Bab 14Keputusan AbimanaPOV BELLAKubuka pintu saat kuterima pesan dari Raya, bahwa dia sedang berada di depan rumahku. Tentu dengan sigap aku langsung terhenyak dari tempat tidurku. Kulihat maduku sudah sendiri, berdiri memunggungiku, sayup-sayup kudengar isakan dari balik badan maduku itu yang sepertinya memang sengaja dia sembunyikan dari orang lain terutama aku, ya tentu saja lah, dengan percaya dirinya dia menuduhku. Eh, nyatanya dia sendiri yang menangis tersedu-sedu. Kena mental nggak coba? Emang enak? "Tari ... haih, ngapain? Raya lebih meresahkan," gumamku membatalkan keinginanku untuk bertanya pada Tari tentang apa yang terjadi.Aku berlari menuju pintu depan, membukanya, dan keluar. Tak lupa kukunci pintu dari luar agar Raya tidak nyelonong masuk seperti biasa."Bella ...." teriak Raya menghambur ke pelukanku."Raya, ngapain kesini?" tanyaku."Setidaknya biarkan aku masuk dulu dong, Bell. Aku lelah tau," ucapnya seraya berjalan ke arah pintu. Kuikuti langkah Raya dengan be
Bab 15Siasat BellaPOV BELLA"Da ... Raya, semangat, ya," kataku melambaikan tangan saat Raya memasuki taksi onlinenya.Aku bergegas masuk, sebelum ada yang mau keluar dan kesusahan membuka pintu karena aku sudah menguncinya dari luar tanpa sepengetahuan orang yang ada di dalam.Cekrek! Kubuka pintu lalu masuk dan membalikkan badanku.Deg ... jantungku hampir copot saat kulihat Tari berdiri di belakangku tanpa suara, menyilangkan tangan, menatapku tajam."Tari, jangan menghantui hidupku terus, datang tanpa permisi, kenapa nggak pergi tanpa permisi aja, sih!" omelku, aku pun melangkah pergi. Tiba-tiba tangan Tari mencekalku dan membuat langkahku terhenti."Apaan sih, Tari! lepas!" kataku menghempaskan tangan Tari."Bella, aku mau bicara denganmu. Duduklah, sebelum Abi keluar!" katanya, dari kata dan gelagat Tari sepertinya dia akan bermain di belakang Abi kali ini.Aku pun duduk, tidak ada salahnya mempermainkan balik dia setelah aku mengetahui apa rencananya. "Buruan, aku nggak ada b
Bab 16Pura-pura Kututup pintu dan tertawa sepuasnya. " Hahahaha ...." "Nggak Bell, belum saat nya tertawa, jalan masih panjang," gumamku menghentikan tawaku.Kuletakkan tas lalu berbenah, seperti apa kata Abi, kita akan kembali ke Jakarta besok. Walau berat, namun aku harus tetap menjalani, terlebih aku harus mengurus cafe yang baru saja aku rintis.Setelah semua selesai, aku mengistirahatkan dan membaringkan tubuhku di ranjang. Bruk!Terdengar suara pintu kamar sebelah ditutup kasar.Entah, ada apa sebenarnya aku tak peduli. Tapi terlalu sayang untuk dilewatkan jika yang terjadi adalah hal buruk untuk mereka. Kubuka perlahan pintu lalu kulihat dengan seksama, mencengangkan, Abi dengan bantal dan selimutnya tidur di sofa ruang keluarga. Kututup dan kukunci pintu kamarku rapat-rapat, aku tak ingin ikut campur atau tau masalah mereka, tujuanku hanya membuat mereka tahu diri dan menyesal telah menyakiti hatiku yang masih terluka atas kepergian kedua orang tuaku.Kembali, kupejamkan
Bab 17Kehebohan di CafeKupersilahkan Pak Bagas dan Pak Pradipta untuk masuk ke ruanganku. Namun, Pak Pradipta menolak. Berbeda dengan Pak Bagas, bosnya itu terlihat lebih tidak bersahabat. Dengan bintik merah di wajahnya, aku yakin korban dari karyawanku ini adalah si bos songong ini."Maafkan atas keteledoran karyawan kami. Kami akan mengganti seluruh biaya pengobatan bapak," kataku dengan lembut."Kalian pikir, saya tidak bisa berobat?" Salah paham, itu yang justru dia pikirkan pada kami."Bukan, Pak, bukan begitu, kami tau kami salah, maka dari itu kami juga harus bertanggung jawab. Jangan menuntut cafe kami, kami janji akan lebih berhati-hati kedepannya," jelasku panjang lebar.Ia tersenyum sinis."Tolong, Pak. Cafe ini baru saja kami buka, kalau masalah ini tidak diselesaikan secara kekeluargaan, cafe kami bisa tutup sebelum berkembang," mohonku. Kutangkupkan kedua tanganku di dada."Bagas, kita pergi! Berdebat dengan wanita hanya akan membuat kita rugi, aku kira pemiliknya pri
