Bab 16Pura-pura Kututup pintu dan tertawa sepuasnya. " Hahahaha ...." "Nggak Bell, belum saat nya tertawa, jalan masih panjang," gumamku menghentikan tawaku.Kuletakkan tas lalu berbenah, seperti apa kata Abi, kita akan kembali ke Jakarta besok. Walau berat, namun aku harus tetap menjalani, terlebih aku harus mengurus cafe yang baru saja aku rintis.Setelah semua selesai, aku mengistirahatkan dan membaringkan tubuhku di ranjang. Bruk!Terdengar suara pintu kamar sebelah ditutup kasar.Entah, ada apa sebenarnya aku tak peduli. Tapi terlalu sayang untuk dilewatkan jika yang terjadi adalah hal buruk untuk mereka. Kubuka perlahan pintu lalu kulihat dengan seksama, mencengangkan, Abi dengan bantal dan selimutnya tidur di sofa ruang keluarga. Kututup dan kukunci pintu kamarku rapat-rapat, aku tak ingin ikut campur atau tau masalah mereka, tujuanku hanya membuat mereka tahu diri dan menyesal telah menyakiti hatiku yang masih terluka atas kepergian kedua orang tuaku.Kembali, kupejamkan
Bab 17Kehebohan di CafeKupersilahkan Pak Bagas dan Pak Pradipta untuk masuk ke ruanganku. Namun, Pak Pradipta menolak. Berbeda dengan Pak Bagas, bosnya itu terlihat lebih tidak bersahabat. Dengan bintik merah di wajahnya, aku yakin korban dari karyawanku ini adalah si bos songong ini."Maafkan atas keteledoran karyawan kami. Kami akan mengganti seluruh biaya pengobatan bapak," kataku dengan lembut."Kalian pikir, saya tidak bisa berobat?" Salah paham, itu yang justru dia pikirkan pada kami."Bukan, Pak, bukan begitu, kami tau kami salah, maka dari itu kami juga harus bertanggung jawab. Jangan menuntut cafe kami, kami janji akan lebih berhati-hati kedepannya," jelasku panjang lebar.Ia tersenyum sinis."Tolong, Pak. Cafe ini baru saja kami buka, kalau masalah ini tidak diselesaikan secara kekeluargaan, cafe kami bisa tutup sebelum berkembang," mohonku. Kutangkupkan kedua tanganku di dada."Bagas, kita pergi! Berdebat dengan wanita hanya akan membuat kita rugi, aku kira pemiliknya pri
Bab 18Perubahan TariPOV BELLAMengejutkan, Tari datang saat Abi masih memelukku, tak mau menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Segera, kuraih pundak Abi. "Apa, Bi? Kamu merindukanku? Sampe kamu kesini dan memilih cafe ini untuk meeting? Ya, ampun Abi, bukannya di Surabaya kita sudah sering berdua saja?" ucapku manja.Abi tersenyum miring dan masih setia di tempat dan posisi yang sama tidak beranjak menemui Tari."Ya, aku merindukanmu. Sampai aku tidak sabar menunggumu pulang," ceplos Abi.Jujur aku tak percaya dengan jawaban Abi kali ini, tapi aku tak mau ambil pusing. Karena jawaban Abi kali ini sangat menguntungkan bagiku."Mas Abi, Bella, kalian ....""Tari, tinggalkan kami, ada yang harus aku selesaikan dengan Bella," kata Abi, bahkan dia mengusir Tari. Benar-benar membingungkan, semoga saja tidak ada rencana lain dari Abi."Apa?" Tari seakan tak percaya dengan perkataan pujaan hatinya ini."Tari, mengertilah," sambung Abi.Dengan wajah marah dan hentakan kaki, Tari meninggalkan k
Bab 19Kejutan yang bertubi"Sri, aku berangkat, ya," pamitku setelah kukembalikan amplop Tari."Nggak sarapan dulu, Mbak?""Di cafe aja, lagi pula aku ada seminar, Sri," jawabku.Terdengar suara bel berbunyi. Asri bergegas membukanya. Beberapa saat kemudian aku mengikuti Asri, karena dia tak kunjung kembali."Siapa, Sri?" tanyaku menghampiri."Ini, Mbak, mamanya Mbak Tari."Kuulurkan tangan bermaksud menyalami, ini adalah kali pertama aku bertemu dengan ibu dari maduku, karena urusanku dengan Tari jadi ku pikir tidak baik jika berlaku sama pada ibunya. Namun, ternyata aku sudah salah mengira. Dia tidak membalas uluran tanganku, ia justru melengos sinis padaku. Dari gelagatnya sudah bisa dipastikan kebencian itu begitu nyata."Mama, udah dateng?" ucap Tari menghampiri mamanya."O ... jadi ini, Tar? Gundik si Abi?" Pertanyaan itu jelas dan lugas ditujukan untuk menyindirku. Hinaan itu sontak membuatku naik pitam."Apa Tante bilang? Gundik? Apa Tante tidak paham arti kata gundik? Saya j
