Bab 1
Kenyataan Pahit"Bell, aku akan menikahi Tari," kata Abi, laki-laki yang mengucap ikrar di depan Papa dan penghulu, sebuah janji suci yang bernama pernikahan satu bulan yang lalu, begitu mantap dia ber-ijab, begitu juga hari ini, begitu mantap dan begitu mudahnya dia berkata akan menikah lagi.Aku berdiri di depan jendela dan dia di depan pintu. Begitu lantangnya ia mengucapkan sebuah kalimat yang membuat hatiku luluh lantah.Aku tak menjawab, hanya melirik, dan kembali pada pandanganku ke luar jendela. Rasanya lebih baik melihat hamparan rumput hias yang bergoyang oleh terpaan angin sore dari pada harus memandang wajah itu, wajah rupawan dan bersahaja saat pertama kali aku melihatnya. Namun, mampu menorehkan luka yang amat sangat dalam."Aku akan tetap menikahinya walau kamu tidak setuju. Kamu tau, kan? Aku sangat mencintai Tari?" sambungnya.Kusunggingkan senyumku, senyum yang menyimpan sejuta tangis, sesak, sakit, dan kecewa."Kalau kamu tidak membutuhkan ijinku, kenapa mengatakannya padaku?" tanyaku singkat."Karena kalian akan tinggal satu atap, bersama," jawabnya lagi, tanpa ada sedikitpun rasa belas kasihan padaku.Pernikahan kami memanglah tidak berdasarkan cinta, melainkan perjodohan. Papa, yang merupakan seorang dosen fakultas ekonomi di salah satu universitas ternama di Jakarta. Memaksaku untuk menerima perjodohan ini dihembusan napas terakhirnya.Papa meninggal akibat kecelakaan. Sebelumnya, aku tinggal di Surabaya bersama Mama. Baru beberapa bulan setelah meninggalnya Mama di Surabaya, Papa memboyongku ke Jakarta, tepatnya setelah aku lulus Sarjana Sastra Inggris di Surabaya. Ya, aku dan Mama tinggal di Surabaya sedangkan Papa selalu pulang ke Surabaya setiap weekend, kecuali jika Papa ada urusan penting.Nasib membawaku pada seorang pria berparas menawan yang bernama, Abimana Atmajaya. Aku tak tahu, apa yang sudah dilakukan Papa, sehingga dia dengan mudah meng-iyakan keinginan Papa untuk menikahiku dan menjagaku.Abimana, pria jangkung berumur 28 tahun dan berparas rupawan, saat ini adalah suamiku yang sah, baik secara hukum maupun agama. Tak ada kontak fisik selama satu bulan pernikahan kami berlangsung. Kami pun tidur terpisah, Abi tidur di kamar sebelahku. Menurutku, Abi termasuk pria yang sopan, dia tak pernah menuntut haknya padaku, meski aku adalah istri sahnya. Itu adalah pemikiranku selama ini, namun, hari ini aku tahu kenapa dia tidak meminta haknya, dan jawabannya adalah karena dia mencintai Tari, kekasihnya."Ceraikan aku dulu, setelah itu kamu bisa menikahinya!" putusku."Jangan mimpi kamu, Bell. Sampai kapanpun aku tidak akan menceraikanmu!""Lalu, bagaimana jika aku tidak mengijinkannya?""Aku tidak membutuhkan ijin darimu!" jawabnya lagi yang mampu membuat hatiku serasa tersayat-sayat.Kuhela napas panjang. Diantara kami mungkin belum ada cinta, tapi belum, belum tentu tidak akan ada bukan?"Apa kamu lupa? Aku meninggalkan Raka karena perjodohan ini? Dan kamu dengan mudah mengatakan mencintai Tari? Pacarmu?""Jangan menyebut Raka di depanku!" sentaknya."Baiklah, Bi. Lakukan apa yang kamu mau dan jangan melarangku dengan keinginanku!""Oke. Tapi ingat, Bella! Tidak akan ada perceraian dan juga laki- laki lain diantara kita! Camkan itu!" ancamnya lalu meninggalkan kamarku."Kenapa kamu begitu egois, Bi!" teriakku.Ia tak menghiraukan dan bahkan pergi berlalu begitu saja.Abi, pria seperti apa yang aku nikahi, aku belum tau pasti. Dari apa yang dia miliki dan penampilannya, aku tau dia bukanlah orang sembarangan. Namun, dia begitu tertutup