BAB 6
SISI POSESIF ABIMANAPOV ABIMANAAku tak bisa berkutik saat Tari memperkenalkan diri terlebih dahulu pada warga sebelum aku memberi peringatan untuk tidak memperkenalkan diri sebagai istriku, baik untuk Bella maupun Tari. Toh kita hanya akan di sini beberapa hari.Walaupun sebagian orang tau bahwa aku menikah dengan Tari, tapi menjaga hati Bella juga penting.Waktu sudah menunjukkan pukul 6, usai sholat Maghrib aku segera bersiap untuk acara. Kuganti pakaianku dengan baju muslim dan sarung yang dikirim oleh Meta tadi siang. Lalu kuketuk pintu kamar Bella yang masih setia terkunci sejak kejadian sore tadi.Dan lagi, kulihat mata sembab itu di wajah Bella. Tak banyak berkata saat aku memberitahukan bahwa waktu acara sudah dekat. Hanya Kata 'ya' yang aku dengar. Lalu dengan cepat ia menutup pintunya kembali. Sungguh perasaan bersalahku semakin hari semakin besar pada Bella.Kuambil gawai dan kuhubungi Meta."Halo, Pak," jawab Meta dari seberang sana."Halo, Meta, bagaimana perkembangan kasus Pak Wira? Apa sudah ada titik terang?""Dari hasil sementara, bukan Pak Pradipta pelakunya, Pak. Kecelakaan itu memang disengaja, tapi bukan Pak Adip," jelasnya."Bukan Adip? Kalau bukan Adip lalu siapa, Met?""Belum jelas, Pak. Dugaan sementara adalah lawan bisnis bapak yang lain.""Kamu secepatnya cari tau, Meta, saya nggak mau terus-terusan menyembunyikan Bella. Dan kamu harus tetap pastikan semua akses Bella yang berhubungan dengan kantor polisi, pengadilan, pokoknya yang berhubungan dengan semua hal yang bisa membuatnya tau akan kematian Pak Wira yang sesungguhnya. Kamu harus tetap tutup, ya! Saya mau, polisi hanya berhubungan dengan saya sebagai menantunya. Karena saya sendiri yang akan menjelaskan pada Bella kalau semua sudah jelas dan tau siapa pelakunya," jelasku."Kenapa nggak sewa bodyguard saja sementara untuk Mbak Bella, Pak? Dan kenapa tidak mulai menjelaskan sedikit demi sedikit ke Mbak Bella? Maaf sebelumnya kalau saya lancang," kata Meta."Itu opsi terakhir, Met. Saya nggak mau Bella bertanya-tanya. Kalau Bella tau ini ada hubungannya dengan Pak Wira, semua bisa berantakan. Kalau masalah kenapa tidak memberi tahu Bella sekarang, kamu tidak akan mengerti Meta. Saya takut kalau Bella akan membenci saya jika dia tau satu-satunya orang yang ia miliki meninggal karena ada hubungannya dengan saya, dengan musuh bisnis saya, dia bisa menganggap saya pembunuh Papanya, dan lari," jelasku."Oh, iya, Pak. Saya mengerti, semoga saja semua akan baik-baik saja dan akan saya usahakan secepat mungkin mengetahui pelakunya.""Ya udah. Meta, kamu ke sini nggak?""Maaf, Pak, masih banyak dokumen yang harus saya siapkan.""Ya udah, Met, kamu urus saja masalah pekerjaan. Makasih!" tutupku.Selang beberapa menit setelah aku menutup sambungan teleponku dengan Meta."Assalamualaikum." Sayup-sayup kudengar seorang laki-laki mengucap salam dari pintu depan."Biar aku aja, Mas yang lihat," ucap Tari yang baru keluar dari kamar dan sudah rapi dengan gamis yang senada denganku. Aku tak tau dari mana ia tau baju yang akan aku kenakan sehingga dia juga meminta Meta untuk mengirimkan yang sama, aku rasa dia memeriksa pakaianku saat aku berada di kamar Bella tadi siang."Mas, lihat deh siapa yang datang," teriak Tari dari depan pintu, aku pun menghampirinya."Siapa, Tar?""Malam, Pak," sapa Raka, membuat langkahku terhenti."Silahkan masuk, Raka!" seru Tari."Tari, siapa yang mengundangnya? Kamu?" tanyaku tak percaya."Bukan, Mas.""Maaf, Pak, saya dengar Bella mengadakan doa bersama, jadi sebagai sahabat saya datang untuk mendoakan