BAB 3
Mertua JulidPOV BELLAAku terbangun di sepertiga malamku setelah Asri, meninggalkanku saat aku tak sengaja tertidur.Kupijat kening yang terasa sedikit pusing karena terlalu banyak menangis kemudian kuraih gelas di nakas. "Kosong," gumamku saat kulihat tak ada air di sana, aku pun keluar mengambil air di dapur.Selang beberapa menit aku pun kembali, kugelengkan kepalaku saat mendengar suara-suara rintihan dan erangan saling bersahutan dari kamar maduku, aku tau mereka sedang memadu kasih di malam pertama yang tak pernah Abi berikan padaku namun sudah diberikan terlebih dahulu pada maduku, menjijikkan. Kututup pintu kasar hingga menimbulkan getaran dan suara. Seketika suara-suara kenikmatan itu terhenti, mungkin mereka sadar bahwa mereka mengganggu telingaku. "G* la Abi dan Tari, Kamar masih banyak kenapa memilih kamar sebelah? Sengaja!" gerutuku, rasanya saat ini dadaku panas dan sesak. Kuambil headset, kuputar lagu yang berjudul putus atau terus yang dicover oleh Angga Candra lalu kubuka laptop. Kutulis cerbung yang belum sempat kuselesaikan, cerbung yang berjudul Madu Pahit. Meski Viewer dan Followerku sedikit aku tetap bersemangat melakukannya, karena itu adalah salah satu hobi yang bisa menghiburku.Sesekali kuseka airmata, saat kutulis kalimat-kalimat yang tak jauh beda dengan nasibku saat ini."Kenapa jadi Melo gini? Harusnya kan tokohnya bar-bar, pantang menyerah!" gumamku di tengah isakanku.***Aku mengerjap, setelah silau matahari mengenai mata. Sepertinya hari ini hatiku sudah mulai membaik, aku akan menghadapi semua yang memang harus aku hadapi.Aku putuskan, dari pada melarang hal yang sudah terjadi dan memperdebatkannya, lebih baik aku mengurangi rasa peduliku pada Abimana, akan aku tegaskan pada hatiku untuk tidak cemburu."Siapa yang membawaku ke sini? Bukannya aku sedang menulis cerbung?" gerutuku lalu kubersihkan kotoran yang mengganjal mata."Hah? Cerbungku!" Aku bergegas menuju meja saat kuingat, aku belum menyimpan bab yang baru kutulis semalam.Ku buka dan ku cari. "Alhamdulillah, nggak hilang. Tapi siapa lagi yang masuk ke sini tanpa ijin? Abi?" gumamku.Mengingat Abi, darahku pun naik.Bergegas keluar mencari Abi karena sudah berkali-kali aku bilang untuk tidak mencampuri urusanku, termasuk pekerjaanku."Abimana!" teriakku, aku sama sekali tak mengijinkan Abi mengotak-atik isi kamarku setelah apa yang dilakukannya.Tok!Tok! Tok! Abi! buka pintu, Bi!""Bella, cari mas Abi?" tanya Tari yang tiba-tiba berada di belakangku, aku berbalik. Ini kali kedua aku melihat wajah maduku dan kali ini dengan rambut basahnya. "Sengaja, apa Abi tidak membelikannya Hairdryer?" batinku."Kemana suamimu?" tanyaku dengan lantang."Mas Abi pergi dinas ke Surabaya pagi-pagi tadi, waktu kamu masih tidur," jawab Tari seraya tersenyum, senyum yang tak pernah pudar dari wajahnya itu membuatku semakin bingung harus memperlakukannya seperti apa."O ...." Kalau Abi sudah pergi pagi-pagi dan bahkan tidak berpamitan padaku, mana mungkin Abi yang masuk dan mematikan laptopku? Apa mungkin itu Tari? Ah, sudah lah, Kutinggalkan Tari lalu bergegas mencari Asri."Asri ....""Iya, Mbak," Jawabnya keluar dari dapur."Asri, kamu yang matiin laptopku dan membawaku ke ranjang? Jangan ulangi lagi ya, Sri!" ucapku setengah berteriak, aku sengaja agar Tari