padaku.Bagaikan hidup dalam sangkar, ruang gerak dibatasi pun tidak tau apa-apa. Hidup penuh tanya dan teka- teki, atas dasar apa aku dinikahi, selalu menjadi pertanyaan yang berkeliaran dalam benakku dan sampai saat ini pun tak bisa aku temukan jawabannya.Aku bergegas ke Cafe, Cafe yang aku buka dari uang peninggalan Papa satu bulan yang lalu. Walau Abi telah memberiku sebuah kartu sakti, namun aku enggan menggunakannya. Aku akan lebih senang jika bisa menghidupi diriku sendiri. Lagi pula kenapa harus menerima uang dari orang yang terpaksa menikahiku?"Pagi, Mbak Bella," sapa Lila, karyawan sekaligus teman curhat setiba aku di Cafe."Pagi, Lil," jawabku."Kenapa pagi-pagi wajah sudah ditekuk gitu? Apa Pak Abi nggak ngasih jatah semalam?" candanya."Lila, jaga mulut kamu!" Mendengar kata Abi aku pun murka, masih terngiang jelas di telingaku saat ia berkata akan memberikan madu untukku, betapa jahatnya dia.Aku masuk ke dalam ruangan. Ruang kecil, namun cukup nyaman untuk meratapi nasibku selama ini.Tok ... tok ... tok ... pintu diketuk, dengan cepat kuusap air mata yang tak sengaja jatuh mengingat perkataan Abi."Bella ....""Lila ... hiks ... hiks ...." Tangisku pecah saat Lila menghampiri. Kupeluk erat sahabat sekaligus karyawanku itu, jika aku terlihat kasar tadi, Itu hanya karena aku tidak ingin karyawan yang lain tau tentang kehidupanku, kehidupan yang tak pantas untuk di publikasikan."Bella, kenapa?" Ia berdiri di dekat kursi, dengan aku yang masih memeluknya. Saat ini hanya Lila yang aku punya untuk berbagi."Abi, Abi akan menikahi Tari, Lil," jawabku di tengah isakanku"Apa? Sekejam itukah Abi?""Sangat_ Lil...," ucapku terbata."Lalu, apa rencanamu setelah ini Bell?""Aku nggak tau, Lil. Dia juga enggan menceraikanku," jawabku."Benar-benar egois! Meskipun aku belum pernah bertemu dengan suamimu itu, aku yakin, pasti dia pria yang sangat keji.""Kenapa nggak kamu aja yang menggugat cerai?" lanjut Lila."Aku? Menggugat? Surat-suratku semua di tangannya. Bahkan KTP, surat nikah, semua. Ia menyembunyikannya, Lil. Nih, aku cuma dikasih SIM doang," kataku mengeluarkan SIM dari dalam tas dan menunjukkannya pada Lila."Kok bisa ya? Berarti dia udah niat dari dulu dong?""Sementara, aku akan mengikuti apa maunya, hingga aku menemukan cara untuk berpisah dengannya. Aku bisa g*la, Lil. Hidup dengan wanita yang jelas-jelas dicintai oleh suamiku, satu atap," keluhku.Lila mengambil napas lalu membuangnya kasar. "Ya sudahlah kalau itu keputusanmu. Sementara kamu berpikiran positif aja deh. Setidaknya dia memilih untuk menikah dari pada berzina.""Lila ... kok gitu, sih!""Sudah lah, Bell, yang penting satu, jangan sampe hamil!" pesan Lila penuh penekanan, aku hanya diam sembari tersenyum dalam hati mendengar kata-kata Lila. Bagaimana bisa hamil jika Abi saja tidak pernah menyentuhku. Mudah bagiku untuk tidak hamil.***Pukul 7 malam aku pulang, kuparkir mobil Avanza hitam peninggalan Papa yang sekarang kupakai untuk pulang pergi ke Cafe di garasi.Netraku mengarah pada pemandangan yang tak biasa kulihat sebelumnya. Mobil Mercy warna hitam milik Abi, sudah terparkir cantik di sana. Aneh, tidak biasanya dia pulang sesore ini.Aku pun masuk melewati pintu belakang, kulihat Abi dan seseorang sedang bercanda gurau di meja makan."Bella," panggil Abi saat menyadari kedatanganku."Assalamualaikum," sapaku, netraku tak beralih dari wanita yang sekarang duduk di sebelah Abi."W*'alaikumsalam," jawabnya.Abi memang dingin, tapi dia cukup beragama dan menyuruh kami untuk membiasakan salam saat masuk