Sudah hampir seminggu sejak insiden terakhir, dan Sera masih belum diizinkan menginjakkan kaki di rumah utama. Zayn pun seolah menghilang, tak memberi kabar atau menemuinya sama sekali.
Di dalam kamar kerjanya yang luas, Zayn duduk termenung di balik meja mahoni besarnya. Jemarinya memijat pelipis, berusaha meredakan denyutan yang tak kunjung hilang. Matanya terpejam erat, mencoba menghalau rasa sakit yang semakin menjadi.
Tiba-tiba, seperti film yang diputar secara acak, serpihan ingatan itu muncul kembali. Begitu jelas, begitu nyata.
Zayn melihat dirinya berdiri di sebuah lorong gelap, menatap ke arah dua sosok yang berdiri tak jauh darinya. Seorang pria paruh baya - wajahnya tak begitu jelas namun terasa begitu familiar - sedang memeluk erat seorang wanita muda. Bibir mereka bertaut dalam ciuman penuh gairah.
Sera sedang menyesap teh paginya yang mulai dingin ketika ponselnya bergetar. Nama yang muncul di layar membuat jantungnya seakan berhenti berdetak untuk sesaat: "Mas Zayn".Tangannya gemetar hebat saat membuka pesan itu. Lima kata sederhana yang mampu menggetarkan seluruh dunianya:"Temui saya di ruang kerja."Cangkir di tangannya nyaris terlepas. Tak ada kehangatan dalam kata-kata itu, tak ada kelembutan yang beberapa waktu belakangan ini selalu mewarnai setiap komunikasi mereka. Hanya ada kedinginan yang menusuk hingga ke sumsum tulang.Sera bergegas ke kamarnya, membuka lemari dengan tangan gemetar. Dia memilih gaun favoritnya—sebuah dress sederhana berwarna lavender yang selalu mendapat pujian dari Zayn. Ia menghabiskan waktu lebih lama dari biasanya
Sera berdiri di depan cermin, jemarinya yang gemetar merapikan lipatan gaun merah marunnya untuk kesekian kali. Matanya yang berkaca-kaca menatap bayangannya sendiri, mencari secercah harapan dalam pantulan itu."Ya Allah," bisiknya lirih, "berilah aku kekuatan untuk menghadapi malam ini."Suara ketukan pintu memecah keheningan, membuat jantung Sera seolah melompat ke tenggorokannya. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri sebelum membuka pintu.Guntur berdiri tegap dengan wajahnya yang kaku seperti biasa. "Nyonya, mobil sudah siap," ujarnya datar.Sera mengangguk pelan, mengikuti langkah Guntur menuju mobil yang menunggu. Sepanjang perjalanan, kesunyian yang mencekam menyelimuti mereka. Sera melirik Guntur beberapa kali, berharap menemukan petunjuk di wa
Zayn mengangkat tangannya, membelai lembut pipi Sera. Matanya menyiratkan sejuta emosi yang tak terucap - cinta, penyesalan, dan... ketakutan?"Sera," suara Zayn terdengar serak, "saya... saya harus pergi sekarang."Sera merasakan jantungnya mencelos. "Tapi Mas, bukankah kita baru saja—""Sssh," Zayn meletakkan jarinya di bibir Sera, menghentikan kata-katanya. "Ada pekerjaan mendadak yang harus saya selesaikan. Kamu pulang duluan ya?"Kekecewaan merayap di dada Sera, tapi ia berusaha keras menyembunyikannya dengan senyuman. "Baiklah, Mas. Hati-hati ya."Zayn mengangguk, kemudian membukakan pintu mobil untuk Sera. Sebelum Sera masuk, Zayn menariknya ke dalam pelukan erat, bibirnya mengecup dahi Sera lama. Sera bisa meras
Kegelapan perlahan memudar, digantikan oleh rasa sakit yang menusuk-nusuk di belakang kepala Sera. Kesadarannya mulai kembali, namun matanya masih terpejam erat, takut cahaya akan memperparah denyutan menyakitkan yang berdentum-dentum di kepalanya.Suara-suara samar mulai merayap masuk ke telinganya. Awalnya hanya dengungan tak jelas, namun perlahan menjadi lebih fokus. Sera mencoba berkonsentrasi, berusaha mengidentifikasi suara-suara itu di tengah kabut kebingungan yang masih menyelimutinya.Tiba-tiba, bayangan-bayangan mengerikan berkelebat dalam benaknya. Pria-pria asing, cengkeraman kasar, rasa takut yang mencekik... Tubuh Sera mulai bergetar hebat saat ingatan-ingatan itu membanjiri pikirannya seperti air bah.Dengan segenap keberanian yang tersisa, Sera memaksa matanya terbuka. Seketika, dunia di sekelilingny
