Sera terbangun dengan seluruh tubuh terasa remuk, setiap gerakan kecil mengirimkan gelombang nyeri yang menusuk. Matanya mengerjap perlahan, berusaha memfokuskan pandangan pada ruangan asing yang mengelilinginya. Ketidakpastian dan ketakutan mulai merayapi benaknya saat ingatan samar-samar tentang kejadian semalam bermunculan.
"Anda sudah bangun?"
Suara datar itu mengejutkan Sera, membuatnya tersentak. Dia menoleh dan menemukan sosok familiar berdiri tak jauh darinya - Guntur, pengawal setia Zayn yang selalu terlihat kaku dan dingin. Mata gelap pria itu menatap Sera tanpa emosi, seolah mengamati benda mati alih-alih seorang manusia.
"A-apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Sera dengan suara serak, refleks menarik selimut lebih erat. Jantungnya berdegup kencang saat menyadari ada pakaian berbeda membalut tubuhn
Pesawat pribadi yang membawa mereka ke Amerika mendarat dengan mulus, tetapi perasaan Sera tidaklah demikian. Zayn membawanya ke tempat-tempat yang belum pernah didatanginya, tempat-tempat yang belum pernah didengarnya, dibacanya, atau dibayangkannya.“P-pertemuannya ada di sini, Mas?” tanya Sera dengan suara bergetar ketika Zayn mulai menarik tangannya masuk ke dalam salah satu bar terkenal di Las Vegas. Matanya mengamati sekeliling dengan cemas, tak percaya bahwa inilah tujuan mereka setelah penerbangan panjang itu.“Seharian saya sudah lelah bekerja. Sekarang waktunya bersenang-senang. Saya ingin menikmati waktu saya di sini,” bisik Zayn dengan lembut tetapi terdengar dingin sambil merapatkan tubuh istrinya. Sentuhannya terasa seperti belenggu es yang melingkari tubuhnya.Malam itu,
Lampu-lampu gemerlap Casino de Monte-Carlo menyilaukan mata Sera saat Zayn membimbingnya memasuki gedung mewah itu. Sera, dengan gaun malam elegan yang membalut tubuhnya, merasa seperti orang asing di dunia yang asing. Matanya bergerak gelisah, mengamati orang-orang kaya yang berkeliaran di sekitarnya. Para pria dengan jas mahal dan wanita dengan perhiasan berkilauan - sebuah pemandangan yang kontras dengan kehidupannya sebelum bertemu Zayn."Tersenyumlah, Sayang," bisik Zayn di telinga Sera, tangannya mencengkeram pinggang wanita itu dengan kuat. "Kita akan bersenang-senang malam ini"Sera mengangguk lemah, berusaha mengukir senyum palsu di wajahnya yang pucat. Dia tidak mengerti mengapa suaminya itu terus membawanya ke tempat seperti ini, tapi dia tahu lebih baik untuk tidak bertanya.Mereka berjalan menuju sebuah meja poker eksklusif, di mana beberapa pria berpakaian mewah sedang bermain. Mata para pria itu langsung tertuju pada Sera, tatapan mereka penuh nafsu dan keingintahuan."
Pintu kamar hotel dibanting keras, mengejutkan Sera yang baru saja melangkah masuk. Zayn menguncinya dengan cepat, lalu berbalik menghadap istrinya dengan tatapan yang membuat bulu kuduknya meremang."Kamu bermain dengan baik malam ini, Sera," ujar Zayn, suaranya rendah dan berbahaya. "Tapi permainan kita belum selesai."Sera mundur perlahan, punggungnya menabrak dinding. "A-apa maksudnya, Mas?"Zayn tertawa dingin, melangkah mendekati Sera dengan gerakan predator yang mengintai mangsanya. "Kamu pikir saya membawamu ke sini hanya untuk dipamerkan? Oh tidak, Sayang. Kamu punya tugas lain."Jantung Sera berdegup kencang. Dia tidak mengerti apa yang direncanakan Zayn, tapi instingnya menjerit bahaya. "Mas, saya mohon... saya lelah. Bisakah kita istirahat saja?"