ke dalam rumah."Bell, ini Tari," ucapnya.Deg ... seketika tubuhku lunglai tak berdaya. Dari apa yang mereka kenakan saat ini, Piyama senada. Sudah bisa dipastikan, tanpa menunggu hari berganti atau bulan berganti, hari ini, dan detik ini juga Abi membawanya ke rumah kami. Nyata, mereka sudah meresmikan hubungan mereka."O ....""Tari." Dengan langkah percaya diri dan tanpa rasa malu Tari menghampiriku, memberiku uluran tangan, dan membuatku tersadar. "Bella!" Kusambut uluran tangannya sambil tersenyum paksa. Satu kata untuk ya, cantik, itu yang kulihat. Sepertinya, dari usia juga sepantaran Abi, jauh lebih dewasa dariku yang baru menginjak 23 tahun."Makanlah dengan kami," ajak Tari tersenyum ramah, kenapa dia harus seramah dan sesempurna ini? Akan lebih baik jika mempunyai madu yang kejam dari pada mempunyai madu yang bersikap sok malaikat, padahal sudah jelas dia telah merebut suamiku. Dengan keramahannya itu akan membuatku semakin sulit untuk bersikap."Kalian saja, aku sudah makan di Cafe," tolakku."Bella!" sentak Abi, kulihat rahangnya mengeras. Perintahnya memang selalu tak mau dibantah."Ya," jawabku malas, kulalui Tari dan berjalan menuju meja makan. Jika biasanya aku duduk di sebelah kiri Abi, berbeda dengan hari ini. Hari ini aku duduk di sisi kanan sebelah Abi karena kursi sebelah kiri yang biasa kutempati sudah ditempati oleh istri barunya."Makanlah, aku tau kamu hanya beralasan," kata Abi dengan penuh keyakinan. Ya, tapi memang semua itu benar adanya, aku hanya beralasan untuk menghindari mereka.Tanpa banyak bicara, kuambil piring lalu kuisi dengan nasi dan lauk yang ada di meja saat ini."Mas, kamu mau apa?" tanya Tari begitu mesra pada Abi. Mas, bahkan dari awal pernikahan kami, aku tak bisa memanggil Abi dengan sebutan itu meski umur kami terpaut 5 tahun."Apa saja," jawab Abi tersenyum manis. Jika biasanya aku dan Abi hanya makan berdua tanpa bicara dan tanpa senyuman, berbeda dengan hari ini. Wajah Abi terlihat begitu berbinar dipenuhi senyuman manis, senyum yang membuatnya semakin indah dipandang. Satu kata, tampan. Mereka memang sangat serasi secara visual.Asri datang membawa nampan yang berisi sebuah makanan penutup. Jelas, itu adalah puding yang aku buat pagi tadi."Ini, dicoba desertnya, Mas." Asri menyuguhkan puding coklat pada Abi dan Tari lalu beralih padaku."Asri! Apa- apaan? Itu buat cafe!" bisikku saat Asri, asisten rumah tangga Abi, meletakkan puding bagianku."Hah? Maaf, Mbak. Asri nggak tau.""Kenapa, Bell?" tanya Abi padaku."Oh, nggak papa, Bi. Makan!" kataku menyendok puding ke mulut."Kok panggil suami sama nama, sih, Bell?" tanya Tari yang membuat tanganku terhenti. Aku tak tahu, apa dia sedang menyindir atau sedang berusaha menjatuhkan aku sekarang."Aku ....""Nggak papa, Tar. Aku suka setiap Bella memanggilku dengan namaku. Terdengar lebih romantis," sela Abi.Kubuka mataku lebar- lebar dengan sendok yang masih tertinggal di dalam mulut. Aku tak percaya dengan kata-kata Abi kali ini."Makan yang bener, Bell. Jangan sendok kamu makan," kata Abi mengambil sendok dari mulutku dan membuatku tersadar."Pudingnya enak, kamu yang buat, Asri?" tanya Tari."Bukan sayang, ini pasti Bella yang buat, dia pandai membuat desert. Dia juga pandai menulis, iya kan, Bell?" jawab Abi."Wah, ternyata kamu banyak bakat ya, Bell?" puji Tari."Hem, hanya satu yang tak pandai aku lakukan.""Apa?" tanya Tari tak sabar, dia benar- benar membuatku muak dengan sikapnya yang seolah- oleh di buat manis."Aku gagal menjaga suamiku dari wanita sepertimu!" ucapku