Part 31Memantapkan niat, janji dan tanggung jawabPOV BellaHatiku sungguh tak tenang meninggalkan Abi bersama Bu Gunawan dan Dilla di rumah sendirian, terlebih keadaan kaki Abi yang juga masih belum membaik, membuatku semakin khawatir jikalau mereka memaksa-maksa Abi, bukanya suudzon namun aku tau betul sifat Bu Gunawan yang senang memaksakan kehendak itu. Setelah aku berpikir keras, aku pun menemukan sebuah ide yaitu Menghubungi tetangga sebelah untuk menanyakan apakah Bu Gunawan dan Dilla masih ada di rumahku atau tidak. Bak gayung bersambut, Bu Ria, tetangga dekatku langsung mengangkat teleponku dan mengatakan bahwa mereka sudah pergi tak lama setelah aku pergi, aku pun lega dan bisa bekerja dengan tenang.Hari ini waktu terasa begitu lama, mungkin karena aku sangat menantikannya, dan terus memikirkannya. Penantianku tak sia-sia, karena ketika jam pulang belum tiba, Kak Raka sudah mengirim pesan untukku. Mengingatkan perihal malam ini. Seperti rencana sebelumnya, malam ini aku
Bab 32Pekerjaan BaruPOV Bella, Dua minggu sudah, sejak Abi memberiku waktu untuk memantapkan tujuan hubunganku dengan Kak Raka, belum ada pergerakan yang berarti antara aku dan Kak Raka. Namun, aku tetap berusaha."Dandan cantik, pake blazer, pake sepatu, mau kemana, Bell?" Abi bertanya seraya memperhatikan penampilanku dari ujung kaki hingga ujung rambut.Saat ini Abi sudah tidak menggunakan kursi roda lagi, dia sudah bisa berjalan menggunakan tongkat yang aku beli online. Syukurlah, dia tidak begitu merepotkanku sekarang, terapi pun dia bisa berangkat sendiri. Cukup memberinya uang untuk ongkos pulang dan pergi. Berada dalam posisiku saat ini memang tidak mudah. Aku harus bertindak selayaknya orang tua yang harus selalu siaga, baik dalam masalah keuangan maupun kebutuhan Abi yang lain. Ya, mau bagaimana lagi, aku harus tetap bertanggung jawab atas perbuatanku, dan sejak saat itu pula aku tidak pernah lagi menghubungi Lila. Aku masih marah dengannya dan aku juga tidak tahu bagaima
PART 33Mari pulang!Taksi yang aku pesan sudah datang, dengan langkah tertatih menahan sakit, aku segera masuk dan ku suruh taksi menuju kantor penerbit di mana Bella bekerja. Begitu paniknya aku hingga aku lupa tidak membawa uang. Namun, begitu aku melihat ponsel di tanganku, aku pun merasa tenang. Dengan ponsel yang aku bawa aku bisa membayar taksi via transfer. "Lebih cepat, Pak!" seruku."Iya, Mas."Tidak butuh waktu lama untuk sampai di kantor Bella. Dengan cepat aku turun, memasuki gerbang perusahaan. "Mau kemana, Mas?" tanya security yang menjaga gerbang utama padaku, berdiri di hadapanku, lebih tepatnya menghadangku agar tidak masuk ke dalam. Ia menatapku dengan tatapan sinis. Ya, tampilanku jauh dari kata mewah, aku hanya mengenakan sweater dan celana bahan yang dibeli Bella dari pasar. Tapi, tetap saja, seharusnya mereka tidak boleh seperti itu pada tamu. "Maaf, Pak. Apa Bella ada di dalam?" tanyaku."Bella? Siapa Bella?" tanyanya dengan tatapan tak suka."Karyawan baru,
Bab 34Lupakan Raka!Abi mengerti dan tanggap, ia berhenti di depan rumah tetangga sebelah. "Bella, kamu kok baru pulang? Bukannya kamu sudah pulang dari tadi? Terus, kok nyeker? Kaki kamu kenapa?" cecar Kak Raka, berjalan ke arahku, mendekatiku.Kutata hati. menarik napas dan kuhembuskan perlahan. Semoga tidak sampai kehilangan kendali dan berakibat menjatuhkan harga diri sendiri di depan Kak Raka."Tadi, aku cari makan dulu, terus sepatuku patah saat ngejar bis." jawabku menutupi."Terus, kamu nggak papa?" tanyanya meraih tanganku, aku menepisnya. Mulai hari ini aku harus sadar dan benar-benar akan menghapusnya, sepuluh tahun sudah aku hidup dalam bayang-bayang cinta yang bertepuk sebelah tangan, dan ini adalah saatnya aku bersahabat dengan realita. Realitanya sudah jelas bahwa Kak Raka hanya untuk Nadia bukan untuk Bella. Berhenti dan lupakan."Kakak kenapa kesini malam- malam?" "Ini, Bell, file yang kamu kasih kayaknya ketuker, deh." File, dia ke sini untuk file rupanya. "O ya?
