BAB 2
Sakit Tak BerdarahAku berlalu, kututup, dan ku kunci pintu kamar. Kali ini aku tak mau diganggu. Kubersihkan diri, sebelumnya ku nyalakan kran kamar mandi. Kuletakkan tubuhku di bawah guyuran shower. Aku duduk memeluk lutut, aku kacau. Sungguh tak menyangka bahwa akhirnya aku dimadu, menyakitkan. Di sini, di bawah guyuran air yang menjadi saksi bisu sakit dan perihnya hatiku saat ini. Kukeluarkan seluruh emosi, menangis sejadi-jadinya akan membuatku sedikit tenang. Tidak ada salahnya aku melakukan ini saat aku benar-benar rapuh bukan? Satu- satunya orang yang saat ini aku miliki, kini telah menjadi milik orang lain juga. "Aku, Salsa Bella Wirayuda tidak akan tunduk dan patuh pada wanita yang dicintai sekaligus istri kedua suamiku," lirihku dengan tangan mengepal sempurna.Aku bergegas keluar setelah kurasa cukup meratapi nasibkj yang buruk ini lalu mengeringkan rambut panjangku dengan handuk.Saat aku berbalik,"Astaga, Abi, ngapain kamu di sana? Bagaimana kamu bisa masuk ke kamarku?" Aku tersentak melihat Abi yang sudah duduk menyilangkan kaki di tepi ranjang. Pikiranku berkelana, semoga Abi tidak mendengar tangisanku, aku tak ingin terlihat rapuh di hadapan Abi. Laki-laki kejam yang sudah menggoreskan luka begitu dalam."Kamu lupa, ini rumah siapa? Kunci kamar mandimu pun aku punya!" Jawabnya."Hah?" Kulihat pintu kamar mandi, pikiranku pun bergidik ngeri.Hening."Bell, jangan menyalahkan Tari ya, dia sudah banyak berkorban untukku. Aku tidak ingin ada perselisihan antara kamu dan Tari, aku ingin kalian hidup damai, satu atap bersama," pintanya tanpa beban, yang membuatku semakin murka."Abi, keluarlah! Aku tidak akan mencampuri urusanmu dan jangan mencampuri urusanku, bagiku kamu tak lebih dari seorang yang sangat menjijikkan!" kataku dengan nada tinggi seraya menunjuk ke arah pintu."Tidak mencampuri bagaimana? Kamu istriku, aku berhak, dan bertanggungjawab padamu. Lagi pula Pak Wira ....""Jangan sebut nama papaku dengan mulutmu yang kotor itu, Abi! mulut yang dengan mudahnya mengucap ikrar pada wanita lain! Aku mengharamkannya!" tegasku. Kali ini kemarahanku sudah tidak bisa aku tahan lagi, sehingga rasa takutku pada Abi yang pendiam dan dingin pun musnah, berubah menjadi api yang membara dan siap membakar siapapun yang menyentuhnya."Bella! lancang kamu!" teriak Abi mengangkat tangannya ke udara."Astaghfirullah, Bella, jangan membuatku kehabisan kesabaran!" Dia berbalik dan menurunkan tangan. Mengusap wajahnya kasar, aku tau semarah dan sekejam-kejamnya Abi, dia tidak akan mampu menyakiti wanita secara fisik. Meskipun dia sudah melakukan pada batin dan mentalku."Bersikaplah baik pada Tari, meskipun hatimu berkata lain! Ingat, Bell, aku tidak suka perdebatan!" tutupnya meninggalkanku, menutup pintu kasar.Kuhela napas panjang, tubuhku lunglai, kusandarkan tubuhku di bahu ranjang. Tiada daya dan upaya yang bisa aku lakukan sekarang, menerima lebih baik daripada menentang orang keras kepala seperti Abi. Jika sudah di diskusikan namun tetap tidak bisa berubah maka hanya ada dua pilihan, pergi atau memaklumi.Tok ... tok ... tok ... Suara pintu diketuk, pelan namun beraturan. "Siapa lagi ...?" gumamku malas.Kuusap airmata yang tak sengaja jatuh setelah kepergian Abi dari tempat ini."Siapa?" tanyaku setengah berteriak."Asri, Mbak,""Oh, Asri, masuk, Sri!" seruku.Asri