meninggalkan meja makan."Bella! Lancang kamu, Bell!" teriak Abi, aku tak menoleh dan terus berlalu.BAB 2Sakit Tak BerdarahAku berlalu, kututup, dan ku kunci pintu kamar. Kali ini aku tak mau diganggu. Kubersihkan diri, sebelumnya ku nyalakan kran kamar mandi. Kuletakkan tubuhku di bawah guyuran shower. Aku duduk memeluk lutut, aku kacau. Sungguh tak menyangka bahwa akhirnya aku dimadu, menyakitkan. Di sini, di bawah guyuran air yang menjadi saksi bisu sakit dan perihnya hatiku saat ini. Kukeluarkan seluruh emosi, menangis sejadi-jadinya akan membuatku sedikit tenang. Tidak ada salahnya aku melakukan ini saat aku benar-benar rapuh bukan? Satu- satunya orang yang saat ini aku miliki, kini telah menjadi milik orang lain juga. "Aku, Salsa Bella Wirayuda tidak akan tunduk dan patuh pada wanita yang dicintai sekaligus istri kedua suamiku," lirihku dengan tangan mengepal sempurna.Aku bergegas keluar setelah kurasa cukup meratapi nasibkj yang buruk ini lalu mengeringkan rambut panjangku dengan handuk. Saat aku berbalik,"Astaga, Abi, ngapain kamu di sana? Bagaimana kamu bisa masuk ke
BAB 3Mertua JulidPOV BELLAAku terbangun di sepertiga malamku setelah Asri, meninggalkanku saat aku tak sengaja tertidur.Kupijat kening yang terasa sedikit pusing karena terlalu banyak menangis kemudian kuraih gelas di nakas. "Kosong," gumamku saat kulihat tak ada air di sana, aku pun keluar mengambil air di dapur.Selang beberapa menit aku pun kembali, kugelengkan kepalaku saat mendengar suara-suara rintihan dan erangan saling bersahutan dari kamar maduku, aku tau mereka sedang memadu kasih di malam pertama yang tak pernah Abi berikan padaku namun sudah diberikan terlebih dahulu pada maduku, menjijikkan. Kututup pintu kasar hingga menimbulkan getaran dan suara. Seketika suara-suara kenikmatan itu terhenti, mungkin mereka sadar bahwa mereka mengganggu telingaku. "G* la Abi dan Tari, Kamar masih banyak kenapa memilih kamar sebelah? Sengaja!" gerutuku, rasanya saat ini dadaku panas dan sesak. Kuambil headset, kuputar lagu yang berjudul putus atau terus yang dicover oleh Angga Ca
BAB 4Surabaya POV BELLASatu jam setengah aku sampai di bandara Surabaya, tepat pukul 12 siang aku tiba. "Benar kata Asri, sepertinya aku masuk angin ini," gumamku memegang kepalaku yang mulai pening.Kubuka gawai, mengingat pesan Abi yang mengatakan untuk menghubunginya jika sudah tiba. "Abi ...," kataku mencari kontak di ponsel."Hah! nggak lah. Bukannya aku sedang marah dan mau mode diam sama Abi, pesan taksi aja lah," putusku, kumasukkan kembali ponsel ke dalam saku."Bella ...," teriak seseorang berlari ke arahku, jantungku berdegup kencang saat melihat siapa yang datang. "Kak Raka," lirihku tersenyum malu.Aku memang sudah menyimpan rasa padanya sejak aku masih duduk di bangku SMA. Kak Raka adalah kakak kelasku. Namun, aku tak berani mengungkapkan karena kudengar dia berpacaran dengan teman seangkatannya, Nadia. Sehingga aku hanya bisa mengaguminya dalam diam. Hah, menyedihkan."Kak Raka, kok ada disini?""Kebetulan aku baru pulang dari Bandung, aku dapat panggilan kerja di sa