Almarhumah. Begitulah kebiasaan di sini,Pak," jelasnya dengan senyum ramah tapi membuatku semakin marah."Bener, Mas ... niat baik nggak boleh ditolak, semakin banyak yang mendoakan semakin baik," ucap Tari. Entah apa yang ada dipikiran Tari, dia justru membela Raka dibandingkan aku, suaminya.Mereka pun duduk di karpet yang sudah tertata sambil menunggu Bella dan tamu yang lain datang.Aku ikut duduk, namun sedikit berjarak dari Raka dengan Tari yang terus memegangi tanganku dan tak mau jauh dariku. Kulihat sesekali Raka melirikku dan Tari, tak jarang pula aku melihatnya melirik ke pintu kamar Bella yang masih tertutup."Kamu temannya Bella, ya?" tanya Tari."Iya, Mbak? Kalau boleh tau Mbak dan Pak Abi ini siapanya Bella? Setau saya Bella nggak punya kerabat atau saudara," tanya Raka."Saya ....""Kebetulan suami saya adalah atasan Bella," sela Tari sebelum aku menyelesaikan kalimatku."Apa maksudmu,Tar?" bisikku."Kendalikan dirimu, Mas, ingat apa kata Bella,Mas. Dia bisa marah kalau kamu bilang yang sebenarnya," bisik Tari padaku, kali ini Tari terlihat begitu pandai bersandiwara.Tak berselang lama, pintu Bella pun terdengar dibuka. Kami menoleh, terlihat Bella dengan gamis warna coklat susu yang begitu anggun dan terlihat lebih dewasa. Tak lupa pashmina dengan warna senada begitu rapi ia kenakan, aku terpana untuk sesaat sebelum aku menoleh ke arah Raka, yang aku tau saat ini juga tengah menikmati kecantikan Bella. Sebagai sesama lelaki aku tau apa yang ada di pikirannya."Sebentar." Kulepaskan pegangan tangan Tari lalu berdiri dan berjalan ke arah Bella yang masih berada agak jauh dari kami."Bella!" kataku tepat di hadapannya, menghentikan langkah Bella."Ya, Bi," jawabnya menunduk."Kenapa?" tanyaku saat ia dengan sigap menundukkan kepalanya di hadapanku."Hah?" tanyanya, kuhela napas."Tundukkan wajahmu dari pandangan laki-laki lain, bukan dari pandanganku. aku tidak menyukainya!" ucapku, dia mendongak dengan wajah setengah bingung."Apa? Apa maksudmu, Bi? Tidak menyukai yang seperti apa?""Bella ...!" seru Raka memotong perbincangan kami."Hah?" Bella mencoba menengok ke arah belakangku."Kak Raka?" lirihnya lalu melempar senyum ke arah Raka, membuat darahku semakin mendidih."Abi, itu ....""Aku tau, sekarang kamu tau, apa maksud menjaga pandangan, Bell?" tanyaku penuh penekanan, terlihat Bella mengangguk pelan."Bella, sini, udah ditunggu temen kamu dari tadi." Sekarang giliran Tari yang bertindak, membuatku semakin kehilangan kesabaran."Iya, Tar," ucap Bella meninggalkanku."Bell, jangan macam-macam!" ancamku mencekal tangannya sebelum Bella melangkah meninggalkanku."Iya, aku tau batasanku, Bi, lepas! Nanti ada yang curiga," ujarnya. Perlahan kulepas tangan Bella dan dia meninggalkanku untuk menemui Raka.Aku pun mengikuti langkah Bella menuju karpet dan duduk bersama Tari."Bella, gimana, Bell? Udah nggak masuk angin?" tanya Raka pada Bella yang baru saja duduk di sebelahnya."Alhamdulillah, udah mendingan, Kak.""Tadi rawon aku beli di tempat Bu Sri, langganan Pak Wira," ucapnya."Rawon?" Bella melirik ke arahku. Kupalingkan wajahku mengalihkan perhatian dari Bella yang saat ini menatapku tajam.Beruntung, tamu mulai terlihat sehingga aku bisa selamat dari kemarahan Bella."Bella, jangan ngobrol terus, tamu tu!" ucapku.Bella dan Raka pun segera beranjak dan berdiri di depan pintu menyambut para tamu yang datang, berdua, bak pasangan yang sedang menyambut tamu mereka. Ada sedikit rasa kesal dan iri karena harusnya aku yang ada di sana mendampingi Bella, bukan Raka."Mbak Bella dan Mas Raka, ya? Serasi sekali