Marsha yang baru saja kembali dari kampus. Dia memutuskan mendengarkan saran dari Karin. Paling tidak Marsha bertemu dahulu dengan anak dari Geovan Group. Akhirnya Marsha mengatakan pada kedua orang tuanya jika ia mau untuk di pertemukan terlebih dahulu dengan sosok William Geovan.
Kedua orang tuanya pun sangat bahagia dengan keputusan Marsha ini. Tapi Marsha sudah mengatakan pada orang tuanya, jika dia hanya ingin bertemu terlebih dahulu. Marsha ingin tahu apakah pria yang di jodohkan padanya menyukai perjodohan ini. Marsha sangat berharap pria itu tidak menyukai perjodohan ini.
Entah harus bicara apa dengan Raymond. Karena Raymond sebenarnya tahu jika Marsha menyukai Raymond. Hanya saja Marsha menolak Raymond karena larangan dari orang tuanya, yang tidak memperbolehkan dirinya memiliki seorang kekasih.
Raymond pernah mengatakan pada Marsha, jika dia akan menunggu Marsha hingga Marsha siap untuk menerima dirinya. Dan Marsha sudah berencana menerima Raymond saat dirinya lulus kuliah nanti.
Kini kenyataan pahit di antara Marsha dengan Raymond. Marsha sudah pasti melukai hati Raymond. Raymond adalah sosok pria yang tampan dan berhati lembut. dia selalu memperilakukan Marsha dengan sangat baik.
Saat ini Raymond memimpin perusahaan keluarganya yang berada di Jepang. Rencananya Raymond akan kembali tahun ini. Raymond lebih tua lima tahun di atas Marsha.
Marsha yang tengah membaringkan tubuhnya di ranjang, dia mengambil ponselnya dan terus menatap foto Raymond. Kebiasaan Marsha memang dia akan memandang foto Raymond sebelum ia tidur. Dengan melihat foto Raymond akan sedikit menghibur dirinya dari rasa rindunya pada Raymond.
"Harus bicara apa aku dengan mu Raymond, aku akan dijodohkan dengan pria yang bahkan aku tidak pernah melihat wujudnya seperti apa," kata Marsha lirih, dia terus menatap layar ponselnya.
***
Marsha dan Karin memasuki salah satu kafe terdekat dengan kampus. Marsha memilih untuk tidak ingin langsung pulang. Dia lebih memilih untuk menenangkan pikirannya. Besok dia akan bertemu dengan pria yang akan dijodohkannya. Jika memikirkan itu, Marsha selalu merasa sesak.
"Karin, kau duduk dulu. Aku akan memesan minuman langsung," kata Marsha. Dia menunjuk satu tempat duduk diujung dekat kaca.
"Sha, kau panggil saja pelayannya. Tidak perlu ke sana," balas karin.
"Tidak rin, aku ingin langsung ke sana. Aku ingin memesan red velvet cake."
"Jangan lupa kau belikan juga untuk ku." .
"Ya, aku akan belikan." Kemudian Marsha langsung berjalan menuju kasir.
"Hi nona, ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang pelayan.
"Aku ingin dua ice chocolate dan dua red velvet cake," jawab Marsha.
"Baik nona, nanti kami antar," ucap pelayan itu dengan ramah.
"Berikan dua red velvet cake saja dulu. nanti minumannya baru kalian antar," kata Marsha dan pelayan langsung memberikan red velvet cake pada Marsha.
Dengan mata berbinar Marsha sudah tidak sabar untuk memakan red velvet yang ada di tangannya ini. "Sepertinya satu untuk ku saja masih kurang," gumam Marsha.
Marsha langsung berjalan menuju tempat duduknya, dia sudah tidak sabar untuk menikmati red velvet yang berada di tangannya ini. Namun saat Marsha berjalan, kaki Marsha menginjak sesuatu hingga membuatnya terpeleset.
Brukkkk
Marsha menumpahkan red velvet yang berada di tangannya pada seorang pria.
