"Ya Allah... Jangan biarkan Mas Zayn kembali seperti dulu. Biarkan dia tetap seperti ini," doa Sera dalam hati, air matanya menggenang di pelupuk mata. Ingatannya kembali pada momen-momen yang dia lewati dalam beberapa hari ini.
Selama hampir dua minggu berada di penginapan, Sera dengan penuh kesabaran dan ketelatenan memenuhi segala kebutuhan suaminya yang masih belum pulih ingatannya.
Tanpa sadar, rutinitas ini telah membentuk sebuah ikatan baru di antara mereka - sesuatu yang tidak pernah Sera bayangkan sebelumnya.
Namun kini, saat mereka harus kembali ke Jakarta, sebuah perasaan aneh menyelimuti hatinya.
Ketakutan mulai menggerogoti pikiran Sera. Bagaimana jika ingatan Zayn kembali? Bagaimana jika pria itu bertemu dengan Dewi? Dan yang paling menakutkan, bagaimana ji
Aroma sabun dan shampo masih menguar lembut dari tubuh Sera saat dia baru saja selesai mengenakan pakaiannya. Jemarinya dengan cekatan merapikan lipatan baju di bagian pinggang ketika pintu kamar tiba-tiba terbuka. Sera tersentak, matanya melebar saat melihat sosok Zayn berdiri di ambang pintu.Waktu seakan berhenti. Mereka berdua terpaku, saling menatap dalam keheningan. Sera bisa merasakan jantungnya berdegup kencang, seolah hendak melompat keluar dari dadanya. Dia menelan ludah dengan susah payah, berusaha menenangkan diri.Mata Zayn menyusuri tubuh Sera dari atas ke bawah, tatapannya intens dan dalam. Sekilas, Sera bisa melihat kilatan hasrat di mata suaminya itu - sesuatu yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Perasaan gugup dan antusias bercampur aduk dalam dirinya."M-Mas Zayn," Sera tergagap, suaranya nyari
“Sera,” bisik Zayn sambil menatap ke dalam mata istrinya.Sera menelan ludah dengan susah payah, jantungnya berdebar kencang hingga terasa menyakitkan. Dia mengenali tatapan itu, tatapan yang dulu selalu diikuti oleh kekejaman dan kesakitan. Namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Ada kelembutan di balik hasrat yang membara di mata Zayn."Sera," suara Zayn terdengar serak dan dalam. "Bolehkah saya...?"Pertanyaan itu menggantung di udara, namun Sera mengerti maksudnya. Dengan gemetar, dia mengangguk pelan.Zayn mengulurkan tangannya, menyentuh pundak istrinya dengan gerakan yang begitu lembut hingga membuat Sera memejamkan mata.Perlahan, Zayn menuntun Sera ke arah ranjang. Setiap langkah terasa berat namu
Sera duduk diam di kursinya, matanya terpaku pada pemandangan awan-awan yang berarak di luar jendela. Pikirannya melayang jauh, berkecamuk antara kenangan indah beberapa hari terakhir dan ketakutan akan masa depan yang menanti di Jakarta.Zayn melirik ke arah Sera dengan khawatir. Sejak lepas landas, istrinya itu belum mengucapkan sepatah kata pun. Bahkan makanan yang disajikan pramugari sudah mulai dingin, tak tersentuh sama sekali."Sera," Zayn akhirnya memecah keheningan dengan suara lembut. "Makananmu sudah dingin. Ayo dimakan dulu."Sera hanya menggeleng pelan, masih enggan mengalihkan pandangannya dari jendela. "Saya tidak lapar, Mas."Zayn menghela napas, tangannya perlahan meraih tangan Sera. "Kamu perlu makan sesuatu. Perjalanan kita masih panjang."