Sera duduk kaku, jemarinya saling meremas dalam usaha sia-sia untuk menenangkan diri. Dia bisa merasakan aura dingin yang terpancar dari Zayn di sampingnya, seolah ada tembok es yang memisahkan mereka.Dering ponsel memecah keheningan yang mencekam. Zayn menjawab dengan gerakan cepat, suaranya sedingin tatapannya."Ada apa?"Sera tidak bisa mendengar suara di seberang telepon, tapi dia bisa melihat perubahan di wajah Zayn. Rahang pria itu mengeras, matanya berkilat berbahaya. Sera menahan napas, menunggu badai yang dia tahu akan segera datang."Apa maksudmu proyek itu gagal?" Zayn membentak, amarahnya meledak seperti gunung berapi yang lama terpendam. "Bagaimana bisa bajingan itu mengacaukan semuanya? Saya sudah memberinya instruksi yang jelas!"
Air mata mengalir deras di pipi Sera, isak tangisnya memenuhi ruangan, bercampur dengan tawa dingin para pria yang baru saja mempertaruhkan hidupnya dalam permainan kartu. Namun, di antara semua suara itu, kata-kata Zayn-lah yang paling menghancurkan hatinya."Guntur, dia milikmu malam ini," ujar Zayn dengan nada datar, seolah sedang membicarakan benda mati dan bukan istrinya sendiri.Sera menatap suaminya dengan pandangan tidak percaya. Matanya yang berkaca-kaca mencari secercah belas kasihan di wajah Zayn, tapi yang dia temukan hanyalah kekosongan dan kebencian yang begitu dalam.Dengan tangan gemetar, Sera mencengkeram lengan pria itu, berharap dia bisa mengubah keputusannya. "Mas... tolong," katanya lirih, suaranya pecah oleh emosi yang tak terbendung. "Saya akan melakukan apa saja. Apa saja! Asal jangan ini..."
Zayn baru saja hendak mengambil bola yang menggelinding ke arah paviliun ketika matanya menangkap sosok familiar yang melangkah tergesa-gesa. Itu papanya, yang tengah berjalan dengan terburu-buru melintasi taman belakang.“Papa!” bisiknya dengan mata membulat.Zayn terus mengamati dari kejauhan. Rasa penasaran mulai menggelitik benak Zayn. Mengapa papa pergi ke sana? Bukankah itu hanya pondok kecil yang tidak terpakai?Tanpa pikir panjang, Zayn memutuskan untuk mengikuti papanya. Dia berjingkat pelan, bersembunyi di balik semak-semak dan pohon-pohon, layaknya detektif cilik dalam film-film yang sering ditontonnya.Semakin dekat dengan pondok, Zayn bisa mendengar suara-suara aneh. Suara benda yang berjatuhan, desahan tertahan, dan... suara papanya?
"Mas... Mas Zayn, bisa dengar saya?"Suara lembut itu menembus kegelapan yang menyelimuti Zayn. Perlahan, kelopak matanya yang terasa berat mulai terbuka. Cahaya yang menyilaukan membuatnya mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya bisa fokus pada sosok di hadapannya.Seorang wanita muda dengan wajah lelah namun cantik menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Ada jejak air mata di pipinya yang pucat, dan lingkaran hitam di bawah matanya menunjukkan bahwa dia telah lama tidak tidur dengan nyenyak.Zayn mencoba berbicara, tapi tenggorokannya terasa kering dan sakit. Hanya erangan pelan yang keluar dari bibirnya yang pecah-pecah."Jangan dipaksa bicara dulu, Mas," ujar wanita itu lembut, tangannya dengan hati-hati menyentuh lengan Zayn yang tidak diperban. "Saya akan panggil dok
"Mr. Wiratama sudah cukup stabil untuk pulang," ujar dokter dalam bahasa Inggris, senyum tipis tersungging di wajahnya yang lelah.Guntur dengan cepat menerjemahkan perkataan dokter kepada Sera yang berdiri tegang di samping ranjang Zayn. Wanita itu mengangguk pelan, matanya tak lepas dari sosok suaminya yang masih tampak lemah."Terima kasih, Dokter," ucap Sera lirih, suaranya bergetar menahan emosi yang berkecamuk.Setelah dokter berlalu, keheningan yang canggung menyelimuti ruangan. Zayn, yang masih terlihat bingung dengan sekelilingnya, menatap Sera dan Guntur bergantian, seolah mencari petunjuk tentang apa yang harus dia lakukan selanjutnya."Kita... pulang?" tanya Zayn ragu, suaranya masih terdengar serak dan lemah.