Karin yang melihat Marsha menumpahkan red velvet pada seorang pria, dia langsung menggarukan kepalanya. "Bagaimana Marsha jalan saja bisa terpeleset!" gerutu Karin dan langsung menghampiri Marsha.
"Kau ini bodoh atau apa! hah! kau menumpahkan kue di baju ku!" bentak pria itu dengan keras hingga membuat Marsha terkesiap mendengar bentakan pria di hadapannya ini.
Marsha meneguk ludahnya sudah payah, dia mengumpat dalam hati. Pria di hadapannya ini sangat tampan tapi membuat Marsha takut saat mendengar bentakan dari pria itu.
Marsha memberanikan diri menatap pria di hadapanya. "Hem. ..begini paman maaafkan aku, sungguh aku tidak sengaja menumpahkannya paman. Tadi kakiku terpeleset paman, maaf aku benar-benar tidak sengaja," kata Marsha menjelaskan, dia mengigit bibir bawahnya berusaha mengatasi kegugupanya.
Pria itu menajamkan matanya pada Marsha. "Apa! kau tadi barusan memanggil ku apa?!" sentak pria itu.
"Maksud apa? Paman marah karena aku memanggil sebutan paman?" ucap Marsha dengan suara polosnya.
Pria itu menggeram, menahan emosinya. "Kau! jangan mencoba menguji kesabaran ku."
"M-Maaf paman, aku sungguh tidak sengaja..." kata Marsha, dia tidak berani menatap pria di hadapannya itu.
"Jangan panggil aku paman!" bentak pria itu dengan nada tinggi. "Sekali lagi kau memanggil ku paman. Aku lempar kau dari sini!" geram pria itu, dengan kilatan mata tajam.
Marsha kembali memerhatikan pria di hadapannya. "Hem, tapi usia kita berbeda jauh paman?"
"Usia ku baru 28 tahun jangan pernah kau sebut aku dengan panggilan paman!" seru pria itu.
"Paman, usia ku baru 20 tahun. Kita berbeda delapan tahun, aku hanya menghormati panggilan untuk orang yang lebih tua di atas ku. Jadi aku memanggil mu dengan sebutan paman." Marsha mengatakan ini dengan senyum di wajahnya.
"Kau-" geram pria itu.
"Marsha, kamu ini bagaimana kenapa bisa terjatuh!" seru Karin yang kini sudah berada di samping Marsha.
"Aku juga tidak ingin terjatuh. Salahkan lantainya kenapa licin sekali," balas Marsha yang tidak terima disalahkan.
"Paman, maafkan aku..." Marsha mengucapkan dengan nada pelan pada pria yang dia tabrak itu.
"Berhenti memanggil ku paman atau aku akan benar-benar melempar mu dari sini!" tukas pria itu dengan nada ancaman.
'Pria ini tampan tapi galak sekali,' batin Marsha.
"Baiklah tuan, maafkan aku." Marsha menghela napas dalam dan memilih untuk mengalah.
"Kau lihat bajuku jadi kotor karena kuemu ini!" tukas pria itu dingin.
"Astaga, baiklah aku akan mengganti bajumu. Berapa harga bajumu?" balas Marsha yang kesal.
Pria itu tersenyum sinis. "Gadis kecil, kau tidak akan mampu membayar bajuku!"
"Katakan saja berapa harga bajumu?" ucap Marsha ketus.
"Marsha, bajunya dia keluaran merk ternama dunia, uang jajan mu yang kau tabung akan langsung habis," bisik Karin ditelinga Marsha.
Marsha yang mendengar ucapan Karin ia hanya bisa menelan ludahnya. 'Sial sekali aku hari ini,' gerutu Marsha dalam hati.
"Baju yang ku kenakan saat ini 150 ribu dollar," jawab pria asing itu dengan santai. Marsha langsung terkejut. Hampir saja Marsha jatuh pingsan mendengar harga baju yang dikenakan oleh pria yang dia tabrak ini. Bahkan Marsha tidak akan mungkin di berikan uang jajan oleh ayahnya sebanyak itu.
"Marsha, lebih baik kamu berdamai dengannya. Katakan padanya kau masih menjadi seorang mahasiswi," bisik Karin kembali.
