William kembali menatap Marsha yang tengah mengalihkan pandangannya, jika di lihat-lihat memang Marsha adalah gadis yang sangat cantik. Itulah yang di pikir oleh William, Tapi tetap saja, William tidak pernah memiliki pasangan seorang gadis kecil seperti Marsha.
"Jadi kau ini tidak suka dengan perjodohan ini?" tanya William kembali.
"Tentu, jika aku bisa melarikan diri dan menghindar dari perjodohan ini. Percaya lah aku akan melakukannya," jawab Marsha.
William menyeringai. "Good, kalau begitu kita buat kesepakatan."
"Kesepakatan?" Marsha mengerutkan dahinya. Dia sedikit bingung dengan ucapan William.
"Ya, kesepakatan. Kita akan tetap menikah. Dan berpura-pura kita menerima perjodohan ini, aku akan membuat perjanjian besok untuk kita. Besok pagi kau ke kantor ku. Aku akan memberikan surat perjanjian itu pada mu," jelas William.
Mendengar ucapan William membuat Marsha tersenyum. "Setuju! tentu aku menyetujuinya!"
"Allright, sekarang berikan nomor ponsel mu." William menyerakan ponsel miliknya. Marsha langsung menerima ponsel milik William.
"Aku sudah missed call nomorku dari ponselmu." Marsha menyerahkan ponsel milik William.
"Aku akan mengirimkan alamat kantor ku, sekarang lebih baik kita masuk," balas William.
Marsha mengangguk setuju, kemudian dia berjalan masuk ke dalam mengikuti William. Sejak tadi Marsha tidak berheti tersenyum senang, karena itu artinya meski dirinya sudah menikah tapi dia tetap bebas.
Veronica menatap William dan Marsha masuk ke dalam dan menatap mereka dengan tatapan lembut. "Kalian sudah selesai bicara?"
William mengangguk singkat. "Ya."
Veronica tersenyum. "Marsha sayang, kau sering datang ke sini ya."
"Ya bibi.. aku akan mengusahakan untuk datang," balas Marsha dengan senyuman hangat di wajahnya.
"Baiklah, Lukas kami harus pulang," pamit Mario.
Lukas mengangguk. "Ya, hati-hati. Kau seringlah main ke sini. Kita sudah lama tidak bertemu."
Mario menepuk bahu Lukas. "Sebentar lagi anak-anak kita akan menikah. Kita akan sering bertemu."
"Kau benar," balas Lukas.
Setelah keluarga Marsha berpamitan, mereka langsung berjalan menuju mobil dan segera meninggalkan kediaman rumah milik Keluarga Geovan.
***
Keesokan hari, Marsha langsung bersiap menuju kantor William. Kemarin, saat Marsha sudah pulang William mengirimkan alamat kantornya pada Marsha. Marsha sudah tidak sabar untuk membahas perjanjian yang di maksud William.
Beruntunglah, hari ini Marsha tidak memilki jadwal kuliah. Jadi dia tidak perlu terburu-buru. Marsha menuju walk in closet miliknya, dia memilih mini dress berwarna kuning bermotif tanpa lengan. Dipadukan dengan sepatu flat shoes merk gucci pemberian dari ibunya,
Marsha memoles wajahnya dengan make up tipis. Kemudian, dia mengambil kunci mobil di atas meja riasnya. Dia berjalan meninggalkan kamar menuju mobil. Tidak lama kemudian, Marsha masuk ke dalam mobil dan mulai melajukan mobilnya menuju perusahaan millik William.
Setelah dari kantor William, Marsha sudah mengirim pesan pada Karin untuk bertemu di caffe. Dia sudah tidak sabar menceritakan ini pada Karin. Dia memang benar-benar beruntung. Ternyata Dewi Fortuna masih memihak padanya.
Empat puluh lima menit, waktu yang di tempuh Marsha menuju kantor William. Kini mobil Marsha mulai memasuki halaman parkir perusahan milik William. Marsha turun dari mobil, dia melangkah masuk ke dalam lobby perusahaan.
