Bab 1
Kenyataan Pahit"Bell, aku akan menikahi Tari," kata Abi, laki-laki yang mengucap ikrar di depan Papa dan penghulu, sebuah janji suci yang bernama pernikahan satu bulan yang lalu, begitu mantap dia ber-ijab, begitu juga hari ini, begitu mantap dan begitu mudahnya dia berkata akan menikah lagi.Aku berdiri di depan jendela dan dia di depan pintu. Begitu lantangnya ia mengucapkan sebuah kalimat yang membuat hatiku luluh lantah.Aku tak menjawab, hanya melirik, dan kembali pada pandanganku ke luar jendela. Rasanya lebih baik melihat hamparan rumput hias yang bergoyang oleh terpaan angin sore dari pada harus memandang wajah itu, wajah rupawan dan bersahaja saat pertama kali aku melihatnya. Namun, mampu menorehkan luka yang amat sangat dalam."Aku akan tetap menikahinya walau kamu tidak setuju. Kamu tau, kan? Aku sangat mencintai Tari?" sambungnya.Kusunggingkan senyumku, senyum yang menyimpan sejuta tangis, sesak, sakit, dan kecewa."Kalau kamu tidak membutuhkan ijinku, kenapa mengatakannya padaku?" tanyaku singkat."Karena kalian akan tinggal satu atap, bersama," jawabnya lagi, tanpa ada sedikitpun rasa belas kasihan padaku.Pernikahan kami memanglah tidak berdasarkan cinta, melainkan perjodohan. Papa, yang merupakan seorang dosen fakultas ekonomi di salah satu universitas ternama di Jakarta. Memaksaku untuk menerima perjodohan ini dihembusan napas terakhirnya.Papa meninggal akibat kecelakaan. Sebelumnya, aku tinggal di Surabaya bersama Mama. Baru beberapa bulan setelah meninggalnya Mama di Surabaya, Papa memboyongku ke Jakarta, tepatnya setelah aku lulus Sarjana Sastra Inggris di Surabaya. Ya, aku dan Mama tinggal di Surabaya sedangkan Papa selalu pulang ke Surabaya setiap weekend, kecuali jika Papa ada urusan penting.Nasib membawaku pada seorang pria berparas menawan yang bernama, Abimana Atmajaya. Aku tak tahu, apa yang sudah dilakukan Papa, sehingga dia dengan mudah meng-iyakan keinginan Papa untuk menikahiku dan menjagaku.Abimana, pria jangkung berumur 28 tahun dan berparas rupawan, saat ini adalah suamiku yang sah, baik secara hukum maupun agama. Tak ada kontak fisik selama satu bulan pernikahan kami berlangsung. Kami pun tidur terpisah, Abi tidur di kamar sebelahku. Menurutku, Abi termasuk pria yang sopan, dia tak pernah menuntut haknya padaku, meski aku adalah istri sahnya. Itu adalah pemikiranku selama ini, namun, hari ini aku tahu kenapa dia tidak meminta haknya, dan jawabannya adalah karena dia mencintai Tari, kekasihnya."Ceraikan aku dulu, setelah itu kamu bisa menikahinya!" putusku."Jangan mimpi kamu, Bell. Sampai kapanpun aku tidak akan menceraikanmu!""Lalu, bagaimana jika aku tidak mengijinkannya?""Aku tidak membutuhkan ijin darimu!" jawabnya lagi yang mampu membuat hatiku serasa tersayat-sayat.Kuhela napas panjang. Diantara kami mungkin belum ada cinta, tapi belum, belum tentu tidak akan ada bukan?"Apa kamu lupa? Aku meninggalkan Raka karena perjodohan ini? Dan kamu dengan mudah mengatakan mencintai Tari? Pacarmu?""Jangan menyebut Raka di depanku!" sentaknya."Baiklah, Bi. Lakukan apa yang kamu mau dan jangan melarangku dengan