"Atau..." Zayn melangkah mendekat, matanya menatap dalam ke mata Sera. "Ada alasan lain?"
Jantung Sera berdegup kencang, debarannya terasa hingga ke tenggorokan. Ada sesuatu dalam nada suara Zayn yang membuatnya gelisah, seolah pria itu bisa membaca pikirannya yang paling tersembunyi.
"Ya," jawab Sera akhirnya, meski hatinya berteriak hal yang sebaliknya.
Zayn mengambil napas dalam, matanya terpejam sejenak sebelum kembali menatap Sera. "Kamu yakin? Ini bukan keputusan yang bisa diambil main-main, Sera."
Sera mengangguk mantap, berusaha meyakinkan dirinya sendiri lebih dari meyakinkan Zayn. "Saya yakin, Mas."
Sesuatu berkilat di mata Zayn - entah itu kelegaan, atau mungkin... kemenangan? Sera tak bisa memastikan. Namun, ada p
“Tempat apa ini?” gumam Sera tanpa sadar, sejak tadi mulutnya terus berkomat-kamit membaca doa sambil terus melangkah.Di ujung jalan setapak itu, dia melihatnya. Sebuah bangunan tua yang berdiri menyendiri, jauh dari kemewahan rumah utama. Cat putihnya sudah mengelupas di sana-sini, jendela-jendelanya tertutup rapat dengan tirai lusuh. Tanaman rambat menutupi sebagian dindingnya, seolah alam berusaha menelan bangunan itu kembali ke pelukannya.Mata Sera melebar, campuran antara keterkejutan dan ketakutan memenuhi dadanya. Inikah tempat yang akan menjadi 'rumah' barunya? Sebuah paviliun tua yang terasing dan tampak... berhantu?Sera menelan ludah dengan susah payah, kakinya seolah terpaku ke tanah. Haruskah dia melangkah masuk? Ataukah lebih baik dia berbalik dan lari? Namun, ke mana dia bisa pergi?
"Bersihkanlah dirimu!"Suara Dewi memecah keheningan bagai cambuk, membuat Sera tersentak. Matanya yang tajam menelusuri tubuh Sera dari ujung rambut hingga ujung kaki, seolah sedang menilai seekor hewan ternak di pasar. Rasa jijik terpancar jelas dari sorot matanya, seakan-akan gadis di hadapannya adalah noda hitam yang mengotori lantai marmer putihnya yang berkilau.Sera membuka mulut, hendak membantah. Dia ingin mengatakan bahwa dirinya sudah membersihkan diri sebelum datang ke sini. Bahkan, dia telah menghabiskan waktu berjam-jam memastikan penampilannya sempurna. Namun, kata-kata itu tersangkut di tenggorokannya, tak mampu keluar. Di bawah tatapan mengintimidasi Dewi, dia merasa kecil, tak berdaya."Hari ini Zayn akan datang," lanjut Dewi, suaranya dingin bagai es. "Dia memintamu berpakaian yang pantas."
Sera merasakan kakinya goyah, seolah lantai di bawahnya bergetar. Pemandangan di balik tirai menari-nari di depan matanya, menghantui setiap sudut pikirannya. Dinding ruangan terasa semakin dekat, menekan dirinya dalam jerat ketakutan. Suara jantungnya menggema di telinga, mengalahkan semua suara lain. "Apa... apa maksudnya ini semua, Mas?" tanyanya akhirnya, suaranya nyaris tak terdengar.Zayn melangkah mendekatinya, langkahnya pelan tapi pasti, seperti predator yang mengintai mangsanya. Jemarinya yang panjang menyusuri lengan Sera dengan sentuhan seringan bulu, menciptakan sensasi yang mengalir ke seluruh tubuhnya. "Saya yakin sudah pernah memperkenalkanmu dengan tempat yang persis seperti ini sebelumnya," bisiknya di telinga istrinya, suaranya begitu lembut namun penuh dengan ancaman tersembunyi.Sera bergidik, entah karena sentuhan Zayn atau karena im
Sera terbangun dengan seluruh tubuh terasa remuk, setiap gerakan kecil mengirimkan gelombang nyeri yang menusuk. Matanya mengerjap perlahan, berusaha memfokuskan pandangan pada ruangan asing yang mengelilinginya. Ketidakpastian dan ketakutan mulai merayapi benaknya saat ingatan samar-samar tentang kejadian semalam bermunculan."Anda sudah bangun?"Suara datar itu mengejutkan Sera, membuatnya tersentak. Dia menoleh dan menemukan sosok familiar berdiri tak jauh darinya - Guntur, pengawal setia Zayn yang selalu terlihat kaku dan dingin. Mata gelap pria itu menatap Sera tanpa emosi, seolah mengamati benda mati alih-alih seorang manusia."A-apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Sera dengan suara serak, refleks menarik selimut lebih erat. Jantungnya berdegup kencang saat menyadari ada pakaian berbeda membalut tubuhn