'Aku hanya memilki tabungan dari hasilku mengumpulkan uang jajan saja, hanya baru setengahnya saja dari harga baju itu. Itu pun mengumpulkan dengan susah payah,' batin Marsha.
"Kenapa kau diam sekarang?" sindir pria itu.
"Begini tuan, aku masih seorang mahasiswi. Aku tidak mungkin meminta ayahku mengeluarkan uang sebanyak itu. Hem jadi begini saja aku akan mencucikan baju tuan hingga bersih bagaimana?" tawar Marsha dengan senyuman di wajahnya.
Pria itu langsung menyeringai saat mendengar ucapan gadis yang tengah menabraknya. "Tidak perlu, aku tidak membutuhkan itu! pergilah kau dari hadapanku sebelum aku melempar mu dari sini!" seru pria itu dengan tatapan tajam ke arah Marsha.
"Marsha ayo kita pergi." Karin langsung menarik tangan Marsha.
"Terimakasih Paman, kau telah memaafkanku..." teriak Marsha yang sudah berlari jauh.
"Kau-" geram pria itu.
Marsha langsung berlari menuju mobilnya dan langsung meninggalkan kafe. Kali ini dia benar-benar beruntung karena tidak di tuntut untuk mengganti rugi akibat baju pria itu.
Siang itu William baru saja kembali dari Italia. William memegang perusahaan keluarganya yang berada di Italia. Karena keinginan ayahnya untuk ia pindah ke Kanada tahun ini. Dengan terpaksa William pun akhirnya kembali ke Kanada."William," panggil Lukas saat melihat William baru saja tiba di rumah.William langsung menoleh dan menatap Lukas "Ya, ada apa?""Kemarilah, ada hal penting yang harus papa bicarakan dengan mu," ujar Lukas dan William langsung berjalan mendekat ke arah orang tuanya."William, apa kau masih ingat dengan sahabat lama papa yang bernama Mario Nicholas?" tanya Lukas menatap lekat William."Ya, aku mengingatnya. Paman Mario yang istrinya adalah orang Indonesia itu?" tanya William. Lukas mengangguk."Papa sudah memutuskan akan menjodohkanmu dengan anak dari sahabat papa itu, namanya Marsha. Papa yakin kau pasti akan menyukai gadis itu." Lukas berkata dengan yakin."Tunggu, maksud papa jadi papa memintaku kembali ke Kanada hanya karena papa ingin menjodohkanku dengan
Marsha mematut cermin, kini dirinya tengah di rias oleh make up artist yang telah di sewa oleh ibunya. Setelah selesai di make up, Marsha langsung memakai strap dress yang telah di siapkan oleh ibunya.Saat Marsha sudah mengganti pakainnya dengan gaun berwarna navy yang sangat kontras di kulit putih miliknya, Clara dan Rossa penata riasnya sangat terkejut saat melihat Marsha yang saat ini jauh lebih dewasa. Marsha terlihat sangatlah cantik dan anggun."Nona Marsha, anda sangat cantik," puji Rossa."Sayang, mama tidak menyangka putri mama sangatlah cantik," kata Clara, dia tidak berhenti menatap putrinya yang terlihat sangat cantik hari ini.Marsha hanya memutar bola matanya malas. Sangat menyebalkan hanya bertemu dengan pria yang di jodohkan, dia harus di rias seperti ini."Rossa, bisa tinggalkan aku sebentar dengan putri ku?" pinta Clara."Baik nyonya," Rossa langsung berjalan meninggalkan Clara dan Marsha.Clara melangkah mendekat ke arah Marsha, lalu dia mengelus dengan lembut pipi
