Part 24 POV BELLAPOV ini diambil sebelum Bella pergi dan disambung setelah Bella pergi.Aku mengerjap dengan kepala yang masih terasa berat. Kulihat sekitarku, ternyata aku sudah berada di kamarku. Teringat kembali kejadian yang baru saja aku alami, menakutkan dan begitu menjijikkan, Benar kata Abi bahwa aku harus berhati-hati pada Kak Alex. Kak Alex yang aku kira sama seperti Kak Raka, nyatanya menyimpan obsesi padaku sejak lama. Dia membuntutiku sejak beberapa hari yang lalu, karena mobil yang kukira milik orang suruhan Abi ternyata Kak Alex lah yang ada di dalamnya. Dari situ aku mulai curiga, kenapa harus mengikutiku berhari-hari, tidak langsung menegur atau menyapaku. Saat kecurigaan itu muncul, saat itulah aku menghubungi Mbak Meta, namun sepertinya dia sibuk, karena tak mungkin menghubungi Abi lagi setelah jawaban yang diberikannya padaku, jawaban yang membuatku semakin meradang setelah acara seminar tadi siang.Aksi Kak Alex di mulai saat dia mencoba menyalakan mesin mobil
Bab 25POV Abi dan BellaPOV BellaPagi ini aku bangun terlambat lagi, cerbung dan artikel membuatku lagi- lagi harus bergadang. Ya, aku harus bekerja keras untuk menghidupi diriku sendiri, tak mungkin terus menyuruh Lila untuk mengirimkan uang sedangkan menurut Lila, cafe Masih belum berkembang pesat setelah kepergianku satu tahun yang lalu, bisa tekor dan tutup jika aku terus menggerogotinya."Pagi, maaf telat," sapaku pada rekan kerja, segera aku ambil celemek hitam khas Cafe, lalu kuantar pesanan yang terlihat sudah menumpuk.Beberapa waktu lalu, kak Raka menghubungiku dan mengatakan bahwa ada lowongan pekerjaan di tempatnya bekerja. Tepatnya di bagian yang sama dengannya yaitu editor, tentu saja aku menerimanya. Dengan begitu aku bisa terus bertemu dengannya, hubungan kami semakin dekat, jadi aku harus terus memepetnya. Pihak perusahaan mengatakan, aku akan mendapatkan pengumuman satu minggu lagi, kuharap dengan rekomendasi dari Kak Raka aku bisa diterima, agar aku tidak ke
Bab 26Duda tampan berkharisma.POV ABISetelah semalam aku pikirkan secara masak-masak, kurasa apa yang dikatakan Papa ada benarnya, jika aku terus berada di Pesantren, Aisyah yang belum terlalu dewasa akan terus berharap padaku. Akhirnya aku putuskan untuk kembali bersama Papa pagi ini."Saya pamit Kyai, terima kasih sudah mengajari saya banyak hal," ucapku pada Kyai Khalil. Bersama Kyai Khalil pula aku sadar bahwa takdir tak selalu sesuai dengan rencana, itulah sebabnya, di dalam do'a selalu ada kata semoga."Ya, kami juga senang bisa bertemu dan belajar banyak hal juga dari Nak Abi."Saat ini kami berada di depan rumah Kyai Khalil, ada Aisyah, Umi Marwah dan juga kedua kakak Aisyah, Adil dan Amar. Terlihat Aisyah tertunduk lesu, tidak menatapku sama sekali, gadis belia dengan lesung pipi itu memang cukup cantik. Namun, tidak mampu menggetarkan hatiku seperti apa yang sudah aku rasakan pada Bella.Kudekati dan kusapa dengan lembut Aisyah yang saat ini berdiri di tengah Umi dan Ab