Bab 18Perubahan TariPOV BELLAMengejutkan, Tari datang saat Abi masih memelukku, tak mau menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Segera, kuraih pundak Abi. "Apa, Bi? Kamu merindukanku? Sampe kamu kesini dan memilih cafe ini untuk meeting? Ya, ampun Abi, bukannya di Surabaya kita sudah sering berdua saja?" ucapku manja.Abi tersenyum miring dan masih setia di tempat dan posisi yang sama tidak beranjak menemui Tari."Ya, aku merindukanmu. Sampai aku tidak sabar menunggumu pulang," ceplos Abi.Jujur aku tak percaya dengan jawaban Abi kali ini, tapi aku tak mau ambil pusing. Karena jawaban Abi kali ini sangat menguntungkan bagiku."Mas Abi, Bella, kalian ....""Tari, tinggalkan kami, ada yang harus aku selesaikan dengan Bella," kata Abi, bahkan dia mengusir Tari. Benar-benar membingungkan, semoga saja tidak ada rencana lain dari Abi."Apa?" Tari seakan tak percaya dengan perkataan pujaan hatinya ini."Tari, mengertilah," sambung Abi.Dengan wajah marah dan hentakan kaki, Tari meninggalkan k
Bab 19Kejutan yang bertubi"Sri, aku berangkat, ya," pamitku setelah kukembalikan amplop Tari."Nggak sarapan dulu, Mbak?""Di cafe aja, lagi pula aku ada seminar, Sri," jawabku.Terdengar suara bel berbunyi. Asri bergegas membukanya. Beberapa saat kemudian aku mengikuti Asri, karena dia tak kunjung kembali."Siapa, Sri?" tanyaku menghampiri."Ini, Mbak, mamanya Mbak Tari."Kuulurkan tangan bermaksud menyalami, ini adalah kali pertama aku bertemu dengan ibu dari maduku, karena urusanku dengan Tari jadi ku pikir tidak baik jika berlaku sama pada ibunya. Namun, ternyata aku sudah salah mengira. Dia tidak membalas uluran tanganku, ia justru melengos sinis padaku. Dari gelagatnya sudah bisa dipastikan kebencian itu begitu nyata."Mama, udah dateng?" ucap Tari menghampiri mamanya."O ... jadi ini, Tar? Gundik si Abi?" Pertanyaan itu jelas dan lugas ditujukan untuk menyindirku. Hinaan itu sontak membuatku naik pitam."Apa Tante bilang? Gundik? Apa Tante tidak paham arti kata gundik? Saya j
Bab 20Kemarahan AbiPOV ABIPapa menghubungiku semalam, memaksaku untuk pulang, aku harus menggantikan Pradipta untuk seminar dikarenakan Adip sedang kurang enak badan. Namun, nyatanya semua itu hanya sandiwara, nyatanya Tari dan Papa merencanakan kejutan ulang tahun untukku, yang bahkan aku sendiri melupakannya. Memalukan, dalam acara seminar mereka memberikan ini, sudah seperti anak kecil saja aku diperlakukan.Yang lebih membuatku marah adalah, Bella menyaksikan itu semua, sungguh tak bisa kubayangkan apa yang ada di pikiran Bella tentangku saat ini. Tak ingin melihat Bella semakin sakit jika terus berada di sana, aku pun menyuruhnya untuk segera pulang.Setelah kepergian Bella aku bergegas turun dari panggung untuk menyusul Bella pulang. Tapi, Mama dan Papa mencegah, mengajakku untuk sekedar makan malam merayakan ulang tahun. "Mas, hormatilah keinginan Papamu, makan lah sebentar," kata Tari mengikutiku, bersama Mama dan juga Papa, tak ketinggalan juga Mama mertuaku, yang tidak t
Bab 21Kepergian BellaPOV ABIHari ini semua membuatku seakan naik darah, Papa, Tari, mamanya, dan juga Bella yang pulang dalam kondisi mabuk. Apalagi setelah aku mendengar ini ada hubungannya dengan yang namanya Alex.Namun, aku masih bersyukur karena Bella masih selamat. Kubawa Bella untuk beristirahat di kamar dengan Asri yang masih setia mengikutiku. "Sri, ganti bajunya dulu, sama yang lebih longgar biar nyaman," perintahku saat kulihat Bella yang memakai Blazzer warna coklat, basah dan penuh dengan bau alkohol, dari sini aku yakin bahwa, apa yang dikatakan Meta memang benar. Karena, jika Bella melakukannya tanpa paksaan dan pemberontakan, tidak mungkin bajunya sampai basah terkena alkohol. Alex, pemuda Surabaya itu, aku sudah menaruh curiga sejak awal kami bertemu, caranya menatap Bella berbeda. Aku juga sudah memperingatkan Bella untuk berhati-hati padanya. Yang membuatku heran adalah, bagaimana dia menemukan Bella? Jelas-jelas alamat yang aku berikan saat itu sangat jauh dari