BAB 4
SurabayaPOV BELLASatu jam setengah aku sampai di bandara Surabaya, tepat pukul 12 siang aku tiba. "Benar kata Asri, sepertinya aku masuk angin ini," gumamku memegang kepalaku yang mulai pening.Kubuka gawai, mengingat pesan Abi yang mengatakan untuk menghubunginya jika sudah tiba. "Abi ...," kataku mencari kontak di ponsel."Hah! nggak lah. Bukannya aku sedang marah dan mau mode diam sama Abi, pesan taksi aja lah," putusku, kumasukkan kembali ponsel ke dalam saku."Bella ...," teriak seseorang berlari ke arahku, jantungku berdegup kencang saat melihat siapa yang datang. "Kak Raka," lirihku tersenyum malu.Aku memang sudah menyimpan rasa padanya sejak aku masih duduk di bangku SMA. Kak Raka adalah kakak kelasku. Namun, aku tak berani mengungkapkan karena kudengar dia berpacaran dengan teman seangkatannya, Nadia. Sehingga aku hanya bisa mengaguminya dalam diam. Hah, menyedihkan."Kak Raka, kok ada disini?""Kebetulan aku baru pulang dari Bandung, aku dapat panggilan kerja di sana.""Wah, selamat, Kak. Aku ikut senang.""Kamu sendiri? Aku dengar sekarang kamu sudah tinggal di Jakarta.""Iya, Kak, kebetulan nanti malam acara 100 hari mamaku, jadi aku pulang.""Oh, maaf," Kak Raka memang orang yang paling sopan dan pintar menjaga perasaan orang lain.Drrrt ... ponselku bergetar, panggilan masuk dari Abi. "Halo!" jawabku malas."Sudah sampe, Bell?""Iya, sudah, tidak usah menjemputku aku akan naik taksi.""Kenapa?""Pulang bareng aja,Bell. Nggak usah naik taksi," sela Kak Raka."Sama siapa kamu, Bell?"Kututup telepon dari Abi sebelum Abi mendengar percakapan kami lebih lanjut. Abi sangat tidak suka dengan Kak Raka."Nggak usah, Kak. Aku udah pesan taksi. Tuh," kataku menunjuk ke arah taksi yang memang sudah kupesan sesuai aplikasi."Tapi, Bell, kamu pucat. Maaf, apa kamu sakit?""Oh, nggak. Masuk angin aja. Karena takut ketinggalan pesawat aku nggak sempat sarapan." jawabku."Aku duluan ya, Kak. Dah ...." pamitku melambaikan tangan.Kutinggalkan Kak Raka, tak seharusnya aku mengharapkannya walau jauh dari dalam lubuk hatiku masih menyimpan rasa itu. Tapi sekarang aku sudah menjadi istri Abi, terlepas dari kami yang tidak saling mencintai, tetap saja kami sudah berada dalam satu ikatan yang bernama pernikahan. Aku tak ingin menjadi seperti Abi, meski ada pepatah yang mengatakan cinta datang karena terbiasa namun, nyatanya Abi memilih untuk mendua dari pada bersabar memupuk cinta. Karena aku sadar betapa sakitnya di duakan maka aku tak akan mendua selama aku masih menjadi istri Abi."Kiri, Pak," Aku turun tepat di depan rumah Mama.Kupandangi rumah yang begitu banyak menyimpan kenangan antara aku, Mama, dan Papa. Tak terasa air mataku pun jatuh."Bella," panggil Abi yang berlari menghampiriku, kuusap airmataku dengan cepat lalu berjalan menuju rumah."Bell," kata Abi mengulurkan tangannya. Terlihat Abi sedikit lusuh dengan lengan kemeja yang dilipat dan terlihat berantakan, juga sepatu yang diganti dengan sendal jepit bekas almarhum Papa. Tampak seperti sedang melakukan pekerjaan berat. Aku tak mau banyak bertanya, perutku sudah mulai mual. Kutepis tangan Abi dan aku berlalu."Bella!" kata Abi mengikutiku.Setelah masuk rumah aku pun menghentikan langkahku sejenak."Bell, kamu lupa kewajibanmu?!" protesnya.Kuraih tangan Abi dan kukecup punggung tangannya. "Udah, jangan di luar, nggak enak sama tetangga.""Kenapa?""Kamu tanya saja pada dirimu sendiri. Pernahkah kamu memperkenalkan bahwa aku adalah istrimu?" ucapku, itulah kenyataannya. Aku dan Abi tak seperti suami istri pada