keinginanku!""Oke. Tapi ingat, Bella! Tidak akan ada perceraian dan juga laki- laki lain diantara kita! Camkan itu!" ancamnya lalu meninggalkan kamarku."Kenapa kamu begitu egois, Bi!" teriakku.Ia tak menghiraukan dan bahkan pergi berlalu begitu saja.Abi, pria seperti apa yang aku nikahi, aku belum tau pasti. Dari apa yang dia miliki dan penampilannya, aku tau dia bukanlah orang sembarangan. Namun, dia begitu tertutup padaku.Bagaikan hidup dalam sangkar, ruang gerak dibatasi pun tidak tau apa-apa. Hidup penuh tanya dan teka- teki, atas dasar apa aku dinikahi, selalu menjadi pertanyaan yang berkeliaran dalam benakku dan sampai saat ini pun tak bisa aku temukan jawabannya.Aku bergegas ke Cafe, Cafe yang aku buka dari uang peninggalan Papa satu bulan yang lalu. Walau Abi telah memberiku sebuah kartu sakti, namun aku enggan menggunakannya. Aku akan lebih senang jika bisa menghidupi diriku sendiri. Lagi pula kenapa harus menerima uang dari orang yang terpaksa menikahiku?"Pagi, Mbak Bella," sapa Lila, karyawan sekaligus teman curhat setiba aku di Cafe."Pagi, Lil," jawabku."Kenapa pagi-pagi wajah sudah ditekuk gitu? Apa Pak Abi nggak ngasih jatah semalam?" candanya."Lila, jaga mulut kamu!" Mendengar kata Abi aku pun murka, masih terngiang jelas di telingaku saat ia berkata akan memberikan madu untukku, betapa jahatnya dia.Aku masuk ke dalam ruangan. Ruang kecil, namun cukup nyaman untuk meratapi nasibku selama ini.Tok ... tok ... tok ... pintu diketuk, dengan cepat kuusap air mata yang tak sengaja jatuh mengingat perkataan Abi."Bella ....""Lila ... hiks ... hiks ...." Tangisku pecah saat Lila menghampiri. Kupeluk erat sahabat sekaligus karyawanku itu, jika aku terlihat kasar tadi, Itu hanya karena aku tidak ingin karyawan yang lain tau tentang kehidupanku, kehidupan yang tak pantas untuk di publikasikan."Bella, kenapa?" Ia berdiri di dekat kursi, dengan aku yang masih memeluknya. Saat ini hanya Lila yang aku punya untuk berbagi."Abi, Abi akan menikahi Tari, Lil," jawabku di tengah isakanku"Apa? Sekejam itukah Abi?""Sangat_ Lil...," ucapku terbata."Lalu, apa rencanamu setelah ini Bell?""Aku nggak tau, Lil. Dia juga enggan menceraikanku," jawabku."Benar-benar egois! Meskipun aku belum pernah bertemu dengan suamimu itu, aku yakin, pasti dia pria yang sangat keji.""Kenapa nggak kamu aja yang menggugat cerai?" lanjut Lila."Aku? Menggugat? Surat-suratku semua di tangannya. Bahkan KTP, surat nikah, semua. Ia menyembunyikannya, Lil. Nih, aku cuma dikasih SIM doang," kataku mengeluarkan SIM dari dalam tas dan menunjukkannya pada Lila."Kok bisa ya? Berarti dia udah niat dari dulu dong?""Sementara, aku akan mengikuti apa maunya, hingga aku menemukan cara untuk berpisah dengannya. Aku bisa g*la, Lil. Hidup dengan wanita yang jelas-jelas dicintai oleh suamiku, satu atap," keluhku.Lila mengambil napas lalu membuangnya kasar. "Ya sudahlah kalau itu keputusanmu. Sementara kamu berpikiran positif aja deh. Setidaknya dia memilih untuk menikah dari pada berzina.""Lila ... kok gitu, sih!""Sudah lah, Bell, yang penting satu, jangan sampe hamil!" pesan Lila penuh penekanan, aku hanya diam sembari tersenyum dalam hati mendengar kata-kata Lila. Bagaimana bisa hamil jika Abi saja tidak pernah menyentuhku. Mudah bagiku untuk tidak hamil.