Mobil mewah itu meluncur memasuki pekarangan rumah yang luas. Sera menelan ludah dengan susah payah, jantungnya berdebar kencang seolah hendak melompat keluar dari dadanya. Inilah saat yang paling dia takutkan sejak mereka meninggalkan Monaco.Zayn, seolah bisa membaca kecemasan Sera, menepuk paha istrinya dengan lembut. "Tenang, semuanya akan baik-baik saja," ujarnya meyakinkan.Sera mengangguk lemah, berusaha keras mempercayai kata-kata itu meski keraguan terus menggerogoti hatinya. Namun, saat pintu mobil terbuka dan sosok Dewi terlihat tegak di ambang pintu utama, kekuatan yang telah Sera kumpulkan seakan sirna dalam sekejap.Dewi berdiri anggun dalam balutan gaun sutra berwarna merah marun, kontras dengan kulit putihnya yang bersinar. Sorot matanya tajam, menusuk Sera hi
Zayn menuruni tangga dengan langkah berat. Setibanya di lantai bawah, matanya langsung tertuju pada ruang makan yang terang benderang. Di sana, Dewi sudah menunggunya dengan senyum manis terpampang di wajah cantiknya.Meja makan telah disulap menjadi pemandangan yang menakjubkan. Berbagai hidangan tersaji dengan apik, aromanya menggoda selera. Dewi bangkit dari kursinya dengan anggun, gaun rumahnya yang elegan menyapu lantai saat dia bergerak untuk menyambut suaminya."Mas Zayn," sapanya lembut, "Ayo duduk. Saya sudah menyiapkan semua makanan kesukaan Mas."Zayn mengangguk kaku, melangkah ke kursi yang ditunjuk Dewi. Matanya sekali lagi menyapu ruangan, mencari sosok yang tidak ada di sana."Hanya kita berdua?" tanya Zayn, berusaha terdengar biasa meski ada nada canggung
Zayn sudah rapi dengan setelan jas yang telah disiapkan oleh Dewi. Dia menuruni tangga dengan langkah yang sedikit ragu, matanya menyapu sekeliling ruangan, mencari sosok yang terus memenuhi pikirannya sejak semalam.Dewi muncul dari arah dapur, senyum anggun terpasang di wajahnya yang cantik. "Selamat pagi, Mas," sapanya lembut, menyodorkan secangkir kopi pada Zayn.Zayn menerima kopi itu dengan anggukan kaku. "Terima kasih," ujarnya singkat, duduk di pantry sebelah meja makan. Matanya masih berkeliling mencari sosok Sera.Mendengar nama itu, senyum Dewi sedikit memudar. Dia menghela napas panjang, berusaha menyembunyikan ketidaksukaannya. "Saya tidak tahu, Mas. Mungkin dia masih tidur."Zayn mengangguk pelan, ekspresinya masih tak terbaca. "Bisa tolong panggilkan dia k
Zayn melangkah masuk ke kamar utama. Matanya langsung tertuju pada sosok Dewi yang berdiri membelakanginya, menatap keluar jendela dengan bahu yang tegang.Dengan langkah ragu, Zayn mendekati Dewi. Tangannya terulur, menyentuh pundak wanita itu dengan lembut. "Dewi," panggilnya pelan, "Saya minta maaf. Saya seharusnya membicarakan keputusan ini denganmu terlebih dahulu."Dewi berbalik, matanya melebar karena terkejut. Selama bertahun-tahun pernikahan mereka, dia nyaris tak pernah mendengar kata maaf dari mulut Zayn. Dia menatap suaminya lekat-lekat, mencoba membaca raut wajah pria yang biasanya begitu dingin dan tegas."Apa yang sebenarnya terjadi, Mas?" tanya Dewi tajam, matanya menyipit curiga.Zayn menghela napas panjang, berbalik dan melangkah mendekati ranjang
“Sera,” desah Zayn dengan penuh kepuasan.Sera menelungkupkan tubuhnya di atas Zayn, nafas mereka masih terengah-engah setelah puncak gairah yang baru saja mereka capai.Jemari lentik Sera menelusuri garis rahang suaminya yang tegas, matanya memancarkan kasih yang tak terucap. Zayn memejamkan mata, menikmati sentuhan lembut istrinya, sebuah senyum puas tersungging di bibirnya."Mas," bisik Sera, suaranya sedikit serak. "Boleh saya minta izin?"Zayn membuka matanya, menatap Sera dengan pandangan yang masih dipenuhi kepuasan. "Hmm? Apa itu, Sayang?"Sera menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Saya... saya ingin menemui ibu. Kalau Mas mengizinkan, saya ingin menginap di sana beberapa hari."