umumnya, pernah sekali aku bertemu dengannya di sebuah pusat perbelanjaan, saat aku hendak menyapanya, dia justru menghindariku. Setelahnya aku cukup tahu diri dan tidak menyapanya lagi jika kami saling berpapasan. Abimana, aku tak pernah tahu dan tak ingin lagi tahu, siapa dan apa pun tentangnya sekarang, sakit hatiku sudah terlalu dalam."Aku tidak bermaksud seperti itu, Bell, aku hanya tak ingin kamu dalam masalah jika mereka tau kamu adalah istriku," jelasnya."Ya, terserah lah, Bi." Kutinggalkan Abi, aku tak mau berdebat lagi.Kupandangi sekeliling ruangan yang terlihat begitu bersih dan rapi, bukan seperti rumah yang sudah lama aku tinggalkan."Apa Abi? Melakukannya sendiri?" gumamku.Netraku pun tertuju pada foto yang berjejer di dinding ruang keluarga, foto yang menyimpan begitu banyak kenangan. Foto Mama dan Papa, membuatku semakin teringat akan hari-hari indah yang aku lalui bersama dulu."Papa, Mama, aku merindukan kalian," lirihku, kuusap airmata kesendirian."Bell, udah ya, nggak usah nangis. Aku ada di sini," kata Abi yang tiba-tiba berdiri di sampingku dan ikut memandang foto-foto keluargaku."Aku merindukan mereka, Bi.""Mereka, papa sama mama kamu sudah bersama-sama, Bell.""Tapi aku sendiri, Bi," lirihku.POV ABIDeg ....Kata-kata Bella sukses membuatku merasa sebagai suami yang gagal, aku sudah sangat mengecewakan Bella.Kutarik tangan Bella dan kubawa dia dalam dekapanku. "Bella, jangan berkata seperti itu. Maaf ...."Bella tak menjawab tak ada suara sedikitpun keluar, tapi aku tahu benar dia sedang sekuat tenaga menahan airmatanya. Airmata yang mampu ia tumpahkan di depan Asri nyatanya tak mampu ia tumpahkan di hadapankuSebegitu tidak nyamankah ia bersamaku? Melihat matanya yang sembab subuh tadi sudah cukup membuatku merasa bersalah, sekarang aku harus kembali melihat kesedihan itu, dan aku tak mampu membantu menguranginya.Bella mengurai pelukanku, seolah tak mau aku menyentuhnya. "Aku ke kamar,"Pamitnya."Bella, kamu terlihat pucat, apa kamu sehat?""Sehat," jawabnya singkat."Aku ada urusan sebentar, Bell. Kerjaan, istirahatlah. Aku akan pulang sebelum Maghrib, akan aku kirim orang untuk membantumu bersiap-siap."Dia mengangguk pelan. Lalu meninggalkanku. "Kuncilah pintu sebelum pergi." Hanya itu yang di katakan.Aku pun bergegas, tujuanku kemari adalah untuk meninjau proyek baru.Kubuka pintu lalu menguncinya seperti apa pesan Bella."Permisi, Pak," sapa seorang laki-laki muda padaku saat aku berbalik setelah mengunci pintu."Iya, ada yang bisa saya bantu?" tanyaku."Bella nya ada, Pak?""Pak?" Batinku bertanya setua itukan aku?"Ehem, kamu siapa?""Saya Raka, temannya Bella."Degh ... bak dihantam bongkahan batu tepat di kepalaku saat aku mendengar namanya, walaupun aku belum pernah bertemu Raka, tapi aku tau benar Raka adalah laki-laki yang pernah ada di hati Bella, bukan pernah, tapi mungkin sekarang masih ada di hati Bella."Bella sedang istirahat, ada perlu apa?" tanyaku sinis."Ini Pak, mau mengembalikan barang Bella, tadi terjatuh di bandara," kata Raka memberikan jepit rambut, kecil, dan tak berarti. Pikiranku mulai curiga, Raka sengaja memakai jepit rambut ini sebagai alasan agar dapat bertemu dengan Bella.Lagi-lagi aku harus merasakan senam jantung saat aku ingat kembali apa yang terjadi di bandara, rupanya suara laki-laki yang aku dengar tadi adalah Raka, apa mungkin Bella dan Raka sengaja bertemu di belakangku?"Pak, Bapak siapanya Bella ya?" tanyanya membuyarkan lamunanku."Saya su ....""Mas Abi!" seru Tari yang terlihat turun dari taksi saat