Di dalam mobil yang terparkir di sudut gelap taman, Zayn menatap Sera dengan pandangan yang dipenuhi penyesalan. Tangannya yang tadi mencengkeram erat tubuh istrinya kini bergetar, takut untuk menyentuh kulit yang kini dihiasi bekas merah dan biru.
"Sera..." suara Zayn terdengar parau, "Maafkan saya. Saya... saya tidak bermaksud..."
Sera hanya bisa terdiam, tubuhnya gemetar hebat. Air mata mengalir deras di pipinya, membasahi jas Zayn yang kini membalut tubuhnya yang telanjang. Pakaiannya sendiri tergeletak di lantai mobil, robek dan tak berbentuk.
Dengan lembut, Zayn mengangkat dagu Sera, memaksa istrinya untuk menatap matanya. "Sera, lihat saya. Saya benar-benar minta maaf. Saya kehilangan kendali."
Sera akhirnya memberanikan diri untuk menatap suaminya. Di balik air m
"Siapa Anda?" Suara dingin Dewi memecah keheningan ruang tamu yang mewah.Ervan berdiri tegak, matanya menatap lurus ke arah wanita anggun di hadapannya. Dia bisa merasakan tatapan penuh penilaian yang dilontarkan Dewi, namun hal itu tak menyurutkan keberaniannya sedikitpun."Saya Ervan Sanjaya, kenalan Zayn," jawab Ervan dengan suara tegas dan penuh wibawa.Dewi mengamati pria itu dari atas ke bawah. Penampilannya rapi dan elegan, namun ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat Dewi waspada. Setelah beberapa saat, dia memutuskan untuk bersikap sopan."Silakan masuk, Tuan Ervan," ujar Dewi sambil tersenyum tipis, mempersilakan tamunya.Ervan mengangguk singkat dan mengikuti langkah Dewi memasuki rumah. Matanya dengan cepat
"Mas Ervan?" Sera tersentak saat melihat sosok kakak angkatnya itu tiba-tiba muncul di paviliun tempatnya tinggal. Kedatangan Ervan yang tak terduga membuat hatinya dipenuhi campuran perasaan — terkejut, bingung, sekaligus khawatir.Ervan melangkah cepat ke arah Sera, matanya menyorot tajam. Kemarahan dan kekecewaan terlihat jelas tergambar di wajahnya. Tanpa berkata apa-apa, dia langsung menarik lengan Sera, membawa wanita itu bersamanya."Mas, apa yang—" Sera mencoba menahan Ervan, kebingungan memenuhi benaknya. Namun cengkeraman pria itu di tangannya semakin kuat, seolah tak mau melepaskannya."Mas, tunggu!" Suara Sera bergetar, memohon. Namun, Ervan seakan tidak mendengar. Raut wajahnya semakin mengeras, otot rahangnya menegang. Tangan Sera terasa nyeri, seolah ditekan oleh kekuatan emosi yang mengal
"Aku mau kamu ikut aku," ucap Ervan, suaranya bergetar menahan emosi. Matanya menatap Sera dengan campuran kemarahan dan keputusasaan. "Aku akan bawa kamu pergi dari sini."Sera merasakan jantungnya berdegup kencang. Dia tahu kakaknya serius, tapi dia juga tahu dia tak bisa meninggalkan kehidupannya sekarang. "Mas, aku... aku nggak bisa," sahutnya lirih, suaranya nyaris tak terdengar.Ervan mengedarkan pandangannya ke sekeliling paviliun, amarahnya semakin memuncak melihat kondisi tempat tinggal adiknya. "Kamu lihat tempat ini, Sera!" dia membentak, tangannya mengusap rambut dengan kasar. "Kalau memang dia mencintai kamu, dia nggak akan mungkin membiarkan kamu tinggal di tempat seperti ini."Sera merasakan dadanya sesak. Dia ingin menjelaskan, tapi bagaimana mungkin Ervan bisa mengerti? Dengan hati-hati, dia mendekati kakaknya. "Mas, aku nggak ada masalah sama sekali sama tempat ini," ujarnya, berusaha menenangkan.Ervan menatapnya tak percaya. "Kamu udah gila, Sera," desisnya. "Aku sa
Zayn berjalan tertatih-tatih, hendak mengangkat Sera dan membawanya kembali ke paviliun. Namun, saat matanya tertuju ke arah bangunan itu, langkahnya terhenti mendadak. Sesuatu dalam dirinya bergejolak, seolah tempat itu menyimpan rahasia yang tak bisa dia ungkap.Tiba-tiba, rasa sakit yang tajam menghantam kepalanya. Zayn mengerang, tangannya mencengkeram sisi kepalanya dengan kuat. Potongan-potongan memori yang tak utuh berkelebat dalam benaknya, membuatnya semakin kebingungan."Mas Zayn!" Sera berseru panik, bergegas menghampiri suaminya. "Mas kenapa?"Zayn tak menjawab. Matanya terpejam erat, wajahnya mengernyit menahan sakit. Sera mengulurkan tangannya, hendak menyentuh suaminya, namun gerakannya terhenti saat sebuah suara berat terdengar dari belakang mereka."Biar saya yang menangani ini, Nyonya," ujar Guntur tegas, tangannya dengan sigap menopang tubuh Zayn yang mulai oleng.Sera hanya bisa menatap cemas saat Guntur membimbing Zayn menuju rumah utama. Dia hendak mengikuti, namu
Sudah hampir seminggu sejak insiden terakhir, dan Sera masih belum diizinkan menginjakkan kaki di rumah utama. Zayn pun seolah menghilang, tak memberi kabar atau menemuinya sama sekali.Di dalam kamar kerjanya yang luas, Zayn duduk termenung di balik meja mahoni besarnya. Jemarinya memijat pelipis, berusaha meredakan denyutan yang tak kunjung hilang. Matanya terpejam erat, mencoba menghalau rasa sakit yang semakin menjadi.Tiba-tiba, seperti film yang diputar secara acak, serpihan ingatan itu muncul kembali. Begitu jelas, begitu nyata.Zayn melihat dirinya berdiri di sebuah lorong gelap, menatap ke arah dua sosok yang berdiri tak jauh darinya. Seorang pria paruh baya - wajahnya tak begitu jelas namun terasa begitu familiar - sedang memeluk erat seorang wanita muda. Bibir mereka bertaut dalam ciuman penuh gairah.