mendengarnya. Jika memang Tari pelakunya, setidaknya dia tidak akan mengulanginya lagi, dan semoga saja bisa tersindir lalu tahu diri."Iya, Mbak, bukan Asri, Mbak. Mas Abi kali!" Jarak kami yang lumayan jauh mengharuskan Asri juga mengeraskan suaranya."Nggak mungkin, Asri. Abi kan lagi bulan madu semalam dan pagi-pagi harus pergi ke luar kota. Mana ada waktu," sindirku.Kulirik Tari yang terlihat masuk kamar dengan wajah kesal dan menutup pintu kasar."Lebih kesal mana coba? Dimadu apa jadi madu yang disayang suami?" gumamku.Aku pun ke dapur bersama Asri. Seperti biasanya aku dan Asri biasa membuat sarapan untuk Abi sebelum Abi berangkat kerja."Masak apa, Sri?" tanyaku. Kuikat rambut asal lalu mencuci tangan sebelum mulai membantu Asri."Masak soto sama rendang, seafood juga ada ni, Mbak," jawab Asri bangga."Bukannya Abi lagi dinas di luar kota? Kenapa masak banyak?""Permintaan Mbak Tari. Nih, ada rujak juga ini, cobain, Mbak Bell," ucapnya menyodorkan satu sendok rujak padaku. Asri memang sangat menyayangiku dan menganggapku seperti saudaranya, usianya yang sepantaran dengan Abi membuatku nyaman menganggapnya seperti kakak."Rujak? Nggak ah, Sri. Pagi-pagi makan rujak bisa sakit perut," tolakku menjauhkan sesendok rujak yang Asri sodorkan padaku."Lagian Tari, Masak belum apa-apa udah ngidam sih, Sri?" tanyaku jijik."Hush ... Mbak Bell boleh saja cemburu, tapi jangan kelewat menuduh. Kalau Mbak Bell ngomong gitu, sama saja Mbak Bell nuduh Mas Abi bertindak diluar batas," jelas Asri mengingatkan."Cemburu? Yang bener aja, Sri. Lagi pula cemburu bukan hakku, kamu kan tau sendiri siapa yang dicintai Abi.""Ah, Mbak Bell, jangan gitu dong, yang dibuatin susu sama Mas Abi seumur-umur ya cuma Mbak Bell aja," kata Asri dengan senyum menggoda."Itu kan karena dia salah, Sri. Ya udah,Sri. Karena sepertinya kamu hari ini cepet kerjanya, aku nggak perlu bantu dong. Aku siap-siap ke Cafe.""Oke, Mbak.""O iya, Sri, telur ceplok setengah matangnya jangan lupa," pesanku yang sudah dihafal betul oleh Asri."Oke, Mbak Bell."Aku kembali ke kamar untuk bersiap pergi ke Cafe.Drrrttt ...Ponselku bergetar, panggilan masuk dari Abi. Segera kuangkat karena tak mungkin jika tidak ada yang penting dia menghubungi."Hallo, Assalamualaikum.""Waalaikumsalam, Bell, aku di Surabaya sekalian mampir ke rumah Mama, kamu bisa nggak nyusul ke sini?""Ke Surabaya?" tanyaku memperjelas."Iya, Bell, tetangga kamu bilang kalau harusnya acara 100 hari meninggalnya mama kamu itu malam ini, kenapa nggak bilang?""Hah? Astaga ... kenapa bisa lupa.""Iya, Bell, aku sudah menyiapkan yang perlu disiapkan, dadakan. Semoga saja nggak ada yang salah. Kamu pulang, aku nggak bisa di sini sendiri, nggak ada yang kenal kalau aku saja yang menggelar acaranya," jelasnya."Ya udah, aku cari tiket penerbangan sekarang, sekalian kasih tau Tari.""Tari? Kenapa Tari?""Tari juga harus ikut, kan?" tanyaku."Nggak usah, kamu aja, nanti biar aku yang kasih tau Tari."Aku terdiam dan berpikir sejenak,"Hallo, Bell," panggilnya membuatku tersadar."Iya, ya udah aku siap-siap.""Kalau sudah sampai bandara kasih tau, nanti biar aku jemput.""Hemmm."Aku segera memesan tiket penerbangan tercepat, Kumasukkan beberapa baju untuk acara dan yang lain secukupnya. Sepertinya aku akan lebih lama tinggal di sana, menenangkan