William kembali menatap Marsha yang tengah mengalihkan pandangannya, jika di lihat-lihat memang Marsha adalah gadis yang sangat cantik. Itulah yang di pikir oleh William, Tapi tetap saja, William tidak pernah memiliki pasangan seorang gadis kecil seperti Marsha."Jadi kau ini tidak suka dengan perjodohan ini?" tanya William kembali."Tentu, jika aku bisa melarikan diri dan menghindar dari perjodohan ini. Percaya lah aku akan melakukannya," jawab Marsha.William menyeringai. "Good, kalau begitu kita buat kesepakatan.""Kesepakatan?" Marsha mengerutkan dahinya. Dia sedikit bingung dengan ucapan William."Ya, kesepakatan. Kita akan tetap menikah. Dan berpura-pura kita menerima perjodohan ini, aku akan membuat perjanjian besok untuk kita. Besok pagi kau ke kantor ku. Aku akan memberikan surat perjanjian itu pada mu," jelas William.Mendengar ucapan William membuat Marsha tersenyum. "Setuju! tentu aku menyetujuinya!""Allright, sekarang berikan nomor ponsel mu." William menyerakan ponsel m
Marsha mendengus tak suka. "Aku tidak perduli dengan mu yang tidak tertarik. Tapi usia ku sudah 20 tahun. Bukan gadis kecil lagi!" "Terserah, lebih baik kau tanda tangan." William menyerahkam pena pada Marsha."Ya," Marsha mengambil pena yang ada di atas meja dan langsung menandatangani surat perjanjian itu. "Sudah. " Marsha memberikan surat perjanjian pada William."William, aku ingin bertanya sesuatu pada mu," ucap Marsha setelah menyerahkan surat perjanjian itu. William menatap lekat Marsha. "Apa yang ingin kau katakan?" "Hem.. begini apa aku boleh memiliki kekasih?" tanya Marsha hati-hati."Tidak," jawab William dingin.Marsha mendelik, dia menatap tajam William. "Kenapa aku tidak boleh memiliki kekasih?" "Aku tahu kau ini belum pernah memiliki kekasih bukan? Jika sampai orang tuamu tahu kau memiliki kekasih. Lalu kau kenapa-kenapa mereka akan menyalahkanku. Aku tidak mau di salahkan atas perbuatan bodohmu!" tukas William dingin."CK! aku ini bukan anak kecil lagi. Aku bisa m
William menyandarkan punggungnya di kursi. Memejamkan mata lelah. Pikirannya kini tidak bisa berpikir jernih. Tujuannya kembali ke Kanada, hanya untuk memimpin perusahaan tapi dia harus di hadapkan dengan kenyataan harus menikahi wanita yang bahkan dia tidak mengenal wanita itu. Hingga detik ini, William masih terus memikirkan cara bagaimana dirinya harus menjelaskan pada Alice. Tidak mungkin William membiarkan kekasihnya harus terluka karena ini. Terdengar suara dering ponsel membuat William menghentikan lamunannya. William membuka matanya, dia mengambil ponselnya yang berada di atas meja. William membuang napas kasar, ketika menatap ke layar tertera ibunya menghubungi dirinya. Tidak ada pilihan lain, tidak mungkin William tidak menjawab panggilan itu. William menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan, sebelum kemudian meletakan ke telinganya. "Ya?" jawab William saat panggilannya sudah tersambung. "William, apa kau sibuk?" tanya Veronica dari seberang line. "Tidak, ada apa
Marsha mematut cermin, kini tubuhnya sudah terbalut dengan gaun berwarna merah lengan panjang. Gaun ini sungguh indah dan berkelas. Tubuh Marsha terlihat sempurna saat memakai gaun ini. Gaun lengan panjang yang memperlihatkan punggung mulus milik Marsha ini memang sangat menawan.Gaun pemberian Clara sang ibu, harus Marsha akui ibunya memiliki selera yang sangat berkelas dalam fashion. Setiap gaun yang dipilihakan oleh Clara, membuat Marsha terlihat dewasa dan sangat cantik.Marsha mengambil clutch di atas meja rias, dia kembali menatap cermin memastikan tidak ada yang kurang dari dirinya. Meski hanya bertemu dengan William, tapi Marsha selalu ingin tampil sempurna di mana pun dia berada. "Oh sweetheart, you're looking wonderfull," seru Clara dengan tatapan kagum ketika melihat Marsha menghampirinya. "Marsha, kau tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik," Mario mengusap rambut putrinya itu. 'Sayangnya aku sudah berdandan cantik hanya pergi dengan William. Harusnya jika sudah berdan