***Pukul 7 malam aku pulang, kuparkir mobil Avanza hitam peninggalan Papa yang sekarang kupakai untuk pulang pergi ke Cafe di garasi.Netraku mengarah pada pemandangan yang tak biasa kulihat sebelumnya. Mobil Mercy warna hitam milik Abi, sudah terparkir cantik di sana. Aneh, tidak biasanya dia pulang sesore ini.Aku pun masuk melewati pintu belakang, kulihat Abi dan seseorang sedang bercanda gurau di meja makan."Bella," panggil Abi saat menyadari kedatanganku."Assalamualaikum," sapaku, netraku tak beralih dari wanita yang sekarang duduk di sebelah Abi."W*'alaikumsalam," jawabnya.Abi memang dingin, tapi dia cukup beragama dan menyuruh kami untuk membiasakan salam saat masuk ke dalam rumah."Bell, ini Tari," ucapnya.Deg ... seketika tubuhku lunglai tak berdaya. Dari apa yang mereka kenakan saat ini, Piyama senada. Sudah bisa dipastikan, tanpa menunggu hari berganti atau bulan berganti, hari ini, dan detik ini juga Abi membawanya ke rumah kami. Nyata, mereka sudah meresmikan hubungan mereka."O ....""Tari." Dengan langkah percaya diri dan tanpa rasa malu Tari menghampiriku, memberiku uluran tangan, dan membuatku tersadar. "Bella!" Kusambut uluran tangannya sambil tersenyum paksa. Satu kata untuk ya, cantik, itu yang kulihat. Sepertinya, dari usia juga sepantaran Abi, jauh lebih dewasa dariku yang baru menginjak 23 tahun."Makanlah dengan kami," ajak Tari tersenyum ramah, kenapa dia harus seramah dan sesempurna ini? Akan lebih baik jika mempunyai madu yang kejam dari pada mempunyai madu yang bersikap sok malaikat, padahal sudah jelas dia telah merebut suamiku. Dengan keramahannya itu akan membuatku semakin sulit untuk bersikap."Kalian saja, aku sudah makan di Cafe," tolakku."Bella!" sentak Abi, kulihat rahangnya mengeras. Perintahnya memang selalu tak mau dibantah."Ya," jawabku malas, kulalui Tari dan berjalan menuju meja makan. Jika biasanya aku duduk di sebelah kiri Abi, berbeda dengan hari ini. Hari ini aku duduk di sisi kanan sebelah Abi karena kursi sebelah kiri yang biasa kutempati sudah ditempati oleh istri barunya."Makanlah, aku tau kamu hanya beralasan," kata Abi dengan penuh keyakinan. Ya, tapi memang semua itu benar adanya, aku hanya beralasan untuk menghindari mereka.Tanpa banyak bicara, kuambil piring lalu kuisi dengan nasi dan lauk yang ada di meja saat ini."Mas, kamu mau apa?" tanya Tari begitu mesra pada Abi. Mas, bahkan dari awal pernikahan kami, aku tak bisa memanggil Abi dengan sebutan itu meski umur kami terpaut 5 tahun."Apa saja," jawab Abi tersenyum manis. Jika biasanya aku dan Abi hanya makan berdua tanpa bicara dan tanpa senyuman, berbeda dengan hari ini. Wajah Abi terlihat begitu berbinar dipenuhi senyuman manis, senyum yang membuatnya semakin indah dipandang. Satu kata, tampan. Mereka memang sangat serasi secara visual.Asri datang membawa nampan yang berisi sebuah makanan penutup. Jelas, itu adalah puding yang aku buat pagi tadi."Ini, dicoba desertnya, Mas." Asri menyuguhkan