"Mas Zayn," Sera akhirnya bersuara, suaranya sedikit bergetar. "Kenalkan, ini Mas Ervan. Dia... kakak angkat saya yang baru pulang dari Amerika."
Zayn melangkah maju, matanya tak lepas dari sosok Ervan. Tangannya terulur, namun gerakannya kaku dan penuh ketegangan. "Saya Zayn, suami Sera," ucapnya dengan nada datar namun penuh penekanan pada kata 'suami'.
Ervan menyambut uluran tangan Zayn. Jabatan tangan mereka lebih mirip adu kekuatan daripada salam perkenalan. "Senang bertemu dengan Anda, Zayn," balas Ervan, suaranya tenang namun ada kilatan aneh di matanya.
Sera, yang merasakan ketegangan yang semakin memuncak, segera menarik tangan Zayn. "Mas, bisa bicara sebentar?" pintanya lembut, berusaha memisahkan dua pria itu sebelum situasi semakin memanas.
"Mas," Sera berbis
Di dalam mobil yang terparkir di sudut gelap taman, Zayn menatap Sera dengan pandangan yang dipenuhi penyesalan. Tangannya yang tadi mencengkeram erat tubuh istrinya kini bergetar, takut untuk menyentuh kulit yang kini dihiasi bekas merah dan biru."Sera..." suara Zayn terdengar parau, "Maafkan saya. Saya... saya tidak bermaksud..."Sera hanya bisa terdiam, tubuhnya gemetar hebat. Air mata mengalir deras di pipinya, membasahi jas Zayn yang kini membalut tubuhnya yang telanjang. Pakaiannya sendiri tergeletak di lantai mobil, robek dan tak berbentuk.Dengan lembut, Zayn mengangkat dagu Sera, memaksa istrinya untuk menatap matanya. "Sera, lihat saya. Saya benar-benar minta maaf. Saya kehilangan kendali."Sera akhirnya memberanikan diri untuk menatap suaminya. Di balik air m
"Siapa Anda?" Suara dingin Dewi memecah keheningan ruang tamu yang mewah.Ervan berdiri tegak, matanya menatap lurus ke arah wanita anggun di hadapannya. Dia bisa merasakan tatapan penuh penilaian yang dilontarkan Dewi, namun hal itu tak menyurutkan keberaniannya sedikitpun."Saya Ervan Sanjaya, kenalan Zayn," jawab Ervan dengan suara tegas dan penuh wibawa.Dewi mengamati pria itu dari atas ke bawah. Penampilannya rapi dan elegan, namun ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat Dewi waspada. Setelah beberapa saat, dia memutuskan untuk bersikap sopan."Silakan masuk, Tuan Ervan," ujar Dewi sambil tersenyum tipis, mempersilakan tamunya.Ervan mengangguk singkat dan mengikuti langkah Dewi memasuki rumah. Matanya dengan cepat
"Mas Ervan?" Sera tersentak saat melihat sosok kakak angkatnya itu tiba-tiba muncul di paviliun tempatnya tinggal. Kedatangan Ervan yang tak terduga membuat hatinya dipenuhi campuran perasaan — terkejut, bingung, sekaligus khawatir.Ervan melangkah cepat ke arah Sera, matanya menyorot tajam. Kemarahan dan kekecewaan terlihat jelas tergambar di wajahnya. Tanpa berkata apa-apa, dia langsung menarik lengan Sera, membawa wanita itu bersamanya."Mas, apa yang—" Sera mencoba menahan Ervan, kebingungan memenuhi benaknya. Namun cengkeraman pria itu di tangannya semakin kuat, seolah tak mau melepaskannya."Mas, tunggu!" Suara Sera bergetar, memohon. Namun, Ervan seakan tidak mendengar. Raut wajahnya semakin mengeras, otot rahangnya menegang. Tangan Sera terasa nyeri, seolah ditekan oleh kekuatan emosi yang mengal
"Aku mau kamu ikut aku," ucap Ervan, suaranya bergetar menahan emosi. Matanya menatap Sera dengan campuran kemarahan dan keputusasaan. "Aku akan bawa kamu pergi dari sini."Sera merasakan jantungnya berdegup kencang. Dia tahu kakaknya serius, tapi dia juga tahu dia tak bisa meninggalkan kehidupannya sekarang. "Mas, aku... aku nggak bisa," sahutnya lirih, suaranya nyaris tak terdengar.Ervan mengedarkan pandangannya ke sekeliling paviliun, amarahnya semakin memuncak melihat kondisi tempat tinggal adiknya. "Kamu lihat tempat ini, Sera!" dia membentak, tangannya mengusap rambut dengan kasar. "Kalau memang dia mencintai kamu, dia nggak akan mungkin membiarkan kamu tinggal di tempat seperti ini."Sera merasakan dadanya sesak. Dia ingin menjelaskan, tapi bagaimana mungkin Ervan bisa mengerti? Dengan hati-hati, dia mendekati kakaknya. "Mas, aku nggak ada masalah sama sekali sama tempat ini," ujarnya, berusaha menenangkan.Ervan menatapnya tak percaya. "Kamu udah gila, Sera," desisnya. "Aku sa