Bab 35Hidup BaruPOV BELLAAku mengerjap, rasanya tubuhku masih terasa lemah, ku lihat sekelilingku. Seorang suster sedang duduk di sofa membaca majalah. "Sus..." lirihku dengan suara lemah."Mbak, mbak sudah sadar?" tanyanya beranjak mendatangiku."Abi, dimana?""O, Pak Abi? Pak Abi ada urusan, tadi setelah mbak keluar dari ruang operasi dan menemui dokter, beliau langsung pergi dan menitipkan mbak pada saya. Saya yang akan menemani mbak selama 24 jam. Perkenalkan, nama saya Dewi." ujarnya dengan sejuta senyuman."Saya, Bella. Sus, kalau boleh tau, Abi, maksudnya kakak saya pergi itu, pergi kemana?" tanyaku lagi."Kalau itu saya kurang tahu, mbak."Pandanganku beralih pada ruangan di sekelilingku, ruangan ini tidak sesuai dengan ruangan yang tertera di kartu kesehatanku. "Apa karena ini Abi pergi? apa Abi sedang mencari uang untuk biaya pengobatan? tapi kemana? teman- teman lamanya?" Batinku bertanya."Sus, saya mau turun kelas saja, saya nggak punya biaya kalau harus ditempatkan
36"Saya nggak ada urusan sama, Bapak, ya!""Tapi aku ada!""G*la, kenal aja nggak.""Maka dari itu, dengan bersama kita akan saling mengenal," ucapnya membuatku semakin geram, kukerahkan seluruh tenagaku untuk melepaskan tanganku darinya. Namun, dia justru semakin kuat mencengkeram tanganku."Adip! Lepaskan Bella! Dia milikku, tidak ada yang bisa menyentuhnya selain aku!" Tiba- tiba, Abi dan Meta datang mengejutkan kami. Entah darimana dia datang aku kurang begitu memperhatikan.Aku meringis sakit, saat laki-laki ini justru semakin kuat mencengkeram tanganku begitu Abi datang. Cengkeraman yang seolah menggambarkan kebencian yang begitu dalam. Dengan cepat seperti kilat, Abi mencengkeram kerah baju laki-laki itu dan mendesaknya mundur hingga tangan itu terlepas dari tanganku. Tubuh laki-laki itu pun terdesak mundur hingga membentur mobil yang ada di belakangnya.Kupegangi pergelangan tangan yang memerah dan terasa panas."Bagas!" teriak laki-laki tersebut. Tampak seorang laki-laki ke
37. Pulang BApa Mbak Bella baik-baik saja?" tanya Meta yang tiba-tiba sudah ada di sebelahku. Aku mengangguk pelan. "Saya, permisi." Dengan cepat kutinggalkan Abi yang masih berjarak agak jauh dari tempatku berdiri saat ini."Mbak." Meta mencoba menahanku dengan meraih tanganku. Aku menepis, aku tak mau lagi berurusan dengan Abi. Aku takut terluka, aku takut kecewa lagi dan lagi.Terlebih saat kulihat penampilan Abi yang berbeda jauh dengan saat ia tinggal bersamaku dan masih bersama Meta. Jelas, dia sudah membohongiku selama ini.Kupercepat langkah dan berharap mereka tak mengejar. "Bella, berhenti, Bell." Tangan itu meraih tanganku, menarikku dan membawaku ke dalam pelukannya. Tentu saja, aku tidak membalas pelukan itu, meski terasa hangat, tetap saja aku tak boleh kehilangan kendali."Apa kamu marah denganku, Bell?" lirihnya."Jangan seperti ini, ada Meta!" tolakku. Aku masih punya rasa malu, meski dada ini sudah sangat ingin mencaci dan memakai Abi. Aku masih ada rasa sungkan t