Pesawat pribadi yang membawa mereka ke Amerika mendarat dengan mulus, tetapi perasaan Sera tidaklah demikian. Zayn membawanya ke tempat-tempat yang belum pernah didatanginya, tempat-tempat yang belum pernah didengarnya, dibacanya, atau dibayangkannya.“P-pertemuannya ada di sini, Mas?” tanya Sera dengan suara bergetar ketika Zayn mulai menarik tangannya masuk ke dalam salah satu bar terkenal di Las Vegas. Matanya mengamati sekeliling dengan cemas, tak percaya bahwa inilah tujuan mereka setelah penerbangan panjang itu.“Seharian saya sudah lelah bekerja. Sekarang waktunya bersenang-senang. Saya ingin menikmati waktu saya di sini,” bisik Zayn dengan lembut tetapi terdengar dingin sambil merapatkan tubuh istrinya. Sentuhannya terasa seperti belenggu es yang melingkari tubuhnya.Malam itu,
Lampu-lampu gemerlap Casino de Monte-Carlo menyilaukan mata Sera saat Zayn membimbingnya memasuki gedung mewah itu. Sera, dengan gaun malam elegan yang membalut tubuhnya, merasa seperti orang asing di dunia yang asing. Matanya bergerak gelisah, mengamati orang-orang kaya yang berkeliaran di sekitarnya. Para pria dengan jas mahal dan wanita dengan perhiasan berkilauan - sebuah pemandangan yang kontras dengan kehidupannya sebelum bertemu Zayn."Tersenyumlah, Sayang," bisik Zayn di telinga Sera, tangannya mencengkeram pinggang wanita itu dengan kuat. "Kita akan bersenang-senang malam ini"Sera mengangguk lemah, berusaha mengukir senyum palsu di wajahnya yang pucat. Dia tidak mengerti mengapa suaminya itu terus membawanya ke tempat seperti ini, tapi dia tahu lebih baik untuk tidak bertanya.Mereka berjalan menuju sebuah meja poker eksklusif, di mana beberapa pria berpakaian mewah sedang bermain. Mata para pria itu langsung tertuju pada Sera, tatapan mereka penuh nafsu dan keingintahuan."
Pintu kamar hotel dibanting keras, mengejutkan Sera yang baru saja melangkah masuk. Zayn menguncinya dengan cepat, lalu berbalik menghadap istrinya dengan tatapan yang membuat bulu kuduknya meremang."Kamu bermain dengan baik malam ini, Sera," ujar Zayn, suaranya rendah dan berbahaya. "Tapi permainan kita belum selesai."Sera mundur perlahan, punggungnya menabrak dinding. "A-apa maksudnya, Mas?"Zayn tertawa dingin, melangkah mendekati Sera dengan gerakan predator yang mengintai mangsanya. "Kamu pikir saya membawamu ke sini hanya untuk dipamerkan? Oh tidak, Sayang. Kamu punya tugas lain."Jantung Sera berdegup kencang. Dia tidak mengerti apa yang direncanakan Zayn, tapi instingnya menjerit bahaya. "Mas, saya mohon... saya lelah. Bisakah kita istirahat saja?"
Sera duduk kaku, jemarinya saling meremas dalam usaha sia-sia untuk menenangkan diri. Dia bisa merasakan aura dingin yang terpancar dari Zayn di sampingnya, seolah ada tembok es yang memisahkan mereka.Dering ponsel memecah keheningan yang mencekam. Zayn menjawab dengan gerakan cepat, suaranya sedingin tatapannya."Ada apa?"Sera tidak bisa mendengar suara di seberang telepon, tapi dia bisa melihat perubahan di wajah Zayn. Rahang pria itu mengeras, matanya berkilat berbahaya. Sera menahan napas, menunggu badai yang dia tahu akan segera datang."Apa maksudmu proyek itu gagal?" Zayn membentak, amarahnya meledak seperti gunung berapi yang lama terpendam. "Bagaimana bisa bajingan itu mengacaukan semuanya? Saya sudah memberinya instruksi yang jelas!"