diri, dan memberi waktu Abi serta Tari untuk bersama sampai mereka bosan dan tak lagi mengganggu telingaku setiap malam, juga menjaga kesehatan mata agar tidak sampai kehabisan cairan karena harus terus mengeluarkan airmata."Asri ...," teriakku."Iya, Mbak Bell.""Sri, aku mau ke Surabaya, acara 100 harinya Mama. Abi sudah menungguku di sana," kataku, ku raih satu gelas susu lalu meminumnya."Sarapan dulu, Mbak Bell. Telurnya sudah siap, nanti masuk angin.""Nggak usah, Sri, udah mepet waktunya," tolakku."Ada tamu ya, Sri?" tanyaku saat kudengar samar-samar ada yang berbincang di ruang tamu."Iya, tamunya Mbak Tari.""Ya udah, aku lewat pintu belakang aja ya, cepet- cepet soalnya. Kalau lewat sana, nggak enak kalau nggak nyapa.""Iya, Mbak Bell, hati- hati.""Assalamualaikum, Sri.""Waalaikumsalam."POV TARIAku putuskan untuk memilih menjadi istri kedua Abi, laki- laki yang sudah bersamaku 3 tahun dan memupuskan harapanku untuk menjadi istri satu- satunya karena Abi harus menikahi Bella sebelum pernikahannya denganku berlangsung, miris. Abi harus melakukannya hanya karena tanggung jawab dan janji.Aku tak mampu hidup tanpa Abi, laki- laki yang nyaris sempurna di mata para kaum hawa. Jika aku melepaskannya, seribu wanita akan datang, dan bersedia meski menjadi yang kedua.Awalnya aku menginginkan perceraiannya dengan Bella. Namun, Abi menolak, kesetiaannya pada Pak Wira yang aku tau dia adalah dosen Abi, membuatku harus menerima semuanya. Tapi aku yakin Abi tidak mencintai Bella, sehingga aku yakin bahwa Abi hanya akan menganggap aku lah istri satu- satunya.Namun, nyatanya salah. Abi begitu perhatian dan terlihat sangat menyayangi Bella. Mungkin Bella belum menyadarinya, tapi aku yang telah lama mengenal Abi sangat tau sikap dan perilaku Abi pada Bella itu berbeda. Terlebih Bella sangat cantik, kulitnya yang bersih, dan lembut tanpa cacat. Mata dan wajahnya yang memancarkan pesona, membuatku semakin was-was. Umurnya pun jauh lebih muda dibandingkan aku, jika bisa kukatakan, secara fisik dia sangat sempurna. Pantas saja Abi dengan mudah menerima pernikahan ini tanpa berpikir panjang. Siapa yang akan menolak wanita seperti Bella?Hari ini Mama berkunjung ke rumah dan ingin bertemu dengan Bella. Jika Mama tau Bella seperti apa dia pasti akan sama was-wasnya seperti aku."Mana istri Abi?" tanya Mama sinis, saat ini kami sedang duduk di ruang tamu."Ada, Ma, masih di dalam. Mungkin sedang siap-siap untuk pergi ke Cafe.""Cafe?""Iya, Ma, dia punya Cafe sendiri.""Sendiri?""Iya, Ma. Dari apa yang Mas Abi ceritakan, Bella membangun Cafenya sendiri dari uang asuransi yang ditinggalkan oleh Papanya, bukan dari Mas Abi," jelasku lalu menyesap teh hangat buatan Asri."O ya? Kamu percaya gitu aja, Tar?"Kuanggukkan kepalaku pelan dan Mama tersenyum miring."Ma, aku nggak memikirkan masalah itu. Sekarang yang aku pikirkan hanya Mas Abi.""Abi? Memangnya kenapa Abi?""Perhatiannya pada Bella, Ma. Perhatiannya pada Bella jauh lebih besar dari yang aku bayangkan. Aku kira Bella bukan apa-apa untuknya, tapi ternyata aku salah.""Mungkin Abi hanya kasihan pada anak itu, Tar. Mama denger kan, mama papanya sudah meninggal dan nggak punya siapa-siapa," kata Mama menenangkanku."Ma ... subuh tadi, selepas sholat subuh, dan sebelum Mas Abi berangkat ke luar kota. Aku