BAB 5TETANGGA JULIDPOV BELLAAku mengerjap saat kudengar pintu ditutup kasar. "Abi berisik sekali, Belum berangkat juga?" gerutuku dengan mata yang masih tertutup.Kuubah posisi lalu kembali tidur, tubuhku terasa lemah dan pusing.Beberapa saat aku kembali menggeliat saat goncangan pelan terasa di pundakku dan ada yang membangunkanku."Bell, bangun ...," katanya. Kubuka perlahan mataku.Aku terkejut saat kulihat Abi duduk di tepi ranjang. Kulihat jam dinding baru menunjukkan pukul 2 siang, belum maghrib namun, Abi sudah ada di rumah."Kamu sudah pulang,.Bi?" tanyaku."Aku nggak jadi pergi,Bell, aku bawa makanan untukmu, kamu belum makan, kan? makanlah!" ucapnya memberikan sepiring rawon kegemaranku."Dari mana kamu dapat ini?" tanyaku bingung."Delivery, minumlah teh hangat ini biar nggak masuk angin!" serunya lagi.Kuminum teh sebelum kunikmati rawon yang menggiurkan itu. Namun, aku tersentak saat aku merasakan teh tanpa gula, pahit. "Kenapa?" tanyanya saat aku berusaha menelan te
BAB 6SISI POSESIF ABIMANAPOV ABIMANAAku tak bisa berkutik saat Tari memperkenalkan diri terlebih dahulu pada warga sebelum aku memberi peringatan untuk tidak memperkenalkan diri sebagai istriku, baik untuk Bella maupun Tari. Toh kita hanya akan di sini beberapa hari.Walaupun sebagian orang tau bahwa aku menikah dengan Tari, tapi menjaga hati Bella juga penting. Waktu sudah menunjukkan pukul 6, usai sholat Maghrib aku segera bersiap untuk acara. Kuganti pakaianku dengan baju muslim dan sarung yang dikirim oleh Meta tadi siang. Lalu kuketuk pintu kamar Bella yang masih setia terkunci sejak kejadian sore tadi.Dan lagi, kulihat mata sembab itu di wajah Bella. Tak banyak berkata saat aku memberitahukan bahwa waktu acara sudah dekat. Hanya Kata 'ya' yang aku dengar. Lalu dengan cepat ia menutup pintunya kembali. Sungguh perasaan bersalahku semakin hari semakin besar pada Bella.Kuambil gawai dan kuhubungi Meta."Halo, Pak," jawab Meta dari seberang sana."Halo, Meta, bagaimana perkemb
BAB 7POSESIF 2POV BELLARasa kehilangan dan haruku kembali menyeruak tatkala lantunan doa dipanjatkan untuk Mama, tak menyangka bahwa aku saat ini sebatang kara, dan waktu berjalan begitu cepat. Di usiaku yang masih terbilang nol pengalaman namun sudah ditinggal oleh kedua orang tua itu sangatlah berat. Masalah yang kuhadapi pun termasuk rumit. Abi tidak mau melepaskan aku meski jelas-jelas dia mencintai Tari, apakah aku akan selamanya hidup seperti ini? Entahlah, saat ini aku hanya bisa berpasrah. Sesekali kulirik Abi dan Tari yang duduk berdampingan di sisi sebelah kiriku, dengan busana yang senada dan sangat serasi. Rupanya mereka sudah sangat siap dengan segala sesuatunya melebihi diriku yang mempunyai hajat. Senyum miris dan mengasihani diriku sendiri, itu yang bisa aku lakukan saat ini.Mengingat Papa, Mama, dan nasibku secara bersamaan, tentu membuat dadaku terasa sesak. Pandanganku pun terasa kabur kala aku menahan buliran bening yang mulai menggenang, kutahan sekuat mungk
Bab 8Kedekatan Abi dan Bella.Beberapa saat setelah aku mengakhiri obrolanku dengan Kak Raka, aku beranjak dari tempat tidur. Membuka laptop dan melihat penghasilan cerbungku hari ini yang belum sempat aku lihat sejak keberangkatanku ke Surabaya pagi tadi. "100 ribu? Ah, lumayan lah," gumamku, jika biasanya aku hanya mendapat 40 hingga 30 ribu untuk satu cerita, berbeda dengan hari ini, tentu itu membuatku semakin bersemangat. Kembali kusiapkan bab yang akan aku upload besok pagi. Hampir 2 jam aku berada di depan laptop, hanya hapus ulang, hapus ulang yang aku lakukan dan baru setengah dari bab yang aku selesaikan. Hari ini sepertinya moodku kurang baik, mungkin aku lelah, bukan lelah karena seharian aku sudah tidur. Lebih tepatnya aku kurang enak hati.Segera kumatikan laptopku dan berjalan menuju tempat tidur, rasa ingin tahuku kembali bermunculan saat kulihat dinding kamar, kuhentikan langkah, dan menempelkan telingaku pada dinding yang terhubung langsung dengan kamar sebelah.