masuk membawa nampan dengan segelas susu di atasnya. "Diminum, mbak, mumpung masih hangat. Mas Abi sendiri yang membuatnya," kata Asri tersenyum. Aku tercengang, Abi bahkan tidak pernah mengambil air minumnya sendiri."O, ya? Seperti itukah Abi menganggapku, Asri?""Maksud, Mbak Bell?" tanya Asri mendekatiku setelah meletakkan susu di atas nakas."Menganggapku seperti anak kecil yang akan diam setelah diberi susu?" kataku, kugigit ujung bibir, menahan airmata agar tidak jatuh kembali namun, sepertinya sulit."Ya Allah, Mbak. Mbak Bell, nangis?" ucapnya duduk di sebelahku. Walaupun aku baru satu bulan tinggal di rumah ini, tapi aku cukup dekat dengan Asri, asisten rumah tangga Abi yang terbilang masih muda ini. Kami sering menghabiskan waktu di dapur bersama, terutama saat aku sedang membuat kreasi desert baru untuk Cafe. Asri juga lah yang membantu sedangkan Abi yang mempunyai selera rasa cukup tinggi itu lah yang menilainya. Kala itu terasa indah, namun sepertinya akan berubah setelah hari ini."Wanita mana yang mau dimadu, Sri ...," keluhku dengan nada suara yang mulai bergetar."Sssttt ... Mbak. Asri yakin, Mas Abi nggak bermaksud menyakiti, Mbak.""Tapi nyatanya hatiku sakit, Asri ... sakit sekali." Kutarik kaki dan kupeluk lututku, kutahan sekuat tenaga agar airmataku tidak lagi tumpah hanya karena perbuatan Abi yang tidak mempunyai hati.Tiba-tiba Asri membawaku dalam pelukannya, tangisku pun kembali pecah kala Asri memelukku dan mengusap lembut punggungku. "Mbak, Asri tau ini tidak mudah, kalau mbak merasa lebih legadengan menangis, jangan ditahan, Mbak. Asri akan ada di samping Mbak Bell."POV ABILangkahku mencari Asri untuk memintanya mencarikan dokumen yang dikirim oleh Meta, asistenku tadi siang terhenti saat sayup-sayup kudengar dari balik pintu yang tidak tertutup sempurna, keluh kesah Bella pada Asri tentang perbuatanku yang sebenarnya aku tau ini memang salah.Sesungguhnya, aku sudah melamar Tari jauh hari sebelum aku menikahi Bella dan aku sudah berniat membatalkannya saat aku sudah menikah dengan Bella. Namun, keluarga besar Tari menolak mentah-mentah, dengan alasan mereka tidak mau menanggung malu. Terlebih lagi aku sangat mencintai Tari, tak ingin aku melukai atau membuatnya menangis.Awalnya mereka menginginkan aku menceraikan Bella. Jelas, aku menolaknya. Bella merupakan amanah bagiku, Pak Wira, satu-satunya orang yang membantu dan sangat berjasa padaku, dia begitu gigih membimbingku tanpa pamrih hingga aku bisa seperti sekarang. Kematian Pak Wira pun masih aku selidiki hingga saat ini, Karena banyaknya kejanggalan yang aku rasa ini ada hubungannya dengan saudara tiriku, Adip, yang tak rela aku menjadi pemegang saham terbesar di perusahaan Papa, dan melihat keberhasilanku meraih berbagai penghargaan. Mendapatkan proyek-proyek besar hingga aku membangun Bimantara Group, perusahaanku sendiri, membuatnya yang hanya bersembunyi di ketiak Papa dan ikut perusahaan Papa semakin membenciku.Pradipta Atmajaya, menyimpan dendam pada Pak Wira yang berada dibelakangku dan begitu setia padaku. Aku dan Adip adalah saudara satu ayah beda ibu, dari kecil ibuku sudah meninggal, dan aku diasuh oleh ibu tiriku yang tak lain dan tak bukan adalah Mama kandung Adip. Setelah aku lulus kuliah, aku mulai memisahkan diri dan tinggal terpisah, aku tau