Mobil mewah itu meluncur memasuki pekarangan rumah yang luas. Sera menelan ludah dengan susah payah, jantungnya berdebar kencang seolah hendak melompat keluar dari dadanya. Inilah saat yang paling dia takutkan sejak mereka meninggalkan Monaco.
Zayn, seolah bisa membaca kecemasan Sera, menepuk paha istrinya dengan lembut. "Tenang, semuanya akan baik-baik saja," ujarnya meyakinkan.
Sera mengangguk lemah, berusaha keras mempercayai kata-kata itu meski keraguan terus menggerogoti hatinya. Namun, saat pintu mobil terbuka dan sosok Dewi terlihat tegak di ambang pintu utama, kekuatan yang telah Sera kumpulkan seakan sirna dalam sekejap.
Dewi berdiri anggun dalam balutan gaun sutra berwarna merah marun, kontras dengan kulit putihnya yang bersinar. Sorot matanya tajam, menusuk Sera hi
Zayn menuruni tangga dengan langkah berat. Setibanya di lantai bawah, matanya langsung tertuju pada ruang makan yang terang benderang. Di sana, Dewi sudah menunggunya dengan senyum manis terpampang di wajah cantiknya.Meja makan telah disulap menjadi pemandangan yang menakjubkan. Berbagai hidangan tersaji dengan apik, aromanya menggoda selera. Dewi bangkit dari kursinya dengan anggun, gaun rumahnya yang elegan menyapu lantai saat dia bergerak untuk menyambut suaminya."Mas Zayn," sapanya lembut, "Ayo duduk. Saya sudah menyiapkan semua makanan kesukaan Mas."Zayn mengangguk kaku, melangkah ke kursi yang ditunjuk Dewi. Matanya sekali lagi menyapu ruangan, mencari sosok yang tidak ada di sana."Hanya kita berdua?" tanya Zayn, berusaha terdengar biasa meski ada nada canggung
Zayn sudah rapi dengan setelan jas yang telah disiapkan oleh Dewi. Dia menuruni tangga dengan langkah yang sedikit ragu, matanya menyapu sekeliling ruangan, mencari sosok yang terus memenuhi pikirannya sejak semalam.Dewi muncul dari arah dapur, senyum anggun terpasang di wajahnya yang cantik. "Selamat pagi, Mas," sapanya lembut, menyodorkan secangkir kopi pada Zayn.Zayn menerima kopi itu dengan anggukan kaku. "Terima kasih," ujarnya singkat, duduk di pantry sebelah meja makan. Matanya masih berkeliling mencari sosok Sera.Mendengar nama itu, senyum Dewi sedikit memudar. Dia menghela napas panjang, berusaha menyembunyikan ketidaksukaannya. "Saya tidak tahu, Mas. Mungkin dia masih tidur."Zayn mengangguk pelan, ekspresinya masih tak terbaca. "Bisa tolong panggilkan dia k
Zayn melangkah masuk ke kamar utama. Matanya langsung tertuju pada sosok Dewi yang berdiri membelakanginya, menatap keluar jendela dengan bahu yang tegang.Dengan langkah ragu, Zayn mendekati Dewi. Tangannya terulur, menyentuh pundak wanita itu dengan lembut. "Dewi," panggilnya pelan, "Saya minta maaf. Saya seharusnya membicarakan keputusan ini denganmu terlebih dahulu."Dewi berbalik, matanya melebar karena terkejut. Selama bertahun-tahun pernikahan mereka, dia nyaris tak pernah mendengar kata maaf dari mulut Zayn. Dia menatap suaminya lekat-lekat, mencoba membaca raut wajah pria yang biasanya begitu dingin dan tegas."Apa yang sebenarnya terjadi, Mas?" tanya Dewi tajam, matanya menyipit curiga.Zayn menghela napas panjang, berbalik dan melangkah mendekati ranjang
“Sera,” desah Zayn dengan penuh kepuasan.Sera menelungkupkan tubuhnya di atas Zayn, nafas mereka masih terengah-engah setelah puncak gairah yang baru saja mereka capai.Jemari lentik Sera menelusuri garis rahang suaminya yang tegas, matanya memancarkan kasih yang tak terucap. Zayn memejamkan mata, menikmati sentuhan lembut istrinya, sebuah senyum puas tersungging di bibirnya."Mas," bisik Sera, suaranya sedikit serak. "Boleh saya minta izin?"Zayn membuka matanya, menatap Sera dengan pandangan yang masih dipenuhi kepuasan. "Hmm? Apa itu, Sayang?"Sera menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Saya... saya ingin menemui ibu. Kalau Mas mengizinkan, saya ingin menginap di sana beberapa hari."