Sinar matahari pagi bersinar begitu cerah. Kini Marsha sudah berada di kampus, dia lebih menyukai datang ke kampus lebih awal. Sejak dirinya akan dijodohkan dengan William, membuat dirinya selalu ingin datang ke kampus lebih awal. Marsha duduk di taman sembari menikmati cuaca pagi yang begitu menyejukan. Musim semi adalah musim terbaik bagi Marsha. Hembusan angin begitu menenangkan. Marsha memejamkan mata sebentar, menikmati cuaca yang begitu indah. "Marsha?" panggil Karin, saat dia melangkah menuju taman dan mendapati sahabatnya tengah berada di taman.Marsha membuka matanya, dia mengalihkan pandanganya. Lalu menatap Karin yang duduk di sampingnya."Kau tidak masuk kelas?" tanya Marsha. "Tidak, nanti saja," jawab Karin. "Kau kenapa datang ke kampus Marsha? pernikahanmu sebentar lagi. Apa kau tidak melakukan persiapan?"Marsha mendesah pelan."Persiapan apa yang kau maksud? Semua telah diatur, aku tidak perlu melakukan persiapan." "Aku lupa kalau semua telah diatur," jawab Karin de
Mobil Rolls Royce milik William, kini sudah tiba di butik. William dan Marsha turun dari mobil, mereka melangkah masuk ke dalam butik itu. Pandangan Marsha kini menatap sosok wanita yang berjalan ke arahnya. "Selamat siang Tuan William dan Nona Marsha, perkenalkan saya Grace designer gaun pernikahan kalian," ujar Grace dengan senyuman hangat di wajahnya. "Siang Grace," balas Marsha. William hanya membalas dengan anggukan singkat di kepalanya. "Nona.. Mari ikut saya ke fiiting room," kata Grace."Ya," jawab Marsha singkat. Kemudian, Marsha melangkah masuk ke dalam fitting room. Seketika Marsha terdiam, menatap sebuah gaun mewah dengan taburan swarovski di gaun itu. Marsha mendekat, dia menyentuh gaun yang sangat indah itu. "Nona, apa anda menyukai gaun ini?" tanya Grace saat Marsha menyentuh gaun di hadapannya. "Aku tidak mungkin tidak menyukai gaun seindah ini," jawab Marsha dengan tatapan kagum pada gaun itu. "Ini gaun pengantin anda nona," balas Grace. "Silahkan dicoba terleb
Beberapa bulan kemudian... Tokyo, Japan... "Selena... Miracle... Hati-hati, jangan melempar bola salju seperti itu," seru Marsha memberikan peringatan pada kedua putrinya itu, yang tengah bermain salju. "Sean, jaga kedua adikmu. Jangan sampai mereka terluka," lanjutnya yang sedikit berteriak memperingatkan putra sulungnya itu, yang juga ikut bermain salju dengan Selena dan Miracle. "Sayang, Sean akan menjaga Selena dan Miracle dengan baik. Kau tenang saja," William merengkuh bahu Marsha seraya mengecup kening Marsha. "Lihatlah, Dominic masih tertidur pulas, meski tadi suaramu kencang. Tapi dia tetap tenang," ujarnya yang kini melihat ke arah Dominic yang tengah dalam pelukan Marsha. Marsha mendesah pelan, kemudian dia menatap Dominic yang masih tertidur pulas. Beruntung, putra bungsunya itu, tidak terbangun karena mendengar suaranya yang sedikit kencang memperingati ketiga anaknya. Ya, waktu berjalan begitu cepat. Kini Dominic berusia delapan bulan. William dan Marsha, sengaja men
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi laki-lakinya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak keempat mereka adalah laki-laki. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sesaat William menatap Marsha dengan tatapan yang begitu bahagia. Tidak pernah terpikir dalam hidup mereka, akan kembali merasakan kebahagiaan ini lagi."Dia mirip dengan Sean saat bayi," ucap William di telinga Marsha seraya memberikan banyak kecupan dipipi istrinya itu. "Terima kasih, sayang. Terima kasih telah memberikanku hadiah yang luar biasa."Marsha tersenyum dia terus mengusap lembut kepala bayi laki-lakinya itu. "Aku juga sangat bahagia, William. Melahirkan buah cinta kita adala