38. Pulang CDeg ... apa Abi sedang meminta jawaban atas pernyataan cintanya? "Surat apa?""Ya surat, surat yang aku titipkan sama Suster Dewi," jawabnya sambil sesekali menoleh ke arahku."Aku tidak mengerti apa maksud surat itu." Lebih baik berkelit daripada sakit.Mobil dihentikan secara tiba-tiba. Kemudian Abi keluar dan masuk ke belakang lalu duduk di sampingku. "Kenapa?" tanyaku bingung."Aku, akan membuatmu mengerti maksud dari surat itu, Bell." ucapnya dengan tatapan tajam membuat jantungku berdebar kencang."Aku ....""Bella ... aku ingin rujuk denganmu. Aku ingin memulainya dari awal, di mana hanya ada aku dan kamu, tanpa ada kata dia. Raka ataupun Tari. "Suasana begitu berbeda, udara malam terasa panas saat aku mendengar kata- kata Abi.Deg ... deg ... deg ... jantungku seolah berpacu. "Aku tidak bisa, maaf, ini terlalu cepat dan tidak masuk akal.""Kalau ini terlalu cepat,m maka aku akan menunggumu.""Aku tidak bisa percaya begitu saja padamu," elakku."Aku akan membuatm
POV BellaDi sini aku sendiri, menahan sakit dan bertaruh nyawa melahirkan buah cintaku dengan Abi. Di sana entah apa yang terjadi, apakah Abi sudah mengucap ijab kabul kembali dengan Tari atau sedang bertaruh nyawa berjuang untuk melepaskan diri. Sakitnya melahirkan bercampur dengan sakit hati yang semakin dalam saat kuingat kata talak dari Abimana, kata itu terus terngiang di telinga ini. Tak percaya, bahwa sekarang aku bukan lagi istri dari Abimana, pria hebat dengan sejuta pesona. Dia akan kembali pada wanita itu. Wanita yang begitu terobsesi dan tak mau melepaskan apa yang sudah menjadi milik orang.Lukaku bertambah saat kulihat Papa Hayuda yang juga mengalami luka, Asri yang terus menemani dengan setia. Juga ikut merasakan pedihnya hatiku, menangis di luar sana. Pak Nardi yang terluka cukup parah karena sempat menghadapi mereka sendirian juga sedang dirawat di sini atas permintaan Papa dan permohonan Papa pada kedua laki-laki itu."Dokter, apa perlu operasi? Kenapa anak saya be
POV AdipPapa menghubungi melalui pesan dari nomor yang tidak aku ketahui saat aku sedang mempersiapkan berkas rapat nanti siang bersama Meta. Papa mengatakan, bahwa Abi dan keluarganya sedang dalam bahaya. Bahkan sekarang Bella sedang bertaruh nyawa sendirian, melahirkan tanpa Abi, karena Abi sedang ditawan oleh Tari. Begitu panjang pesan yang yang Papa kirimkan, termasuk kondisi yang ada di dalam rumah Abi ia gambarkan. Aku tau, Papa sedang menyuruhku untuk bertindak tanpa ada kesalahan. Seketika aku pun bangkit dari tempat duduk.[Papa ingin kedua putra Papa kembali dengan selamat.] Pesan Papa yang terakhir membuatku semakin terenyuh. "Ada apa, Pak?" tanya Meta yang duduk menata berkas untuk rapat."Aku harus pergi, Met. Kamu ke rumah sakit. Bella mau lahiran dan Abi sedang ditawan Tari di rumahnya." "Apa?" Meta pun beranjak dan terlihat begitu terkejut.Kuberikan ponsel agar Meta membacanya sendiri. Ia pun meraihnya lalu membaca pesan Papa."Aku akan mencari bantuan.""Saya akan
POV ABIAku sungguh merasa kecolongan, tak pernah ada di benakku akan seperti ini. Kukira semua akan baik-baik saja. Kacau, pikiranku sungguh kacau seolah tak bisa berputar saat kulihat Bella menahan sakit yang teramat. Melihat air mata yang juga tumpah di mana-mana, Asri, Pak Nardi, Papa, dan juga Bella yang menangis melihat keadaan Bella. Membuatku semakin kacau. Di saat aku melihat anak dan istriku dalam bahaya, Tari justru terus mendesak. Hal yang konyol dia minta. Talakku pada Bella yang tengah