ya, Pak?" tanya salah satu tetangga yang datang bersama menyalami Bella, sepertinya mereka suami-istri."Kenapa nggak diresmikan aja, Mbak?" sambung lelaki itu."Kami hanya teman, Bu, kebetulan saya nggak ada saudara jadi Kak Raka yang menemani," jawab Bella."Ya, makanya biar ada temennya, mending diresmikan aja, Mbak." tandasnya lagi.Ucapan tamu yang setelah aku ingat-ingat wajahnya itu tidak lain dan tidak bukan adalah wanita yang dipanggil Bu Ning oleh Bella tadi sore, lama-lama membuat telingaku panas juga."Tari, jangan terus memegangiku, aku nggak leluasa geraknya. Lagi pula kita di kampung bukan di kota. Lepas! Kita temenin Bella, kita keluarganya!" ucapku meninggalkan Tari yang terus saja bergelayut di lenganku."Mas!""Malam, ibu, silahkan masuk, Bu, Bella nggak sendiri kok, Bu. Buktinya saya di sini nemenin Bella. Iya kan, Bell?" tanyaku, dengan tatapan tajam ke arah Bu Ning.Bella mengangguk samar."Wah, beruntung sekali Mbak Bella punya bos sebaik Pak Abimana beserta istrinya yang begitu perhatian pada karyawannya," puji Bu Ning, dari apa yang aku amati, sepertinya apa yang Bella katakan tentang Bu Ning memang benar. Tipe-tipe orang seperti ini memang perlu mendapat penanganan khusus, harus lebih pintar, dan cerdas menghadapi, serta tidak boleh diberi celah."Jadi, Pak Abi bos kamu ya, Bell?" sambung Raka yang membuatku semakin ingin mengungkapkan siapa aku sebenarnya. Tapi kembali aku harus mengendalikan diri agar semua tidak berantakan.Terlihat Bella mengangguk pelan, jujur saat ini hatiku tak karuan. Jujur juga aku menyayangi Bella. Entah, sayang itu sebagai kakak terhadap adiknya atau sebagai seorang laki-laki pada wanitanya, aku belum tau pasti, tapi yang pasti aku mencintai Tari. Apakah aku serakah? Tidak, justru itulah yang seharusnya aku lakukan sebagai suami, sebisa mungkin untuk adil, hanya saja aku harus berdamai dengan keadaan antara Tari dan Bella yang belum bisa menerima satu sama lain."Sudah, Bu Ning, mendingan Ibu masuk, tamu di belakang sudah menunggu mau masuk!" tegasku menunjuk ke arah tamu yang sudah berjejer di belakang Bu Ning."Oh, maaf," ujarnya lalu bergegas masuk.Setelah semua tamu hadir, acara pun dimulai, kali ini aku tak mau kecolongan lagi. Aku memilih untuk duduk di samping Bella. Kami berempat duduk berjejer dengan posisi Raka, Bella, aku dan Tari.Doa dipanjatkan dan lantunan ayat suci yang dipimpin oleh Pak Ustadz pun kami lantunkan bersama untuk mendoakan Almarhumah.Sesekali kulirik Bella yang mengusap lembut air matanya, kala melantunkan Surah Yasin.Kugenggam tangannya, namun ia menepisnya. Kuhela napas lalu kuberikan tissu pada Bella. Bersamaan dengan itu Raka juga memberikannya. Bella tercekat diam, melihat tissu kami bergantian.BAB 7POSESIF 2POV BELLARasa kehilangan dan haruku kembali menyeruak tatkala lantunan doa dipanjatkan untuk Mama, tak menyangka bahwa aku saat ini sebatang kara, dan waktu berjalan begitu cepat. Di usiaku yang masih terbilang nol pengalaman namun sudah ditinggal oleh kedua orang tua itu sangatlah berat. Masalah yang kuhadapi pun termasuk rumit. Abi tidak mau melepaskan aku meski jelas-jelas dia mencintai Tari, apakah aku akan selamanya hidup seperti ini? Entahlah, saat ini aku hanya bisa berpasrah. Sesekali kulirik Abi dan Tari yang duduk berdampingan di sisi sebelah kiriku, dengan busana yang senada dan sangat serasi. Rupanya mereka sudah sangat siap dengan segala sesuatunya melebihi diriku yang mempunyai hajat. Senyum miris dan mengasihani diriku sendiri, itu yang bisa aku lakukan saat ini.Mengingat Papa, Mama, dan nasibku secara bersamaan, tentu membuat dadaku terasa sesak. Pandanganku pun terasa kabur kala aku menahan buliran bening yang mulai menggenang, kutahan sekuat mungk