aku hendak memperkenalkan diri membuatku kaget."Tari? Kenapa Tari bisa kesini? Aduh, pake lupa lagi ngasih tau Tari untuk tetap tinggal di Jakarta." gumamku."Tari, ngapain kamu kesini?" tanyaku setelah Tari mendekat."Aku kangen sama kamu, Mas," katanya manja seraya memelukku, membuatku tak nyaman karena saat ini Raka menatapku tak biasa.Kuurai pelukan Tari. "Kamu masuk dulu aja ya, Tar," kataku."Pak, gimana? Saya bisa ketemu Bella? Tadi Bella masuk angin, katanya belum makan. Ini saya bawakan makanan kesukaannya dan teh hangat. Saya pikir di rumah nggak ada orang tadi," jelasnya seraya menunjukkan sebuah kotak dan cup minuman yang ada di tangannya.Kembali, aku serasa menjadi seorang suami yang tidak berguna, bahkan dia sakit pun tidak berkata apa-apa padaku tapi malah mengatakannya pada Raka."Bella sedang istirahat, dia tidak bisa diganggu," tegasku."Kalau gitu ini saya titip untuk Bella," katanya memberikan kotak nasi dan minuman itu padaku."Terimakasih, Permisi, dan ini jepitnya juga. Assalamualaikum, Pak.""Waalaikumsalam."Kubuka isi kotak makan dan kuambil gambarnya lalu ku buang ke tempat sampah."Loh, Mas, kenapa dibuang?" tanya Tari, aku tak menjawab.Kuhubungi segera Meta yang saat ini juga berada di Surabaya dan menginap di hotel."Halo, Pak," jawabnya dari seberang telepon."Meta, kamu sudah terima gambar dari saya?""Iya, Pak. Maksudnya apa, ya?""Meta, saya mau, kamu pesen makanan, cari yang sama dengan gambar. Kalau bisa tempatnya juga sama, secepatnya! Kirim ke rumah Bella. Nggak pake lama ya, Met!" Perintahku."Oh, siap, Pak.""Satu lagi, kamu ke proyek sendiri aja. Saya nggak ikut hari ini. Kamu aja, Bella sedang sakit soalnya.""Oh, Mbak Bella sakit? Apa perlu kirim dokter sekalian, Pak?""Nggak usah, saya bisa sendiri.""Maksudnya bisa apa?""Ya bisa ngerawat istri saya lah, Meta!""Udah, nanti saya hubungi lagi, jangan lupa pesenan saya!" tutupku.Kulihat Tari terperangah di sampingku. Aku tak sadar dengan keberadaan Tari, mungkin dia tidak suka atau terkejut dengan sikapku pada Bella. Sepertinya, emosiku pada Raka membuatku tak memikirkan perasaan Tari, tapi ya sudah lah, aku rasa dia juga harus mengerti bahwa Bella adalah istriku juga."Tunggu, Mas" cegah tari mencekal tanganku saat aku hendak masuk ke dalam rumah."Iya, kenapa, Tar?""Kamu cinta sama Bella?"Kulipat dahiku mendengar pertanyaan dari Tari."Ini bukan masalah cinta atau nggak Tar, masuklah, tidak baik berdebat di sini. Ini bukan tempat kita." Kuajak Tari masuk saat kulihat beberapa tetangga melihat ke arah kami lalu kutup pintu agar tidak ada yang mendengar perbincangan kami."Katakan, Mas. Jawab pertanyaanku!" ucap Tari cemberut."Pelankan suaramu, Tar. Kamu tau, kan? Aku tidak suka pertengkaran?" lembutku."Jawab, Mas!"Kuambil napas panjang lalu ku buang perlahan. "Tari, kamu tau kan, Bella juga istriku, aku hanya berusaha untuk adil. Asal kamu tau, Tar, bahkan aku belum memberikan nafkah yang sempurna untuknya. Nafkah yang sudah kuberikan terlebih dahulu padamu meski Bella istri pertamaku. Bella nggak ngeluh meski aku yakin dia tau. Kamu ngerti, kan? Apa maksudku?""Belum? Apa itu berarti kamu berniat untuk memberikanya? Apa kamu juga akan memberikan hatimu padanya, Mas? Ingat, Hati itu milikku, tidak ada yang bisa merampasnya dariku," ucapnya penuh penekanan, Tari memang lebih manja dibandingkan Bella. Keluarga Tari yang juga dari kalangan atas membuat Tari selalu ingin dimanja dan menjadi nomer satu."Tari, aku tidak bisa berjanji.""Mas!""Tapi aku akan berusaha. Istirahatlah, aku