Bab 27. Keputusan Bella.POV BELLA"Aaaaaaa ...." Kecepatan yang terlalu tinggi dan rem yang sudah tidak begitu peka, membuatku kehilangan kendali dan menabrak laki- laki yang sedang menyeberang di jalan sepi. Sepertinya dia juga sedang terburu- buru, terlihat dari caranya menyeberang dengan berlari, sangat mengejutkanku.Pagi ini aku harus menggantikan Viona yang bertugas di bagian delivery order, dia tidak bisa masuk karena sedang sakit. Seperti usaha yang sedang booming lainnya yaitu usaha makanan di bidang online, Cafe kami juga menyediakan layanan delivery order.Daftar dan menu sudah siap saat aku baru memasuki Cafe, Alhamdulillah sepagi ini sudah banyak sekali pesanan. Setelah daftar alamat dan Menu siap, aku pun segera menjalankan tugas.Ku lajukan kendaraan roda dua milik Cafe dengan kecepatan cukup tinggi karena kebanyakan pesanan mereka untuk sarapan, jadi aku harus cepat mengantarnya.Namun, nahas, bukan untung malah buntung, ya, aku benar-benar sudah menabrak orang. Kulih
Bab 28. KontrakanPOV AbiAda rasa khawatir saat Bella menghubungi Lila, aku lupa bahwa Bella juga mempunyai penghasilan dari Cafe. Ya, aku terpaksa melakukan ini, setelah aku tersadar dan melihat tidak ada orang lain selain dokter dan perawat Aku membuka pertanyaan pada Perawat tentang siapa yang membawaku kemari, mereka bilang seorang wanita, setelah aku bertanya siapa namanya, dia menjawab Salsa Bella, seketika hatiku terasa menghangat mendengar nama itu, apakah ini takdir dan jawaban atas doaku selama ini? aku tak tau, namun, aku tidak akan menyia- nyiakan kesempatan kali ini.Sebelum meninggalkanku, perawat memberikan ponsel padaku, ku terima dan aku segera mematikan ponsel milikku, sebelumnya aku sudah mengatur mode diam tanpa getar.Saat ini ya ada di otakku hanyalah bagaimana agar Bella tidak lagi lepas dari pantauan dan pergi lagi, terlebih masih banyak hal yang harus aku selesaikan dengannya. Mendekatinya kembali tentu bukan hal yang gampang, aku akan butuh banyak waktu be
Bab 29. Perang batinPOV Bella[Iya, Kak, tunggu sebentar] balasku.Masalahku tidak berhenti disini, aku sudah melupakan Kak Raka. Dengan membawa Abi ke rumah, bisa-bisa Kak Raka semakin menjauh dan usahaku selama ini akan sia-sia. "Waduh, Bella ... kok ceroboh, sih?" gerutuku merutuki perbuatanku yang hanya memikirkan materi tanpa memikirkan masalah hati.Perlahan aku membuka pintu setelah kubalas pesan Kak Raka. Kusunggingkan senyum saat kulihat Abi sedang tertidur pulas di sofa, mungkin karena pengaruh dari obat sehingga membuatnya begitu cepat tertidur. Sepertinya kali ini nasib baik berpihak padaku. Aku pun mengendap keluar, jika tidak hati-hati, Abi bisa saja terbangun dan menciptakan masalah baru untukku. Tak lupa kukunci pintu setelah aku keluar. "Kak Raka," sapaku pada Kak Raka yang berdiri menghadap jalan memunggungiku.Ia pun menoleh."Hai, Bell. Loh, tangan kamu kenapa, Bell?" tanyanya panik, meraih tanganku dan memeriksanya. Perhatian itu lah yang selalu membuatku terta
30. Luka lamaPOV BELLASatu Minggu semenjak Abi tinggal di kontrakan dan setelah pembahasan tentang masa lalu itu, aku dan Abi tidak banyak berbincang. Ya, aku terlalu takut membuka luka lama yang sudah sembuh. Begitu sulitnya aku menyembuhkan luka itu lah yang membuatku enggan untuk mengoreknya kembali.Aku dan Abi berbicara jika perlu dan mendesak saja, Abi juga sudah aku berikan kursi roda. Untuk jangka satu bulan aku menyewanya dan itu sangat bermanfaat. Dengan kursi roda itu Abi lebih mandiri, sehingga aku tidak perlu lagi memapahnya jika dia ingin melihat-lihat ke luar."Bi, hari ini aku akan pulang agak telat, makanan sudah aku siapkan, jangan lupa minum obat dan ...." Kataku terhenti, berat rasanya untuk melanjutkan kebohongan ini. Hari ini adalah hari di mana aku akan pergi bersama Kak Raka. Makan malam dan lanjut nonton film yang sudah kami rencanakan sebelum pertemuanku dengan Abi. Pikiranku agaknya terganggu mengingat saat aku menikmati makan malam romantis nanti, Abi ha