Bab 8Kedekatan Abi dan Bella.Beberapa saat setelah aku mengakhiri obrolanku dengan Kak Raka, aku beranjak dari tempat tidur. Membuka laptop dan melihat penghasilan cerbungku hari ini yang belum sempat aku lihat sejak keberangkatanku ke Surabaya pagi tadi. "100 ribu? Ah, lumayan lah," gumamku, jika biasanya aku hanya mendapat 40 hingga 30 ribu untuk satu cerita, berbeda dengan hari ini, tentu itu membuatku semakin bersemangat. Kembali kusiapkan bab yang akan aku upload besok pagi. Hampir 2 jam aku berada di depan laptop, hanya hapus ulang, hapus ulang yang aku lakukan dan baru setengah dari bab yang aku selesaikan. Hari ini sepertinya moodku kurang baik, mungkin aku lelah, bukan lelah karena seharian aku sudah tidur. Lebih tepatnya aku kurang enak hati.Segera kumatikan laptopku dan berjalan menuju tempat tidur, rasa ingin tahuku kembali bermunculan saat kulihat dinding kamar, kuhentikan langkah, dan menempelkan telingaku pada dinding yang terhubung langsung dengan kamar sebelah.
Bab 9KEKECEWAAN BELLAPOV BELLAKubuka mata, kulihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 5 pagi. Mataku mulai mengabsen sekelilingku, mencari keberadaan Abi setelah aku mengingat apa yang terjadi semalam. "Mana mungkin Abi masih di sini, tentu saja dia sudah kembali pada Tari," batinku.Aku bergegas ke kamar mandi, untuk mengambil wudhu. Jika biasanya aku ikut jamaah subuh, tapi hari ini aku melewatkannya, mungkin karena tidurku agak terganggu semalam sehingga aku tak mendengar adzan subuh berkumandang.Usai sembahyang dan mandi aku lakukan, aku segera mengganti pakaianku dengan baju santai. Aku harus ke pasar untuk membeli beberapa keperluan seperti sayur dan lain sebagainya.Kubuka pintu, bersamaan dengan itu, Abi juga membuka pintu depan, membuatku kaget. "Pagi, Bell," sapanya."P–agi," jawabku menunduk, berjalan menuju pintu. Jika aku merasa gugup dan malu karena sudah meminta Abi untuk menemaniku semalam, namun sepertinya berbeda dengan Abi yang terlihat santai seperti tidak ter
Bab 10Upaya AbiSetelah kepergian Abi, mereka lebih brutal dan tidak segan melakukan kekerasan. Kutundukkan kepalaku dari tatapan tajam mereka. Sekarang yang bisa aku lakukan hanyalah pasrah, jika Abi sudah tidak peduli lalu apa yang diharapkan, siapa yang bisa menolongku? Di dunia ini hanya Abi lah yang aku miliki meski tak seutuhnya, tapi hanya dia lah keluargaku.Angkot dilajukan dengan kecepatan tinggi hingga kami sampai di sebuah tempat sepi. Aku tak mengerti apa yang mereka inginkan, jika menginginkan harta benda kami harusnya tidak membawa kami ke gudang kosong ini. Bawa saja harta kami dan pergi, tapi kenapa harus ke tempat ini segala?"Ambil semua barang, ponsel, semua," perintah bos dari para perampok itu. "Serahkan semua. Cepat!" seru merekamengambil semua barang kami termasuk tasku."Mana ponsel kamu?" tanya mereka."Ponsel? Ada kok di situ," jawabku menunjuk pada tasku yang sudah berada di tangan mereka."Jangan bohong! Nggak ada!" ucapnya menggeledah isi tasku."Kok bi