"Selamat pagi nona, ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang receptionist ketika Marsha menghamirinya.
"Pagi, aku Marsha. Aku ingin bertemu dengan William Geovan," jawb Marsha.
"Maaf, apa nona sudah membuat janji dengan Tuan William?"
"Sudah, kemarin aku sudah membuat janji dengannya."
"Baik, kalau begitu mohon di tunggu nona."
Marsha mengangguk. Kemudian receptionist itu melakukan panggilan telepon.
"Nona, nona bisa langsung naik ke lantai 98. Di sana adalah ruangan Tuan William," ujar receptionist itu sambil menyerahkan kartu akses gedung.
"Baiklah, terima kasih. " Marsha langsung mengambil kartu akses gedung dan berjalan menuju lift.
Ting
Pintu lift terbuka, Marsha melangkah keluar dari pintu lift. Dia menatap sosok pria yang melangkah mendekat ke arahnya.
"Selamat pagi nona, saya Albert assistant dari Tuan William," sapa Albert ketika melihat Marsha keluar dari pintu lift.
"Pagi, aku Marsha Nicholas," jawab Marsha dengan lembut.
"Mari nona.. Tuan William sudah menunggu anda," kata Albert. Marsha menganguk lalu mengikuti Albert masuk ke ruang kerja William.
Marsha melangkah masuk ke ruang kerja William. Saat dia tiba di ruang kerja William, mata Marsha tidak henti menatap ruang kerja yang sangat besar dan mewah. Ruang kerja yang jauh lebih besar dari ruang kerja ayahnya.
"Aku pikir kau terlambat," tukas William dingin saat melihat Marsha melangkah masuk ke ruang kerjanya.
"Aku tidak mungkin terlambat ketika membahas penting," balas Marsha dengan santai. Lalu dia berjalan menuju sofa dan duduk di sofa itu.
William bangkit dari kursi kerjanya, dia berjalan ke arah sofa dan duduk di hadapan Marsha. "Baca ini dan pelajari dengan baik," William menyerahkan map coklat pda Marsha.
Marsha menerima map coklat itu, dan langsung membukanya. Terdapat sebuah lembar perjanjian. Dengan cepat Marsha menguarkan kertas itu dan membacanya.
Pihak Pertama : William Geovan
Pihak Kedua : Marsha Nicholas
Pernikahan hanya berjalan tiga tahun.
Tidur harus satu kamar demi menjaga rahasia tidak terbongkar, tapi di larang untuk bersentuhan.
Pihak pertama memberikan uang bulanan dan juga menghidupi pihak kedua.
Di larang ikut campur urusan masalah pribadi masing-masing.
Pihak pertama dan pihak kedua harus terlihat bahagia dan mesra hanya di depan orang tua saja.
Pihak kedua di larang melawan pada pihak pertama.
Pihak ke dua harus menuruti permintaan pihak pertama.
Marsha menutup perjanjian itu, lalu meletakannya di atas meja. "Aku sudah membaca tapi ada dua point yang memberatkanku."
William menautkan alisnya, "Point mana yang membuat mu keberatan?"
"Point nomor enam dan nomorr tujuh. Kenapa aku harus menurutimu?" seru Marsha yang tidak terima.
"Listen to me, gadis kecil! aku yang menghidupi mu. Aku akan membayar seluruh pendidikan mu dan juga memberikan kehidupan yang baik untuk mu, Tentu kau harus menurutiku," tukas William menekankan.
Marsha berdecak kesal. "Aku akan menikah dengan mu bukan? Tentu kau yang harus menghidupiku. Jika aku masih meminta uang pada orang tuaku. Apa kata mereka?"
"Dan karena aku akan menikah denganmu dan menjadi suamimu. Aku memintamu menurut dan tidak melawanku. Jika kau melawan percayalah aku akan melempar mu!" balas William dingin.
"Terserah, bukannya aku tidak memiliki pilihan lain?" seru Marsha kesal. "Tapi ingat, kau jangan berani macam-macam dengan ku."
William tersenyum sinis. "Aku tidak tertarik pada gadis kecil."