harus membicarakan sesuatu dengan Bella," tutupku, berdebat dengan Tari tidak akan ada habisnya karena dia selalu ingin diutamakan dan menang. Dulu sikapnya yang manjalah yang membuatku suka karena sebagai laki-laki aku merasa dibutuhkan. Namun, lama-lam jadi berlebihan."Apa kamu akan membicarakan tentang laki-laki yang tadi? Kamu cemburu?""Tari! Sejak kapan kamu jadi senang menuduh?""Sejak aku mulai merasa kehilangan kamu, Mas.""Tari! Masuklah sebelum aku kehilangan kesabaran!" sentakku seraya menunjuk ke kamar yang berada di sebelah kamar Bella.Ia terlihat kesal dan masuk ke kamar yang aku tunjukkan."Astaga, nggak mudah ternyata punya dua istri," gerutuku.BAB 5TETANGGA JULIDPOV BELLAAku mengerjap saat kudengar pintu ditutup kasar. "Abi berisik sekali, Belum berangkat juga?" gerutuku dengan mata yang masih tertutup.Kuubah posisi lalu kembali tidur, tubuhku terasa lemah dan pusing.Beberapa saat aku kembali menggeliat saat goncangan pelan terasa di pundakku dan ada yang membangunkanku."Bell, bangun ...," katanya. Kubuka perlahan mataku.Aku terkejut saat kulihat Abi duduk di tepi ranjang. Kulihat jam dinding baru menunjukkan pukul 2 siang, belum maghrib namun, Abi sudah ada di rumah."Kamu sudah pulang,.Bi?" tanyaku."Aku nggak jadi pergi,Bell, aku bawa makanan untukmu, kamu belum makan, kan? makanlah!" ucapnya memberikan sepiring rawon kegemaranku."Dari mana kamu dapat ini?" tanyaku bingung."Delivery, minumlah teh hangat ini biar nggak masuk angin!" serunya lagi.Kuminum teh sebelum kunikmati rawon yang menggiurkan itu. Namun, aku tersentak saat aku merasakan teh tanpa gula, pahit. "Kenapa?" tanyanya saat aku berusaha menelan te
BAB 6SISI POSESIF ABIMANAPOV ABIMANAAku tak bisa berkutik saat Tari memperkenalkan diri terlebih dahulu pada warga sebelum aku memberi peringatan untuk tidak memperkenalkan diri sebagai istriku, baik untuk Bella maupun Tari. Toh kita hanya akan di sini beberapa hari.Walaupun sebagian orang tau bahwa aku menikah dengan Tari, tapi menjaga hati Bella juga penting. Waktu sudah menunjukkan pukul 6, usai sholat Maghrib aku segera bersiap untuk acara. Kuganti pakaianku dengan baju muslim dan sarung yang dikirim oleh Meta tadi siang. Lalu kuketuk pintu kamar Bella yang masih setia terkunci sejak kejadian sore tadi.Dan lagi, kulihat mata sembab itu di wajah Bella. Tak banyak berkata saat aku memberitahukan bahwa waktu acara sudah dekat. Hanya Kata 'ya' yang aku dengar. Lalu dengan cepat ia menutup pintunya kembali. Sungguh perasaan bersalahku semakin hari semakin besar pada Bella.Kuambil gawai dan kuhubungi Meta."Halo, Pak," jawab Meta dari seberang sana."Halo, Meta, bagaimana perkemb
BAB 7POSESIF 2POV BELLARasa kehilangan dan haruku kembali menyeruak tatkala lantunan doa dipanjatkan untuk Mama, tak menyangka bahwa aku saat ini sebatang kara, dan waktu berjalan begitu cepat. Di usiaku yang masih terbilang nol pengalaman namun sudah ditinggal oleh kedua orang tua itu sangatlah berat. Masalah yang kuhadapi pun termasuk rumit. Abi tidak mau melepaskan aku meski jelas-jelas dia mencintai Tari, apakah aku akan selamanya hidup seperti ini? Entahlah, saat ini aku hanya bisa berpasrah. Sesekali kulirik Abi dan Tari yang duduk berdampingan di sisi sebelah kiriku, dengan busana yang senada dan sangat serasi. Rupanya mereka sudah sangat siap dengan segala sesuatunya melebihi diriku yang mempunyai hajat. Senyum miris dan mengasihani diriku sendiri, itu yang bisa aku lakukan saat ini.Mengingat Papa, Mama, dan nasibku secara bersamaan, tentu membuat dadaku terasa sesak. Pandanganku pun terasa kabur kala aku menahan buliran bening yang mulai menggenang, kutahan sekuat mungk