Bab 20Kemarahan AbiPOV ABIPapa menghubungiku semalam, memaksaku untuk pulang, aku harus menggantikan Pradipta untuk seminar dikarenakan Adip sedang kurang enak badan. Namun, nyatanya semua itu hanya sandiwara, nyatanya Tari dan Papa merencanakan kejutan ulang tahun untukku, yang bahkan aku sendiri melupakannya. Memalukan, dalam acara seminar mereka memberikan ini, sudah seperti anak kecil saja aku diperlakukan.Yang lebih membuatku marah adalah, Bella menyaksikan itu semua, sungguh tak bisa kubayangkan apa yang ada di pikiran Bella tentangku saat ini. Tak ingin melihat Bella semakin sakit jika terus berada di sana, aku pun menyuruhnya untuk segera pulang.Setelah kepergian Bella aku bergegas turun dari panggung untuk menyusul Bella pulang. Tapi, Mama dan Papa mencegah, mengajakku untuk sekedar makan malam merayakan ulang tahun. "Mas, hormatilah keinginan Papamu, makan lah sebentar," kata Tari mengikutiku, bersama Mama dan juga Papa, tak ketinggalan juga Mama mertuaku, yang tidak t
Bab 21Kepergian BellaPOV ABIHari ini semua membuatku seakan naik darah, Papa, Tari, mamanya, dan juga Bella yang pulang dalam kondisi mabuk. Apalagi setelah aku mendengar ini ada hubungannya dengan yang namanya Alex.Namun, aku masih bersyukur karena Bella masih selamat. Kubawa Bella untuk beristirahat di kamar dengan Asri yang masih setia mengikutiku. "Sri, ganti bajunya dulu, sama yang lebih longgar biar nyaman," perintahku saat kulihat Bella yang memakai Blazzer warna coklat, basah dan penuh dengan bau alkohol, dari sini aku yakin bahwa, apa yang dikatakan Meta memang benar. Karena, jika Bella melakukannya tanpa paksaan dan pemberontakan, tidak mungkin bajunya sampai basah terkena alkohol. Alex, pemuda Surabaya itu, aku sudah menaruh curiga sejak awal kami bertemu, caranya menatap Bella berbeda. Aku juga sudah memperingatkan Bella untuk berhati-hati padanya. Yang membuatku heran adalah, bagaimana dia menemukan Bella? Jelas-jelas alamat yang aku berikan saat itu sangat jauh dari
22Kususuri kota Jakarta berhari- hari sudah hampir dua pekan ini, namun tak juga aku temukan Bella, Bella bak ditelan bumi. Keberadaannya tidak bisa aku temui, terminal hingga stasiun aku datangi, bahkan Surabaya aku singgahi. Tapi, Bella tetap tidak bisa aku temukan.Sedangkan Tari, dia tetap bungkam dan bersih keras tidak tau perihal kepergian Bella, namun perasaanku berkata lain, diam- diam aku terus mencari tau sejak saat itu, tapi nihil sepertinya Tari sudah mempersiapkan semuanya. Dia justru berbalik menyerangku dengan menyuguhkan kemarahan dengan alasan aku menunda terus resepsi yang dia inginkan itu. Aku membiarkannya, rasanya malas untuk berdebat, karena mustahil aku melakukan resepsi dalam kondisi seperti ini. Sejak saat itu kami pun tidak banyak bertegur sapa, aku sibuk mencari Bella dan Tari sibuk dengan diamnya."Pak, ini ponsel mbak Bella yang bapak suruh service beberapa waktu lalu," kata Meta begitu aku sampai di loby kantor. Ya, kami hanya menemukan tas tanpa ponse
23. POV HAYUDA DAN ADIPPOV HAYUDASudah enam bulan sejak kepergian Bella, sejak itu pula aku tidak lagi mengenal putraku, Putra yang dulu kuat dan cerdas, nyatanya sekarang ia rapuh dan lemah hanya dengan satu wanita, Bella, wanita yang aku sendiri belum tau betul seperti apa tapi mampu meluluh lantahkan hati dan pikiran putraku, Abimana.Sudah berbagai usaha Abi lakukan demi untuk menemukan Bella, namun sepertinya Bella memang sudah sangat berniat untuk meninggalkan Abi dan tidak ingin bertemu dengannya lagi. Menerima kenyataan bahwa Bella sendirilah yang meminta bantuan pada Tari untuk proses perceraiannya membuat Abi semakin hancur.Putus asa, itu yang kadang Abi rasakan, bergelut dengan penat dan panasnya jalanan ibu kota, tak hanya itu, kampung halaman Bella pun sudah ia jelajahi sampai habis tenaga. Abi, yang dulunya begitu kuat dan cerdas nyatanya lumpuh hanya dengan satu nama Bella. Tak jarang aku melihatnya melamun di balkon rumahnya menatap sebuah foto yang ada di ponsel,