat mu keberatan?"
"Point nomor enam dan nomorr tujuh. Kenapa aku harus menurutimu?" seru Marsha yang tidak terima.
"Listen to me, gadis kecil! aku yang menghidupi mu. Aku akan membayar seluruh pendidikan mu dan juga memberikan kehidupan yang baik untuk mu, Tentu kau harus menurutiku," tukas William menekankan.
Marsha berdecak kesal. "Aku akan menikah dengan mu bukan? Tentu kau yang harus menghidupiku. Jika aku masih meminta uang pada orang tuaku. Apa kata mereka?"
"Dan karena aku akan menikah denganmu dan menjadi suamimu. Aku memintamu menurut dan tidak melawanku. Jika kau melawan percayalah aku akan melempar mu!" balas William dingin.
"Terserah, bukannya aku tidak memiliki pilihan lain?" seru Marsha kesal. "Tapi ingat, kau jangan berani macam-macam dengan ku."
William tersenyum sinis. "Aku tidak tertarik pada gadis kecil."
Marsha mendengus tak suka. "Aku tidak peduli denganmu yang tidak tertarik padaku. Tapi aku ini sudah berusia 20 tahun."
Marsha mendengus tak suka. "Aku tidak perduli dengan mu yang tidak tertarik. Tapi usia ku sudah 20 tahun. Bukan gadis kecil lagi!" "Terserah, lebih baik kau tanda tangan." William menyerahkam pena pada Marsha."Ya," Marsha mengambil pena yang ada di atas meja dan langsung menandatangani surat perjanjian itu. "Sudah. " Marsha memberikan surat perjanjian pada William."William, aku ingin bertanya sesuatu pada mu," ucap Marsha setelah menyerahkan surat perjanjian itu. William menatap lekat Marsha. "Apa yang ingin kau katakan?" "Hem.. begini apa aku boleh memiliki kekasih?" tanya Marsha hati-hati."Tidak," jawab William dingin.Marsha mendelik, dia menatap tajam William. "Kenapa aku tidak boleh memiliki kekasih?" "Aku tahu kau ini belum pernah memiliki kekasih bukan? Jika sampai orang tuamu tahu kau memiliki kekasih. Lalu kau kenapa-kenapa mereka akan menyalahkanku. Aku tidak mau di salahkan atas perbuatan bodohmu!" tukas William dingin."CK! aku ini bukan anak kecil lagi. Aku bisa m
William menyandarkan punggungnya di kursi. Memejamkan mata lelah. Pikirannya kini tidak bisa berpikir jernih. Tujuannya kembali ke Kanada, hanya untuk memimpin perusahaan tapi dia harus di hadapkan dengan kenyataan harus menikahi wanita yang bahkan dia tidak mengenal wanita itu. Hingga detik ini, William masih terus memikirkan cara bagaimana dirinya harus menjelaskan pada Alice. Tidak mungkin William membiarkan kekasihnya harus terluka karena ini. Terdengar suara dering ponsel membuat William menghentikan lamunannya. William membuka matanya, dia mengambil ponselnya yang berada di atas meja. William membuang napas kasar, ketika menatap ke layar tertera ibunya menghubungi dirinya. Tidak ada pilihan lain, tidak mungkin William tidak menjawab panggilan itu. William menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan, sebelum kemudian meletakan ke telinganya. "Ya?" jawab William saat panggilannya sudah tersambung. "William, apa kau sibuk?" tanya Veronica dari seberang line. "Tidak, ada apa
Marsha mematut cermin, kini tubuhnya sudah terbalut dengan gaun berwarna merah lengan panjang. Gaun ini sungguh indah dan berkelas. Tubuh Marsha terlihat sempurna saat memakai gaun ini. Gaun lengan panjang yang memperlihatkan punggung mulus milik Marsha ini memang sangat menawan.Gaun pemberian Clara sang ibu, harus Marsha akui ibunya memiliki selera yang sangat berkelas dalam fashion. Setiap gaun yang dipilihakan oleh Clara, membuat Marsha terlihat dewasa dan sangat cantik.Marsha mengambil clutch di atas meja rias, dia kembali menatap cermin memastikan tidak ada yang kurang dari dirinya. Meski hanya bertemu dengan William, tapi Marsha selalu ingin tampil sempurna di mana pun dia berada. "Oh sweetheart, you're looking wonderfull," seru Clara dengan tatapan kagum ketika melihat Marsha menghampirinya. "Marsha, kau tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik," Mario mengusap rambut putrinya itu. 'Sayangnya aku sudah berdandan cantik hanya pergi dengan William. Harusnya jika sudah berdan
Sinar matahari pagi bersinar begitu cerah. Kini Marsha sudah berada di kampus, dia lebih menyukai datang ke kampus lebih awal. Sejak dirinya akan dijodohkan dengan William, membuat dirinya selalu ingin datang ke kampus lebih awal. Marsha duduk di taman sembari menikmati cuaca pagi yang begitu menyejukan. Musim semi adalah musim terbaik bagi Marsha. Hembusan angin begitu menenangkan. Marsha memejamkan mata sebentar, menikmati cuaca yang begitu indah. "Marsha?" panggil Karin, saat dia melangkah menuju taman dan mendapati sahabatnya tengah berada di taman.Marsha membuka matanya, dia mengalihkan pandanganya. Lalu menatap Karin yang duduk di sampingnya."Kau tidak masuk kelas?" tanya Marsha. "Tidak, nanti saja," jawab Karin. "Kau kenapa datang ke kampus Marsha? pernikahanmu sebentar lagi. Apa kau tidak melakukan persiapan?"Marsha mendesah pelan."Persiapan apa yang kau maksud? Semua telah diatur, aku tidak perlu melakukan persiapan." "Aku lupa kalau semua telah diatur," jawab Karin de