Udara di kamar hotel itu terasa mencekik. Dua pria dengan pistol teracung, masing-masing siap menarik pelatuk demi keyakinan yang mereka pegang—sementara di tengah mereka, Sera berdiri dengan hati yang tercabik."An, pergilah dari sini sekarang juga!" Suara Guntur pecah oleh keputusasaan. "Dia bukan lagi pria yang kamu pikir kamu cintai. Kebenciannya sudah mengalahkan segalanya!"Sera merasakan setiap kata itu menghujam jantungnya. Namun, ketika matanya bertemu dengan mata Zayn, dia melihat sesuatu yang berbeda—sebuah kenyataan yang membingungkan. Di balik kilatan kebencian yang begitu nyata, masih ada secercah cinta yang mencoba bertahan hidup, seperti api kecil yang menolak padam di tengah badai. Tapi kebencian itu juga tak bisa diabaikan—begitu pekat dan nyata, seperti racun yang perlahan-lahan menggerogoti cinta yang tersisa.
"Apa sebesar itu kebencian Mas pada saya?"Pertanyaan itu menggantung berat di udara yang pengap. Zayn tersenyum getir, rahangnya mengeras menahan badai emosi yang bergejolak dalam dadanya. Benci? Satu kata itu terasa terlalu sederhana untuk menggambarkan kedalaman perasaan yang menggerogoti jiwanya selama bertahun-tahun. Kebencian yang telah dia pupuk sejak hari naas itu—hari di mana dunianya hancur berkeping-keping."Apa Mas benar-benar berniat untuk membunuh saya?"Pertanyaan Sera yang bertubi-tubi bagaikan pisau yang menghujam tepat ke jantungnya, memaksa Zayn kembali berhadapan dengan realitas kelam yang selama ini coba dia kubur dalam-dalam. Setiap kata mengingatkannya akan rencana awalnya—rencana yang dia susun dengan teliti, dimulai dari mendekati gadis itu hingga menjebaknya dalam ikatan pernika
Lampu-lampu kristal hotel mewah itu berpendar redup, menciptakan bayangan-bayangan yang menari di wajah Sera yang pucat. Di depan pintu kamar 2207, jantungnya berdegup begitu keras hingga dia yakin Guntur bisa mendengarnya. Tangannya yang gemetar terangkat ke udara, ragu-ragu sebelum mengetuk—setiap detik penantian terasa seperti siksaan yang tak berkesudahan."Kamu yakin ingin melakukan ini sendiri?" Guntur bertanya lagi, suaranya mengandung kekhawatiran yang tak tersembunyi. "Aku bisa—""Tidak," Sera memotong dengan suara yang lebih tegas dari yang dia rasakan. "Ini pertarunganku sendiri. Aku harus menghadapinya... apapun yang terjadi." Namun getaran dalam suaranya mengkhianati ketakutan yang dia coba sembunyikan.Ketika pintu akhirnya terbuka, waktu seakan membeku. Sosok Zayn yang berdiri di ambang pi
Kegelapan malam seolah menelan Sera bulat-bulat. Kakinya terus melangkah meski gemetar, sementara matanya mencari-cari tanda kehidupan di sepanjang jalan yang tampak tak berujung ini. Namun yang dia temui hanyalah kesunyian mencekam—tidak ada rumah, tidak ada kendaraan, bahkan tidak ada suara anjing menggonggong di kejauhan. Hanya ada deru angin dan detak jantungnya yang semakin liar.Guntur telah memilih tempat persembunyian dengan sangat cermat, Sera menyadari dengan getir. Setiap langkah terasa seperti siksaan; kepalanya berdenyut hebat seolah ada ribuan palu yang menghantam dari dalam tengkoraknya. Namun ketakutan akan tertangkap kembali memaksanya untuk terus bergerak.Lalu dia mendengarnya—suara yang membuat darahnya membeku. Deruman mobil dari kejauhan, semakin mendekat seperti predator yang mengendus mangsanya. Sera memaksa kakinya untuk ber
Waktu seolah membeku ketika Sera menatap wajah yang begitu familiar namun asing itu. Matanya mengunci pada sosok pria yang telah lama hilang dari hidupnya. Setiap detail wajahnya kini terasa seperti kepingan puzzle yang perlahan menemukan tempatnya, membentuk gambaran masa lalu yang telah terkubur dalam-dalam."Maafkan aku, An. Maaf karena aku—""Cukup, tolong cukup!" Sera menjerit, tangannya gemetar saat menutup telinganya. Suaranya pecah oleh emosi yang tak terbendung, seperti vas kristal yang hancur berkeping-keping. Setiap kata yang keluar dari mulut Guntur terasa seperti paku yang menghujam ke dalam kepalanya, menggali keluar kenangan-kenangan yang seharusnya tetap terkubur.Udara di sekitarnya terasa menipis. Sera mencengkeram dadanya yang sesak, seolah paru-parunya menolak untuk bekerja sama. Dunianya y
