“Sera,” desah Zayn dengan penuh kepuasan.
Sera menelungkupkan tubuhnya di atas Zayn, nafas mereka masih terengah-engah setelah puncak gairah yang baru saja mereka capai.
Jemari lentik Sera menelusuri garis rahang suaminya yang tegas, matanya memancarkan kasih yang tak terucap. Zayn memejamkan mata, menikmati sentuhan lembut istrinya, sebuah senyum puas tersungging di bibirnya.
"Mas," bisik Sera, suaranya sedikit serak. "Boleh saya minta izin?"
Zayn membuka matanya, menatap Sera dengan pandangan yang masih dipenuhi kepuasan. "Hmm? Apa itu, Sayang?"
Sera menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Saya... saya ingin menemui ibu. Kalau Mas mengizinkan, saya ingin menginap di sana beberapa hari."
"Sera!" seru Sari, matanya membelalak penuh kerinduan saat melihat sosok putrinya memasuki pintu utama.Sera menatap wanita paruh baya itu dengan pandangan yang sama hangatnya. "Ibu," bisiknya lembut, suaranya sedikit bergetar menahan emosi.Mereka berpelukan erat, melepaskan kerinduan yang terpendam selama berbulan-bulan. Air mata haru mengalir di pipi keduanya. Sera bisa merasakan kehangatan familiar yang selama ini dia rindukan, aroma khas ibunya yang selalu membuatnya merasa aman.Setelah beberapa saat, Sari melepaskan pelukannya dan mengamati Sera dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Ya ampun, nak. Kamu semakin cantik saja," pujinya tulus.Sera tersenyum malu, pipinya bersemu merah. "Ibu juga terlihat lebih sehat. Maaf ya, Bu, Sera baru bisa berkunjung
Sera merasa seolah dunia di sekitarnya berputar terlalu cepat, membuatnya pusing dan kehilangan keseimbangan. Lima tahun berlalu sejak terakhir kali dia melihat pria itu, namun perasaan yang muncul masih sama kuatnya seperti dulu.Sari dan Mbak Ria, menyadari ketegangan yang menggantung di udara, berusaha mencairkan suasana. Mbak Ria berdehem pelan sebelum berbicara, " "Sera, kamu ingat Mas Ervan, kan? Dia baru saja kembali dari Amerika."Sera hanya bisa mengangguk kaku, matanya masih terpaku pada sosok Ervan yang berdiri tegap di hadapannya. Suaranya seakan tercekat di tenggorokan, tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun."Mas Ervan baru saja menyelesaikan studinya di sana. Dia akan tinggal di Jakarta untuk sementara waktu," sambung Mbak Ria sambil menatap wajah adiknya yang tampak pucat itu.
Tiga hari berlalu sejak kedatangan Sera ke rumah ibunya. Dan selama tiga hari itu. Setiap hari Ervan datang mengunjunginya. Perlahan namun pasti, tembok pertahanan yang Sera bangun selama bertahun-tahun mulai runtuh.Pagi itu, Sera duduk di teras rumah, menikmati secangkir teh hangat ketika Ervan datang. Senyum tipis tersungging di bibir Sera saat melihat sosok pria itu mendekat."Pagi, Sera," sapa Ervan, suaranya hangat."Pagi, Mas," balas Sera, gesturnya mempersilakan Ervan duduk di sampingnya.Keheningan yang nyaman menyelimuti mereka, hingga Sera memberanikan diri untuk bertanya."Mas," suaranya lembut, nyaris berbisik. "Bagaimana kabar Om Ardie dan Tante Erlina?"Ervan menole
"Mas Zayn," Sera akhirnya bersuara, suaranya sedikit bergetar. "Kenalkan, ini Mas Ervan. Dia... kakak angkat saya yang baru pulang dari Amerika."Zayn melangkah maju, matanya tak lepas dari sosok Ervan. Tangannya terulur, namun gerakannya kaku dan penuh ketegangan. "Saya Zayn, suami Sera," ucapnya dengan nada datar namun penuh penekanan pada kata 'suami'.Ervan menyambut uluran tangan Zayn. Jabatan tangan mereka lebih mirip adu kekuatan daripada salam perkenalan. "Senang bertemu dengan Anda, Zayn," balas Ervan, suaranya tenang namun ada kilatan aneh di matanya.Sera, yang merasakan ketegangan yang semakin memuncak, segera menarik tangan Zayn. "Mas, bisa bicara sebentar?" pintanya lembut, berusaha memisahkan dua pria itu sebelum situasi semakin memanas."Mas," Sera berbis