Marsha mematut cermin. Tubuhnya kini telah terbalut dress khusus wanita hamil yang membuat Marsha sangat nyaman. Ya, lagi dan lagi Marsha mengalami kenaikan berat badan cukup drastis. Berkali-kali suaminya mengatakan dirinya sangat cantik dan seksi saat hamil, namun Marsha tentu tidak akan percaya. Bagaimana tidak? Setiap kali Marsha menatap ke cermin, dia selalu melihat tubuhnya tampak begitu besar. Beruntung, kali ini adalah kehamilan yang terakhirnya. Memiliki empat anak sudah lebih dari cukup bagi Marsha. Padahal dulu, dia hanya menginginkan dua anak saja. Tapi William tidak akan pernah mau jika hanya dua anak. Bahkan hingga detik ini, William selalu meminta untuk kembali menambah anak. Marsha benar-benar tidak habis pikir dengan keinginan sang suami. "Setelah melahirkan, aku harus berolah raga. Aku tidak ingin gemuk seperti ini terus," gumam Marsha seraya mengusap perut buncitnya. "Sayang, Mommy sangat mencintaimu. Tenang saja, Mommy tidak akan menyalahkanmu karena kau membuat t
Suara teriakan yang keras membuat Laura yang baru saja menata pajangan di rumahnya, langsung terkejut. Dengan cepat Laura mengalihkan pandangannya, menatap ke arah pintu rumahnya. Seketika Laura mengerutkan keningnya, melihat Lea yang baru saja pulang sekolah, dengan raut wajah yang marah melangkah masuk ke dalam rumah. "Ahg! Kenapa mereka itu menyebalkan sekali! Mereka menggangguku!" seru Lea dengan suara keras kala tiba di rumah. "Sayang? Kau kenapa?" Laura mendekat ke arah Lea, dia langsung mengelus lembut pipi putrinya itu. "Tidak baik, gadis cantik masuk ke dalam rumah dengan wajah yang kesal. Sekarang katakan pada Mommy ada apa dan di mana Ken? Kenapa Ken tidak pulang bersama denganmu?" Lea mendengus, dia mencebikan bibirnya. "Ken masih berada di sekolah. Ada khursus yag harus dia ikuti. Mommy, aku rasanya ingin pindah sekolah saja. Aku tidak mau bersekolah di sekolah yang sama dengan Ka Sean. Aku pusing, Mommy!" Laura menautkan alisnya menatap bingung Lea. "Kenapa, sayang?
"Mommy..." Seorang anak perempuan berusia empat tahun berlari menghampiri Karin yang tengah memasak di dapur. Disusul dengan anak laki-laki yang juga berusia empat tahun, ikut berlari menghampiri Karin. Karin yang baru saja selesai masak, dan hendak meletakan makanan di atas meja, dia langsung mengalihkan pandangannya kala ada yang memanggilnya. Seketika senyum di bibir Karin terukir, melihat kedua anaknya tengah menghampirinya. Dengan cepat Karin langsung membuka tangannya dan memberikan pelukan hangat pada kedua anaknya itu. "Kelvin... Charlotte... Kalian sudah pulang?" Karin memberikan banyak kecupan pada kedua anaknya itu. "Ya, Mommy. Kami sudah pulang," jawab Kelvin dan Charlotte bersamaan seraya memeluk erat tubuh Karin. "Bagaimana hari kalian di sekolah? Apa kalian selalu bersama Selena dan Miracle?" tanya Karin sambil mengelus lembut pipi Kelvin dan Charlotte. Kelvin Frans Geovan dan Charlotte Frans Geovan, anak kembar dari Frans dan Karin yang berusia empat tahun ini ben