meski Mama mengasuhku, Mama tetap saja membenciku karena Mama menganggap Mamaku telah merebut Papa darinya.Walau kami berbeda ibu, Papa membebaskan kami untuk bersaing memperoleh posisi terbaik, dan aku, Abimana lah yang menang. Tentu saja dengan bantuan dan bimbingan dari Pak Wira yang tak lain dan tak bukan adalah Papa Bella yang dulu merupakan dosenku. Awal kedekatanku dengan Pak Wira terjadi saat aku menjadi Ketua BEM di kampus dulu.Aku pun harus menyembunyikan Bella dari pihak luar demi keselamatannya, hingga semua terungkap, karena jika mereka membenci Pak Wira maka bisa saja Bella juga akan menjadi incaran mereka. Apalagi jika mereka tau bahwa Bella adalah istriku sekarang. Aku sadar ini bukan hal yang mudah, dua hal buruk yang bisa terjadi jika aku lalai. Kehilangan Bella yang sudah pasti akan membenciku jika tau kematian Papa nya ada hubungannya denganku dan kehilangan Bella seperti apa yang terjadi pada Pak Wira.Jika berbicara tentang Tari, Aku pun memberikan pilihan pada Tari dan keluarganya untuk menjadikan Tari istri kedua dengan hak yang sama seperti Bella atau kami harus berakhir. Karena bagaimanapun juga aku tidak akan menceraikan Bella. Untuk saat ini Bella masih menjadi prioritasku, meski tak bisa di pungkiri Tari adalah wanita yang sangat aku cintai.Karena cintanya padaku akhirnya Tari memilih menjadi istri kedua. Besarnya pengorbanan Tari membuatku semakin mencintainya.Di hadapkan pada dua hal yang sama-sama sulit sempat menguras tenaga dan otakku. Sekarang, setelah apa yang aku dengar dan aku lihat dari Bella, aku sadar bahwa, kita tidak bisa memilih dua hal sekaligus. Alih-alih tidak ingin mengecewakan dan membuat Tari menangis, nyatanya aku telah membuat Bella, seseorang yang seharusnya aku lindungi dan mendapatkan kenyamanan bersamaku, harus menangis dan sakit. "Maafkan aku, Bell ...," lirihku."Mas, Ngapain?" Tari tiba- tiba memelukku dari belakang membuyarkan semua pikiranku tentang Bella."Bobok, yuk!" ajaknya."Oh, Iya ...."BAB 3Mertua JulidPOV BELLAAku terbangun di sepertiga malamku setelah Asri, meninggalkanku saat aku tak sengaja tertidur.Kupijat kening yang terasa sedikit pusing karena terlalu banyak menangis kemudian kuraih gelas di nakas. "Kosong," gumamku saat kulihat tak ada air di sana, aku pun keluar mengambil air di dapur.Selang beberapa menit aku pun kembali, kugelengkan kepalaku saat mendengar suara-suara rintihan dan erangan saling bersahutan dari kamar maduku, aku tau mereka sedang memadu kasih di malam pertama yang tak pernah Abi berikan padaku namun sudah diberikan terlebih dahulu pada maduku, menjijikkan. Kututup pintu kasar hingga menimbulkan getaran dan suara. Seketika suara-suara kenikmatan itu terhenti, mungkin mereka sadar bahwa mereka mengganggu telingaku. "G* la Abi dan Tari, Kamar masih banyak kenapa memilih kamar sebelah? Sengaja!" gerutuku, rasanya saat ini dadaku panas dan sesak. Kuambil headset, kuputar lagu yang berjudul putus atau terus yang dicover oleh Angga Ca