Bab 8Kedekatan Abi dan Bella.Beberapa saat setelah aku mengakhiri obrolanku dengan Kak Raka, aku beranjak dari tempat tidur. Membuka laptop dan melihat penghasilan cerbungku hari ini yang belum sempat aku lihat sejak keberangkatanku ke Surabaya pagi tadi. "100 ribu? Ah, lumayan lah," gumamku, jika biasanya aku hanya mendapat 40 hingga 30 ribu untuk satu cerita, berbeda dengan hari ini, tentu itu membuatku semakin bersemangat. Kembali kusiapkan bab yang akan aku upload besok pagi. Hampir 2 jam aku berada di depan laptop, hanya hapus ulang, hapus ulang yang aku lakukan dan baru setengah dari bab yang aku selesaikan. Hari ini sepertinya moodku kurang baik, mungkin aku lelah, bukan lelah karena seharian aku sudah tidur. Lebih tepatnya aku kurang enak hati.Segera kumatikan laptopku dan berjalan menuju tempat tidur, rasa ingin tahuku kembali bermunculan saat kulihat dinding kamar, kuhentikan langkah, dan menempelkan telingaku pada dinding yang terhubung langsung dengan kamar sebelah.
Bab 9KEKECEWAAN BELLAPOV BELLAKubuka mata, kulihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 5 pagi. Mataku mulai mengabsen sekelilingku, mencari keberadaan Abi setelah aku mengingat apa yang terjadi semalam. "Mana mungkin Abi masih di sini, tentu saja dia sudah kembali pada Tari," batinku.Aku bergegas ke kamar mandi, untuk mengambil wudhu. Jika biasanya aku ikut jamaah subuh, tapi hari ini aku melewatkannya, mungkin karena tidurku agak terganggu semalam sehingga aku tak mendengar adzan subuh berkumandang.Usai sembahyang dan mandi aku lakukan, aku segera mengganti pakaianku dengan baju santai. Aku harus ke pasar untuk membeli beberapa keperluan seperti sayur dan lain sebagainya.Kubuka pintu, bersamaan dengan itu, Abi juga membuka pintu depan, membuatku kaget. "Pagi, Bell," sapanya."P–agi," jawabku menunduk, berjalan menuju pintu. Jika aku merasa gugup dan malu karena sudah meminta Abi untuk menemaniku semalam, namun sepertinya berbeda dengan Abi yang terlihat santai seperti tidak ter
Bab 10Upaya AbiSetelah kepergian Abi, mereka lebih brutal dan tidak segan melakukan kekerasan. Kutundukkan kepalaku dari tatapan tajam mereka. Sekarang yang bisa aku lakukan hanyalah pasrah, jika Abi sudah tidak peduli lalu apa yang diharapkan, siapa yang bisa menolongku? Di dunia ini hanya Abi lah yang aku miliki meski tak seutuhnya, tapi hanya dia lah keluargaku.Angkot dilajukan dengan kecepatan tinggi hingga kami sampai di sebuah tempat sepi. Aku tak mengerti apa yang mereka inginkan, jika menginginkan harta benda kami harusnya tidak membawa kami ke gudang kosong ini. Bawa saja harta kami dan pergi, tapi kenapa harus ke tempat ini segala?"Ambil semua barang, ponsel, semua," perintah bos dari para perampok itu. "Serahkan semua. Cepat!" seru merekamengambil semua barang kami termasuk tasku."Mana ponsel kamu?" tanya mereka."Ponsel? Ada kok di situ," jawabku menunjuk pada tasku yang sudah berada di tangan mereka."Jangan bohong! Nggak ada!" ucapnya menggeledah isi tasku."Kok bi