Udara di kamar hotel itu terasa mencekik. Dua pria dengan pistol teracung, masing-masing siap menarik pelatuk demi keyakinan yang mereka pegang—sementara di tengah mereka, Sera berdiri dengan hati yang tercabik."An, pergilah dari sini sekarang juga!" Suara Guntur pecah oleh keputusasaan. "Dia bukan lagi pria yang kamu pikir kamu cintai. Kebenciannya sudah mengalahkan segalanya!"Sera merasakan setiap kata itu menghujam jantungnya. Namun, ketika matanya bertemu dengan mata Zayn, dia melihat sesuatu yang berbeda—sebuah kenyataan yang membingungkan. Di balik kilatan kebencian yang begitu nyata, masih ada secercah cinta yang mencoba bertahan hidup, seperti api kecil yang menolak padam di tengah badai. Tapi kebencian itu juga tak bisa diabaikan—begitu pekat dan nyata, seperti racun yang perlahan-lahan menggerogoti cinta yang tersisa.
"Apa sebesar itu kebencian Mas pada saya?"Pertanyaan itu menggantung berat di udara yang pengap. Zayn tersenyum getir, rahangnya mengeras menahan badai emosi yang bergejolak dalam dadanya. Benci? Satu kata itu terasa terlalu sederhana untuk menggambarkan kedalaman perasaan yang menggerogoti jiwanya selama bertahun-tahun. Kebencian yang telah dia pupuk sejak hari naas itu—hari di mana dunianya hancur berkeping-keping."Apa Mas benar-benar berniat untuk membunuh saya?"Pertanyaan Sera yang bertubi-tubi bagaikan pisau yang menghujam tepat ke jantungnya, memaksa Zayn kembali berhadapan dengan realitas kelam yang selama ini coba dia kubur dalam-dalam. Setiap kata mengingatkannya akan rencana awalnya—rencana yang dia susun dengan teliti, dimulai dari mendekati gadis itu hingga menjebaknya dalam ikatan pernika
Lampu-lampu kristal hotel mewah itu berpendar redup, menciptakan bayangan-bayangan yang menari di wajah Sera yang pucat. Di depan pintu kamar 2207, jantungnya berdegup begitu keras hingga dia yakin Guntur bisa mendengarnya. Tangannya yang gemetar terangkat ke udara, ragu-ragu sebelum mengetuk—setiap detik penantian terasa seperti siksaan yang tak berkesudahan."Kamu yakin ingin melakukan ini sendiri?" Guntur bertanya lagi, suaranya mengandung kekhawatiran yang tak tersembunyi. "Aku bisa—""Tidak," Sera memotong dengan suara yang lebih tegas dari yang dia rasakan. "Ini pertarunganku sendiri. Aku harus menghadapinya... apapun yang terjadi." Namun getaran dalam suaranya mengkhianati ketakutan yang dia coba sembunyikan.Ketika pintu akhirnya terbuka, waktu seakan membeku. Sosok Zayn yang berdiri di ambang pi
Kegelapan malam seolah menelan Sera bulat-bulat. Kakinya terus melangkah meski gemetar, sementara matanya mencari-cari tanda kehidupan di sepanjang jalan yang tampak tak berujung ini. Namun yang dia temui hanyalah kesunyian mencekam—tidak ada rumah, tidak ada kendaraan, bahkan tidak ada suara anjing menggonggong di kejauhan. Hanya ada deru angin dan detak jantungnya yang semakin liar.Guntur telah memilih tempat persembunyian dengan sangat cermat, Sera menyadari dengan getir. Setiap langkah terasa seperti siksaan; kepalanya berdenyut hebat seolah ada ribuan palu yang menghantam dari dalam tengkoraknya. Namun ketakutan akan tertangkap kembali memaksanya untuk terus bergerak.Lalu dia mendengarnya—suara yang membuat darahnya membeku. Deruman mobil dari kejauhan, semakin mendekat seperti predator yang mengendus mangsanya. Sera memaksa kakinya untuk ber
Waktu seolah membeku ketika Sera menatap wajah yang begitu familiar namun asing itu. Matanya mengunci pada sosok pria yang telah lama hilang dari hidupnya. Setiap detail wajahnya kini terasa seperti kepingan puzzle yang perlahan menemukan tempatnya, membentuk gambaran masa lalu yang telah terkubur dalam-dalam."Maafkan aku, An. Maaf karena aku—""Cukup, tolong cukup!" Sera menjerit, tangannya gemetar saat menutup telinganya. Suaranya pecah oleh emosi yang tak terbendung, seperti vas kristal yang hancur berkeping-keping. Setiap kata yang keluar dari mulut Guntur terasa seperti paku yang menghujam ke dalam kepalanya, menggali keluar kenangan-kenangan yang seharusnya tetap terkubur.Udara di sekitarnya terasa menipis. Sera mencengkeram dadanya yang sesak, seolah paru-parunya menolak untuk bekerja sama. Dunianya y