BAB 4Surabaya POV BELLASatu jam setengah aku sampai di bandara Surabaya, tepat pukul 12 siang aku tiba. "Benar kata Asri, sepertinya aku masuk angin ini," gumamku memegang kepalaku yang mulai pening.Kubuka gawai, mengingat pesan Abi yang mengatakan untuk menghubunginya jika sudah tiba. "Abi ...," kataku mencari kontak di ponsel."Hah! nggak lah. Bukannya aku sedang marah dan mau mode diam sama Abi, pesan taksi aja lah," putusku, kumasukkan kembali ponsel ke dalam saku."Bella ...," teriak seseorang berlari ke arahku, jantungku berdegup kencang saat melihat siapa yang datang. "Kak Raka," lirihku tersenyum malu.Aku memang sudah menyimpan rasa padanya sejak aku masih duduk di bangku SMA. Kak Raka adalah kakak kelasku. Namun, aku tak berani mengungkapkan karena kudengar dia berpacaran dengan teman seangkatannya, Nadia. Sehingga aku hanya bisa mengaguminya dalam diam. Hah, menyedihkan."Kak Raka, kok ada disini?""Kebetulan aku baru pulang dari Bandung, aku dapat panggilan kerja di sa
BAB 5TETANGGA JULIDPOV BELLAAku mengerjap saat kudengar pintu ditutup kasar. "Abi berisik sekali, Belum berangkat juga?" gerutuku dengan mata yang masih tertutup.Kuubah posisi lalu kembali tidur, tubuhku terasa lemah dan pusing.Beberapa saat aku kembali menggeliat saat goncangan pelan terasa di pundakku dan ada yang membangunkanku."Bell, bangun ...," katanya. Kubuka perlahan mataku.Aku terkejut saat kulihat Abi duduk di tepi ranjang. Kulihat jam dinding baru menunjukkan pukul 2 siang, belum maghrib namun, Abi sudah ada di rumah."Kamu sudah pulang,.Bi?" tanyaku."Aku nggak jadi pergi,Bell, aku bawa makanan untukmu, kamu belum makan, kan? makanlah!" ucapnya memberikan sepiring rawon kegemaranku."Dari mana kamu dapat ini?" tanyaku bingung."Delivery, minumlah teh hangat ini biar nggak masuk angin!" serunya lagi.Kuminum teh sebelum kunikmati rawon yang menggiurkan itu. Namun, aku tersentak saat aku merasakan teh tanpa gula, pahit. "Kenapa?" tanyanya saat aku berusaha menelan te
BAB 6SISI POSESIF ABIMANAPOV ABIMANAAku tak bisa berkutik saat Tari memperkenalkan diri terlebih dahulu pada warga sebelum aku memberi peringatan untuk tidak memperkenalkan diri sebagai istriku, baik untuk Bella maupun Tari. Toh kita hanya akan di sini beberapa hari.Walaupun sebagian orang tau bahwa aku menikah dengan Tari, tapi menjaga hati Bella juga penting. Waktu sudah menunjukkan pukul 6, usai sholat Maghrib aku segera bersiap untuk acara. Kuganti pakaianku dengan baju muslim dan sarung yang dikirim oleh Meta tadi siang. Lalu kuketuk pintu kamar Bella yang masih setia terkunci sejak kejadian sore tadi.Dan lagi, kulihat mata sembab itu di wajah Bella. Tak banyak berkata saat aku memberitahukan bahwa waktu acara sudah dekat. Hanya Kata 'ya' yang aku dengar. Lalu dengan cepat ia menutup pintunya kembali. Sungguh perasaan bersalahku semakin hari semakin besar pada Bella.Kuambil gawai dan kuhubungi Meta."Halo, Pak," jawab Meta dari seberang sana."Halo, Meta, bagaimana perkemb
BAB 7POSESIF 2POV BELLARasa kehilangan dan haruku kembali menyeruak tatkala lantunan doa dipanjatkan untuk Mama, tak menyangka bahwa aku saat ini sebatang kara, dan waktu berjalan begitu cepat. Di usiaku yang masih terbilang nol pengalaman namun sudah ditinggal oleh kedua orang tua itu sangatlah berat. Masalah yang kuhadapi pun termasuk rumit. Abi tidak mau melepaskan aku meski jelas-jelas dia mencintai Tari, apakah aku akan selamanya hidup seperti ini? Entahlah, saat ini aku hanya bisa berpasrah. Sesekali kulirik Abi dan Tari yang duduk berdampingan di sisi sebelah kiriku, dengan busana yang senada dan sangat serasi. Rupanya mereka sudah sangat siap dengan segala sesuatunya melebihi diriku yang mempunyai hajat. Senyum miris dan mengasihani diriku sendiri, itu yang bisa aku lakukan saat ini.Mengingat Papa, Mama, dan nasibku secara bersamaan, tentu membuat dadaku terasa sesak. Pandanganku pun terasa kabur kala aku menahan buliran bening yang mulai menggenang, kutahan sekuat mungk