"Permisi, Pak. Boleh saya masuk?"Suara lembut Sera terdengar dari balik pintu ruangan Zayn Renola Wiratama. Jantungnya berdegup kencang, tangannya gemetar memegang gagang pintu. Ini pertama kalinya ia berani mendatangi ruangan sang CEO."Masuk," jawab suara berat dari dalam.Sera melangkah perlahan, jemarinya saling bertaut karena gugup. Kontras sekali penampilan sederhana cleaning service ini dengan kemewahan ruang kerja Zayn yang didominasi warna hitam dan emas. Lukisan-lukisan mahal menghiasi dinding, sementara jendela besar memamerkan pemandangan kota Jakarta dari lantai 50.Zayn mengamati Sera dari ujung kaki hingga ujung kepala. Seragam cleaning service berwarna biru muda tampak lusuh di tubuh rampingnya. Rambut hitamnya yang panjang diikat sederhana, berbeda dengan gaya rambut wanita-wanita kelas atas yang biasa ia temui."Ada perlu apa?" tanya Zayn, suaranya terdengar bosan.Sera menggigit bibir, menunduk dalam-dalam. "Maaf mengganggu waktu Bapak. Saya... saya sedang butuh ba
Sera melangkah gontai memasuki kamar perawatan ibunya. Hatinya mencelos melihat sosok wanita yang selama ini menjadi pilar hidupnya kini terbaring lemah dengan mata diperban. Dia menggenggam tangan ibunya sejenak, merasakan kehangatan yang perlahan memudar."Mbak Ria, bagaimana keadaan Ibu?" tanya Sera lirih, matanya tak lepas dari wajah pucat ibunya.Mbak Ria, yang sejak tadi berdiri di sudut ruangan, hanya menggeleng pelan. "Masih sama, Ra. Tapi... ada yang perlu kita bicarakan. Ayo keluar sebentar."Dengan berat hati, Sera mengikuti kakaknya keluar dari kamar perawatan. Begitu pintu tertutup, Mbak Ria langsung angkat bicara, "Ra, tadi bagian administrasi memanggil Mbak."Darah Sera berdesir. Dia tahu pembicaraan ini tidak akan berujung baik."Mereka meminta biaya perawatan Ibu untuk beberapa hari lagi," lanjut Mbak Ria dengan wajah tertekan. Sera bisa melihat betapa berat beban yang ditanggung Mbak Ria saat ini."Berapa yang mereka minta, Mbak?" tanya Sera dengan suara yang nyaris
Sera duduk dengan gelisah di sebuah meja di sudut restoran yang cukup mewah. Pikirannya berkecamuk, terus meyakinkan dirinya bahwa inilah satu-satunya pilihan yang tersisa untuk menyelamatkan ibunya. Sesekali, dia melirik jam tangannya, berharap waktu segera berlalu dan pertemuan ini segera berakhir.Matanya terus terpejam rapat, mencoba menenangkan diri. Tiba-tiba, dia merasakan kehadiran seseorang di dekatnya. Matanya membelalak tak percaya saat melihat pria yang berdiri di depannya. Pria itu menatapnya dengan tatapan yang dalam dan penuh arti. "Pak Zayn...?!" serunya, suaranya hampir tidak terdengar."Hai, Sera. Sedang menunggu seseorang?" balas Zayn dengan nada dingin yang biasa. Senyum tipis tersungging di bibirnya, menambah kesan angkuh pada dirinya."K-kenapa Bapak ada di sini?" Sera tergagap, masih tak percaya akan bertemu Zayn di sini. Jantungnya berdegup kencang, dan keringat dingin mulai membasahi dahinya.Zayn mengangkat bahunya dengan acuh tak acuh. "Karena ini restoran