"Sera!" seru Sari, matanya membelalak penuh kerinduan saat melihat sosok putrinya memasuki pintu utama.Sera menatap wanita paruh baya itu dengan pandangan yang sama hangatnya. "Ibu," bisiknya lembut, suaranya sedikit bergetar menahan emosi.Mereka berpelukan erat, melepaskan kerinduan yang terpendam selama berbulan-bulan. Air mata haru mengalir di pipi keduanya. Sera bisa merasakan kehangatan familiar yang selama ini dia rindukan, aroma khas ibunya yang selalu membuatnya merasa aman.Setelah beberapa saat, Sari melepaskan pelukannya dan mengamati Sera dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Ya ampun, nak. Kamu semakin cantik saja," pujinya tulus.Sera tersenyum malu, pipinya bersemu merah. "Ibu juga terlihat lebih sehat. Maaf ya, Bu, Sera baru bisa berkunjung
Sera merasa seolah dunia di sekitarnya berputar terlalu cepat, membuatnya pusing dan kehilangan keseimbangan. Lima tahun berlalu sejak terakhir kali dia melihat pria itu, namun perasaan yang muncul masih sama kuatnya seperti dulu.Sari dan Mbak Ria, menyadari ketegangan yang menggantung di udara, berusaha mencairkan suasana. Mbak Ria berdehem pelan sebelum berbicara, " "Sera, kamu ingat Mas Ervan, kan? Dia baru saja kembali dari Amerika."Sera hanya bisa mengangguk kaku, matanya masih terpaku pada sosok Ervan yang berdiri tegap di hadapannya. Suaranya seakan tercekat di tenggorokan, tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun."Mas Ervan baru saja menyelesaikan studinya di sana. Dia akan tinggal di Jakarta untuk sementara waktu," sambung Mbak Ria sambil menatap wajah adiknya yang tampak pucat itu.
Tiga hari berlalu sejak kedatangan Sera ke rumah ibunya. Dan selama tiga hari itu. Setiap hari Ervan datang mengunjunginya. Perlahan namun pasti, tembok pertahanan yang Sera bangun selama bertahun-tahun mulai runtuh.Pagi itu, Sera duduk di teras rumah, menikmati secangkir teh hangat ketika Ervan datang. Senyum tipis tersungging di bibir Sera saat melihat sosok pria itu mendekat."Pagi, Sera," sapa Ervan, suaranya hangat."Pagi, Mas," balas Sera, gesturnya mempersilakan Ervan duduk di sampingnya.Keheningan yang nyaman menyelimuti mereka, hingga Sera memberanikan diri untuk bertanya."Mas," suaranya lembut, nyaris berbisik. "Bagaimana kabar Om Ardie dan Tante Erlina?"Ervan menole
"Mas Zayn," Sera akhirnya bersuara, suaranya sedikit bergetar. "Kenalkan, ini Mas Ervan. Dia... kakak angkat saya yang baru pulang dari Amerika."Zayn melangkah maju, matanya tak lepas dari sosok Ervan. Tangannya terulur, namun gerakannya kaku dan penuh ketegangan. "Saya Zayn, suami Sera," ucapnya dengan nada datar namun penuh penekanan pada kata 'suami'.Ervan menyambut uluran tangan Zayn. Jabatan tangan mereka lebih mirip adu kekuatan daripada salam perkenalan. "Senang bertemu dengan Anda, Zayn," balas Ervan, suaranya tenang namun ada kilatan aneh di matanya.Sera, yang merasakan ketegangan yang semakin memuncak, segera menarik tangan Zayn. "Mas, bisa bicara sebentar?" pintanya lembut, berusaha memisahkan dua pria itu sebelum situasi semakin memanas."Mas," Sera berbis
Udara di kamar hotel itu terasa mencekik. Dua pria dengan pistol teracung, masing-masing siap menarik pelatuk demi keyakinan yang mereka pegang—sementara di tengah mereka, Sera berdiri dengan hati yang tercabik."An, pergilah dari sini sekarang juga!" Suara Guntur pecah oleh keputusasaan. "Dia bukan lagi pria yang kamu pikir kamu cintai. Kebenciannya sudah mengalahkan segalanya!"Sera merasakan setiap kata itu menghujam jantungnya. Namun, ketika matanya bertemu dengan mata Zayn, dia melihat sesuatu yang berbeda—sebuah kenyataan yang membingungkan. Di balik kilatan kebencian yang begitu nyata, masih ada secercah cinta yang mencoba bertahan hidup, seperti api kecil yang menolak padam di tengah badai. Tapi kebencian itu juga tak bisa diabaikan—begitu pekat dan nyata, seperti racun yang perlahan-lahan menggerogoti cinta yang tersisa.