Marsha mendengus tak suka. "Aku tidak peduli denganmu yang tidak tertarik padaku. Tapi aku ini sudah berusia 20 tahun."
Marsha mendengus tak suka. "Aku tidak perduli dengan mu yang tidak tertarik. Tapi usia ku sudah 20 tahun. Bukan gadis kecil lagi!" "Terserah, lebih baik kau tanda tangan." William menyerahkam pena pada Marsha."Ya," Marsha mengambil pena yang ada di atas meja dan langsung menandatangani surat perjanjian itu. "Sudah. " Marsha memberikan surat perjanjian pada William."William, aku ingin bertanya sesuatu pada mu," ucap Marsha setelah menyerahkan surat perjanjian itu. William menatap lekat Marsha. "Apa yang ingin kau katakan?" "Hem.. begini apa aku boleh memiliki kekasih?" tanya Marsha hati-hati."Tidak," jawab William dingin.Marsha mendelik, dia menatap tajam William. "Kenapa aku tidak boleh memiliki kekasih?" "Aku tahu kau ini belum pernah memiliki kekasih bukan? Jika sampai orang tuamu tahu kau memiliki kekasih. Lalu kau kenapa-kenapa mereka akan menyalahkanku. Aku tidak mau di salahkan atas perbuatan bodohmu!" tukas William dingin."CK! aku ini bukan anak kecil lagi. Aku bisa m
William menyandarkan punggungnya di kursi. Memejamkan mata lelah. Pikirannya kini tidak bisa berpikir jernih. Tujuannya kembali ke Kanada, hanya untuk memimpin perusahaan tapi dia harus di hadapkan dengan kenyataan harus menikahi wanita yang bahkan dia tidak mengenal wanita itu. Hingga detik ini, William masih terus memikirkan cara bagaimana dirinya harus menjelaskan pada Alice. Tidak mungkin William membiarkan kekasihnya harus terluka karena ini. Terdengar suara dering ponsel membuat William menghentikan lamunannya. William membuka matanya, dia mengambil ponselnya yang berada di atas meja. William membuang napas kasar, ketika menatap ke layar tertera ibunya menghubungi dirinya. Tidak ada pilihan lain, tidak mungkin William tidak menjawab panggilan itu. William menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan, sebelum kemudian meletakan ke telinganya. "Ya?" jawab William saat panggilannya sudah tersambung. "William, apa kau sibuk?" tanya Veronica dari seberang line. "Tidak, ada apa
Marsha mematut cermin, kini tubuhnya sudah terbalut dengan gaun berwarna merah lengan panjang. Gaun ini sungguh indah dan berkelas. Tubuh Marsha terlihat sempurna saat memakai gaun ini. Gaun lengan panjang yang memperlihatkan punggung mulus milik Marsha ini memang sangat menawan.Gaun pemberian Clara sang ibu, harus Marsha akui ibunya memiliki selera yang sangat berkelas dalam fashion. Setiap gaun yang dipilihakan oleh Clara, membuat Marsha terlihat dewasa dan sangat cantik.Marsha mengambil clutch di atas meja rias, dia kembali menatap cermin memastikan tidak ada yang kurang dari dirinya. Meski hanya bertemu dengan William, tapi Marsha selalu ingin tampil sempurna di mana pun dia berada. "Oh sweetheart, you're looking wonderfull," seru Clara dengan tatapan kagum ketika melihat Marsha menghampirinya. "Marsha, kau tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik," Mario mengusap rambut putrinya itu. 'Sayangnya aku sudah berdandan cantik hanya pergi dengan William. Harusnya jika sudah berdan