Part 31Memantapkan niat, janji dan tanggung jawabPOV BellaHatiku sungguh tak tenang meninggalkan Abi bersama Bu Gunawan dan Dilla di rumah sendirian, terlebih keadaan kaki Abi yang juga masih belum membaik, membuatku semakin khawatir jikalau mereka memaksa-maksa Abi, bukanya suudzon namun aku tau betul sifat Bu Gunawan yang senang memaksakan kehendak itu. Setelah aku berpikir keras, aku pun menemukan sebuah ide yaitu Menghubungi tetangga sebelah untuk menanyakan apakah Bu Gunawan dan Dilla masih ada di rumahku atau tidak. Bak gayung bersambut, Bu Ria, tetangga dekatku langsung mengangkat teleponku dan mengatakan bahwa mereka sudah pergi tak lama setelah aku pergi, aku pun lega dan bisa bekerja dengan tenang.Hari ini waktu terasa begitu lama, mungkin karena aku sangat menantikannya, dan terus memikirkannya. Penantianku tak sia-sia, karena ketika jam pulang belum tiba, Kak Raka sudah mengirim pesan untukku. Mengingatkan perihal malam ini. Seperti rencana sebelumnya, malam ini aku
POV BellaDi sini aku sendiri, menahan sakit dan bertaruh nyawa melahirkan buah cintaku dengan Abi. Di sana entah apa yang terjadi, apakah Abi sudah mengucap ijab kabul kembali dengan Tari atau sedang bertaruh nyawa berjuang untuk melepaskan diri. Sakitnya melahirkan bercampur dengan sakit hati yang semakin dalam saat kuingat kata talak dari Abimana, kata itu terus terngiang di telinga ini. Tak percaya, bahwa sekarang aku bukan lagi istri dari Abimana, pria hebat dengan sejuta pesona. Dia akan kembali pada wanita itu. Wanita yang begitu terobsesi dan tak mau melepaskan apa yang sudah menjadi milik orang.Lukaku bertambah saat kulihat Papa Hayuda yang juga mengalami luka, Asri yang terus menemani dengan setia. Juga ikut merasakan pedihnya hatiku, menangis di luar sana. Pak Nardi yang terluka cukup parah karena sempat menghadapi mereka sendirian juga sedang dirawat di sini atas permintaan Papa dan permohonan Papa pada kedua laki-laki itu."Dokter, apa perlu operasi? Kenapa anak saya be
POV AdipPapa menghubungi melalui pesan dari nomor yang tidak aku ketahui saat aku sedang mempersiapkan berkas rapat nanti siang bersama Meta. Papa mengatakan, bahwa Abi dan keluarganya sedang dalam bahaya. Bahkan sekarang Bella sedang bertaruh nyawa sendirian, melahirkan tanpa Abi, karena Abi sedang ditawan oleh Tari. Begitu panjang pesan yang yang Papa kirimkan, termasuk kondisi yang ada di dalam rumah Abi ia gambarkan. Aku tau, Papa sedang menyuruhku untuk bertindak tanpa ada kesalahan. Seketika aku pun bangkit dari tempat duduk.[Papa ingin kedua putra Papa kembali dengan selamat.] Pesan Papa yang terakhir membuatku semakin terenyuh. "Ada apa, Pak?" tanya Meta yang duduk menata berkas untuk rapat."Aku harus pergi, Met. Kamu ke rumah sakit. Bella mau lahiran dan Abi sedang ditawan Tari di rumahnya." "Apa?" Meta pun beranjak dan terlihat begitu terkejut.Kuberikan ponsel agar Meta membacanya sendiri. Ia pun meraihnya lalu membaca pesan Papa."Aku akan mencari bantuan.""Saya akan