BAB 11SAKIT YANG SEMPURNAKutatap nanar Abi yang saat ini berada di depanku sedang memegang kemudi, aku sungguh tidak bisa lagi berpikir, rasanya pikiranku menemui jalan buntu. Semua seakan tidak berpihak padaku."Mbak, maaf ya, sakit?" tanya Meta membersihkan luka di sudut bibirku."Sedikit.""Met, kira-kira perlu ke rumah sakit nggak?" tanya Abi."Aku bilang nggak, Bi!" selaku"Aku tanya Meta, bukan Bella," tegas Abi.Kuhembuskan napas kasar."Sepertinya sih, nggak perlu, Pak. Cuma memarnya aja, nanti dari rumah di kompres sama es. Nanti kalau dibutuhkan atau Mbak Bella kenapa-kenapa, bapak telepon saya saja, akan saya kirim dokter ke rumah, nggak perlu repot- lrepot ke rumah sakit," jelasnya pada Abi."Gitu ... O iya, Met, kamu balik Jakarta kapan?""Besok, Pak.""Sebelum kamu balik, kamu pesen tiket ke Jakarta ya. Buat saya, Tari, dan Bella. Untuk besok." "Loh, kenapa aku juga?" tanyaku dengan nada tinggi. Kuturunkan suaraku saat aku sadar bahwa kami tidak sedang berdua tapi ada
BAB 12Sifat Abi yang berubah-ubah"Abi? Ngapain disini?" bisikku."Kondangan lah, Bell, kamu sendiri? Kenapa ke sini nggak ijin?" tanyanya balik.Aku termangu, kuambil napas lalu kubuang perlahan, kulihat teman-temanku sedang mengarahkan pandangannya padaku dan Abi. "Bos, bestie, bos," kataku pada teman-teman, tak lupa kuukir senyuman agar tak ada yang curiga."Itu kan Pak Abimana, kamu kerja di kantor pak Abi, Bell?" tanya Raya menegaskan."Iya ...," jawabku tersenyum samar, tak ku sangka, bahkan teman-temanku lebih tau siapa Abimana dibandingkan aku, istrinya."Wah, hebat Bella. Pak Abi, kalau cabang di Surabaya butuh karyawan, kami siap membantu," kata Raya lagi, ya, aku tau sebagian dari mereka belum mendapat pekerjaan mengingat kami adalah fresh graduate, pastinya masih ada yang mencari-cari pekerjaan saat ini."Raya, jangan bikin malu. Perusahaan juga bukan cuma milik Abi aja," celetukku, mereka menatapku bingung."Pak Abi maksudnya," ralatku."Ya, tapi kan lebih bonafit di tem
POV BellaDi sini aku sendiri, menahan sakit dan bertaruh nyawa melahirkan buah cintaku dengan Abi. Di sana entah apa yang terjadi, apakah Abi sudah mengucap ijab kabul kembali dengan Tari atau sedang bertaruh nyawa berjuang untuk melepaskan diri. Sakitnya melahirkan bercampur dengan sakit hati yang semakin dalam saat kuingat kata talak dari Abimana, kata itu terus terngiang di telinga ini. Tak percaya, bahwa sekarang aku bukan lagi istri dari Abimana, pria hebat dengan sejuta pesona. Dia akan kembali pada wanita itu. Wanita yang begitu terobsesi dan tak mau melepaskan apa yang sudah menjadi milik orang.Lukaku bertambah saat kulihat Papa Hayuda yang juga mengalami luka, Asri yang terus menemani dengan setia. Juga ikut merasakan pedihnya hatiku, menangis di luar sana. Pak Nardi yang terluka cukup parah karena sempat menghadapi mereka sendirian juga sedang dirawat di sini atas permintaan Papa dan permohonan Papa pada kedua laki-laki itu."Dokter, apa perlu operasi? Kenapa anak saya be
POV AdipPapa menghubungi melalui pesan dari nomor yang tidak aku ketahui saat aku sedang mempersiapkan berkas rapat nanti siang bersama Meta. Papa mengatakan, bahwa Abi dan keluarganya sedang dalam bahaya. Bahkan sekarang Bella sedang bertaruh nyawa sendirian, melahirkan tanpa Abi, karena Abi sedang ditawan oleh Tari. Begitu panjang pesan yang yang Papa kirimkan, termasuk kondisi yang ada di dalam rumah Abi ia gambarkan. Aku tau, Papa sedang menyuruhku untuk bertindak tanpa ada kesalahan. Seketika aku pun bangkit dari tempat duduk.[Papa ingin kedua putra Papa kembali dengan selamat.] Pesan Papa yang terakhir membuatku semakin terenyuh. "Ada apa, Pak?" tanya Meta yang duduk menata berkas untuk rapat."Aku harus pergi, Met. Kamu ke rumah sakit. Bella mau lahiran dan Abi sedang ditawan Tari di rumahnya." "Apa?" Meta pun beranjak dan terlihat begitu terkejut.Kuberikan ponsel agar Meta membacanya sendiri. Ia pun meraihnya lalu membaca pesan Papa."Aku akan mencari bantuan.""Saya akan