Di dalam mobil yang terparkir di sudut gelap taman, Zayn menatap Sera dengan pandangan yang dipenuhi penyesalan. Tangannya yang tadi mencengkeram erat tubuh istrinya kini bergetar, takut untuk menyentuh kulit yang kini dihiasi bekas merah dan biru."Sera..." suara Zayn terdengar parau, "Maafkan saya. Saya... saya tidak bermaksud..."Sera hanya bisa terdiam, tubuhnya gemetar hebat. Air mata mengalir deras di pipinya, membasahi jas Zayn yang kini membalut tubuhnya yang telanjang. Pakaiannya sendiri tergeletak di lantai mobil, robek dan tak berbentuk.Dengan lembut, Zayn mengangkat dagu Sera, memaksa istrinya untuk menatap matanya. "Sera, lihat saya. Saya benar-benar minta maaf. Saya kehilangan kendali."Sera akhirnya memberanikan diri untuk menatap suaminya. Di balik air m
"Siapa Anda?" Suara dingin Dewi memecah keheningan ruang tamu yang mewah.Ervan berdiri tegak, matanya menatap lurus ke arah wanita anggun di hadapannya. Dia bisa merasakan tatapan penuh penilaian yang dilontarkan Dewi, namun hal itu tak menyurutkan keberaniannya sedikitpun."Saya Ervan Sanjaya, kenalan Zayn," jawab Ervan dengan suara tegas dan penuh wibawa.Dewi mengamati pria itu dari atas ke bawah. Penampilannya rapi dan elegan, namun ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat Dewi waspada. Setelah beberapa saat, dia memutuskan untuk bersikap sopan."Silakan masuk, Tuan Ervan," ujar Dewi sambil tersenyum tipis, mempersilakan tamunya.Ervan mengangguk singkat dan mengikuti langkah Dewi memasuki rumah. Matanya dengan cepat
"Mas Ervan?" Sera tersentak saat melihat sosok kakak angkatnya itu tiba-tiba muncul di paviliun tempatnya tinggal. Kedatangan Ervan yang tak terduga membuat hatinya dipenuhi campuran perasaan — terkejut, bingung, sekaligus khawatir.Ervan melangkah cepat ke arah Sera, matanya menyorot tajam. Kemarahan dan kekecewaan terlihat jelas tergambar di wajahnya. Tanpa berkata apa-apa, dia langsung menarik lengan Sera, membawa wanita itu bersamanya."Mas, apa yang—" Sera mencoba menahan Ervan, kebingungan memenuhi benaknya. Namun cengkeraman pria itu di tangannya semakin kuat, seolah tak mau melepaskannya."Mas, tunggu!" Suara Sera bergetar, memohon. Namun, Ervan seakan tidak mendengar. Raut wajahnya semakin mengeras, otot rahangnya menegang. Tangan Sera terasa nyeri, seolah ditekan oleh kekuatan emosi yang mengal
"Aku mau kamu ikut aku," ucap Ervan, suaranya bergetar menahan emosi. Matanya menatap Sera dengan campuran kemarahan dan keputusasaan. "Aku akan bawa kamu pergi dari sini."Sera merasakan jantungnya berdegup kencang. Dia tahu kakaknya serius, tapi dia juga tahu dia tak bisa meninggalkan kehidupannya sekarang. "Mas, aku... aku nggak bisa," sahutnya lirih, suaranya nyaris tak terdengar.Ervan mengedarkan pandangannya ke sekeliling paviliun, amarahnya semakin memuncak melihat kondisi tempat tinggal adiknya. "Kamu lihat tempat ini, Sera!" dia membentak, tangannya mengusap rambut dengan kasar. "Kalau memang dia mencintai kamu, dia nggak akan mungkin membiarkan kamu tinggal di tempat seperti ini."Sera merasakan dadanya sesak. Dia ingin menjelaskan, tapi bagaimana mungkin Ervan bisa mengerti? Dengan hati-hati, dia mendekati kakaknya. "Mas, aku nggak ada masalah sama sekali sama tempat ini," ujarnya, berusaha menenangkan.Ervan menatapnya tak percaya. "Kamu udah gila, Sera," desisnya. "Aku sa