POV ABIAku sungguh merasa kecolongan, tak pernah ada di benakku akan seperti ini. Kukira semua akan baik-baik saja. Kacau, pikiranku sungguh kacau seolah tak bisa berputar saat kulihat Bella menahan sakit yang teramat. Melihat air mata yang juga tumpah di mana-mana, Asri, Pak Nardi, Papa, dan juga Bella yang menangis melihat keadaan Bella. Membuatku semakin kacau. Di saat aku melihat anak dan istriku dalam bahaya, Tari justru terus mendesak. Hal yang konyol dia minta. Talakku pada Bella yang tengah mengandung buah hati kami.Perlahan aku melangkah, gontai, air mataku pun tumpah. Kuraih jemari Bella yang juga terisak. Mengatakan talak bukanlah sebuah permainan terlebih pada wanita yang teramat aku sayang.Namun, memikirkan keselamatan dua orang yang begitu aku kasihi adalah yang utama. Sebagai seorang kepala keluarga aku harus bisa berkorban demi keselamatan mereka.Berat namun akhirnya kata itu terucap juga. Kutitipkan Bella dan anakku pada Papa, saat ini hanya Papa yang bisa aku a
"Jangan mimpi kamu, Tari. Selamanya Bella akan tetap menjadi istriku," tolak Abi mentah-mentah.Tari terbahak, sepertinya dia sudah tidak waras. Dendamnya begitu besar pada kami sehingga perbuatannya sudah tidak bisa di jangkau oleh logika."Apa kamu pikir setelah apa yang kalian lakukan padaku aku akan diam begitu saja, Mas?! Kamu sudah merenggut semuanya, bahkan perusahaan Papa bangkrut karenamu!""Perusahaan kalian bangkrut karena memang sudah seharusnya! Karena barang curian tidak akan pernah bertahan lama jika pemiliknya sudah mengetahui. Aku harap kamu ingat dengan ide yang kau curi di Batam, atau kamu sudah hilang ingatan?! Satu lagi, jangan panggil Mas padaku, jijik aku mendengarnya!" kata Abi lantang. "Apa karena istri kamu itu tidak bisa memanggil kamu dengan sebutan itu?" "Diam kamu, Tari!" Mereka terus berdebat mengeluarkan semua kata-kata kasar. Hingga aku merasa ada yang keluar dan basah."Abi!" teriakku saat kulihat cairan keluar. Asri dan Papa yang masih melihat ket
"Tari?!" lirihku. "Pak Nardi?!" Aku tersentak saat kulihat Pak Nardi sudah terikat dan terluka, mulutnya pun sudah ditutup oleh lakban. Tampak Pak Nardi memberi isyarat pada kami untuk berlari. Karena sepertinya Tari datang dengan niat tidak baik.Cepat aku dan Asri menutup pintu namun ditahan oleh laki-laki yang menemani Tari. Laki-laki bertubuh besar dan jumlahnya pun banyak.Mereka mendorong kami, beruntung aku hanya terhuyung tak sampai terjatuh karena Asri dengan cepat meraih tanganku."Apa maumu?" tanyaku. Mereka mendesak masuk ke dalam."Siapa, Bell?" Papa pun datang menghampiri setelah mendengar keributan."Tari?" Tak kalah sepertiku, Papa pun terlihat begitu kaget. Dua orang menyergap Papa yang berlari ke arah kami, bersamaan dengan itu dua orang mencekal kedua tanganku dan tangan Asri. "Apa-apaan ini, Tari?" berontak Papa memaksa untuk lepas dari kedua pria bertubuh kekar itu. Namun mereka mencengkeram tangan Papa lebih kuat. "Tenang, calon Papa mertua."Deg! Calon m
Di luar rencana sebelumnya yang hanya beberapa hari di Batam ternyata sampai sekarang Abi belum juga pulang. Ya, sudah hampir dua minggu Abi di Batam, rencananya besok baru akan pulang. Meski Abi selalu menghubungi lewat pesan atau video call, tetap saja hatiku hampa tanpa kehadirannya. Setiap malam biasanya dia memijat kaki yang semakin hari semakin terasa mudah sekali lelah. Sekarang Asri yang melakukannya, namun tak bisa setiap hari karena aku kasihan jika Asri harus melakukannya setiap hari.Tak jarang pula Abi berbicara pada anaknya walau hanya melalui ponsel, untuk sekedar menasehatinya untuk tidak nakal dan menjaga Mamanya."Sudah, Sri. Kamu istirahat sudah malam," kataku pada Asri yang tengah memijat kakiku saat kulihat benda pipih persegi panjang yang aku letakkan di atas nakas sebelahku itu berpendar. "Jangan lupa diminum susunya, Mbak. Nanti kalau Mas Abi telepon Asri biar bisa bilang sudah, Mas," kata Asri. Aku terkekeh, pasti mereka sering berhubungan melalui ponsel dan