lihat Mas Abi masuk ke kamar Bella, membawa Bella yang tertidur di meja kerjanya ke ranjang, membelai, dan mengecup pucuk rambut Bella sepenuh hati. Tersenyum sambil memandangi wajah Bella, samar-samar kudengar Mas Abi minta maaf pada Bella, dan berpamitan pada Bella. Aku takut, Ma. Aku takut Mas Abi lama-lama akan mencintai Bella," keluhku pada Mama."Abi ...!" ucap Mama yang terlihat begitu marah."Mungkin Bella belum menyadarinya sekarang, tapi di belakang Bella nyatanya itu yang terjadi, Ma," sambungku.Percakapan kami terhenti saat kudengar langkah kaki Asri mendekati kami."Mbak Tari, makanannya sudah siap," Pagi ini aku sengaja menyuruh Mama untuk sarapan bersama."Kalau gitu ajak Bella sekalian ya, Sri. Kita sarapan bersama, sekalian biar Mama kenal sama Bella," perintahku."Tapi Mbak Bell ...."Kata Asri terhenti. "Kenapa Bella? dia masih di kamar, 'kan?""Mbak Bell sudah berangkat lewat pintu belakang, karena nggak mau mengganggu tamu.""O, ya udah kalau Bella sudah ke Cafe. Ayo, Ma sarapan.""Bukan, Mbak Bell ke Surabaya, sama Mas Abi."Degh!"Apa, Sri?!" sentakku, seketika jantungku berdegup kencang, tubuhku lemah bagai tak berdarah. Nyatanya mereka sudah bertindak jauh dari yang aku kira."Ya sudah, kamu boleh pergi," perintah Mama pada Asri.Mataku pun mulai mengembun "Apa yang aku takutkan terjadi kan, Ma," lirihku."Tari, ini bukan saatnya meratapi nasibmu.""Maksud, Mama?""Jika kamu tidak mau kehilangan cinta Abi, jangan biarkan benih-benih cinta tumbuh diantara mereka. Jangan biarkan mereka bersama, hanya berdua. Walau hanya sedetik, ingat Tari! Cinta bisa datang karena terbiasa."BAB 4Surabaya POV BELLASatu jam setengah aku sampai di bandara Surabaya, tepat pukul 12 siang aku tiba. "Benar kata Asri, sepertinya aku masuk angin ini," gumamku memegang kepalaku yang mulai pening.Kubuka gawai, mengingat pesan Abi yang mengatakan untuk menghubunginya jika sudah tiba. "Abi ...," kataku mencari kontak di ponsel."Hah! nggak lah. Bukannya aku sedang marah dan mau mode diam sama Abi, pesan taksi aja lah," putusku, kumasukkan kembali ponsel ke dalam saku."Bella ...," teriak seseorang berlari ke arahku, jantungku berdegup kencang saat melihat siapa yang datang. "Kak Raka," lirihku tersenyum malu.Aku memang sudah menyimpan rasa padanya sejak aku masih duduk di bangku SMA. Kak Raka adalah kakak kelasku. Namun, aku tak berani mengungkapkan karena kudengar dia berpacaran dengan teman seangkatannya, Nadia. Sehingga aku hanya bisa mengaguminya dalam diam. Hah, menyedihkan."Kak Raka, kok ada disini?""Kebetulan aku baru pulang dari Bandung, aku dapat panggilan kerja di sa
BAB 5TETANGGA JULIDPOV BELLAAku mengerjap saat kudengar pintu ditutup kasar. "Abi berisik sekali, Belum berangkat juga?" gerutuku dengan mata yang masih tertutup.Kuubah posisi lalu kembali tidur, tubuhku terasa lemah dan pusing.Beberapa saat aku kembali menggeliat saat goncangan pelan terasa di pundakku dan ada yang membangunkanku."Bell, bangun ...," katanya. Kubuka perlahan mataku.Aku terkejut saat kulihat Abi duduk di tepi ranjang. Kulihat jam dinding baru menunjukkan pukul 2 siang, belum maghrib namun, Abi sudah ada di rumah."Kamu sudah pulang,.Bi?" tanyaku."Aku nggak jadi pergi,Bell, aku bawa makanan untukmu, kamu belum makan, kan? makanlah!" ucapnya memberikan sepiring rawon kegemaranku."Dari mana kamu dapat ini?" tanyaku bingung."Delivery, minumlah teh hangat ini biar nggak masuk angin!" serunya lagi.Kuminum teh sebelum kunikmati rawon yang menggiurkan itu. Namun, aku tersentak saat aku merasakan teh tanpa gula, pahit. "Kenapa?" tanyanya saat aku berusaha menelan te