Lima Tahun Kemudian..."Astaga, Miracle. Hentikan bermain dengan pisau! Nanti kau terluka, Miracle!" Suara Marsha berseru dengan nada yang keras, agar putri kecilnya itu menghentikan bermain dengan pisau. Vanessa Miracle William Geovan, sejak kecil William mengajarkan bela diri pada Miracle, demi melindungi dirinya sendiri. Tentu William melakukan itu semua karena Miracle tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. William selalu waspada jika suatu saat ada yang berusaha mencelakai putrinya. Namun, Miracle sangat berbeda dengan Selena, saudara kembarnya yang berambut pirang, memiliki sifat yang begitu lemah lembut. Sangat sulit bagi William, mengajarkan Selena bela diri, karena berkali-kali Selena akan selalu terluka. Itu kenapa Willliam lebih memilih menjaga Selena dengan banyak pengawal yang mengikuti putrinya itu. "Mom, aku bisa melempar pisau di papan tepat sasaran. Aku hebat, kan, Mom?" Miracle tersenyum bangga, kala pisau yang dia lempar ke papan, tepat sasaran. Kemudian, dia pun
Karin menatap keindahan Canada's sugar beach. Sudah sejak beberapa hari lalu dirinya ingin pergi ke pantai ini. Tapi dia terpaksa menunda karena Frans disibukan dengan pekerjaannya. Dengan kaki telanjang, dan perut yang membuncit Karin melangkah melusuri pantai. Ya, kini kandangan Karin memasuki minggu ke tiga puluh empat. Selama kehamilan ini. Karin dilarang untuk melakukan kegiatan berat. Biasanya Karin menghabiskan waktu bersantai di rumah atau menonton film drama kesukannya. Jika Karin ingin keluar rumah, maka Frans harus ikut dengannya. Sejak hamil, sifat Frans memang begitu overprotective padanya. Dulu Karin berpikir, dia tidak akan pernah tahu bagaiamaa sifat seorang suami yang mengatasi istrinya yang tengah mengandung, tapi ternyata Tuhan begitu baik padanya, hingga memberikan kesempatan untuknya hamil. Kebahagiaan Frans dan Karin bertambah saat Dokter memberitahu dia hamil bayi kembar. Tentu Karin dan Frans begitu bahagia menyambut bayi kembar mereka. "Frans, kenapa kau tid
"Karin, pagi ini aku berangkat lebih awal. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan menggantikan William. Beberapa hari ke depan, William tidak masuk ke kantor," ucap Frans seraya memakai dasi. Karin yang tengah duduk, dia bangkit berdiri mendekat ke arah Frans, dan langsung mengambil alih Frans yang tengah memakai dasi. "Aku mengerti, William pasti sedang menemani Marsha yang baru melahirkan. Saat ini Marsha benar-benar membutuhkan William berada disisinnya." Karin menepuk pelan dada Frans kala selesai memakaikan dasi suaminya. "Terima kasih sudah mengerti," Frans menarik dagu Karin, mencium dan melumat lembut bibir Karin. "Yasudah aku berangkat sekarang. Malam ini kau tidurlah duluan. Jangan menungguku." "Hati-hati. Kabari aku jika kau sudah di kantor. Jangan lupakan makan siangmu," balas Karin mengingatkan. Frans mengangguk. Kemudian, dia mengecup singkat bibir Karin, lalu melangkah keluar meninggalkan kamar. Karin hendak menemani Frans, namun, Frans memintanya untuk tetap di
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi kembarnya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak kembar mereka adalah perempuan. Hal yang membuat William bertambah bahagia adalah saat sang Dokter mengatakan anak kembar mereka bukanlah kembar identik. Anak perempuan pertama yang lebih dulu lahir memiliki rambut pirang seperti Marsha. Sedangkan anak perempuan kedua yang lahir, memiliki rambut coklat seperti William. Sungguh, William tidak menyangka, bayi kembarnya akan lahir dengan begitu special. Kini Marsha tidak akan lagi iri, karena sekarang, Marsha memiliki satu anak yang begitu mirip dengannya. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sedangkan William d