Sinar matahari pagi bersinar begitu cerah. Kini Marsha sudah berada di kampus, dia lebih menyukai datang ke kampus lebih awal. Sejak dirinya akan dijodohkan dengan William, membuat dirinya selalu ingin datang ke kampus lebih awal. Marsha duduk di taman sembari menikmati cuaca pagi yang begitu menyejukan. Musim semi adalah musim terbaik bagi Marsha. Hembusan angin begitu menenangkan. Marsha memejamkan mata sebentar, menikmati cuaca yang begitu indah. "Marsha?" panggil Karin, saat dia melangkah menuju taman dan mendapati sahabatnya tengah berada di taman.Marsha membuka matanya, dia mengalihkan pandanganya. Lalu menatap Karin yang duduk di sampingnya."Kau tidak masuk kelas?" tanya Marsha. "Tidak, nanti saja," jawab Karin. "Kau kenapa datang ke kampus Marsha? pernikahanmu sebentar lagi. Apa kau tidak melakukan persiapan?"Marsha mendesah pelan."Persiapan apa yang kau maksud? Semua telah diatur, aku tidak perlu melakukan persiapan." "Aku lupa kalau semua telah diatur," jawab Karin de
Mobil Rolls Royce milik William, kini sudah tiba di butik. William dan Marsha turun dari mobil, mereka melangkah masuk ke dalam butik itu. Pandangan Marsha kini menatap sosok wanita yang berjalan ke arahnya. "Selamat siang Tuan William dan Nona Marsha, perkenalkan saya Grace designer gaun pernikahan kalian," ujar Grace dengan senyuman hangat di wajahnya. "Siang Grace," balas Marsha. William hanya membalas dengan anggukan singkat di kepalanya. "Nona.. Mari ikut saya ke fiiting room," kata Grace."Ya," jawab Marsha singkat. Kemudian, Marsha melangkah masuk ke dalam fitting room. Seketika Marsha terdiam, menatap sebuah gaun mewah dengan taburan swarovski di gaun itu. Marsha mendekat, dia menyentuh gaun yang sangat indah itu. "Nona, apa anda menyukai gaun ini?" tanya Grace saat Marsha menyentuh gaun di hadapannya. "Aku tidak mungkin tidak menyukai gaun seindah ini," jawab Marsha dengan tatapan kagum pada gaun itu. "Ini gaun pengantin anda nona," balas Grace. "Silahkan dicoba terleb
William menyandarkan punggungnya di kursi, sembari menyesap wine di tangannya. William menatap tumpukan dokumen di hadapannya. Pikirannya sedang tidak bisa berpikir jernih. Terlebih menjelang hari pernikahannya, membuat William terus memikirkan Alice. Hingga detik ini William masih belum tahu, bagaimana harus menjelaskannya ada Alice. Terdengar suara ketukan pintu membuat William menghentikan lamunannya, William mengalihkan pandangannya, dia menatap ke arah pintu dan langsung menginterupsi untuk masuk."Tuan," sapa Albert menundukan kepalanya saat masuk ke dalam ruang kerja William. "Ada apa Albert?" tanya William dingin. "Tuan, saya ingin menginformasikan jika dua hari lagi grand launching dari perusahaan teknologi Xavier Company," ujar Albert.William membuang napas kasar. "Apa tidak bisa di wakilkan denganmu?" "Maaf tuan, tapi tidak bisa. Jika Tuan Lukas sampai tahu, beliau akan marah," jawab Albert William mengangguk. "Aku akan ke sana.""Tuan, ada hal penting yang ingin saya
Marsha memarkiran mobilnya di salah satu butik Hermes Toronto. Tadi siang, setelah Marsha menyelesaikan kuliahnya Veronica mengirimkan pesan padanya untuk bertemu di salah satu butik Hermes. Kini Marsha melangkah masuk ke dalam butik. Saat tiba di dalam, Marsha sudah melihat Veronita tengah memilih tas. Marsha melangkah mendekat ke arah Veronica. "Bibi Veronica," sapa Marsha yang kini berada di belakang Veronica. Tentu Veronica belum menyadari kedatangannya. Karena Veronica tengah fokus pada tas-tas yang dipilih olehnya. Veronica mengalihkan pandangannya, seketika senyum di bibirnya terukir saat melihat Marsha sudah berada di hadapannya. "Sayang, kau sudah datang? Maafkan bibi yang tidak melihatmu sayang.." "Tidak apa-apa bibi," jawab Marsha. "Aku juga baru datang." "Baiklah, sayang bibi sudah memilihkan beberapa dress keluaran terbaru untukmu. Dan bibi juga sudah memilihkan tas keluaran terbaru untukmu," ujar Veronica. Marsha mendelik, maenatap tak percaya. Marsha menelan saliv