BAB 6SISI POSESIF ABIMANAPOV ABIMANAAku tak bisa berkutik saat Tari memperkenalkan diri terlebih dahulu pada warga sebelum aku memberi peringatan untuk tidak memperkenalkan diri sebagai istriku, baik untuk Bella maupun Tari. Toh kita hanya akan di sini beberapa hari.Walaupun sebagian orang tau bahwa aku menikah dengan Tari, tapi menjaga hati Bella juga penting. Waktu sudah menunjukkan pukul 6, usai sholat Maghrib aku segera bersiap untuk acara. Kuganti pakaianku dengan baju muslim dan sarung yang dikirim oleh Meta tadi siang. Lalu kuketuk pintu kamar Bella yang masih setia terkunci sejak kejadian sore tadi.Dan lagi, kulihat mata sembab itu di wajah Bella. Tak banyak berkata saat aku memberitahukan bahwa waktu acara sudah dekat. Hanya Kata 'ya' yang aku dengar. Lalu dengan cepat ia menutup pintunya kembali. Sungguh perasaan bersalahku semakin hari semakin besar pada Bella.Kuambil gawai dan kuhubungi Meta."Halo, Pak," jawab Meta dari seberang sana."Halo, Meta, bagaimana perkemb
BAB 7POSESIF 2POV BELLARasa kehilangan dan haruku kembali menyeruak tatkala lantunan doa dipanjatkan untuk Mama, tak menyangka bahwa aku saat ini sebatang kara, dan waktu berjalan begitu cepat. Di usiaku yang masih terbilang nol pengalaman namun sudah ditinggal oleh kedua orang tua itu sangatlah berat. Masalah yang kuhadapi pun termasuk rumit. Abi tidak mau melepaskan aku meski jelas-jelas dia mencintai Tari, apakah aku akan selamanya hidup seperti ini? Entahlah, saat ini aku hanya bisa berpasrah. Sesekali kulirik Abi dan Tari yang duduk berdampingan di sisi sebelah kiriku, dengan busana yang senada dan sangat serasi. Rupanya mereka sudah sangat siap dengan segala sesuatunya melebihi diriku yang mempunyai hajat. Senyum miris dan mengasihani diriku sendiri, itu yang bisa aku lakukan saat ini.Mengingat Papa, Mama, dan nasibku secara bersamaan, tentu membuat dadaku terasa sesak. Pandanganku pun terasa kabur kala aku menahan buliran bening yang mulai menggenang, kutahan sekuat mungk
Bab 8Kedekatan Abi dan Bella.Beberapa saat setelah aku mengakhiri obrolanku dengan Kak Raka, aku beranjak dari tempat tidur. Membuka laptop dan melihat penghasilan cerbungku hari ini yang belum sempat aku lihat sejak keberangkatanku ke Surabaya pagi tadi. "100 ribu? Ah, lumayan lah," gumamku, jika biasanya aku hanya mendapat 40 hingga 30 ribu untuk satu cerita, berbeda dengan hari ini, tentu itu membuatku semakin bersemangat. Kembali kusiapkan bab yang akan aku upload besok pagi. Hampir 2 jam aku berada di depan laptop, hanya hapus ulang, hapus ulang yang aku lakukan dan baru setengah dari bab yang aku selesaikan. Hari ini sepertinya moodku kurang baik, mungkin aku lelah, bukan lelah karena seharian aku sudah tidur. Lebih tepatnya aku kurang enak hati.Segera kumatikan laptopku dan berjalan menuju tempat tidur, rasa ingin tahuku kembali bermunculan saat kulihat dinding kamar, kuhentikan langkah, dan menempelkan telingaku pada dinding yang terhubung langsung dengan kamar sebelah.
