Sera duduk kaku, jemarinya saling meremas dalam usaha sia-sia untuk menenangkan diri. Dia bisa merasakan aura dingin yang terpancar dari Zayn di sampingnya, seolah ada tembok es yang memisahkan mereka.
Dering ponsel memecah keheningan yang mencekam. Zayn menjawab dengan gerakan cepat, suaranya sedingin tatapannya.
"Ada apa?"
Sera tidak bisa mendengar suara di seberang telepon, tapi dia bisa melihat perubahan di wajah Zayn. Rahang pria itu mengeras, matanya berkilat berbahaya. Sera menahan napas, menunggu badai yang dia tahu akan segera datang.
"Apa maksudmu proyek itu gagal?" Zayn membentak, amarahnya meledak seperti gunung berapi yang lama terpendam. "Bagaimana bisa bajingan itu mengacaukan semuanya? Saya sudah memberinya instruksi yang jelas!"
Air mata mengalir deras di pipi Sera, isak tangisnya memenuhi ruangan, bercampur dengan tawa dingin para pria yang baru saja mempertaruhkan hidupnya dalam permainan kartu. Namun, di antara semua suara itu, kata-kata Zayn-lah yang paling menghancurkan hatinya."Guntur, dia milikmu malam ini," ujar Zayn dengan nada datar, seolah sedang membicarakan benda mati dan bukan istrinya sendiri.Sera menatap suaminya dengan pandangan tidak percaya. Matanya yang berkaca-kaca mencari secercah belas kasihan di wajah Zayn, tapi yang dia temukan hanyalah kekosongan dan kebencian yang begitu dalam.Dengan tangan gemetar, Sera mencengkeram lengan pria itu, berharap dia bisa mengubah keputusannya. "Mas... tolong," katanya lirih, suaranya pecah oleh emosi yang tak terbendung. "Saya akan melakukan apa saja. Apa saja! Asal jangan ini..."
Zayn baru saja hendak mengambil bola yang menggelinding ke arah paviliun ketika matanya menangkap sosok familiar yang melangkah tergesa-gesa. Itu papanya, yang tengah berjalan dengan terburu-buru melintasi taman belakang.“Papa!” bisiknya dengan mata membulat.Zayn terus mengamati dari kejauhan. Rasa penasaran mulai menggelitik benak Zayn. Mengapa papa pergi ke sana? Bukankah itu hanya pondok kecil yang tidak terpakai?Tanpa pikir panjang, Zayn memutuskan untuk mengikuti papanya. Dia berjingkat pelan, bersembunyi di balik semak-semak dan pohon-pohon, layaknya detektif cilik dalam film-film yang sering ditontonnya.Semakin dekat dengan pondok, Zayn bisa mendengar suara-suara aneh. Suara benda yang berjatuhan, desahan tertahan, dan... suara papanya?
"Mas... Mas Zayn, bisa dengar saya?"Suara lembut itu menembus kegelapan yang menyelimuti Zayn. Perlahan, kelopak matanya yang terasa berat mulai terbuka. Cahaya yang menyilaukan membuatnya mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya bisa fokus pada sosok di hadapannya.Seorang wanita muda dengan wajah lelah namun cantik menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Ada jejak air mata di pipinya yang pucat, dan lingkaran hitam di bawah matanya menunjukkan bahwa dia telah lama tidak tidur dengan nyenyak.Zayn mencoba berbicara, tapi tenggorokannya terasa kering dan sakit. Hanya erangan pelan yang keluar dari bibirnya yang pecah-pecah."Jangan dipaksa bicara dulu, Mas," ujar wanita itu lembut, tangannya dengan hati-hati menyentuh lengan Zayn yang tidak diperban. "Saya akan panggil dok
"Mr. Wiratama sudah cukup stabil untuk pulang," ujar dokter dalam bahasa Inggris, senyum tipis tersungging di wajahnya yang lelah.Guntur dengan cepat menerjemahkan perkataan dokter kepada Sera yang berdiri tegang di samping ranjang Zayn. Wanita itu mengangguk pelan, matanya tak lepas dari sosok suaminya yang masih tampak lemah."Terima kasih, Dokter," ucap Sera lirih, suaranya bergetar menahan emosi yang berkecamuk.Setelah dokter berlalu, keheningan yang canggung menyelimuti ruangan. Zayn, yang masih terlihat bingung dengan sekelilingnya, menatap Sera dan Guntur bergantian, seolah mencari petunjuk tentang apa yang harus dia lakukan selanjutnya."Kita... pulang?" tanya Zayn ragu, suaranya masih terdengar serak dan lemah.