Bab 9KEKECEWAAN BELLAPOV BELLAKubuka mata, kulihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 5 pagi. Mataku mulai mengabsen sekelilingku, mencari keberadaan Abi setelah aku mengingat apa yang terjadi semalam. "Mana mungkin Abi masih di sini, tentu saja dia sudah kembali pada Tari," batinku.Aku bergegas ke kamar mandi, untuk mengambil wudhu. Jika biasanya aku ikut jamaah subuh, tapi hari ini aku melewatkannya, mungkin karena tidurku agak terganggu semalam sehingga aku tak mendengar adzan subuh berkumandang.Usai sembahyang dan mandi aku lakukan, aku segera mengganti pakaianku dengan baju santai. Aku harus ke pasar untuk membeli beberapa keperluan seperti sayur dan lain sebagainya.Kubuka pintu, bersamaan dengan itu, Abi juga membuka pintu depan, membuatku kaget. "Pagi, Bell," sapanya."P–agi," jawabku menunduk, berjalan menuju pintu. Jika aku merasa gugup dan malu karena sudah meminta Abi untuk menemaniku semalam, namun sepertinya berbeda dengan Abi yang terlihat santai seperti tidak ter
POV BellaDi sini aku sendiri, menahan sakit dan bertaruh nyawa melahirkan buah cintaku dengan Abi. Di sana entah apa yang terjadi, apakah Abi sudah mengucap ijab kabul kembali dengan Tari atau sedang bertaruh nyawa berjuang untuk melepaskan diri. Sakitnya melahirkan bercampur dengan sakit hati yang semakin dalam saat kuingat kata talak dari Abimana, kata itu terus terngiang di telinga ini. Tak percaya, bahwa sekarang aku bukan lagi istri dari Abimana, pria hebat dengan sejuta pesona. Dia akan kembali pada wanita itu. Wanita yang begitu terobsesi dan tak mau melepaskan apa yang sudah menjadi milik orang.Lukaku bertambah saat kulihat Papa Hayuda yang juga mengalami luka, Asri yang terus menemani dengan setia. Juga ikut merasakan pedihnya hatiku, menangis di luar sana. Pak Nardi yang terluka cukup parah karena sempat menghadapi mereka sendirian juga sedang dirawat di sini atas permintaan Papa dan permohonan Papa pada kedua laki-laki itu."Dokter, apa perlu operasi? Kenapa anak saya be
POV AdipPapa menghubungi melalui pesan dari nomor yang tidak aku ketahui saat aku sedang mempersiapkan berkas rapat nanti siang bersama Meta. Papa mengatakan, bahwa Abi dan keluarganya sedang dalam bahaya. Bahkan sekarang Bella sedang bertaruh nyawa sendirian, melahirkan tanpa Abi, karena Abi sedang ditawan oleh Tari. Begitu panjang pesan yang yang Papa kirimkan, termasuk kondisi yang ada di dalam rumah Abi ia gambarkan. Aku tau, Papa sedang menyuruhku untuk bertindak tanpa ada kesalahan. Seketika aku pun bangkit dari tempat duduk.[Papa ingin kedua putra Papa kembali dengan selamat.] Pesan Papa yang terakhir membuatku semakin terenyuh. "Ada apa, Pak?" tanya Meta yang duduk menata berkas untuk rapat."Aku harus pergi, Met. Kamu ke rumah sakit. Bella mau lahiran dan Abi sedang ditawan Tari di rumahnya." "Apa?" Meta pun beranjak dan terlihat begitu terkejut.Kuberikan ponsel agar Meta membacanya sendiri. Ia pun meraihnya lalu membaca pesan Papa."Aku akan mencari bantuan.""Saya akan