Kesadaran menyeruak perlahan, membawa Arneta kembali ke dunia nyata yang lebih menyakitkan dari mimpi terburuknya. Kepalanya berdenyut hebat, seolah ribuan palu menghantam tanpa henti. Matanya terbuka, mengerjap lemah, hanya untuk bertemu dengan sepasang mata tajam yang menatapnya lekat - mata Gilang, pria yang kini menjadi sumber dari segala deritanya."Kamu sudah bangun?" Suara Gilang terdengar tenang, namun bagi Arneta, setiap kata yang keluar dari mulut pria itu bagaikan racun yang menyebar ke seluruh tubuhnya."Hampir saja mematahkan tangan dokter itu kalau kamu masih belum bangun juga," lanjut Gilang santai, seolah membicarakan cuaca. Kenyataan menghantam Arneta bagai ombak ganas - ini bukan mimpi. Ia telah kembali ke sangkar emasnya yang terkutuk, tempat di mana ia tak lebih dari boneka dalam genggaman Gilang.
Rintik hujan perlahan mereda, meninggalkan aroma basah yang mengambang di udara. Di hadapan rumah yang dulu penuh kehangatan, Arneta berdiri terpaku, seolah waktu membeku di sekelilingnya. Air mata mengalir tanpa henti, setiap tetesnya membawa serpihan kenangan indah yang kini terasa begitu jauh dan mustahil untuk diraih kembali.Bangunan yang dulu bernapas dengan tawa dan canda, kini berdiri sunyi, seakan ikut berkabung atas tragedi yang menimpa penghuninya. Arneta merasakan setiap detik yang berlalu bagaikan pisau yang mengiris jiwanya."Ayo, Ma. Ana pasti ketakutan di dalam," suara Adjie memecah keheningan, menarik Arneta kembali ke realita yang kejam.Nama putrinya bagaikan cambuk yang menghantam kesadaran Arneta. Dengan langkah tergesa, dia menghampiri pintu, jantungnya berdebar kencang. Namun, pintu terkunci r
Kesunyian yang mencekam merayap di sudut-sudut kamar, seolah menelan seluruh kehidupan yang tersisa. Di tengah ruangan itu, Arneta terduduk kaku, tatapannya kosong menembus jendela, menerawang jauh ke cakrawala yang tak terjangkau. Tiga hari telah berlalu sejak kepergian Adjie, namun bagi Arneta, waktu seakan berhenti, membeku dalam keputusasaan yang mencengkeram.Wajahnya yang dulunya berseri kini tampak pucat dan tirus. Lingkaran hitam menghiasi matanya yang sayu, saksi bisu dari malam-malam tanpa tidur yang dilaluinya. Setiap tarikan napas terasa berat, seolah udara di sekitarnya telah berubah menjadi racun yang perlahan menggerogoti jiwanya.Suara ketukan lembut di pintu memecah keheningan, diikuti derit engsel yang membuka perlahan. Astuti, dengan langkah hati-hati, memasuki kamar membawa nampan berisi hidangan yang aromanya menguar menggoda. Namun bagi Ar
"Mau sampai kapan kita tinggal di sini, Ma?"Pertanyaan itu menggantung di udara, berat dan menyesakkan. Arneta, yang berdiri tak jauh dari putranya, hanya bisa terdiam. Tangannya terkepal erat, buku-buku jarinya memutih, seakan mencoba menahan seluruh beban dunia yang menghimpit dadanya. Dia ingin menjawab, ingin memeluk putranya dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Namun lidahnya kelu, tertahan oleh rahasia kelam yang mengurung mereka di tempat terkutuk ini."Adjie nggak mau tinggal di sini, Ma! Adjie mau pulang!" Adjie berseru, suaranya bergetar antara amarah dan tangis yang ditahan. Matanya menatap lekat sosok ibunya, mencari secercah harapan yang mungkin tersisa.Namun Arneta tetap membisu. Ia melangkah menjauh, berusaha mengabaikan keluhan putranya yang terasa bagai belati yang menusuk jantungnya. S