Kesadaran menyeruak perlahan, membawa Arneta kembali ke dunia nyata yang lebih menyakitkan dari mimpi terburuknya. Kepalanya berdenyut hebat, seolah ribuan palu menghantam tanpa henti. Matanya terbuka, mengerjap lemah, hanya untuk bertemu dengan sepasang mata tajam yang menatapnya lekat - mata Gilang, pria yang kini menjadi sumber dari segala deritanya."Kamu sudah bangun?" Suara Gilang terdengar tenang, namun bagi Arneta, setiap kata yang keluar dari mulut pria itu bagaikan racun yang menyebar ke seluruh tubuhnya."Hampir saja mematahkan tangan dokter itu kalau kamu masih belum bangun juga," lanjut Gilang santai, seolah membicarakan cuaca. Kenyataan menghantam Arneta bagai ombak ganas - ini bukan mimpi. Ia telah kembali ke sangkar emasnya yang terkutuk, tempat di mana ia tak lebih dari boneka dalam genggaman Gilang.
Rintik hujan perlahan mereda, meninggalkan aroma basah yang mengambang di udara. Di hadapan rumah yang dulu penuh kehangatan, Arneta berdiri terpaku, seolah waktu membeku di sekelilingnya. Air mata mengalir tanpa henti, setiap tetesnya membawa serpihan kenangan indah yang kini terasa begitu jauh dan mustahil untuk diraih kembali.Bangunan yang dulu bernapas dengan tawa dan canda, kini berdiri sunyi, seakan ikut berkabung atas tragedi yang menimpa penghuninya. Arneta merasakan setiap detik yang berlalu bagaikan pisau yang mengiris jiwanya."Ayo, Ma. Ana pasti ketakutan di dalam," suara Adjie memecah keheningan, menarik Arneta kembali ke realita yang kejam.Nama putrinya bagaikan cambuk yang menghantam kesadaran Arneta. Dengan langkah tergesa, dia menghampiri pintu, jantungnya berdebar kencang. Namun, pintu terkunci r
Kesunyian yang mencekam merayap di sudut-sudut kamar, seolah menelan seluruh kehidupan yang tersisa. Di tengah ruangan itu, Arneta terduduk kaku, tatapannya kosong menembus jendela, menerawang jauh ke cakrawala yang tak terjangkau. Tiga hari telah berlalu sejak kepergian Adjie, namun bagi Arneta, waktu seakan berhenti, membeku dalam keputusasaan yang mencengkeram.Wajahnya yang dulunya berseri kini tampak pucat dan tirus. Lingkaran hitam menghiasi matanya yang sayu, saksi bisu dari malam-malam tanpa tidur yang dilaluinya. Setiap tarikan napas terasa berat, seolah udara di sekitarnya telah berubah menjadi racun yang perlahan menggerogoti jiwanya.Suara ketukan lembut di pintu memecah keheningan, diikuti derit engsel yang membuka perlahan. Astuti, dengan langkah hati-hati, memasuki kamar membawa nampan berisi hidangan yang aromanya menguar menggoda. Namun bagi Ar
"Mau sampai kapan kita tinggal di sini, Ma?"Pertanyaan itu menggantung di udara, berat dan menyesakkan. Arneta, yang berdiri tak jauh dari putranya, hanya bisa terdiam. Tangannya terkepal erat, buku-buku jarinya memutih, seakan mencoba menahan seluruh beban dunia yang menghimpit dadanya. Dia ingin menjawab, ingin memeluk putranya dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Namun lidahnya kelu, tertahan oleh rahasia kelam yang mengurung mereka di tempat terkutuk ini."Adjie nggak mau tinggal di sini, Ma! Adjie mau pulang!" Adjie berseru, suaranya bergetar antara amarah dan tangis yang ditahan. Matanya menatap lekat sosok ibunya, mencari secercah harapan yang mungkin tersisa.Namun Arneta tetap membisu. Ia melangkah menjauh, berusaha mengabaikan keluhan putranya yang terasa bagai belati yang menusuk jantungnya. S