Pagi hari, Marsha sudah tiba di kampus. Beruntung lah hari ini dia tidak datang terlambat. Sebenarnya semester ini dia tengah dipusingkan dengan menentukan perusahaan untuk magang. Marsha bisa saja memilih magang di perusahaan keluarganya. Tapi Marsha ingin berusaha sendiri, dan tidak mungkin juga dia magang di tempat William itu adalah hal yang paling Marsha hindari. Jika saja Marsha magang di perushaan William, sudah pasti dirinya akan selalu berdebat dengan pria itu.Kini Marsha duduk disebuah kafe terdekat dengan kampus. Hari ini Marsha sengaja tidak sarapan di rumah, dia lebih memilih untuk sarapan di kampus. Marsha memesan hot chocolate dan sandwich tuna untuknya. Karin yang baru saja tiba di kafe, dia menatap Marsha berada di kafe itu, dengan cepat Karin berjalan menghampiri Marsha. "Masha?" panggil Karin, dia langsung duduk di hadapan Marsha. "Tidak biasanya kau pagi hari ini kafe. Biasanya kau selalu sarapan di rumah.""Karin? Kau datang pagi?" tanya Marsha sembari menikmat
Pesawat yang membawa William dan Marsha, telah mendarat di Bandar Udara Internasional Malpensa. Kini William dan Marsha turun dari pesawat, mereka berjalan keluar dari pesawat, menuju lobby. Sebelumnya, William sudah meminta sopir dari perusahaan kakeknya yang ada di Milan untuk menjemput. Terlihat Marsha yang tampak begiti kelelahan. Marsha terus memeluk lengan William, menyandarkan kepalanya di lengan kekar sang suami. Ketika sudah tiba di lobby, William dan Marsha melihat sopir sudah menjemput mereka. Sang sopir langsung menundukan kepalanya, menyapa William dan Marsha. Kemudian, William dan Marsha masuk ke dalam mobil. Kini mobil yang membawa William dan Marsha, mulai berjalam meninggalkan lobby bandara. Sepanjang perjalanan, Marsha menyandarkan kepalanya di bahu William. Berkali-kali William menawarkan untuk memanggil dokter, tapi istrinya tida pernah mau. Ya, Marsha saat ini hanya ingin segera tiba di hotel, dan langsung beristirahat. "Marsha, apa besok kau tidak usah datang
Waktu menunjukan pukul tujuh pagi, Marsha sudah bangun lebih awal. Ya, pagi ini Marsha harus bersiap-siap karena hari ini dia dan William akan terbang ke Milan. Sungguh, suaminya itu sangat mengejutkannya. Marsha bahkan belum menyiapkan apapun. Beruntung, William sudah menyiapkan hadiah pernikahan Orina dan Antonio, jika belum, sudah pasti dia akan kesal karena semuanya harus terburu-buru. "Sudah semua belum ya?" gumam Marsha seraya mengetuk pelan dagunya dengan telunjuknya. Tatapannya, mentap barang-barang pribadi miliknya dan William. Khusus keberangkatan hari ini, William memutuskan untuk tidak membawa Sean. Tadi pagi, Sean sudah dititipkan pada Veronica dan Lukas. William sengaja tidak membawa Sean, karena putranya itu baru masuk sekolah. Tidak hanya itu, tapi beberapa minggu terakhir, Sean akan banyak berlajar bahasa asing. Itu yang membuat William dan Marsha tidak mungkin membawa Sean. Mengingat pendidikan Sean jauh lebih penting. "Astaga, aku belum membawa perawatan kulit."