Sera mengerjapkan matanya, berusaha mengusir kabut yang masih menyelimuti pikirannya. Sudah berapa lama ia tertidur? Jam berapa sekarang? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar dalam benaknya, namun tak ada satu pun yang bisa ia jawab dengan pasti.Kepalanya masih berdenyut-denyut, namun tidak seburuk sebelumnya. Perlahan, Sera mencoba untuk duduk, menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang.Matanya menyapu ruangan, mencari sosok yang ia tahu pasti ada di sana. Dan benar saja, Guntur duduk di sudut ruangan, tatapannya tertuju pada secangkir kopi yang mengepul di tangannya. Pria itu tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri, wajahnya yang biasanya tak terbaca kini menunjukkan secercah kekhawatiran."Kamu sudah bangun, An," ujar Guntur, suaranya dalam dan tenang. "Bagaimana perasaanmu?"
"Mau sampai kapan kita tinggal di sini, Ma?"Pertanyaan itu menggantung di udara, berat dan menyesakkan. Arneta, yang berdiri tak jauh dari putranya, hanya bisa terdiam. Tangannya terkepal erat, buku-buku jarinya memutih, seakan mencoba menahan seluruh beban dunia yang menghimpit dadanya. Dia ingin menjawab, ingin memeluk putranya dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Namun lidahnya kelu, tertahan oleh rahasia kelam yang mengurung mereka di tempat terkutuk ini."Adjie nggak mau tinggal di sini, Ma! Adjie mau pulang!" Adjie berseru, suaranya bergetar antara amarah dan tangis yang ditahan. Matanya menatap lekat sosok ibunya, mencari secercah harapan yang mungkin tersisa.Namun Arneta tetap membisu. Ia melangkah menjauh, berusaha mengabaikan keluhan putranya yang terasa bagai belati yang menusuk jantungnya. S
Kesunyian yang mencekam merayap di sudut-sudut kamar, seolah menelan seluruh kehidupan yang tersisa. Di tengah ruangan itu, Arneta terduduk kaku, tatapannya kosong menembus jendela, menerawang jauh ke cakrawala yang tak terjangkau. Tiga hari telah berlalu sejak kepergian Adjie, namun bagi Arneta, waktu seakan berhenti, membeku dalam keputusasaan yang mencengkeram.Wajahnya yang dulunya berseri kini tampak pucat dan tirus. Lingkaran hitam menghiasi matanya yang sayu, saksi bisu dari malam-malam tanpa tidur yang dilaluinya. Setiap tarikan napas terasa berat, seolah udara di sekitarnya telah berubah menjadi racun yang perlahan menggerogoti jiwanya.Suara ketukan lembut di pintu memecah keheningan, diikuti derit engsel yang membuka perlahan. Astuti, dengan langkah hati-hati, memasuki kamar membawa nampan berisi hidangan yang aromanya menguar menggoda. Namun bagi Ar
Rintik hujan perlahan mereda, meninggalkan aroma basah yang mengambang di udara. Di hadapan rumah yang dulu penuh kehangatan, Arneta berdiri terpaku, seolah waktu membeku di sekelilingnya. Air mata mengalir tanpa henti, setiap tetesnya membawa serpihan kenangan indah yang kini terasa begitu jauh dan mustahil untuk diraih kembali.Bangunan yang dulu bernapas dengan tawa dan canda, kini berdiri sunyi, seakan ikut berkabung atas tragedi yang menimpa penghuninya. Arneta merasakan setiap detik yang berlalu bagaikan pisau yang mengiris jiwanya."Ayo, Ma. Ana pasti ketakutan di dalam," suara Adjie memecah keheningan, menarik Arneta kembali ke realita yang kejam.Nama putrinya bagaikan cambuk yang menghantam kesadaran Arneta. Dengan langkah tergesa, dia menghampiri pintu, jantungnya berdebar kencang. Namun, pintu terkunci r