Bab 9KEKECEWAAN BELLAPOV BELLAKubuka mata, kulihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 5 pagi. Mataku mulai mengabsen sekelilingku, mencari keberadaan Abi setelah aku mengingat apa yang terjadi semalam. "Mana mungkin Abi masih di sini, tentu saja dia sudah kembali pada Tari," batinku.Aku bergegas ke kamar mandi, untuk mengambil wudhu. Jika biasanya aku ikut jamaah subuh, tapi hari ini aku melewatkannya, mungkin karena tidurku agak terganggu semalam sehingga aku tak mendengar adzan subuh berkumandang.Usai sembahyang dan mandi aku lakukan, aku segera mengganti pakaianku dengan baju santai. Aku harus ke pasar untuk membeli beberapa keperluan seperti sayur dan lain sebagainya.Kubuka pintu, bersamaan dengan itu, Abi juga membuka pintu depan, membuatku kaget. "Pagi, Bell," sapanya."P–agi," jawabku menunduk, berjalan menuju pintu. Jika aku merasa gugup dan malu karena sudah meminta Abi untuk menemaniku semalam, namun sepertinya berbeda dengan Abi yang terlihat santai seperti tidak ter
Bab 10Upaya AbiSetelah kepergian Abi, mereka lebih brutal dan tidak segan melakukan kekerasan. Kutundukkan kepalaku dari tatapan tajam mereka. Sekarang yang bisa aku lakukan hanyalah pasrah, jika Abi sudah tidak peduli lalu apa yang diharapkan, siapa yang bisa menolongku? Di dunia ini hanya Abi lah yang aku miliki meski tak seutuhnya, tapi hanya dia lah keluargaku.Angkot dilajukan dengan kecepatan tinggi hingga kami sampai di sebuah tempat sepi. Aku tak mengerti apa yang mereka inginkan, jika menginginkan harta benda kami harusnya tidak membawa kami ke gudang kosong ini. Bawa saja harta kami dan pergi, tapi kenapa harus ke tempat ini segala?"Ambil semua barang, ponsel, semua," perintah bos dari para perampok itu. "Serahkan semua. Cepat!" seru merekamengambil semua barang kami termasuk tasku."Mana ponsel kamu?" tanya mereka."Ponsel? Ada kok di situ," jawabku menunjuk pada tasku yang sudah berada di tangan mereka."Jangan bohong! Nggak ada!" ucapnya menggeledah isi tasku."Kok bi
BAB 11SAKIT YANG SEMPURNAKutatap nanar Abi yang saat ini berada di depanku sedang memegang kemudi, aku sungguh tidak bisa lagi berpikir, rasanya pikiranku menemui jalan buntu. Semua seakan tidak berpihak padaku."Mbak, maaf ya, sakit?" tanya Meta membersihkan luka di sudut bibirku."Sedikit.""Met, kira-kira perlu ke rumah sakit nggak?" tanya Abi."Aku bilang nggak, Bi!" selaku"Aku tanya Meta, bukan Bella," tegas Abi.Kuhembuskan napas kasar."Sepertinya sih, nggak perlu, Pak. Cuma memarnya aja, nanti dari rumah di kompres sama es. Nanti kalau dibutuhkan atau Mbak Bella kenapa-kenapa, bapak telepon saya saja, akan saya kirim dokter ke rumah, nggak perlu repot- lrepot ke rumah sakit," jelasnya pada Abi."Gitu ... O iya, Met, kamu balik Jakarta kapan?""Besok, Pak.""Sebelum kamu balik, kamu pesen tiket ke Jakarta ya. Buat saya, Tari, dan Bella. Untuk besok." "Loh, kenapa aku juga?" tanyaku dengan nada tinggi. Kuturunkan suaraku saat aku sadar bahwa kami tidak sedang berdua tapi ada
POV BellaDi sini aku sendiri, menahan sakit dan bertaruh nyawa melahirkan buah cintaku dengan Abi. Di sana entah apa yang terjadi, apakah Abi sudah mengucap ijab kabul kembali dengan Tari atau sedang bertaruh nyawa berjuang untuk melepaskan diri. Sakitnya melahirkan bercampur dengan sakit hati yang semakin dalam saat kuingat kata talak dari Abimana, kata itu terus terngiang di telinga ini. Tak percaya, bahwa sekarang aku bukan lagi istri dari Abimana, pria hebat dengan sejuta pesona. Dia akan kembali pada wanita itu. Wanita yang begitu terobsesi dan tak mau melepaskan apa yang sudah menjadi milik orang.Lukaku bertambah saat kulihat Papa Hayuda yang juga mengalami luka, Asri yang terus menemani dengan setia. Juga ikut merasakan pedihnya hatiku, menangis di luar sana. Pak Nardi yang terluka cukup parah karena sempat menghadapi mereka sendirian juga sedang dirawat di sini atas permintaan Papa dan permohonan Papa pada kedua laki-laki itu."Dokter, apa perlu operasi? Kenapa anak saya be