Api menjilat-jilat tirai hotel dengan rakus, menari-nari dalam kegelapan malam yang mencekam. Zayn terpaku di tengah kamar, matanya nanar menatap lidah-lidah merah yang kini merambat ke langit-langit. Napasnya tertahan, bukan karena asap yang mulai mengepul—tetapi karena kenangan yang tiba-tiba menyeruak, menghantamnya dengan kekuatan yang membuatnya gemetar.Lima belas tahun yang lalu. Malam itu juga bermula dengan api—api yang dia sulut sendiri dengan tangan gemetar dan hati yang membara oleh kebencian.Anak muda itu berdiri di sana, tangannya gemetar memegang korek api. Matanya berkaca-kaca, campuran antara amarah dan ketakutan yang begitu mencekik. Bayangan wajah ibunya yang terluka, mata sembab yang selalu menyimpan kesedihan mendalam, dan tubuh rapuh yang menderita dalam diam – semuanya berputar dalam benaknya seperti film rusak yang ter
Udara di kamar hotel itu terasa mencekik. Dua pria dengan pistol teracung, masing-masing siap menarik pelatuk demi keyakinan yang mereka pegang—sementara di tengah mereka, Sera berdiri dengan hati yang tercabik."An, pergilah dari sini sekarang juga!" Suara Guntur pecah oleh keputusasaan. "Dia bukan lagi pria yang kamu pikir kamu cintai. Kebenciannya sudah mengalahkan segalanya!"Sera merasakan setiap kata itu menghujam jantungnya. Namun, ketika matanya bertemu dengan mata Zayn, dia melihat sesuatu yang berbeda—sebuah kenyataan yang membingungkan. Di balik kilatan kebencian yang begitu nyata, masih ada secercah cinta yang mencoba bertahan hidup, seperti api kecil yang menolak padam di tengah badai. Tapi kebencian itu juga tak bisa diabaikan—begitu pekat dan nyata, seperti racun yang perlahan-lahan menggerogoti cinta yang tersisa.
"Apa sebesar itu kebencian Mas pada saya?"Pertanyaan itu menggantung berat di udara yang pengap. Zayn tersenyum getir, rahangnya mengeras menahan badai emosi yang bergejolak dalam dadanya. Benci? Satu kata itu terasa terlalu sederhana untuk menggambarkan kedalaman perasaan yang menggerogoti jiwanya selama bertahun-tahun. Kebencian yang telah dia pupuk sejak hari naas itu—hari di mana dunianya hancur berkeping-keping."Apa Mas benar-benar berniat untuk membunuh saya?"Pertanyaan Sera yang bertubi-tubi bagaikan pisau yang menghujam tepat ke jantungnya, memaksa Zayn kembali berhadapan dengan realitas kelam yang selama ini coba dia kubur dalam-dalam. Setiap kata mengingatkannya akan rencana awalnya—rencana yang dia susun dengan teliti, dimulai dari mendekati gadis itu hingga menjebaknya dalam ikatan pernika
Lampu-lampu kristal hotel mewah itu berpendar redup, menciptakan bayangan-bayangan yang menari di wajah Sera yang pucat. Di depan pintu kamar 2207, jantungnya berdegup begitu keras hingga dia yakin Guntur bisa mendengarnya. Tangannya yang gemetar terangkat ke udara, ragu-ragu sebelum mengetuk—setiap detik penantian terasa seperti siksaan yang tak berkesudahan."Kamu yakin ingin melakukan ini sendiri?" Guntur bertanya lagi, suaranya mengandung kekhawatiran yang tak tersembunyi. "Aku bisa—""Tidak," Sera memotong dengan suara yang lebih tegas dari yang dia rasakan. "Ini pertarunganku sendiri. Aku harus menghadapinya... apapun yang terjadi." Namun getaran dalam suaranya mengkhianati ketakutan yang dia coba sembunyikan.Ketika pintu akhirnya terbuka, waktu seakan membeku. Sosok Zayn yang berdiri di ambang pi
Kegelapan malam seolah menelan Sera bulat-bulat. Kakinya terus melangkah meski gemetar, sementara matanya mencari-cari tanda kehidupan di sepanjang jalan yang tampak tak berujung ini. Namun yang dia temui hanyalah kesunyian mencekam—tidak ada rumah, tidak ada kendaraan, bahkan tidak ada suara anjing menggonggong di kejauhan. Hanya ada deru angin dan detak jantungnya yang semakin liar.Guntur telah memilih tempat persembunyian dengan sangat cermat, Sera menyadari dengan getir. Setiap langkah terasa seperti siksaan; kepalanya berdenyut hebat seolah ada ribuan palu yang menghantam dari dalam tengkoraknya. Namun ketakutan akan tertangkap kembali memaksanya untuk terus bergerak.Lalu dia mendengarnya—suara yang membuat darahnya membeku. Deruman mobil dari kejauhan, semakin mendekat seperti predator yang mengendus mangsanya. Sera memaksa kakinya untuk ber