"Ya Allah... Jangan biarkan Mas Zayn kembali seperti dulu. Biarkan dia tetap seperti ini," doa Sera dalam hati, air matanya menggenang di pelupuk mata. Ingatannya kembali pada momen-momen yang dia lewati dalam beberapa hari ini.Selama hampir dua minggu berada di penginapan, Sera dengan penuh kesabaran dan ketelatenan memenuhi segala kebutuhan suaminya yang masih belum pulih ingatannya.Tanpa sadar, rutinitas ini telah membentuk sebuah ikatan baru di antara mereka - sesuatu yang tidak pernah Sera bayangkan sebelumnya.Namun kini, saat mereka harus kembali ke Jakarta, sebuah perasaan aneh menyelimuti hatinya.Ketakutan mulai menggerogoti pikiran Sera. Bagaimana jika ingatan Zayn kembali? Bagaimana jika pria itu bertemu dengan Dewi? Dan yang paling menakutkan, bagaimana ji
Aroma sabun dan shampo masih menguar lembut dari tubuh Sera saat dia baru saja selesai mengenakan pakaiannya. Jemarinya dengan cekatan merapikan lipatan baju di bagian pinggang ketika pintu kamar tiba-tiba terbuka. Sera tersentak, matanya melebar saat melihat sosok Zayn berdiri di ambang pintu.Waktu seakan berhenti. Mereka berdua terpaku, saling menatap dalam keheningan. Sera bisa merasakan jantungnya berdegup kencang, seolah hendak melompat keluar dari dadanya. Dia menelan ludah dengan susah payah, berusaha menenangkan diri.Mata Zayn menyusuri tubuh Sera dari atas ke bawah, tatapannya intens dan dalam. Sekilas, Sera bisa melihat kilatan hasrat di mata suaminya itu - sesuatu yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Perasaan gugup dan antusias bercampur aduk dalam dirinya."M-Mas Zayn," Sera tergagap, suaranya nyari
“Sera,” bisik Zayn sambil menatap ke dalam mata istrinya.Sera menelan ludah dengan susah payah, jantungnya berdebar kencang hingga terasa menyakitkan. Dia mengenali tatapan itu, tatapan yang dulu selalu diikuti oleh kekejaman dan kesakitan. Namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Ada kelembutan di balik hasrat yang membara di mata Zayn."Sera," suara Zayn terdengar serak dan dalam. "Bolehkah saya...?"Pertanyaan itu menggantung di udara, namun Sera mengerti maksudnya. Dengan gemetar, dia mengangguk pelan.Zayn mengulurkan tangannya, menyentuh pundak istrinya dengan gerakan yang begitu lembut hingga membuat Sera memejamkan mata.Perlahan, Zayn menuntun Sera ke arah ranjang. Setiap langkah terasa berat namu
Sera duduk diam di kursinya, matanya terpaku pada pemandangan awan-awan yang berarak di luar jendela. Pikirannya melayang jauh, berkecamuk antara kenangan indah beberapa hari terakhir dan ketakutan akan masa depan yang menanti di Jakarta.Zayn melirik ke arah Sera dengan khawatir. Sejak lepas landas, istrinya itu belum mengucapkan sepatah kata pun. Bahkan makanan yang disajikan pramugari sudah mulai dingin, tak tersentuh sama sekali."Sera," Zayn akhirnya memecah keheningan dengan suara lembut. "Makananmu sudah dingin. Ayo dimakan dulu."Sera hanya menggeleng pelan, masih enggan mengalihkan pandangannya dari jendela. "Saya tidak lapar, Mas."Zayn menghela napas, tangannya perlahan meraih tangan Sera. "Kamu perlu makan sesuatu. Perjalanan kita masih panjang."