POV AdipPapa menghubungi melalui pesan dari nomor yang tidak aku ketahui saat aku sedang mempersiapkan berkas rapat nanti siang bersama Meta. Papa mengatakan, bahwa Abi dan keluarganya sedang dalam bahaya. Bahkan sekarang Bella sedang bertaruh nyawa sendirian, melahirkan tanpa Abi, karena Abi sedang ditawan oleh Tari. Begitu panjang pesan yang yang Papa kirimkan, termasuk kondisi yang ada di dalam rumah Abi ia gambarkan. Aku tau, Papa sedang menyuruhku untuk bertindak tanpa ada kesalahan. Seketika aku pun bangkit dari tempat duduk.[Papa ingin kedua putra Papa kembali dengan selamat.] Pesan Papa yang terakhir membuatku semakin terenyuh. "Ada apa, Pak?" tanya Meta yang duduk menata berkas untuk rapat."Aku harus pergi, Met. Kamu ke rumah sakit. Bella mau lahiran dan Abi sedang ditawan Tari di rumahnya." "Apa?" Meta pun beranjak dan terlihat begitu terkejut.Kuberikan ponsel agar Meta membacanya sendiri. Ia pun meraihnya lalu membaca pesan Papa."Aku akan mencari bantuan.""Saya akan
POV ABIAku sungguh merasa kecolongan, tak pernah ada di benakku akan seperti ini. Kukira semua akan baik-baik saja. Kacau, pikiranku sungguh kacau seolah tak bisa berputar saat kulihat Bella menahan sakit yang teramat. Melihat air mata yang juga tumpah di mana-mana, Asri, Pak Nardi, Papa, dan juga Bella yang menangis melihat keadaan Bella. Membuatku semakin kacau. Di saat aku melihat anak dan istriku dalam bahaya, Tari justru terus mendesak. Hal yang konyol dia minta. Talakku pada Bella yang tengah mengandung buah hati kami.Perlahan aku melangkah, gontai, air mataku pun tumpah. Kuraih jemari Bella yang juga terisak. Mengatakan talak bukanlah sebuah permainan terlebih pada wanita yang teramat aku sayang.Namun, memikirkan keselamatan dua orang yang begitu aku kasihi adalah yang utama. Sebagai seorang kepala keluarga aku harus bisa berkorban demi keselamatan mereka.Berat namun akhirnya kata itu terucap juga. Kutitipkan Bella dan anakku pada Papa, saat ini hanya Papa yang bisa aku a
"Jangan mimpi kamu, Tari. Selamanya Bella akan tetap menjadi istriku," tolak Abi mentah-mentah.Tari terbahak, sepertinya dia sudah tidak waras. Dendamnya begitu besar pada kami sehingga perbuatannya sudah tidak bisa di jangkau oleh logika."Apa kamu pikir setelah apa yang kalian lakukan padaku aku akan diam begitu saja, Mas?! Kamu sudah merenggut semuanya, bahkan perusahaan Papa bangkrut karenamu!""Perusahaan kalian bangkrut karena memang sudah seharusnya! Karena barang curian tidak akan pernah bertahan lama jika pemiliknya sudah mengetahui. Aku harap kamu ingat dengan ide yang kau curi di Batam, atau kamu sudah hilang ingatan?! Satu lagi, jangan panggil Mas padaku, jijik aku mendengarnya!" kata Abi lantang. "Apa karena istri kamu itu tidak bisa memanggil kamu dengan sebutan itu?" "Diam kamu, Tari!" Mereka terus berdebat mengeluarkan semua kata-kata kasar. Hingga aku merasa ada yang keluar dan basah."Abi!" teriakku saat kulihat cairan keluar. Asri dan Papa yang masih melihat ket
"Tari?!" lirihku. "Pak Nardi?!" Aku tersentak saat kulihat Pak Nardi sudah terikat dan terluka, mulutnya pun sudah ditutup oleh lakban. Tampak Pak Nardi memberi isyarat pada kami untuk berlari. Karena sepertinya Tari datang dengan niat tidak baik.Cepat aku dan Asri menutup pintu namun ditahan oleh laki-laki yang menemani Tari. Laki-laki bertubuh besar dan jumlahnya pun banyak.Mereka mendorong kami, beruntung aku hanya terhuyung tak sampai terjatuh karena Asri dengan cepat meraih tanganku."Apa maumu?" tanyaku. Mereka mendesak masuk ke dalam."Siapa, Bell?" Papa pun datang menghampiri setelah mendengar keributan."Tari?" Tak kalah sepertiku, Papa pun terlihat begitu kaget. Dua orang menyergap Papa yang berlari ke arah kami, bersamaan dengan itu dua orang mencekal kedua tanganku dan tangan Asri. "Apa-apaan ini, Tari?" berontak Papa memaksa untuk lepas dari kedua pria bertubuh kekar itu. Namun mereka mencengkeram tangan Papa lebih kuat. "Tenang, calon Papa mertua."Deg! Calon m
