BAB 12Sifat Abi yang berubah-ubah"Abi? Ngapain disini?" bisikku."Kondangan lah, Bell, kamu sendiri? Kenapa ke sini nggak ijin?" tanyanya balik.Aku termangu, kuambil napas lalu kubuang perlahan, kulihat teman-temanku sedang mengarahkan pandangannya padaku dan Abi. "Bos, bestie, bos," kataku pada teman-teman, tak lupa kuukir senyuman agar tak ada yang curiga."Itu kan Pak Abimana, kamu kerja di kantor pak Abi, Bell?" tanya Raya menegaskan."Iya ...," jawabku tersenyum samar, tak ku sangka, bahkan teman-temanku lebih tau siapa Abimana dibandingkan aku, istrinya."Wah, hebat Bella. Pak Abi, kalau cabang di Surabaya butuh karyawan, kami siap membantu," kata Raya lagi, ya, aku tau sebagian dari mereka belum mendapat pekerjaan mengingat kami adalah fresh graduate, pastinya masih ada yang mencari-cari pekerjaan saat ini."Raya, jangan bikin malu. Perusahaan juga bukan cuma milik Abi aja," celetukku, mereka menatapku bingung."Pak Abi maksudnya," ralatku."Ya, tapi kan lebih bonafit di tem
Bab 13Ketegangan antara Abi dan TariAkupun berpamitan pada teman-temanku sebelum mengikuti langkah Abi yang saat ini menuju ke arah Bu Ning dan suaminya, aku juga menemui Febi. Kuberikan saja alasan bahwa ada pekerjaan mendesak dan aku bisa dipecat jika tidak segera mengerjakannya. Bukanya aku menurut dan patuh pada Abi, namun, aku hanya tidak ingin ada keributan. Aku sadar sifatku dan Abi sama-sama keras, bisa saja perdebatan kami akan mengganggu hari bahagia Febi dan menimbulkan banyak spekulasi.Alhamdulillah mereka mengijinkan dan mempercayainya.Segera, aku menghampiri Abi yang tampak berbincang dengan suami Bu Ning. "Pak, saya dan Bella mau pamit, kami harus siap-siap untuk keberangkatan kami besok pagi," katanya yang tak sengaja aku dengar."Yah, sayang sekali.""Jangan seperti itu, Pak. Saya tau apa yang ada di pikiran bapak, Bella, kan?" kata Abi, Bella? Apa maksud Abi sesungguhnya?"Terima ini, Pak dan nggak perlu menunggu Bella untuk mendapat amplop banyak, Bella masih ba
Bab 14Keputusan AbimanaPOV BELLAKubuka pintu saat kuterima pesan dari Raya, bahwa dia sedang berada di depan rumahku. Tentu dengan sigap aku langsung terhenyak dari tempat tidurku. Kulihat maduku sudah sendiri, berdiri memunggungiku, sayup-sayup kudengar isakan dari balik badan maduku itu yang sepertinya memang sengaja dia sembunyikan dari orang lain terutama aku, ya tentu saja lah, dengan percaya dirinya dia menuduhku. Eh, nyatanya dia sendiri yang menangis tersedu-sedu. Kena mental nggak coba? Emang enak? "Tari ... haih, ngapain? Raya lebih meresahkan," gumamku membatalkan keinginanku untuk bertanya pada Tari tentang apa yang terjadi.Aku berlari menuju pintu depan, membukanya, dan keluar. Tak lupa kukunci pintu dari luar agar Raya tidak nyelonong masuk seperti biasa."Bella ...." teriak Raya menghambur ke pelukanku."Raya, ngapain kesini?" tanyaku."Setidaknya biarkan aku masuk dulu dong, Bell. Aku lelah tau," ucapnya seraya berjalan ke arah pintu. Kuikuti langkah Raya dengan be
Bab 15Siasat BellaPOV BELLA"Da ... Raya, semangat, ya," kataku melambaikan tangan saat Raya memasuki taksi onlinenya.Aku bergegas masuk, sebelum ada yang mau keluar dan kesusahan membuka pintu karena aku sudah menguncinya dari luar tanpa sepengetahuan orang yang ada di dalam.Cekrek! Kubuka pintu lalu masuk dan membalikkan badanku.Deg ... jantungku hampir copot saat kulihat Tari berdiri di belakangku tanpa suara, menyilangkan tangan, menatapku tajam."Tari, jangan menghantui hidupku terus, datang tanpa permisi, kenapa nggak pergi tanpa permisi aja, sih!" omelku, aku pun melangkah pergi. Tiba-tiba tangan Tari mencekalku dan membuat langkahku terhenti."Apaan sih, Tari! lepas!" kataku menghempaskan tangan Tari."Bella, aku mau bicara denganmu. Duduklah, sebelum Abi keluar!" katanya, dari kata dan gelagat Tari sepertinya dia akan bermain di belakang Abi kali ini.Aku pun duduk, tidak ada salahnya mempermainkan balik dia setelah aku mengetahui apa rencananya. "Buruan, aku nggak ada b