"Bisa aja kamu, Bell," jawab Abi menggaruk tengkuknya, malu.Keluar dari kamar kulihat Papa duduk di sofa membaca majalah, majalah kami yang semakin berkembang pesat meski konsultasi Pak Christian dan Kak Raka secara virtual dengan Abi karena jarak yang jauh. "Papa mau nasi goreng? Sekalian Bella buatin, mau buatin Abi soalnya." tawarku."Memangnya kamu sudah boleh masak sama suamimu yang lebai itu?" tanya Papa, sejauh ini hubungan mereka masih sama, tak ada perubahan. Entah mau sampai kapan, kukira dengan kehamilanku akan membuat keduanya semakin dekat, namun kenyataannya tidak. Pernah aku meminta mereka untuk pergi bersama mencari rujak cingur di Surabaya dengan alasan permintaan bayi. Abi menolak dengan alasan akan basi, aku menjawab dan mengajari untuk beli saat waktu penerbangan sudah dekat, bumbu di pisah. Niat hati ingin mendekatkan mereka dengan menyuruh mencari makanan lebih jauh agar bisa menginap bersama. Aku malah ditertawakan. Abi membaca rencana dan tujuanku. Gagal la
Hari terasa begitu cepat, perut ini pun sudah semakin membesar seiring berjalannya acara tujuh bulanan beberapa waktu lalu. Menurut dokter, usia kandungan sudah menginjak 38 minggu. Tapi di usia kandungan yang semakin membesar, aku harus melepas Abi untuk pergi ke Batam karena suatu hal yang terjadi di proyek Batam dan memerlukan penanganan dari Abi secara langsung.Hayuda pun sudah mulai berangsur stabil. Sedangkan Mama belum juga diketahui ada di mana. "Hai anak papa, jangan nakal ya, besok Papa mau ke Batam dulu. Jagain Mama biar nggak ganjen sama si Dedi itu, ya," sindir Abi yang meletakkan kepalanya di pangkuanku, mengusap dan mengecup perut yang semakin membesar ini tiada henti. Itulah aktifitas Abi selama beberapa bulan ini setiap malam menjelang tidur. Sedang aku mengusap kepalanya."Ih, Abi, siapa yang ganjen, jangan fitnah di depan anak," keluhku, saat ini kami ada di atas ranjang big size kamarku, Abi meninggalkan kamarnya dan tidur di kamarku sejak kami pulang ke Jakart
Beranjak aku berdiri menyamainya. "Sayang, kalau aku lihat kamu terus jadi nggak tega untuk pergi, pengennya deket kamu terus, sayang-sayangan sama kamu," rayuku membelai wajah yang semakin hari semakin memancarkan aura kecantikan dan keibuan itu. Terdengar klise memang, tapi sangat dibutuhkan kalau hanya sekedar untuk merayu ibu hamil, meski aku sendiri kadang suka eneg setiap mendengar rayuanku."Benarkah?" tanyanya memelukku sejenak, Namun tiba-tiba melangkah menuju ke depan meja rias."Sini deh, lihat, perutku sudah mulai membuncit. Pantas saja kamu tidak tertarik lagi," ucapnya di depan kaca. Mengamati bentuk tubuhnya dari berbagai arah, tampaknya dia terganggu saat memelukku dan perut buncit itu bersentuhan dengan perutku terlebih dahulu.Aku pun mendekati dan memeluknya dari belakang, mengusap perut yang sudah mulai terlihat berisi. Terlihat dari pantulan cermin besar yang ada di depan sana wajah masam dari istri kesayangan. "S*eksi, aku suka. Ini yang membuat aku semakin cinta