puding coklat pada Abi dan Tari lalu beralih padaku."Asri! Apa- apaan? Itu buat cafe!" bisikku saat Asri, asisten rumah tangga Abi, meletakkan puding bagianku."Hah? Maaf, Mbak. Asri nggak tau.""Kenapa, Bell?" tanya Abi padaku."Oh, nggak papa, Bi. Makan!" kataku menyendok puding ke mulut."Kok panggil suami sama nama, sih, Bell?" tanya Tari yang membuat tanganku terhenti. Aku tak tahu, apa dia sedang menyindir atau sedang berusaha menjatuhkan aku sekarang."Aku ....""Nggak papa, Tar. Aku suka setiap Bella memanggilku dengan namaku. Terdengar lebih romantis," sela Abi.Kubuka mataku lebar- lebar dengan sendok yang masih tertinggal di dalam mulut. Aku tak percaya dengan kata-kata Abi kali ini."Makan yang bener, Bell. Jangan sendok kamu makan," kata Abi mengambil sendok dari mulutku dan membuatku tersadar."Pudingnya enak, kamu yang buat, Asri?" tanya Tari."Bukan sayang, ini pasti Bella yang buat, dia pandai membuat desert. Dia juga pandai menulis, iya kan, Bell?" jawab Abi."Wah, ternyata kamu banyak bakat ya, Bell?" puji Tari."Hem, hanya satu yang tak pandai aku lakukan.""Apa?" tanya Tari tak sabar, dia benar- benar membuatku muak dengan sikapnya yang seolah- oleh di buat manis."Aku gagal menjaga suamiku dari wanita sepertimu!" ucapku meninggalkan meja makan."Bella! Lancang kamu, Bell!" teriak Abi, aku tak menoleh dan terus berlalu.BAB 2Sakit Tak BerdarahAku berlalu, kututup, dan ku kunci pintu kamar. Kali ini aku tak mau diganggu. Kubersihkan diri, sebelumnya ku nyalakan kran kamar mandi. Kuletakkan tubuhku di bawah guyuran shower. Aku duduk memeluk lutut, aku kacau. Sungguh tak menyangka bahwa akhirnya aku dimadu, menyakitkan. Di sini, di bawah guyuran air yang menjadi saksi bisu sakit dan perihnya hatiku saat ini. Kukeluarkan seluruh emosi, menangis sejadi-jadinya akan membuatku sedikit tenang. Tidak ada salahnya aku melakukan ini saat aku benar-benar rapuh bukan? Satu- satunya orang yang saat ini aku miliki, kini telah menjadi milik orang lain juga. "Aku, Salsa Bella Wirayuda tidak akan tunduk dan patuh pada wanita yang dicintai sekaligus istri kedua suamiku," lirihku dengan tangan mengepal sempurna.Aku bergegas keluar setelah kurasa cukup meratapi nasibkj yang buruk ini lalu mengeringkan rambut panjangku dengan handuk. Saat aku berbalik,"Astaga, Abi, ngapain kamu di sana? Bagaimana kamu bisa masuk ke
BAB 3Mertua JulidPOV BELLAAku terbangun di sepertiga malamku setelah Asri, meninggalkanku saat aku tak sengaja tertidur.Kupijat kening yang terasa sedikit pusing karena terlalu banyak menangis kemudian kuraih gelas di nakas. "Kosong," gumamku saat kulihat tak ada air di sana, aku pun keluar mengambil air di dapur.Selang beberapa menit aku pun kembali, kugelengkan kepalaku saat mendengar suara-suara rintihan dan erangan saling bersahutan dari kamar maduku, aku tau mereka sedang memadu kasih di malam pertama yang tak pernah Abi berikan padaku namun sudah diberikan terlebih dahulu pada maduku, menjijikkan. Kututup pintu kasar hingga menimbulkan getaran dan suara. Seketika suara-suara kenikmatan itu terhenti, mungkin mereka sadar bahwa mereka mengganggu telingaku. "G* la Abi dan Tari, Kamar masih banyak kenapa memilih kamar sebelah? Sengaja!" gerutuku, rasanya saat ini dadaku panas dan sesak. Kuambil headset, kuputar lagu yang berjudul putus atau terus yang dicover oleh Angga Ca