Bab 16Pura-pura Kututup pintu dan tertawa sepuasnya. " Hahahaha ...." "Nggak Bell, belum saat nya tertawa, jalan masih panjang," gumamku menghentikan tawaku.Kuletakkan tas lalu berbenah, seperti apa kata Abi, kita akan kembali ke Jakarta besok. Walau berat, namun aku harus tetap menjalani, terlebih aku harus mengurus cafe yang baru saja aku rintis.Setelah semua selesai, aku mengistirahatkan dan membaringkan tubuhku di ranjang. Bruk!Terdengar suara pintu kamar sebelah ditutup kasar.Entah, ada apa sebenarnya aku tak peduli. Tapi terlalu sayang untuk dilewatkan jika yang terjadi adalah hal buruk untuk mereka. Kubuka perlahan pintu lalu kulihat dengan seksama, mencengangkan, Abi dengan bantal dan selimutnya tidur di sofa ruang keluarga. Kututup dan kukunci pintu kamarku rapat-rapat, aku tak ingin ikut campur atau tau masalah mereka, tujuanku hanya membuat mereka tahu diri dan menyesal telah menyakiti hatiku yang masih terluka atas kepergian kedua orang tuaku.Kembali, kupejamkan
Bab 17Kehebohan di CafeKupersilahkan Pak Bagas dan Pak Pradipta untuk masuk ke ruanganku. Namun, Pak Pradipta menolak. Berbeda dengan Pak Bagas, bosnya itu terlihat lebih tidak bersahabat. Dengan bintik merah di wajahnya, aku yakin korban dari karyawanku ini adalah si bos songong ini."Maafkan atas keteledoran karyawan kami. Kami akan mengganti seluruh biaya pengobatan bapak," kataku dengan lembut."Kalian pikir, saya tidak bisa berobat?" Salah paham, itu yang justru dia pikirkan pada kami."Bukan, Pak, bukan begitu, kami tau kami salah, maka dari itu kami juga harus bertanggung jawab. Jangan menuntut cafe kami, kami janji akan lebih berhati-hati kedepannya," jelasku panjang lebar.Ia tersenyum sinis."Tolong, Pak. Cafe ini baru saja kami buka, kalau masalah ini tidak diselesaikan secara kekeluargaan, cafe kami bisa tutup sebelum berkembang," mohonku. Kutangkupkan kedua tanganku di dada."Bagas, kita pergi! Berdebat dengan wanita hanya akan membuat kita rugi, aku kira pemiliknya pri
Bab 18Perubahan TariPOV BELLAMengejutkan, Tari datang saat Abi masih memelukku, tak mau menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Segera, kuraih pundak Abi. "Apa, Bi? Kamu merindukanku? Sampe kamu kesini dan memilih cafe ini untuk meeting? Ya, ampun Abi, bukannya di Surabaya kita sudah sering berdua saja?" ucapku manja.Abi tersenyum miring dan masih setia di tempat dan posisi yang sama tidak beranjak menemui Tari."Ya, aku merindukanmu. Sampai aku tidak sabar menunggumu pulang," ceplos Abi.Jujur aku tak percaya dengan jawaban Abi kali ini, tapi aku tak mau ambil pusing. Karena jawaban Abi kali ini sangat menguntungkan bagiku."Mas Abi, Bella, kalian ....""Tari, tinggalkan kami, ada yang harus aku selesaikan dengan Bella," kata Abi, bahkan dia mengusir Tari. Benar-benar membingungkan, semoga saja tidak ada rencana lain dari Abi."Apa?" Tari seakan tak percaya dengan perkataan pujaan hatinya ini."Tari, mengertilah," sambung Abi.Dengan wajah marah dan hentakan kaki, Tari meninggalkan k
Bab 19Kejutan yang bertubi"Sri, aku berangkat, ya," pamitku setelah kukembalikan amplop Tari."Nggak sarapan dulu, Mbak?""Di cafe aja, lagi pula aku ada seminar, Sri," jawabku.Terdengar suara bel berbunyi. Asri bergegas membukanya. Beberapa saat kemudian aku mengikuti Asri, karena dia tak kunjung kembali."Siapa, Sri?" tanyaku menghampiri."Ini, Mbak, mamanya Mbak Tari."Kuulurkan tangan bermaksud menyalami, ini adalah kali pertama aku bertemu dengan ibu dari maduku, karena urusanku dengan Tari jadi ku pikir tidak baik jika berlaku sama pada ibunya. Namun, ternyata aku sudah salah mengira. Dia tidak membalas uluran tanganku, ia justru melengos sinis padaku. Dari gelagatnya sudah bisa dipastikan kebencian itu begitu nyata."Mama, udah dateng?" ucap Tari menghampiri mamanya."O ... jadi ini, Tar? Gundik si Abi?" Pertanyaan itu jelas dan lugas ditujukan untuk menyindirku. Hinaan itu sontak membuatku naik pitam."Apa Tante bilang? Gundik? Apa Tante tidak paham arti kata gundik? Saya j