mengandung buah hati kami.Perlahan aku melangkah, gontai, air mataku pun tumpah. Kuraih jemari Bella yang juga terisak. Mengatakan talak bukanlah sebuah permainan terlebih pada wanita yang teramat aku sayang.Namun, memikirkan keselamatan dua orang yang begitu aku kasihi adalah yang utama. Sebagai seorang kepala keluarga aku harus bisa berkorban demi keselamatan mereka.Berat namun akhirnya kata itu terucap juga. Kutitipkan Bella dan anakku pada Papa, saat ini hanya Papa yang bisa aku a
"Jangan mimpi kamu, Tari. Selamanya Bella akan tetap menjadi istriku," tolak Abi mentah-mentah.Tari terbahak, sepertinya dia sudah tidak waras. Dendamnya begitu besar pada kami sehingga perbuatannya sudah tidak bisa di jangkau oleh logika."Apa kamu pikir setelah apa yang kalian lakukan padaku aku akan diam begitu saja, Mas?! Kamu sudah merenggut semuanya, bahkan perusahaan Papa bangkrut karenamu!""Perusahaan kalian bangkrut karena memang sudah seharusnya! Karena barang curian tidak akan pernah bertahan lama jika pemiliknya sudah mengetahui. Aku harap kamu ingat dengan ide yang kau curi di Batam, atau kamu sudah hilang ingatan?! Satu lagi, jangan panggil Mas padaku, jijik aku mendengarnya!" kata Abi lantang. "Apa karena istri kamu itu tidak bisa memanggil kamu dengan sebutan itu?" "Diam kamu, Tari!" Mereka terus berdebat mengeluarkan semua kata-kata kasar. Hingga aku merasa ada yang keluar dan basah."Abi!" teriakku saat kulihat cairan keluar. Asri dan Papa yang masih melihat ket
"Tari?!" lirihku. "Pak Nardi?!" Aku tersentak saat kulihat Pak Nardi sudah terikat dan terluka, mulutnya pun sudah ditutup oleh lakban. Tampak Pak Nardi memberi isyarat pada kami untuk berlari. Karena sepertinya Tari datang dengan niat tidak baik.Cepat aku dan Asri menutup pintu namun ditahan oleh laki-laki yang menemani Tari. Laki-laki bertubuh besar dan jumlahnya pun banyak.Mereka mendorong kami, beruntung aku hanya terhuyung tak sampai terjatuh karena Asri dengan cepat meraih tanganku."Apa maumu?" tanyaku. Mereka mendesak masuk ke dalam."Siapa, Bell?" Papa pun datang menghampiri setelah mendengar keributan."Tari?" Tak kalah sepertiku, Papa pun terlihat begitu kaget. Dua orang menyergap Papa yang berlari ke arah kami, bersamaan dengan itu dua orang mencekal kedua tanganku dan tangan Asri. "Apa-apaan ini, Tari?" berontak Papa memaksa untuk lepas dari kedua pria bertubuh kekar itu. Namun mereka mencengkeram tangan Papa lebih kuat. "Tenang, calon Papa mertua."Deg! Calon m
Di luar rencana sebelumnya yang hanya beberapa hari di Batam ternyata sampai sekarang Abi belum juga pulang. Ya, sudah hampir dua minggu Abi di Batam, rencananya besok baru akan pulang. Meski Abi selalu menghubungi lewat pesan atau video call, tetap saja hatiku hampa tanpa kehadirannya. Setiap malam biasanya dia memijat kaki yang semakin hari semakin terasa mudah sekali lelah. Sekarang Asri yang melakukannya, namun tak bisa setiap hari karena aku kasihan jika Asri harus melakukannya setiap hari.Tak jarang pula Abi berbicara pada anaknya walau hanya melalui ponsel, untuk sekedar menasehatinya untuk tidak nakal dan menjaga Mamanya."Sudah, Sri. Kamu istirahat sudah malam," kataku pada Asri yang tengah memijat kakiku saat kulihat benda pipih persegi panjang yang aku letakkan di atas nakas sebelahku itu berpendar. "Jangan lupa diminum susunya, Mbak. Nanti kalau Mas Abi telepon Asri biar bisa bilang sudah, Mas," kata Asri. Aku terkekeh, pasti mereka sering berhubungan melalui ponsel dan
