Sera merasakan kakinya goyah, seolah lantai di bawahnya bergetar. Pemandangan di balik tirai menari-nari di depan matanya, menghantui setiap sudut pikirannya. Dinding ruangan terasa semakin dekat, menekan dirinya dalam jerat ketakutan. Suara jantungnya menggema di telinga, mengalahkan semua suara lain. "Apa... apa maksudnya ini semua, Mas?" tanyanya akhirnya, suaranya nyaris tak terdengar.
Zayn melangkah mendekatinya, langkahnya pelan tapi pasti, seperti predator yang mengintai mangsanya. Jemarinya yang panjang menyusuri lengan Sera dengan sentuhan seringan bulu, menciptakan sensasi yang mengalir ke seluruh tubuhnya. "Saya yakin sudah pernah memperkenalkanmu dengan tempat yang persis seperti ini sebelumnya," bisiknya di telinga istrinya, suaranya begitu lembut namun penuh dengan ancaman tersembunyi.
Sera bergidik, entah karena sentuhan Zayn atau karena im
Sera terbangun dengan seluruh tubuh terasa remuk, setiap gerakan kecil mengirimkan gelombang nyeri yang menusuk. Matanya mengerjap perlahan, berusaha memfokuskan pandangan pada ruangan asing yang mengelilinginya. Ketidakpastian dan ketakutan mulai merayapi benaknya saat ingatan samar-samar tentang kejadian semalam bermunculan."Anda sudah bangun?"Suara datar itu mengejutkan Sera, membuatnya tersentak. Dia menoleh dan menemukan sosok familiar berdiri tak jauh darinya - Guntur, pengawal setia Zayn yang selalu terlihat kaku dan dingin. Mata gelap pria itu menatap Sera tanpa emosi, seolah mengamati benda mati alih-alih seorang manusia."A-apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Sera dengan suara serak, refleks menarik selimut lebih erat. Jantungnya berdegup kencang saat menyadari ada pakaian berbeda membalut tubuhn
Pesawat pribadi yang membawa mereka ke Amerika mendarat dengan mulus, tetapi perasaan Sera tidaklah demikian. Zayn membawanya ke tempat-tempat yang belum pernah didatanginya, tempat-tempat yang belum pernah didengarnya, dibacanya, atau dibayangkannya.“P-pertemuannya ada di sini, Mas?” tanya Sera dengan suara bergetar ketika Zayn mulai menarik tangannya masuk ke dalam salah satu bar terkenal di Las Vegas. Matanya mengamati sekeliling dengan cemas, tak percaya bahwa inilah tujuan mereka setelah penerbangan panjang itu.“Seharian saya sudah lelah bekerja. Sekarang waktunya bersenang-senang. Saya ingin menikmati waktu saya di sini,” bisik Zayn dengan lembut tetapi terdengar dingin sambil merapatkan tubuh istrinya. Sentuhannya terasa seperti belenggu es yang melingkari tubuhnya.Malam itu,
Lampu-lampu gemerlap Casino de Monte-Carlo menyilaukan mata Sera saat Zayn membimbingnya memasuki gedung mewah itu. Sera, dengan gaun malam elegan yang membalut tubuhnya, merasa seperti orang asing di dunia yang asing. Matanya bergerak gelisah, mengamati orang-orang kaya yang berkeliaran di sekitarnya. Para pria dengan jas mahal dan wanita dengan perhiasan berkilauan - sebuah pemandangan yang kontras dengan kehidupannya sebelum bertemu Zayn."Tersenyumlah, Sayang," bisik Zayn di telinga Sera, tangannya mencengkeram pinggang wanita itu dengan kuat. "Kita akan bersenang-senang malam ini"Sera mengangguk lemah, berusaha mengukir senyum palsu di wajahnya yang pucat. Dia tidak mengerti mengapa suaminya itu terus membawanya ke tempat seperti ini, tapi dia tahu lebih baik untuk tidak bertanya.Mereka berjalan menuju sebuah meja poker eksklusif, di mana beberapa pria berpakaian mewah sedang bermain. Mata para pria itu langsung tertuju pada Sera, tatapan mereka penuh nafsu dan keingintahuan."