Bab 8Kedekatan Abi dan Bella.Beberapa saat setelah aku mengakhiri obrolanku dengan Kak Raka, aku beranjak dari tempat tidur. Membuka laptop dan melihat penghasilan cerbungku hari ini yang belum sempat aku lihat sejak keberangkatanku ke Surabaya pagi tadi. "100 ribu? Ah, lumayan lah," gumamku, jika biasanya aku hanya mendapat 40 hingga 30 ribu untuk satu cerita, berbeda dengan hari ini, tentu itu membuatku semakin bersemangat. Kembali kusiapkan bab yang akan aku upload besok pagi. Hampir 2 jam aku berada di depan laptop, hanya hapus ulang, hapus ulang yang aku lakukan dan baru setengah dari bab yang aku selesaikan. Hari ini sepertinya moodku kurang baik, mungkin aku lelah, bukan lelah karena seharian aku sudah tidur. Lebih tepatnya aku kurang enak hati.Segera kumatikan laptopku dan berjalan menuju tempat tidur, rasa ingin tahuku kembali bermunculan saat kulihat dinding kamar, kuhentikan langkah, dan menempelkan telingaku pada dinding yang terhubung langsung dengan kamar sebelah.
Bab 9KEKECEWAAN BELLAPOV BELLAKubuka mata, kulihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 5 pagi. Mataku mulai mengabsen sekelilingku, mencari keberadaan Abi setelah aku mengingat apa yang terjadi semalam. "Mana mungkin Abi masih di sini, tentu saja dia sudah kembali pada Tari," batinku.Aku bergegas ke kamar mandi, untuk mengambil wudhu. Jika biasanya aku ikut jamaah subuh, tapi hari ini aku melewatkannya, mungkin karena tidurku agak terganggu semalam sehingga aku tak mendengar adzan subuh berkumandang.Usai sembahyang dan mandi aku lakukan, aku segera mengganti pakaianku dengan baju santai. Aku harus ke pasar untuk membeli beberapa keperluan seperti sayur dan lain sebagainya.Kubuka pintu, bersamaan dengan itu, Abi juga membuka pintu depan, membuatku kaget. "Pagi, Bell," sapanya."P–agi," jawabku menunduk, berjalan menuju pintu. Jika aku merasa gugup dan malu karena sudah meminta Abi untuk menemaniku semalam, namun sepertinya berbeda dengan Abi yang terlihat santai seperti tidak ter
Bab 10Upaya AbiSetelah kepergian Abi, mereka lebih brutal dan tidak segan melakukan kekerasan. Kutundukkan kepalaku dari tatapan tajam mereka. Sekarang yang bisa aku lakukan hanyalah pasrah, jika Abi sudah tidak peduli lalu apa yang diharapkan, siapa yang bisa menolongku? Di dunia ini hanya Abi lah yang aku miliki meski tak seutuhnya, tapi hanya dia lah keluargaku.Angkot dilajukan dengan kecepatan tinggi hingga kami sampai di sebuah tempat sepi. Aku tak mengerti apa yang mereka inginkan, jika menginginkan harta benda kami harusnya tidak membawa kami ke gudang kosong ini. Bawa saja harta kami dan pergi, tapi kenapa harus ke tempat ini segala?"Ambil semua barang, ponsel, semua," perintah bos dari para perampok itu. "Serahkan semua. Cepat!" seru merekamengambil semua barang kami termasuk tasku."Mana ponsel kamu?" tanya mereka."Ponsel? Ada kok di situ," jawabku menunjuk pada tasku yang sudah berada di tangan mereka."Jangan bohong! Nggak ada!" ucapnya menggeledah isi tasku."Kok bi