“Sera,” bisik Zayn sambil menatap ke dalam mata istrinya.
Sera menelan ludah dengan susah payah, jantungnya berdebar kencang hingga terasa menyakitkan. Dia mengenali tatapan itu, tatapan yang dulu selalu diikuti oleh kekejaman dan kesakitan. Namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Ada kelembutan di balik hasrat yang membara di mata Zayn.
"Sera," suara Zayn terdengar serak dan dalam. "Bolehkah saya...?"
Pertanyaan itu menggantung di udara, namun Sera mengerti maksudnya. Dengan gemetar, dia mengangguk pelan.
Zayn mengulurkan tangannya, menyentuh pundak istrinya dengan gerakan yang begitu lembut hingga membuat Sera memejamkan mata.
Perlahan, Zayn menuntun Sera ke arah ranjang. Setiap langkah terasa berat namu
Sera duduk diam di kursinya, matanya terpaku pada pemandangan awan-awan yang berarak di luar jendela. Pikirannya melayang jauh, berkecamuk antara kenangan indah beberapa hari terakhir dan ketakutan akan masa depan yang menanti di Jakarta.Zayn melirik ke arah Sera dengan khawatir. Sejak lepas landas, istrinya itu belum mengucapkan sepatah kata pun. Bahkan makanan yang disajikan pramugari sudah mulai dingin, tak tersentuh sama sekali."Sera," Zayn akhirnya memecah keheningan dengan suara lembut. "Makananmu sudah dingin. Ayo dimakan dulu."Sera hanya menggeleng pelan, masih enggan mengalihkan pandangannya dari jendela. "Saya tidak lapar, Mas."Zayn menghela napas, tangannya perlahan meraih tangan Sera. "Kamu perlu makan sesuatu. Perjalanan kita masih panjang."
Mobil mewah itu meluncur memasuki pekarangan rumah yang luas. Sera menelan ludah dengan susah payah, jantungnya berdebar kencang seolah hendak melompat keluar dari dadanya. Inilah saat yang paling dia takutkan sejak mereka meninggalkan Monaco.Zayn, seolah bisa membaca kecemasan Sera, menepuk paha istrinya dengan lembut. "Tenang, semuanya akan baik-baik saja," ujarnya meyakinkan.Sera mengangguk lemah, berusaha keras mempercayai kata-kata itu meski keraguan terus menggerogoti hatinya. Namun, saat pintu mobil terbuka dan sosok Dewi terlihat tegak di ambang pintu utama, kekuatan yang telah Sera kumpulkan seakan sirna dalam sekejap.Dewi berdiri anggun dalam balutan gaun sutra berwarna merah marun, kontras dengan kulit putihnya yang bersinar. Sorot matanya tajam, menusuk Sera hi
Zayn menuruni tangga dengan langkah berat. Setibanya di lantai bawah, matanya langsung tertuju pada ruang makan yang terang benderang. Di sana, Dewi sudah menunggunya dengan senyum manis terpampang di wajah cantiknya.Meja makan telah disulap menjadi pemandangan yang menakjubkan. Berbagai hidangan tersaji dengan apik, aromanya menggoda selera. Dewi bangkit dari kursinya dengan anggun, gaun rumahnya yang elegan menyapu lantai saat dia bergerak untuk menyambut suaminya."Mas Zayn," sapanya lembut, "Ayo duduk. Saya sudah menyiapkan semua makanan kesukaan Mas."Zayn mengangguk kaku, melangkah ke kursi yang ditunjuk Dewi. Matanya sekali lagi menyapu ruangan, mencari sosok yang tidak ada di sana."Hanya kita berdua?" tanya Zayn, berusaha terdengar biasa meski ada nada canggung
Zayn sudah rapi dengan setelan jas yang telah disiapkan oleh Dewi. Dia menuruni tangga dengan langkah yang sedikit ragu, matanya menyapu sekeliling ruangan, mencari sosok yang terus memenuhi pikirannya sejak semalam.Dewi muncul dari arah dapur, senyum anggun terpasang di wajahnya yang cantik. "Selamat pagi, Mas," sapanya lembut, menyodorkan secangkir kopi pada Zayn.Zayn menerima kopi itu dengan anggukan kaku. "Terima kasih," ujarnya singkat, duduk di pantry sebelah meja makan. Matanya masih berkeliling mencari sosok Sera.Mendengar nama itu, senyum Dewi sedikit memudar. Dia menghela napas panjang, berusaha menyembunyikan ketidaksukaannya. "Saya tidak tahu, Mas. Mungkin dia masih tidur."Zayn mengangguk pelan, ekspresinya masih tak terbaca. "Bisa tolong panggilkan dia k