BAB 4Surabaya POV BELLASatu jam setengah aku sampai di bandara Surabaya, tepat pukul 12 siang aku tiba. "Benar kata Asri, sepertinya aku masuk angin ini," gumamku memegang kepalaku yang mulai pening.Kubuka gawai, mengingat pesan Abi yang mengatakan untuk menghubunginya jika sudah tiba. "Abi ...," kataku mencari kontak di ponsel."Hah! nggak lah. Bukannya aku sedang marah dan mau mode diam sama Abi, pesan taksi aja lah," putusku, kumasukkan kembali ponsel ke dalam saku."Bella ...," teriak seseorang berlari ke arahku, jantungku berdegup kencang saat melihat siapa yang datang. "Kak Raka," lirihku tersenyum malu.Aku memang sudah menyimpan rasa padanya sejak aku masih duduk di bangku SMA. Kak Raka adalah kakak kelasku. Namun, aku tak berani mengungkapkan karena kudengar dia berpacaran dengan teman seangkatannya, Nadia. Sehingga aku hanya bisa mengaguminya dalam diam. Hah, menyedihkan."Kak Raka, kok ada disini?""Kebetulan aku baru pulang dari Bandung, aku dapat panggilan kerja di sa
BAB 5TETANGGA JULIDPOV BELLAAku mengerjap saat kudengar pintu ditutup kasar. "Abi berisik sekali, Belum berangkat juga?" gerutuku dengan mata yang masih tertutup.Kuubah posisi lalu kembali tidur, tubuhku terasa lemah dan pusing.Beberapa saat aku kembali menggeliat saat goncangan pelan terasa di pundakku dan ada yang membangunkanku."Bell, bangun ...," katanya. Kubuka perlahan mataku.Aku terkejut saat kulihat Abi duduk di tepi ranjang. Kulihat jam dinding baru menunjukkan pukul 2 siang, belum maghrib namun, Abi sudah ada di rumah."Kamu sudah pulang,.Bi?" tanyaku."Aku nggak jadi pergi,Bell, aku bawa makanan untukmu, kamu belum makan, kan? makanlah!" ucapnya memberikan sepiring rawon kegemaranku."Dari mana kamu dapat ini?" tanyaku bingung."Delivery, minumlah teh hangat ini biar nggak masuk angin!" serunya lagi.Kuminum teh sebelum kunikmati rawon yang menggiurkan itu. Namun, aku tersentak saat aku merasakan teh tanpa gula, pahit. "Kenapa?" tanyanya saat aku berusaha menelan te
BAB 6SISI POSESIF ABIMANAPOV ABIMANAAku tak bisa berkutik saat Tari memperkenalkan diri terlebih dahulu pada warga sebelum aku memberi peringatan untuk tidak memperkenalkan diri sebagai istriku, baik untuk Bella maupun Tari. Toh kita hanya akan di sini beberapa hari.Walaupun sebagian orang tau bahwa aku menikah dengan Tari, tapi menjaga hati Bella juga penting. Waktu sudah menunjukkan pukul 6, usai sholat Maghrib aku segera bersiap untuk acara. Kuganti pakaianku dengan baju muslim dan sarung yang dikirim oleh Meta tadi siang. Lalu kuketuk pintu kamar Bella yang masih setia terkunci sejak kejadian sore tadi.Dan lagi, kulihat mata sembab itu di wajah Bella. Tak banyak berkata saat aku memberitahukan bahwa waktu acara sudah dekat. Hanya Kata 'ya' yang aku dengar. Lalu dengan cepat ia menutup pintunya kembali. Sungguh perasaan bersalahku semakin hari semakin besar pada Bella.Kuambil gawai dan kuhubungi Meta."Halo, Pak," jawab Meta dari seberang sana."Halo, Meta, bagaimana perkemb