"Tuan William, aku rasa kita bisa membahas kerja sama bisnis," ujar George sambil menatap William yang berdiri di hadapannya. William tersenyum tipis. "Ya, aku rasa itu bukan ide yang buruk. Kita bisa membahas kerja sama." "Nyonya Sofia, Boleh aku menggendong Aurora?" pinta Marsha yang sudah sejak tadi sangat gemas pada bayi perempuan yang digendong Sofia. "Tentu Boleh, Nyonya Marsha..." Sofia langsung memberikan Aurora pada Marsha. Dengan wajah yang begitu bahagia Marsha menggendong Aurora, dia memberikan banyak kecupan pada bayi perempuan yang sangat cantik itu. "Mommy... Mommy menggendong siapa?" Sean yang tadi tengah bermain dengan Lea, dia langsung menghampiri Marsha yang tengah menggendong seorang baik. Marsha mengalihkan pandangannya, melihat Sean yang kini berada di hadapannya. Kemudian dia menundukan tubuhnya seraya berkata, "Sean, apa bayi perempuan ini sangat cantik?" tanyanya dengan lembut pada putranya. Sean mengangguk, lalu dia membawa tangan mungilnya menyentuh pi
Pagi hari semua orang terlihat begitu sibuk. Para pelayan, modar mandir membantu menyiapkan segala kebutuhan ulang tahun Sean. Terlebih tadi pagi, hadiah dari Clara baru saja datang. Sebuah mobil Bugatti Centodieci telah disiapkan oleh Clara dan Mario untuk Sean. Orang pertama yang begitu terkejut adalah Marsha, dia sungguh tidak berpikir orang tuanya akan membelikan sebuah mobil sport untuk Sean. Terlebih Bugatti Centodieci adalah salah satu mobil yang hanya diproduksi sebanyak sepuluh unit. Tentu yang memiiki mobil Bugatti Centodieci, harus rela mengeluarkan uang yang besar. Kini Marsha baru saja selesai berias. Tubuhnya terbalut oleh gaun berwarna merah dengan model atas kemben. Gaun ini benar-benar membuat lengkuk tubuhnya terlihat sempurna. Riasan bold, dengan lipstik merah membuat bibir ranumnya tampak penuh dan seksi. Rambut pirang dan tebalnya, Marsha biarkan tergerai indah, menutupi punggung polosnya. William yang berdiri di ambang pintu, dia tersenyum melihat sang istri ya
Menjelang pesta ulang tahun Sean, Marsha disibukan dengan banyaknya yang harus diurus. Meski, dia menyerahkan pada Luna, assistantnya, tapi tetap saja Marsha ingin terlibat pada pesat ulang tahunnya Sean. Tidak hanya sendiri, Marsha pun turut dibantu oleh Ibu mertuanya. Paling tidak meski Clara, ibunya sendiri tidak ada di dekatnya, ada Ibu mertuanya yang selalu membantu dirinya.Kini Marsha tengah berada di dapur—memasak untuk sang suami. Hari ini, Marsha ingin khsus memasak makanan untuk William. Sudah beberapa minggu terakhir, sang suami selalu masak makanan yang telah disiapkan oleh Andine, chefnya. Untuk kali ini, Marsha ingin sendiri memasak untuk William. "Selesai," ucap Marsha ketika menata tenderloin steak dengan mashed potato di atas piring. Tidak lupa dia menambahkan tartar sauce dan lemon untuk menambah citra rasa makanan yang telah dibuatnya. Setelah selesai memasak, Marsha mengalihkan pandangannnya ke jam dinding, kini sudah pukul enam sore, biasanya William sudah pula
"William, ada yang ingin aku bicarakan padamu.." Marsha melangkah keluar dari walk-in closetnya. Dia baru saja mengganti pakaiannya dengan gaun tidur nyaman. Tatapannya kini menatap sang suami yang duduk di ranjang dengan punggung yang bersandar di kepala ranjang seraya fokus pada iPad ditangannya. Kemudian Marsha mendekat, lalu duduk di samping suaminya. "Apa kau sibuk?" William mengalihkan pandangannya, lalu saat dia melihat sang istri sudah duduk di sampingnya, dia langsung meletakan iPad yang ada di tangannya itu ke atas nakas. Kemudian dia menarik tangan Marsha masuk ke dalam pelukannya seraya menjawab, "Apa yang kau ingin bicarakan, sayang?""Aku ingin membahas tentang tadi. Kenapa kau dan Mama sudah membahas tentang jodoh untuk Sean? Putra kita masih sagat kecil, William," ujar Marsha yang memprotes. Sudah sejak tadi dai menahan diri. Meski dia tahu, percuma saja memprotes, tapi setidaknya dia berbicara pada sang suami apa yang dia tidak sukai. "Kenapa kau tidak membiarkan Sea