Zayn melangkah masuk ke kamar utama. Matanya langsung tertuju pada sosok Dewi yang berdiri membelakanginya, menatap keluar jendela dengan bahu yang tegang.Dengan langkah ragu, Zayn mendekati Dewi. Tangannya terulur, menyentuh pundak wanita itu dengan lembut. "Dewi," panggilnya pelan, "Saya minta maaf. Saya seharusnya membicarakan keputusan ini denganmu terlebih dahulu."Dewi berbalik, matanya melebar karena terkejut. Selama bertahun-tahun pernikahan mereka, dia nyaris tak pernah mendengar kata maaf dari mulut Zayn. Dia menatap suaminya lekat-lekat, mencoba membaca raut wajah pria yang biasanya begitu dingin dan tegas."Apa yang sebenarnya terjadi, Mas?" tanya Dewi tajam, matanya menyipit curiga.Zayn menghela napas panjang, berbalik dan melangkah mendekati ranjang
“Sera,” desah Zayn dengan penuh kepuasan.Sera menelungkupkan tubuhnya di atas Zayn, nafas mereka masih terengah-engah setelah puncak gairah yang baru saja mereka capai.Jemari lentik Sera menelusuri garis rahang suaminya yang tegas, matanya memancarkan kasih yang tak terucap. Zayn memejamkan mata, menikmati sentuhan lembut istrinya, sebuah senyum puas tersungging di bibirnya."Mas," bisik Sera, suaranya sedikit serak. "Boleh saya minta izin?"Zayn membuka matanya, menatap Sera dengan pandangan yang masih dipenuhi kepuasan. "Hmm? Apa itu, Sayang?"Sera menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Saya... saya ingin menemui ibu. Kalau Mas mengizinkan, saya ingin menginap di sana beberapa hari."
"Sera!" seru Sari, matanya membelalak penuh kerinduan saat melihat sosok putrinya memasuki pintu utama.Sera menatap wanita paruh baya itu dengan pandangan yang sama hangatnya. "Ibu," bisiknya lembut, suaranya sedikit bergetar menahan emosi.Mereka berpelukan erat, melepaskan kerinduan yang terpendam selama berbulan-bulan. Air mata haru mengalir di pipi keduanya. Sera bisa merasakan kehangatan familiar yang selama ini dia rindukan, aroma khas ibunya yang selalu membuatnya merasa aman.Setelah beberapa saat, Sari melepaskan pelukannya dan mengamati Sera dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Ya ampun, nak. Kamu semakin cantik saja," pujinya tulus.Sera tersenyum malu, pipinya bersemu merah. "Ibu juga terlihat lebih sehat. Maaf ya, Bu, Sera baru bisa berkunjung
Sera merasa seolah dunia di sekitarnya berputar terlalu cepat, membuatnya pusing dan kehilangan keseimbangan. Lima tahun berlalu sejak terakhir kali dia melihat pria itu, namun perasaan yang muncul masih sama kuatnya seperti dulu.Sari dan Mbak Ria, menyadari ketegangan yang menggantung di udara, berusaha mencairkan suasana. Mbak Ria berdehem pelan sebelum berbicara, " "Sera, kamu ingat Mas Ervan, kan? Dia baru saja kembali dari Amerika."Sera hanya bisa mengangguk kaku, matanya masih terpaku pada sosok Ervan yang berdiri tegap di hadapannya. Suaranya seakan tercekat di tenggorokan, tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun."Mas Ervan baru saja menyelesaikan studinya di sana. Dia akan tinggal di Jakarta untuk sementara waktu," sambung Mbak Ria sambil menatap wajah adiknya yang tampak pucat itu.