"Apa sebesar itu kebencian Mas pada saya?"Pertanyaan itu menggantung berat di udara yang pengap. Zayn tersenyum getir, rahangnya mengeras menahan badai emosi yang bergejolak dalam dadanya. Benci? Satu kata itu terasa terlalu sederhana untuk menggambarkan kedalaman perasaan yang menggerogoti jiwanya selama bertahun-tahun. Kebencian yang telah dia pupuk sejak hari naas itu—hari di mana dunianya hancur berkeping-keping."Apa Mas benar-benar berniat untuk membunuh saya?"Pertanyaan Sera yang bertubi-tubi bagaikan pisau yang menghujam tepat ke jantungnya, memaksa Zayn kembali berhadapan dengan realitas kelam yang selama ini coba dia kubur dalam-dalam. Setiap kata mengingatkannya akan rencana awalnya—rencana yang dia susun dengan teliti, dimulai dari mendekati gadis itu hingga menjebaknya dalam ikatan pernika
Lampu-lampu kristal hotel mewah itu berpendar redup, menciptakan bayangan-bayangan yang menari di wajah Sera yang pucat. Di depan pintu kamar 2207, jantungnya berdegup begitu keras hingga dia yakin Guntur bisa mendengarnya. Tangannya yang gemetar terangkat ke udara, ragu-ragu sebelum mengetuk—setiap detik penantian terasa seperti siksaan yang tak berkesudahan."Kamu yakin ingin melakukan ini sendiri?" Guntur bertanya lagi, suaranya mengandung kekhawatiran yang tak tersembunyi. "Aku bisa—""Tidak," Sera memotong dengan suara yang lebih tegas dari yang dia rasakan. "Ini pertarunganku sendiri. Aku harus menghadapinya... apapun yang terjadi." Namun getaran dalam suaranya mengkhianati ketakutan yang dia coba sembunyikan.Ketika pintu akhirnya terbuka, waktu seakan membeku. Sosok Zayn yang berdiri di ambang pi
Kegelapan malam seolah menelan Sera bulat-bulat. Kakinya terus melangkah meski gemetar, sementara matanya mencari-cari tanda kehidupan di sepanjang jalan yang tampak tak berujung ini. Namun yang dia temui hanyalah kesunyian mencekam—tidak ada rumah, tidak ada kendaraan, bahkan tidak ada suara anjing menggonggong di kejauhan. Hanya ada deru angin dan detak jantungnya yang semakin liar.Guntur telah memilih tempat persembunyian dengan sangat cermat, Sera menyadari dengan getir. Setiap langkah terasa seperti siksaan; kepalanya berdenyut hebat seolah ada ribuan palu yang menghantam dari dalam tengkoraknya. Namun ketakutan akan tertangkap kembali memaksanya untuk terus bergerak.Lalu dia mendengarnya—suara yang membuat darahnya membeku. Deruman mobil dari kejauhan, semakin mendekat seperti predator yang mengendus mangsanya. Sera memaksa kakinya untuk ber
Waktu seolah membeku ketika Sera menatap wajah yang begitu familiar namun asing itu. Matanya mengunci pada sosok pria yang telah lama hilang dari hidupnya. Setiap detail wajahnya kini terasa seperti kepingan puzzle yang perlahan menemukan tempatnya, membentuk gambaran masa lalu yang telah terkubur dalam-dalam."Maafkan aku, An. Maaf karena aku—""Cukup, tolong cukup!" Sera menjerit, tangannya gemetar saat menutup telinganya. Suaranya pecah oleh emosi yang tak terbendung, seperti vas kristal yang hancur berkeping-keping. Setiap kata yang keluar dari mulut Guntur terasa seperti paku yang menghujam ke dalam kepalanya, menggali keluar kenangan-kenangan yang seharusnya tetap terkubur.Udara di sekitarnya terasa menipis. Sera mencengkeram dadanya yang sesak, seolah paru-parunya menolak untuk bekerja sama. Dunianya y