Di luar rencana sebelumnya yang hanya beberapa hari di Batam ternyata sampai sekarang Abi belum juga pulang. Ya, sudah hampir dua minggu Abi di Batam, rencananya besok baru akan pulang. Meski Abi selalu menghubungi lewat pesan atau video call, tetap saja hatiku hampa tanpa kehadirannya. Setiap malam biasanya dia memijat kaki yang semakin hari semakin terasa mudah sekali lelah. Sekarang Asri yang melakukannya, namun tak bisa setiap hari karena aku kasihan jika Asri harus melakukannya setiap hari.Tak jarang pula Abi berbicara pada anaknya walau hanya melalui ponsel, untuk sekedar menasehatinya untuk tidak nakal dan menjaga Mamanya."Sudah, Sri. Kamu istirahat sudah malam," kataku pada Asri yang tengah memijat kakiku saat kulihat benda pipih persegi panjang yang aku letakkan di atas nakas sebelahku itu berpendar. "Jangan lupa diminum susunya, Mbak. Nanti kalau Mas Abi telepon Asri biar bisa bilang sudah, Mas," kata Asri. Aku terkekeh, pasti mereka sering berhubungan melalui ponsel dan
"Bisa aja kamu, Bell," jawab Abi menggaruk tengkuknya, malu.Keluar dari kamar kulihat Papa duduk di sofa membaca majalah, majalah kami yang semakin berkembang pesat meski konsultasi Pak Christian dan Kak Raka secara virtual dengan Abi karena jarak yang jauh. "Papa mau nasi goreng? Sekalian Bella buatin, mau buatin Abi soalnya." tawarku."Memangnya kamu sudah boleh masak sama suamimu yang lebai itu?" tanya Papa, sejauh ini hubungan mereka masih sama, tak ada perubahan. Entah mau sampai kapan, kukira dengan kehamilanku akan membuat keduanya semakin dekat, namun kenyataannya tidak. Pernah aku meminta mereka untuk pergi bersama mencari rujak cingur di Surabaya dengan alasan permintaan bayi. Abi menolak dengan alasan akan basi, aku menjawab dan mengajari untuk beli saat waktu penerbangan sudah dekat, bumbu di pisah. Niat hati ingin mendekatkan mereka dengan menyuruh mencari makanan lebih jauh agar bisa menginap bersama. Aku malah ditertawakan. Abi membaca rencana dan tujuanku. Gagal la
Hari terasa begitu cepat, perut ini pun sudah semakin membesar seiring berjalannya acara tujuh bulanan beberapa waktu lalu. Menurut dokter, usia kandungan sudah menginjak 38 minggu. Tapi di usia kandungan yang semakin membesar, aku harus melepas Abi untuk pergi ke Batam karena suatu hal yang terjadi di proyek Batam dan memerlukan penanganan dari Abi secara langsung.Hayuda pun sudah mulai berangsur stabil. Sedangkan Mama belum juga diketahui ada di mana. "Hai anak papa, jangan nakal ya, besok Papa mau ke Batam dulu. Jagain Mama biar nggak ganjen sama si Dedi itu, ya," sindir Abi yang meletakkan kepalanya di pangkuanku, mengusap dan mengecup perut yang semakin membesar ini tiada henti. Itulah aktifitas Abi selama beberapa bulan ini setiap malam menjelang tidur. Sedang aku mengusap kepalanya."Ih, Abi, siapa yang ganjen, jangan fitnah di depan anak," keluhku, saat ini kami ada di atas ranjang big size kamarku, Abi meninggalkan kamarnya dan tidur di kamarku sejak kami pulang ke Jakart
Beranjak aku berdiri menyamainya. "Sayang, kalau aku lihat kamu terus jadi nggak tega untuk pergi, pengennya deket kamu terus, sayang-sayangan sama kamu," rayuku membelai wajah yang semakin hari semakin memancarkan aura kecantikan dan keibuan itu. Terdengar klise memang, tapi sangat dibutuhkan kalau hanya sekedar untuk merayu ibu hamil, meski aku sendiri kadang suka eneg setiap mendengar rayuanku."Benarkah?" tanyanya memelukku sejenak, Namun tiba-tiba melangkah menuju ke depan meja rias."Sini deh, lihat, perutku sudah mulai membuncit. Pantas saja kamu tidak tertarik lagi," ucapnya di depan kaca. Mengamati bentuk tubuhnya dari berbagai arah, tampaknya dia terganggu saat memelukku dan perut buncit itu bersentuhan dengan perutku terlebih dahulu.Aku pun mendekati dan memeluknya dari belakang, mengusap perut yang sudah mulai terlihat berisi. Terlihat dari pantulan cermin besar yang ada di depan sana wajah masam dari istri kesayangan. "S*eksi, aku suka. Ini yang membuat aku semakin cinta