BAB 7POSESIF 2POV BELLARasa kehilangan dan haruku kembali menyeruak tatkala lantunan doa dipanjatkan untuk Mama, tak menyangka bahwa aku saat ini sebatang kara, dan waktu berjalan begitu cepat. Di usiaku yang masih terbilang nol pengalaman namun sudah ditinggal oleh kedua orang tua itu sangatlah berat. Masalah yang kuhadapi pun termasuk rumit. Abi tidak mau melepaskan aku meski jelas-jelas dia mencintai Tari, apakah aku akan selamanya hidup seperti ini? Entahlah, saat ini aku hanya bisa berpasrah. Sesekali kulirik Abi dan Tari yang duduk berdampingan di sisi sebelah kiriku, dengan busana yang senada dan sangat serasi. Rupanya mereka sudah sangat siap dengan segala sesuatunya melebihi diriku yang mempunyai hajat. Senyum miris dan mengasihani diriku sendiri, itu yang bisa aku lakukan saat ini.Mengingat Papa, Mama, dan nasibku secara bersamaan, tentu membuat dadaku terasa sesak. Pandanganku pun terasa kabur kala aku menahan buliran bening yang mulai menggenang, kutahan sekuat mungk
Bab 8Kedekatan Abi dan Bella.Beberapa saat setelah aku mengakhiri obrolanku dengan Kak Raka, aku beranjak dari tempat tidur. Membuka laptop dan melihat penghasilan cerbungku hari ini yang belum sempat aku lihat sejak keberangkatanku ke Surabaya pagi tadi. "100 ribu? Ah, lumayan lah," gumamku, jika biasanya aku hanya mendapat 40 hingga 30 ribu untuk satu cerita, berbeda dengan hari ini, tentu itu membuatku semakin bersemangat. Kembali kusiapkan bab yang akan aku upload besok pagi. Hampir 2 jam aku berada di depan laptop, hanya hapus ulang, hapus ulang yang aku lakukan dan baru setengah dari bab yang aku selesaikan. Hari ini sepertinya moodku kurang baik, mungkin aku lelah, bukan lelah karena seharian aku sudah tidur. Lebih tepatnya aku kurang enak hati.Segera kumatikan laptopku dan berjalan menuju tempat tidur, rasa ingin tahuku kembali bermunculan saat kulihat dinding kamar, kuhentikan langkah, dan menempelkan telingaku pada dinding yang terhubung langsung dengan kamar sebelah.
Bab 9KEKECEWAAN BELLAPOV BELLAKubuka mata, kulihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 5 pagi. Mataku mulai mengabsen sekelilingku, mencari keberadaan Abi setelah aku mengingat apa yang terjadi semalam. "Mana mungkin Abi masih di sini, tentu saja dia sudah kembali pada Tari," batinku.Aku bergegas ke kamar mandi, untuk mengambil wudhu. Jika biasanya aku ikut jamaah subuh, tapi hari ini aku melewatkannya, mungkin karena tidurku agak terganggu semalam sehingga aku tak mendengar adzan subuh berkumandang.Usai sembahyang dan mandi aku lakukan, aku segera mengganti pakaianku dengan baju santai. Aku harus ke pasar untuk membeli beberapa keperluan seperti sayur dan lain sebagainya.Kubuka pintu, bersamaan dengan itu, Abi juga membuka pintu depan, membuatku kaget. "Pagi, Bell," sapanya."P–agi," jawabku menunduk, berjalan menuju pintu. Jika aku merasa gugup dan malu karena sudah meminta Abi untuk menemaniku semalam, namun sepertinya berbeda dengan Abi yang terlihat santai seperti tidak ter