Mobil Rolls Royce milik William, kini sudah tiba di butik. William dan Marsha turun dari mobil, mereka melangkah masuk ke dalam butik itu. Pandangan Marsha kini menatap sosok wanita yang berjalan ke arahnya. "Selamat siang Tuan William dan Nona Marsha, perkenalkan saya Grace designer gaun pernikahan kalian," ujar Grace dengan senyuman hangat di wajahnya. "Siang Grace," balas Marsha. William hanya membalas dengan anggukan singkat di kepalanya. "Nona.. Mari ikut saya ke fiiting room," kata Grace."Ya," jawab Marsha singkat. Kemudian, Marsha melangkah masuk ke dalam fitting room. Seketika Marsha terdiam, menatap sebuah gaun mewah dengan taburan swarovski di gaun itu. Marsha mendekat, dia menyentuh gaun yang sangat indah itu. "Nona, apa anda menyukai gaun ini?" tanya Grace saat Marsha menyentuh gaun di hadapannya. "Aku tidak mungkin tidak menyukai gaun seindah ini," jawab Marsha dengan tatapan kagum pada gaun itu. "Ini gaun pengantin anda nona," balas Grace. "Silahkan dicoba terleb
William menyandarkan punggungnya di kursi, sembari menyesap wine di tangannya. William menatap tumpukan dokumen di hadapannya. Pikirannya sedang tidak bisa berpikir jernih. Terlebih menjelang hari pernikahannya, membuat William terus memikirkan Alice. Hingga detik ini William masih belum tahu, bagaimana harus menjelaskannya ada Alice. Terdengar suara ketukan pintu membuat William menghentikan lamunannya, William mengalihkan pandangannya, dia menatap ke arah pintu dan langsung menginterupsi untuk masuk."Tuan," sapa Albert menundukan kepalanya saat masuk ke dalam ruang kerja William. "Ada apa Albert?" tanya William dingin. "Tuan, saya ingin menginformasikan jika dua hari lagi grand launching dari perusahaan teknologi Xavier Company," ujar Albert.William membuang napas kasar. "Apa tidak bisa di wakilkan denganmu?" "Maaf tuan, tapi tidak bisa. Jika Tuan Lukas sampai tahu, beliau akan marah," jawab Albert William mengangguk. "Aku akan ke sana.""Tuan, ada hal penting yang ingin saya
Marsha memarkiran mobilnya di salah satu butik Hermes Toronto. Tadi siang, setelah Marsha menyelesaikan kuliahnya Veronica mengirimkan pesan padanya untuk bertemu di salah satu butik Hermes. Kini Marsha melangkah masuk ke dalam butik. Saat tiba di dalam, Marsha sudah melihat Veronita tengah memilih tas. Marsha melangkah mendekat ke arah Veronica. "Bibi Veronica," sapa Marsha yang kini berada di belakang Veronica. Tentu Veronica belum menyadari kedatangannya. Karena Veronica tengah fokus pada tas-tas yang dipilih olehnya. Veronica mengalihkan pandangannya, seketika senyum di bibirnya terukir saat melihat Marsha sudah berada di hadapannya. "Sayang, kau sudah datang? Maafkan bibi yang tidak melihatmu sayang.." "Tidak apa-apa bibi," jawab Marsha. "Aku juga baru datang." "Baiklah, sayang bibi sudah memilihkan beberapa dress keluaran terbaru untukmu. Dan bibi juga sudah memilihkan tas keluaran terbaru untukmu," ujar Veronica. Marsha mendelik, maenatap tak percaya. Marsha menelan saliv
Pagi hari, Marsha sudah tiba di kampus. Beruntung lah hari ini dia tidak datang terlambat. Sebenarnya semester ini dia tengah dipusingkan dengan menentukan perusahaan untuk magang. Marsha bisa saja memilih magang di perusahaan keluarganya. Tapi Marsha ingin berusaha sendiri, dan tidak mungkin juga dia magang di tempat William itu adalah hal yang paling Marsha hindari. Jika saja Marsha magang di perushaan William, sudah pasti dirinya akan selalu berdebat dengan pria itu.Kini Marsha duduk disebuah kafe terdekat dengan kampus. Hari ini Marsha sengaja tidak sarapan di rumah, dia lebih memilih untuk sarapan di kampus. Marsha memesan hot chocolate dan sandwich tuna untuknya. Karin yang baru saja tiba di kafe, dia menatap Marsha berada di kafe itu, dengan cepat Karin berjalan menghampiri Marsha. "Masha?" panggil Karin, dia langsung duduk di hadapan Marsha. "Tidak biasanya kau pagi hari ini kafe. Biasanya kau selalu sarapan di rumah.""Karin? Kau datang pagi?" tanya Marsha sembari menikmat