"Kalian nikmatilah liburan. Pergilah berbulan madu, nanti Dokter bisa menemani kalian. Ini waktunya kalian menikmati hidup kalian. Masalah perusaahan, biar aku semua yang menanganinya. Setelah Sean berulang tahun nanti, aku akan menyiapkan liburan untuk kalian berdua," ujar William sambil menatap kedua orang tuanya.Veronica dan Lukas sama-sama tersenyum. "Ya, kami percaya, kau bisa mengatasi perusahaan dengan baik," jawab Lukas.Kemudian, tatapan Veeronica teralih pada Marsha yang duduk di samping Wiliam. "Marsha, Mama ingin membahas hal penting..""Ada apa, Ma?" Marsha mengerutkan keningnya, menatap bingung Ibu mertuanya."Ini tentang hadiah ulang tahun, Sean," balas Veronica. Marsha mendesah lega, ternyata mertuanya membahas tentang ulang tahun Sean. Dia berpikir, Ibu mertuanya akan memaksa dirinya agar hamil. Mengingat sudah cukup lama dia menikah dengan William, namun hanya memiliki satu orang putranya. Marsha benar-benar bersyukur memiliki mertua yang begitu pengertian dan meny
Marsha melangkah masuk ke dalam kamar William. Kamar yang dulu William sebelum mereka menikah. Entah kenapa, Marsha ingin berada di kamar lama milik William. Kini Marsha duduk di tepi ranjang. Tatapannya, teralih pada foto dirinya dan Sean yang terletak di atas nakas. Marsha langsung mengambil bingkai foto itu, dia menatap wajah putranya yang sekarang sudah tumbuh besar. Ingatan Marsha mengingat, kala Sean masih bayi, sejak dulu putranya itu sudah begitu menggemaskan. Di saat Marsha tengah menatap foto dirinya dan Sean, dia kembali mengingat tanpa terasa pernikahannya dnegan William hampir empat tahun. Dan selama itu juga dirinya masih belum memberikan adik untuk Sean. Marsha mendesah pelan, tadi Laura memberikan kabar bahagia, bahwa telah hamil. Tentu Masha begitu bahagia mendengar kabar itu. Dia sangat senang, melihat adik iparnya memiliki kehidupan yang sempurna. Lea akan segera memiliki seorang adik. Pikiran Marsha mengingat permintaan Sean yang ingin segera memiliki seorang adik
Suara dering ponsel terdengar, Marsha yang baru saja selesai mandi dan masih memakai bathrobe, langsung menuju pada ponselnya yang terus berdering itu. Kemudian, dia mengambil ponselnya yang terletak di atas nakas—menatap ke layar, tertera nomor Laura yang menghubunginya. Tanpa menunggu lama, Marsha langsung menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan, sebelum kemudian meletakan ke telinganya. "Ya, Laura?" jawab Marsha saat panggilan terhubung. "Marsha, apa aku mengganggumu? Kau di mana?" tanya Laura dari seberang line. "Tidak, Laura. Aku baru saja selesai mandi. Ada apa?" "Marsha, aku dan Raymond sudah di Toronto, apa kau bisa hari ini ke rumah Mama? Aku dan Raymond hari ini ke rumah Mama." "Kau sudah pulang? Bukannya kau akan pulang besok?" "Tidak, aku dan Raymond memajukan kepulangan kami. Jadi apa kau hari ini bisa datang ke rumah Mama?""Jam berapa kau ke sana?" "Jam sepuluh nanti kalau kakakku tidak bisa ikut, tidak apa-apa, kau saja dengan Sean." "Baiklah aku akan k