"Bisa aja kamu, Bell," jawab Abi menggaruk tengkuknya, malu.Keluar dari kamar kulihat Papa duduk di sofa membaca majalah, majalah kami yang semakin berkembang pesat meski konsultasi Pak Christian dan Kak Raka secara virtual dengan Abi karena jarak yang jauh. "Papa mau nasi goreng? Sekalian Bella buatin, mau buatin Abi soalnya." tawarku."Memangnya kamu sudah boleh masak sama suamimu yang lebai itu?" tanya Papa, sejauh ini hubungan mereka masih sama, tak ada perubahan. Entah mau sampai kapan, kukira dengan kehamilanku akan membuat keduanya semakin dekat, namun kenyataannya tidak. Pernah aku meminta mereka untuk pergi bersama mencari rujak cingur di Surabaya dengan alasan permintaan bayi. Abi menolak dengan alasan akan basi, aku menjawab dan mengajari untuk beli saat waktu penerbangan sudah dekat, bumbu di pisah. Niat hati ingin mendekatkan mereka dengan menyuruh mencari makanan lebih jauh agar bisa menginap bersama. Aku malah ditertawakan. Abi membaca rencana dan tujuanku. Gagal la
Hari terasa begitu cepat, perut ini pun sudah semakin membesar seiring berjalannya acara tujuh bulanan beberapa waktu lalu. Menurut dokter, usia kandungan sudah menginjak 38 minggu. Tapi di usia kandungan yang semakin membesar, aku harus melepas Abi untuk pergi ke Batam karena suatu hal yang terjadi di proyek Batam dan memerlukan penanganan dari Abi secara langsung.Hayuda pun sudah mulai berangsur stabil. Sedangkan Mama belum juga diketahui ada di mana. "Hai anak papa, jangan nakal ya, besok Papa mau ke Batam dulu. Jagain Mama biar nggak ganjen sama si Dedi itu, ya," sindir Abi yang meletakkan kepalanya di pangkuanku, mengusap dan mengecup perut yang semakin membesar ini tiada henti. Itulah aktifitas Abi selama beberapa bulan ini setiap malam menjelang tidur. Sedang aku mengusap kepalanya."Ih, Abi, siapa yang ganjen, jangan fitnah di depan anak," keluhku, saat ini kami ada di atas ranjang big size kamarku, Abi meninggalkan kamarnya dan tidur di kamarku sejak kami pulang ke Jakart
Beranjak aku berdiri menyamainya. "Sayang, kalau aku lihat kamu terus jadi nggak tega untuk pergi, pengennya deket kamu terus, sayang-sayangan sama kamu," rayuku membelai wajah yang semakin hari semakin memancarkan aura kecantikan dan keibuan itu. Terdengar klise memang, tapi sangat dibutuhkan kalau hanya sekedar untuk merayu ibu hamil, meski aku sendiri kadang suka eneg setiap mendengar rayuanku."Benarkah?" tanyanya memelukku sejenak, Namun tiba-tiba melangkah menuju ke depan meja rias."Sini deh, lihat, perutku sudah mulai membuncit. Pantas saja kamu tidak tertarik lagi," ucapnya di depan kaca. Mengamati bentuk tubuhnya dari berbagai arah, tampaknya dia terganggu saat memelukku dan perut buncit itu bersentuhan dengan perutku terlebih dahulu.Aku pun mendekati dan memeluknya dari belakang, mengusap perut yang sudah mulai terlihat berisi. Terlihat dari pantulan cermin besar yang ada di depan sana wajah masam dari istri kesayangan. "S*eksi, aku suka. Ini yang membuat aku semakin cinta