POV ABIAku sungguh merasa kecolongan, tak pernah ada di benakku akan seperti ini. Kukira semua akan baik-baik saja. Kacau, pikiranku sungguh kacau seolah tak bisa berputar saat kulihat Bella menahan sakit yang teramat. Melihat air mata yang juga tumpah di mana-mana, Asri, Pak Nardi, Papa, dan juga Bella yang menangis melihat keadaan Bella. Membuatku semakin kacau. Di saat aku melihat anak dan istriku dalam bahaya, Tari justru terus mendesak. Hal yang konyol dia minta. Talakku pada Bella yang tengah mengandung buah hati kami.Perlahan aku melangkah, gontai, air mataku pun tumpah. Kuraih jemari Bella yang juga terisak. Mengatakan talak bukanlah sebuah permainan terlebih pada wanita yang teramat aku sayang.Namun, memikirkan keselamatan dua orang yang begitu aku kasihi adalah yang utama. Sebagai seorang kepala keluarga aku harus bisa berkorban demi keselamatan mereka.Berat namun akhirnya kata itu terucap juga. Kutitipkan Bella dan anakku pada Papa, saat ini hanya Papa yang bisa aku a
"Jangan mimpi kamu, Tari. Selamanya Bella akan tetap menjadi istriku," tolak Abi mentah-mentah.Tari terbahak, sepertinya dia sudah tidak waras. Dendamnya begitu besar pada kami sehingga perbuatannya sudah tidak bisa di jangkau oleh logika."Apa kamu pikir setelah apa yang kalian lakukan padaku aku akan diam begitu saja, Mas?! Kamu sudah merenggut semuanya, bahkan perusahaan Papa bangkrut karenamu!""Perusahaan kalian bangkrut karena memang sudah seharusnya! Karena barang curian tidak akan pernah bertahan lama jika pemiliknya sudah mengetahui. Aku harap kamu ingat dengan ide yang kau curi di Batam, atau kamu sudah hilang ingatan?! Satu lagi, jangan panggil Mas padaku, jijik aku mendengarnya!" kata Abi lantang. "Apa karena istri kamu itu tidak bisa memanggil kamu dengan sebutan itu?" "Diam kamu, Tari!" Mereka terus berdebat mengeluarkan semua kata-kata kasar. Hingga aku merasa ada yang keluar dan basah."Abi!" teriakku saat kulihat cairan keluar. Asri dan Papa yang masih melihat ket
"Tari?!" lirihku. "Pak Nardi?!" Aku tersentak saat kulihat Pak Nardi sudah terikat dan terluka, mulutnya pun sudah ditutup oleh lakban. Tampak Pak Nardi memberi isyarat pada kami untuk berlari. Karena sepertinya Tari datang dengan niat tidak baik.Cepat aku dan Asri menutup pintu namun ditahan oleh laki-laki yang menemani Tari. Laki-laki bertubuh besar dan jumlahnya pun banyak.Mereka mendorong kami, beruntung aku hanya terhuyung tak sampai terjatuh karena Asri dengan cepat meraih tanganku."Apa maumu?" tanyaku. Mereka mendesak masuk ke dalam."Siapa, Bell?" Papa pun datang menghampiri setelah mendengar keributan."Tari?" Tak kalah sepertiku, Papa pun terlihat begitu kaget. Dua orang menyergap Papa yang berlari ke arah kami, bersamaan dengan itu dua orang mencekal kedua tanganku dan tangan Asri. "Apa-apaan ini, Tari?" berontak Papa memaksa untuk lepas dari kedua pria bertubuh kekar itu. Namun mereka mencengkeram tangan Papa lebih kuat. "Tenang, calon Papa mertua."Deg! Calon m