Kesadaran menyeruak perlahan, membawa Arneta kembali ke dunia nyata yang lebih menyakitkan dari mimpi terburuknya. Kepalanya berdenyut hebat, seolah ribuan palu menghantam tanpa henti. Matanya terbuka, mengerjap lemah, hanya untuk bertemu dengan sepasang mata tajam yang menatapnya lekat - mata Gilang, pria yang kini menjadi sumber dari segala deritanya."Kamu sudah bangun?" Suara Gilang terdengar tenang, namun bagi Arneta, setiap kata yang keluar dari mulut pria itu bagaikan racun yang menyebar ke seluruh tubuhnya."Hampir saja mematahkan tangan dokter itu kalau kamu masih belum bangun juga," lanjut Gilang santai, seolah membicarakan cuaca. Kenyataan menghantam Arneta bagai ombak ganas - ini bukan mimpi. Ia telah kembali ke sangkar emasnya yang terkutuk, tempat di mana ia tak lebih dari boneka dalam genggaman Gilang.
Rintik hujan perlahan mereda, meninggalkan aroma basah yang mengambang di udara. Di hadapan rumah yang dulu penuh kehangatan, Arneta berdiri terpaku, seolah waktu membeku di sekelilingnya. Air mata mengalir tanpa henti, setiap tetesnya membawa serpihan kenangan indah yang kini terasa begitu jauh dan mustahil untuk diraih kembali.Bangunan yang dulu bernapas dengan tawa dan canda, kini berdiri sunyi, seakan ikut berkabung atas tragedi yang menimpa penghuninya. Arneta merasakan setiap detik yang berlalu bagaikan pisau yang mengiris jiwanya."Ayo, Ma. Ana pasti ketakutan di dalam," suara Adjie memecah keheningan, menarik Arneta kembali ke realita yang kejam.Nama putrinya bagaikan cambuk yang menghantam kesadaran Arneta. Dengan langkah tergesa, dia menghampiri pintu, jantungnya berdebar kencang. Namun, pintu terkunci r
Kesunyian yang mencekam merayap di sudut-sudut kamar, seolah menelan seluruh kehidupan yang tersisa. Di tengah ruangan itu, Arneta terduduk kaku, tatapannya kosong menembus jendela, menerawang jauh ke cakrawala yang tak terjangkau. Tiga hari telah berlalu sejak kepergian Adjie, namun bagi Arneta, waktu seakan berhenti, membeku dalam keputusasaan yang mencengkeram.Wajahnya yang dulunya berseri kini tampak pucat dan tirus. Lingkaran hitam menghiasi matanya yang sayu, saksi bisu dari malam-malam tanpa tidur yang dilaluinya. Setiap tarikan napas terasa berat, seolah udara di sekitarnya telah berubah menjadi racun yang perlahan menggerogoti jiwanya.Suara ketukan lembut di pintu memecah keheningan, diikuti derit engsel yang membuka perlahan. Astuti, dengan langkah hati-hati, memasuki kamar membawa nampan berisi hidangan yang aromanya menguar menggoda. Namun bagi Ar
"Mau sampai kapan kita tinggal di sini, Ma?"Pertanyaan itu menggantung di udara, berat dan menyesakkan. Arneta, yang berdiri tak jauh dari putranya, hanya bisa terdiam. Tangannya terkepal erat, buku-buku jarinya memutih, seakan mencoba menahan seluruh beban dunia yang menghimpit dadanya. Dia ingin menjawab, ingin memeluk putranya dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Namun lidahnya kelu, tertahan oleh rahasia kelam yang mengurung mereka di tempat terkutuk ini."Adjie nggak mau tinggal di sini, Ma! Adjie mau pulang!" Adjie berseru, suaranya bergetar antara amarah dan tangis yang ditahan. Matanya menatap lekat sosok ibunya, mencari secercah harapan yang mungkin tersisa.Namun Arneta tetap membisu. Ia melangkah menjauh, berusaha mengabaikan keluhan putranya yang terasa bagai belati yang menusuk jantungnya. S