BAB 11SAKIT YANG SEMPURNAKutatap nanar Abi yang saat ini berada di depanku sedang memegang kemudi, aku sungguh tidak bisa lagi berpikir, rasanya pikiranku menemui jalan buntu. Semua seakan tidak berpihak padaku."Mbak, maaf ya, sakit?" tanya Meta membersihkan luka di sudut bibirku."Sedikit.""Met, kira-kira perlu ke rumah sakit nggak?" tanya Abi."Aku bilang nggak, Bi!" selaku"Aku tanya Meta, bukan Bella," tegas Abi.Kuhembuskan napas kasar."Sepertinya sih, nggak perlu, Pak. Cuma memarnya aja, nanti dari rumah di kompres sama es. Nanti kalau dibutuhkan atau Mbak Bella kenapa-kenapa, bapak telepon saya saja, akan saya kirim dokter ke rumah, nggak perlu repot- lrepot ke rumah sakit," jelasnya pada Abi."Gitu ... O iya, Met, kamu balik Jakarta kapan?""Besok, Pak.""Sebelum kamu balik, kamu pesen tiket ke Jakarta ya. Buat saya, Tari, dan Bella. Untuk besok." "Loh, kenapa aku juga?" tanyaku dengan nada tinggi. Kuturunkan suaraku saat aku sadar bahwa kami tidak sedang berdua tapi ada
BAB 12Sifat Abi yang berubah-ubah"Abi? Ngapain disini?" bisikku."Kondangan lah, Bell, kamu sendiri? Kenapa ke sini nggak ijin?" tanyanya balik.Aku termangu, kuambil napas lalu kubuang perlahan, kulihat teman-temanku sedang mengarahkan pandangannya padaku dan Abi. "Bos, bestie, bos," kataku pada teman-teman, tak lupa kuukir senyuman agar tak ada yang curiga."Itu kan Pak Abimana, kamu kerja di kantor pak Abi, Bell?" tanya Raya menegaskan."Iya ...," jawabku tersenyum samar, tak ku sangka, bahkan teman-temanku lebih tau siapa Abimana dibandingkan aku, istrinya."Wah, hebat Bella. Pak Abi, kalau cabang di Surabaya butuh karyawan, kami siap membantu," kata Raya lagi, ya, aku tau sebagian dari mereka belum mendapat pekerjaan mengingat kami adalah fresh graduate, pastinya masih ada yang mencari-cari pekerjaan saat ini."Raya, jangan bikin malu. Perusahaan juga bukan cuma milik Abi aja," celetukku, mereka menatapku bingung."Pak Abi maksudnya," ralatku."Ya, tapi kan lebih bonafit di tem
Bab 13Ketegangan antara Abi dan TariAkupun berpamitan pada teman-temanku sebelum mengikuti langkah Abi yang saat ini menuju ke arah Bu Ning dan suaminya, aku juga menemui Febi. Kuberikan saja alasan bahwa ada pekerjaan mendesak dan aku bisa dipecat jika tidak segera mengerjakannya. Bukanya aku menurut dan patuh pada Abi, namun, aku hanya tidak ingin ada keributan. Aku sadar sifatku dan Abi sama-sama keras, bisa saja perdebatan kami akan mengganggu hari bahagia Febi dan menimbulkan banyak spekulasi.Alhamdulillah mereka mengijinkan dan mempercayainya.Segera, aku menghampiri Abi yang tampak berbincang dengan suami Bu Ning. "Pak, saya dan Bella mau pamit, kami harus siap-siap untuk keberangkatan kami besok pagi," katanya yang tak sengaja aku dengar."Yah, sayang sekali.""Jangan seperti itu, Pak. Saya tau apa yang ada di pikiran bapak, Bella, kan?" kata Abi, Bella? Apa maksud Abi sesungguhnya?"Terima ini, Pak dan nggak perlu menunggu Bella untuk mendapat amplop banyak, Bella masih ba
Bab 14Keputusan AbimanaPOV BELLAKubuka pintu saat kuterima pesan dari Raya, bahwa dia sedang berada di depan rumahku. Tentu dengan sigap aku langsung terhenyak dari tempat tidurku. Kulihat maduku sudah sendiri, berdiri memunggungiku, sayup-sayup kudengar isakan dari balik badan maduku itu yang sepertinya memang sengaja dia sembunyikan dari orang lain terutama aku, ya tentu saja lah, dengan percaya dirinya dia menuduhku. Eh, nyatanya dia sendiri yang menangis tersedu-sedu. Kena mental nggak coba? Emang enak? "Tari ... haih, ngapain? Raya lebih meresahkan," gumamku membatalkan keinginanku untuk bertanya pada Tari tentang apa yang terjadi.Aku berlari menuju pintu depan, membukanya, dan keluar. Tak lupa kukunci pintu dari luar agar Raya tidak nyelonong masuk seperti biasa."Bella ...." teriak Raya menghambur ke pelukanku."Raya, ngapain kesini?" tanyaku."Setidaknya biarkan aku masuk dulu dong, Bell. Aku lelah tau," ucapnya seraya berjalan ke arah pintu. Kuikuti langkah Raya dengan be