POV ABIAku sungguh merasa kecolongan, tak pernah ada di benakku akan seperti ini. Kukira semua akan baik-baik saja. Kacau, pikiranku sungguh kacau seolah tak bisa berputar saat kulihat Bella menahan sakit yang teramat. Melihat air mata yang juga tumpah di mana-mana, Asri, Pak Nardi, Papa, dan juga Bella yang menangis melihat keadaan Bella. Membuatku semakin kacau. Di saat aku melihat anak dan istriku dalam bahaya, Tari justru terus mendesak. Hal yang konyol dia minta. Talakku pada Bella yang tengah mengandung buah hati kami.Perlahan aku melangkah, gontai, air mataku pun tumpah. Kuraih jemari Bella yang juga terisak. Mengatakan talak bukanlah sebuah permainan terlebih pada wanita yang teramat aku sayang.Namun, memikirkan keselamatan dua orang yang begitu aku kasihi adalah yang utama. Sebagai seorang kepala keluarga aku harus bisa berkorban demi keselamatan mereka.Berat namun akhirnya kata itu terucap juga. Kutitipkan Bella dan anakku pada Papa, saat ini hanya Papa yang bisa aku a
"Jangan mimpi kamu, Tari. Selamanya Bella akan tetap menjadi istriku," tolak Abi mentah-mentah.Tari terbahak, sepertinya dia sudah tidak waras. Dendamnya begitu besar pada kami sehingga perbuatannya sudah tidak bisa di jangkau oleh logika."Apa kamu pikir setelah apa yang kalian lakukan padaku aku akan diam begitu saja, Mas?! Kamu sudah merenggut semuanya, bahkan perusahaan Papa bangkrut karenamu!""Perusahaan kalian bangkrut karena memang sudah seharusnya! Karena barang curian tidak akan pernah bertahan lama jika pemiliknya sudah mengetahui. Aku harap kamu ingat dengan ide yang kau curi di Batam, atau kamu sudah hilang ingatan?! Satu lagi, jangan panggil Mas padaku, jijik aku mendengarnya!" kata Abi lantang. "Apa karena istri kamu itu tidak bisa memanggil kamu dengan sebutan itu?" "Diam kamu, Tari!" Mereka terus berdebat mengeluarkan semua kata-kata kasar. Hingga aku merasa ada yang keluar dan basah."Abi!" teriakku saat kulihat cairan keluar. Asri dan Papa yang masih melihat ket
"Tari?!" lirihku. "Pak Nardi?!" Aku tersentak saat kulihat Pak Nardi sudah terikat dan terluka, mulutnya pun sudah ditutup oleh lakban. Tampak Pak Nardi memberi isyarat pada kami untuk berlari. Karena sepertinya Tari datang dengan niat tidak baik.Cepat aku dan Asri menutup pintu namun ditahan oleh laki-laki yang menemani Tari. Laki-laki bertubuh besar dan jumlahnya pun banyak.Mereka mendorong kami, beruntung aku hanya terhuyung tak sampai terjatuh karena Asri dengan cepat meraih tanganku."Apa maumu?" tanyaku. Mereka mendesak masuk ke dalam."Siapa, Bell?" Papa pun datang menghampiri setelah mendengar keributan."Tari?" Tak kalah sepertiku, Papa pun terlihat begitu kaget. Dua orang menyergap Papa yang berlari ke arah kami, bersamaan dengan itu dua orang mencekal kedua tanganku dan tangan Asri. "Apa-apaan ini, Tari?" berontak Papa memaksa untuk lepas dari kedua pria bertubuh kekar itu. Namun mereka mencengkeram tangan Papa lebih kuat. "Tenang, calon Papa mertua."Deg! Calon m
Di luar rencana sebelumnya yang hanya beberapa hari di Batam ternyata sampai sekarang Abi belum juga pulang. Ya, sudah hampir dua minggu Abi di Batam, rencananya besok baru akan pulang. Meski Abi selalu menghubungi lewat pesan atau video call, tetap saja hatiku hampa tanpa kehadirannya. Setiap malam biasanya dia memijat kaki yang semakin hari semakin terasa mudah sekali lelah. Sekarang Asri yang melakukannya, namun tak bisa setiap hari karena aku kasihan jika Asri harus melakukannya setiap hari.Tak jarang pula Abi berbicara pada anaknya walau hanya melalui ponsel, untuk sekedar menasehatinya untuk tidak nakal dan menjaga Mamanya."Sudah, Sri. Kamu istirahat sudah malam," kataku pada Asri yang tengah memijat kakiku saat kulihat benda pipih persegi panjang yang aku letakkan di atas nakas sebelahku itu berpendar. "Jangan lupa diminum susunya, Mbak. Nanti kalau Mas Abi telepon Asri biar bisa bilang sudah, Mas," kata Asri. Aku terkekeh, pasti mereka sering berhubungan melalui ponsel dan