Waktu seolah membeku ketika Sera menatap wajah yang begitu familiar namun asing itu. Matanya mengunci pada sosok pria yang telah lama hilang dari hidupnya. Setiap detail wajahnya kini terasa seperti kepingan puzzle yang perlahan menemukan tempatnya, membentuk gambaran masa lalu yang telah terkubur dalam-dalam."Maafkan aku, An. Maaf karena aku—""Cukup, tolong cukup!" Sera menjerit, tangannya gemetar saat menutup telinganya. Suaranya pecah oleh emosi yang tak terbendung, seperti vas kristal yang hancur berkeping-keping. Setiap kata yang keluar dari mulut Guntur terasa seperti paku yang menghujam ke dalam kepalanya, menggali keluar kenangan-kenangan yang seharusnya tetap terkubur.Udara di sekitarnya terasa menipis. Sera mencengkeram dadanya yang sesak, seolah paru-parunya menolak untuk bekerja sama. Dunianya y
Kesadaran menyeruak perlahan, membawa Arneta kembali ke dunia nyata yang lebih menyakitkan dari mimpi terburuknya. Kepalanya berdenyut hebat, seolah ribuan palu menghantam tanpa henti. Matanya terbuka, mengerjap lemah, hanya untuk bertemu dengan sepasang mata tajam yang menatapnya lekat - mata Gilang, pria yang kini menjadi sumber dari segala deritanya."Kamu sudah bangun?" Suara Gilang terdengar tenang, namun bagi Arneta, setiap kata yang keluar dari mulut pria itu bagaikan racun yang menyebar ke seluruh tubuhnya."Hampir saja mematahkan tangan dokter itu kalau kamu masih belum bangun juga," lanjut Gilang santai, seolah membicarakan cuaca. Kenyataan menghantam Arneta bagai ombak ganas - ini bukan mimpi. Ia telah kembali ke sangkar emasnya yang terkutuk, tempat di mana ia tak lebih dari boneka dalam genggaman Gilang.
Rintik hujan perlahan mereda, meninggalkan aroma basah yang mengambang di udara. Di hadapan rumah yang dulu penuh kehangatan, Arneta berdiri terpaku, seolah waktu membeku di sekelilingnya. Air mata mengalir tanpa henti, setiap tetesnya membawa serpihan kenangan indah yang kini terasa begitu jauh dan mustahil untuk diraih kembali.Bangunan yang dulu bernapas dengan tawa dan canda, kini berdiri sunyi, seakan ikut berkabung atas tragedi yang menimpa penghuninya. Arneta merasakan setiap detik yang berlalu bagaikan pisau yang mengiris jiwanya."Ayo, Ma. Ana pasti ketakutan di dalam," suara Adjie memecah keheningan, menarik Arneta kembali ke realita yang kejam.Nama putrinya bagaikan cambuk yang menghantam kesadaran Arneta. Dengan langkah tergesa, dia menghampiri pintu, jantungnya berdebar kencang. Namun, pintu terkunci r
Kesunyian yang mencekam merayap di sudut-sudut kamar, seolah menelan seluruh kehidupan yang tersisa. Di tengah ruangan itu, Arneta terduduk kaku, tatapannya kosong menembus jendela, menerawang jauh ke cakrawala yang tak terjangkau. Tiga hari telah berlalu sejak kepergian Adjie, namun bagi Arneta, waktu seakan berhenti, membeku dalam keputusasaan yang mencengkeram.Wajahnya yang dulunya berseri kini tampak pucat dan tirus. Lingkaran hitam menghiasi matanya yang sayu, saksi bisu dari malam-malam tanpa tidur yang dilaluinya. Setiap tarikan napas terasa berat, seolah udara di sekitarnya telah berubah menjadi racun yang perlahan menggerogoti jiwanya.Suara ketukan lembut di pintu memecah keheningan, diikuti derit engsel yang membuka perlahan. Astuti, dengan langkah hati-hati, memasuki kamar membawa nampan berisi hidangan yang aromanya menguar menggoda. Namun bagi Ar