Pintu kamar hotel dibanting keras, mengejutkan Sera yang baru saja melangkah masuk. Zayn menguncinya dengan cepat, lalu berbalik menghadap istrinya dengan tatapan yang membuat bulu kuduknya meremang."Kamu bermain dengan baik malam ini, Sera," ujar Zayn, suaranya rendah dan berbahaya. "Tapi permainan kita belum selesai."Sera mundur perlahan, punggungnya menabrak dinding. "A-apa maksudnya, Mas?"Zayn tertawa dingin, melangkah mendekati Sera dengan gerakan predator yang mengintai mangsanya. "Kamu pikir saya membawamu ke sini hanya untuk dipamerkan? Oh tidak, Sayang. Kamu punya tugas lain."Jantung Sera berdegup kencang. Dia tidak mengerti apa yang direncanakan Zayn, tapi instingnya menjerit bahaya. "Mas, saya mohon... saya lelah. Bisakah kita istirahat saja?"
Sera duduk kaku, jemarinya saling meremas dalam usaha sia-sia untuk menenangkan diri. Dia bisa merasakan aura dingin yang terpancar dari Zayn di sampingnya, seolah ada tembok es yang memisahkan mereka.Dering ponsel memecah keheningan yang mencekam. Zayn menjawab dengan gerakan cepat, suaranya sedingin tatapannya."Ada apa?"Sera tidak bisa mendengar suara di seberang telepon, tapi dia bisa melihat perubahan di wajah Zayn. Rahang pria itu mengeras, matanya berkilat berbahaya. Sera menahan napas, menunggu badai yang dia tahu akan segera datang."Apa maksudmu proyek itu gagal?" Zayn membentak, amarahnya meledak seperti gunung berapi yang lama terpendam. "Bagaimana bisa bajingan itu mengacaukan semuanya? Saya sudah memberinya instruksi yang jelas!"
Air mata mengalir deras di pipi Sera, isak tangisnya memenuhi ruangan, bercampur dengan tawa dingin para pria yang baru saja mempertaruhkan hidupnya dalam permainan kartu. Namun, di antara semua suara itu, kata-kata Zayn-lah yang paling menghancurkan hatinya."Guntur, dia milikmu malam ini," ujar Zayn dengan nada datar, seolah sedang membicarakan benda mati dan bukan istrinya sendiri.Sera menatap suaminya dengan pandangan tidak percaya. Matanya yang berkaca-kaca mencari secercah belas kasihan di wajah Zayn, tapi yang dia temukan hanyalah kekosongan dan kebencian yang begitu dalam.Dengan tangan gemetar, Sera mencengkeram lengan pria itu, berharap dia bisa mengubah keputusannya. "Mas... tolong," katanya lirih, suaranya pecah oleh emosi yang tak terbendung. "Saya akan melakukan apa saja. Apa saja! Asal jangan ini..."
Zayn baru saja hendak mengambil bola yang menggelinding ke arah paviliun ketika matanya menangkap sosok familiar yang melangkah tergesa-gesa. Itu papanya, yang tengah berjalan dengan terburu-buru melintasi taman belakang.“Papa!” bisiknya dengan mata membulat.Zayn terus mengamati dari kejauhan. Rasa penasaran mulai menggelitik benak Zayn. Mengapa papa pergi ke sana? Bukankah itu hanya pondok kecil yang tidak terpakai?Tanpa pikir panjang, Zayn memutuskan untuk mengikuti papanya. Dia berjingkat pelan, bersembunyi di balik semak-semak dan pohon-pohon, layaknya detektif cilik dalam film-film yang sering ditontonnya.Semakin dekat dengan pondok, Zayn bisa mendengar suara-suara aneh. Suara benda yang berjatuhan, desahan tertahan, dan... suara papanya?
"Mas... Mas Zayn, bisa dengar saya?"Suara lembut itu menembus kegelapan yang menyelimuti Zayn. Perlahan, kelopak matanya yang terasa berat mulai terbuka. Cahaya yang menyilaukan membuatnya mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya bisa fokus pada sosok di hadapannya.Seorang wanita muda dengan wajah lelah namun cantik menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Ada jejak air mata di pipinya yang pucat, dan lingkaran hitam di bawah matanya menunjukkan bahwa dia telah lama tidak tidur dengan nyenyak.Zayn mencoba berbicara, tapi tenggorokannya terasa kering dan sakit. Hanya erangan pelan yang keluar dari bibirnya yang pecah-pecah."Jangan dipaksa bicara dulu, Mas," ujar wanita itu lembut, tangannya dengan hati-hati menyentuh lengan Zayn yang tidak diperban. "Saya akan panggil dok