"Bisa aja kamu, Bell," jawab Abi menggaruk tengkuknya, malu.Keluar dari kamar kulihat Papa duduk di sofa membaca majalah, majalah kami yang semakin berkembang pesat meski konsultasi Pak Christian dan Kak Raka secara virtual dengan Abi karena jarak yang jauh. "Papa mau nasi goreng? Sekalian Bella buatin, mau buatin Abi soalnya." tawarku."Memangnya kamu sudah boleh masak sama suamimu yang lebai itu?" tanya Papa, sejauh ini hubungan mereka masih sama, tak ada perubahan. Entah mau sampai kapan, kukira dengan kehamilanku akan membuat keduanya semakin dekat, namun kenyataannya tidak. Pernah aku meminta mereka untuk pergi bersama mencari rujak cingur di Surabaya dengan alasan permintaan bayi. Abi menolak dengan alasan akan basi, aku menjawab dan mengajari untuk beli saat waktu penerbangan sudah dekat, bumbu di pisah. Niat hati ingin mendekatkan mereka dengan menyuruh mencari makanan lebih jauh agar bisa menginap bersama. Aku malah ditertawakan. Abi membaca rencana dan tujuanku. Gagal la
Hari terasa begitu cepat, perut ini pun sudah semakin membesar seiring berjalannya acara tujuh bulanan beberapa waktu lalu. Menurut dokter, usia kandungan sudah menginjak 38 minggu. Tapi di usia kandungan yang semakin membesar, aku harus melepas Abi untuk pergi ke Batam karena suatu hal yang terjadi di proyek Batam dan memerlukan penanganan dari Abi secara langsung.Hayuda pun sudah mulai berangsur stabil. Sedangkan Mama belum juga diketahui ada di mana. "Hai anak papa, jangan nakal ya, besok Papa mau ke Batam dulu. Jagain Mama biar nggak ganjen sama si Dedi itu, ya," sindir Abi yang meletakkan kepalanya di pangkuanku, mengusap dan mengecup perut yang semakin membesar ini tiada henti. Itulah aktifitas Abi selama beberapa bulan ini setiap malam menjelang tidur. Sedang aku mengusap kepalanya."Ih, Abi, siapa yang ganjen, jangan fitnah di depan anak," keluhku, saat ini kami ada di atas ranjang big size kamarku, Abi meninggalkan kamarnya dan tidur di kamarku sejak kami pulang ke Jakart
Beranjak aku berdiri menyamainya. "Sayang, kalau aku lihat kamu terus jadi nggak tega untuk pergi, pengennya deket kamu terus, sayang-sayangan sama kamu," rayuku membelai wajah yang semakin hari semakin memancarkan aura kecantikan dan keibuan itu. Terdengar klise memang, tapi sangat dibutuhkan kalau hanya sekedar untuk merayu ibu hamil, meski aku sendiri kadang suka eneg setiap mendengar rayuanku."Benarkah?" tanyanya memelukku sejenak, Namun tiba-tiba melangkah menuju ke depan meja rias."Sini deh, lihat, perutku sudah mulai membuncit. Pantas saja kamu tidak tertarik lagi," ucapnya di depan kaca. Mengamati bentuk tubuhnya dari berbagai arah, tampaknya dia terganggu saat memelukku dan perut buncit itu bersentuhan dengan perutku terlebih dahulu.Aku pun mendekati dan memeluknya dari belakang, mengusap perut yang sudah mulai terlihat berisi. Terlihat dari pantulan cermin besar yang ada di depan sana wajah masam dari istri kesayangan. "S*eksi, aku suka. Ini yang membuat aku semakin cinta