Zayn berjalan tertatih-tatih, hendak mengangkat Sera dan membawanya kembali ke paviliun. Namun, saat matanya tertuju ke arah bangunan itu, langkahnya terhenti mendadak. Sesuatu dalam dirinya bergejolak, seolah tempat itu menyimpan rahasia yang tak bisa dia ungkap.Tiba-tiba, rasa sakit yang tajam menghantam kepalanya. Zayn mengerang, tangannya mencengkeram sisi kepalanya dengan kuat. Potongan-potongan memori yang tak utuh berkelebat dalam benaknya, membuatnya semakin kebingungan."Mas Zayn!" Sera berseru panik, bergegas menghampiri suaminya. "Mas kenapa?"Zayn tak menjawab. Matanya terpejam erat, wajahnya mengernyit menahan sakit. Sera mengulurkan tangannya, hendak menyentuh suaminya, namun gerakannya terhenti saat sebuah suara berat terdengar dari belakang mereka."Biar saya yang menangani ini, Nyonya," ujar Guntur tegas, tangannya dengan sigap menopang tubuh Zayn yang mulai oleng.Sera hanya bisa menatap cemas saat Guntur membimbing Zayn menuju rumah utama. Dia hendak mengikuti, namu
Sudah hampir seminggu sejak insiden terakhir, dan Sera masih belum diizinkan menginjakkan kaki di rumah utama. Zayn pun seolah menghilang, tak memberi kabar atau menemuinya sama sekali.Di dalam kamar kerjanya yang luas, Zayn duduk termenung di balik meja mahoni besarnya. Jemarinya memijat pelipis, berusaha meredakan denyutan yang tak kunjung hilang. Matanya terpejam erat, mencoba menghalau rasa sakit yang semakin menjadi.Tiba-tiba, seperti film yang diputar secara acak, serpihan ingatan itu muncul kembali. Begitu jelas, begitu nyata.Zayn melihat dirinya berdiri di sebuah lorong gelap, menatap ke arah dua sosok yang berdiri tak jauh darinya. Seorang pria paruh baya - wajahnya tak begitu jelas namun terasa begitu familiar - sedang memeluk erat seorang wanita muda. Bibir mereka bertaut dalam ciuman penuh gairah.
Sera sedang menyesap teh paginya yang mulai dingin ketika ponselnya bergetar. Nama yang muncul di layar membuat jantungnya seakan berhenti berdetak untuk sesaat: "Mas Zayn".Tangannya gemetar hebat saat membuka pesan itu. Lima kata sederhana yang mampu menggetarkan seluruh dunianya:"Temui saya di ruang kerja."Cangkir di tangannya nyaris terlepas. Tak ada kehangatan dalam kata-kata itu, tak ada kelembutan yang beberapa waktu belakangan ini selalu mewarnai setiap komunikasi mereka. Hanya ada kedinginan yang menusuk hingga ke sumsum tulang.Sera bergegas ke kamarnya, membuka lemari dengan tangan gemetar. Dia memilih gaun favoritnya—sebuah dress sederhana berwarna lavender yang selalu mendapat pujian dari Zayn. Ia menghabiskan waktu lebih lama dari biasanya
Sera berdiri di depan cermin, jemarinya yang gemetar merapikan lipatan gaun merah marunnya untuk kesekian kali. Matanya yang berkaca-kaca menatap bayangannya sendiri, mencari secercah harapan dalam pantulan itu."Ya Allah," bisiknya lirih, "berilah aku kekuatan untuk menghadapi malam ini."Suara ketukan pintu memecah keheningan, membuat jantung Sera seolah melompat ke tenggorokannya. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri sebelum membuka pintu.Guntur berdiri tegap dengan wajahnya yang kaku seperti biasa. "Nyonya, mobil sudah siap," ujarnya datar.Sera mengangguk pelan, mengikuti langkah Guntur menuju mobil yang menunggu. Sepanjang perjalanan, kesunyian yang mencekam menyelimuti mereka. Sera melirik Guntur beberapa kali, berharap menemukan petunjuk di wa