Di luar rencana sebelumnya yang hanya beberapa hari di Batam ternyata sampai sekarang Abi belum juga pulang. Ya, sudah hampir dua minggu Abi di Batam, rencananya besok baru akan pulang. Meski Abi selalu menghubungi lewat pesan atau video call, tetap saja hatiku hampa tanpa kehadirannya. Setiap malam biasanya dia memijat kaki yang semakin hari semakin terasa mudah sekali lelah. Sekarang Asri yang melakukannya, namun tak bisa setiap hari karena aku kasihan jika Asri harus melakukannya setiap hari.Tak jarang pula Abi berbicara pada anaknya walau hanya melalui ponsel, untuk sekedar menasehatinya untuk tidak nakal dan menjaga Mamanya."Sudah, Sri. Kamu istirahat sudah malam," kataku pada Asri yang tengah memijat kakiku saat kulihat benda pipih persegi panjang yang aku letakkan di atas nakas sebelahku itu berpendar. "Jangan lupa diminum susunya, Mbak. Nanti kalau Mas Abi telepon Asri biar bisa bilang sudah, Mas," kata Asri. Aku terkekeh, pasti mereka sering berhubungan melalui ponsel dan
"Bisa aja kamu, Bell," jawab Abi menggaruk tengkuknya, malu.Keluar dari kamar kulihat Papa duduk di sofa membaca majalah, majalah kami yang semakin berkembang pesat meski konsultasi Pak Christian dan Kak Raka secara virtual dengan Abi karena jarak yang jauh. "Papa mau nasi goreng? Sekalian Bella buatin, mau buatin Abi soalnya." tawarku."Memangnya kamu sudah boleh masak sama suamimu yang lebai itu?" tanya Papa, sejauh ini hubungan mereka masih sama, tak ada perubahan. Entah mau sampai kapan, kukira dengan kehamilanku akan membuat keduanya semakin dekat, namun kenyataannya tidak. Pernah aku meminta mereka untuk pergi bersama mencari rujak cingur di Surabaya dengan alasan permintaan bayi. Abi menolak dengan alasan akan basi, aku menjawab dan mengajari untuk beli saat waktu penerbangan sudah dekat, bumbu di pisah. Niat hati ingin mendekatkan mereka dengan menyuruh mencari makanan lebih jauh agar bisa menginap bersama. Aku malah ditertawakan. Abi membaca rencana dan tujuanku. Gagal la
Hari terasa begitu cepat, perut ini pun sudah semakin membesar seiring berjalannya acara tujuh bulanan beberapa waktu lalu. Menurut dokter, usia kandungan sudah menginjak 38 minggu. Tapi di usia kandungan yang semakin membesar, aku harus melepas Abi untuk pergi ke Batam karena suatu hal yang terjadi di proyek Batam dan memerlukan penanganan dari Abi secara langsung.Hayuda pun sudah mulai berangsur stabil. Sedangkan Mama belum juga diketahui ada di mana. "Hai anak papa, jangan nakal ya, besok Papa mau ke Batam dulu. Jagain Mama biar nggak ganjen sama si Dedi itu, ya," sindir Abi yang meletakkan kepalanya di pangkuanku, mengusap dan mengecup perut yang semakin membesar ini tiada henti. Itulah aktifitas Abi selama beberapa bulan ini setiap malam menjelang tidur. Sedang aku mengusap kepalanya."Ih, Abi, siapa yang ganjen, jangan fitnah di depan anak," keluhku, saat ini kami ada di atas ranjang big size kamarku, Abi meninggalkan kamarnya dan tidur di kamarku sejak kami pulang ke Jakart
Beranjak aku berdiri menyamainya. "Sayang, kalau aku lihat kamu terus jadi nggak tega untuk pergi, pengennya deket kamu terus, sayang-sayangan sama kamu," rayuku membelai wajah yang semakin hari semakin memancarkan aura kecantikan dan keibuan itu. Terdengar klise memang, tapi sangat dibutuhkan kalau hanya sekedar untuk merayu ibu hamil, meski aku sendiri kadang suka eneg setiap mendengar rayuanku."Benarkah?" tanyanya memelukku sejenak, Namun tiba-tiba melangkah menuju ke depan meja rias."Sini deh, lihat, perutku sudah mulai membuncit. Pantas saja kamu tidak tertarik lagi," ucapnya di depan kaca. Mengamati bentuk tubuhnya dari berbagai arah, tampaknya dia terganggu saat memelukku dan perut buncit itu bersentuhan dengan perutku terlebih dahulu.Aku pun mendekati dan memeluknya dari belakang, mengusap perut yang sudah mulai terlihat berisi. Terlihat dari pantulan cermin besar yang ada di depan sana wajah masam dari istri kesayangan. "S*eksi, aku suka. Ini yang membuat aku semakin cinta