Share

Menghapus Jejak Clara

Author: NH. Soetardjo
last update Last Updated: 2023-07-14 18:17:41

Aku hanya menggeleng.

"Jujur, deh. Kak Arta harus cerita ke aku."

"Nggak ada apa-apa, Ri. Sungguh," jawabku sambil mengacungkan telunjuk dan jari tengah tangan kanan bersamaan.

"Nggak. Aku lihat Bang Evan gelisah malam ini. Kalian nggak berantem, 'kan?"

Aku menggeleng, tapi Riri terus memaksa untuk berterus terang. Mau tak mau kuceritakan percakapan kami di mobil, termasuk telepon dari Ray yang juga membuat Evan jadi aneh di mataku. Riri menghela napas.

"Kak Arta, aku jamin, deh. Bang Evan itu beneran cinta sama Kakak. Bukan karena wajah Kak Arta mirip Clara. Kakak nggak tahu ‘kan, gimana bucinnya Bang Evan sama Kakak? Sebentar lagi Kak Arta bakal lihat sendiri. Pokoknya, percaya aja, deh. Kakak itu spesial buat dia."

Kalau Evan memang mencintaiku, kenapa belum mengatakannya? Berulang kali ia memintaku agar menerima lamaran, tapi tak pernah ada kata cinta dalam setiap kalimatnya. Memang benar bahwa cinta tak harus diucapkan, tapi salahkah aku jika ingin mendengar kalimat itu langsun
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Tak Pakai Perhiasan Dikira Melarat   Pertunangan

    Beberapa detik berlalu dalam keheningan. Saat kemudian dering ponsel membuyarkan semua. Anang menelepon dan menanyakan keberadaanku. Ia datang ke rumah untuk mengantarkan lukisan terbarunya.Seperti mendapat durian runtuh, aku menemukan alasan untuk meminta Evan segera mengantar pulang, dan kembali menghindari pertanyaannya. Laki-laki itu terlihat sedikit kesal, tapi tetap bersikap manis. Ia segera membukakan pintu mobil untukku dan mengantar hingga ke rumah. Evan juga sempat mengirim pesan sebelum tidur. Kalimat singkat yang mampu membuat pipiku merona. "Selamat istirahat, semoga tidurmu nyenyak."Aku tidak membalasnya.***Aku menghempaskan tubuh ke kursi. Meeting yang cukup melelahkan baru saja berakhir. Rasanya ingin segera pulang dan merebahkan diri di tempat tidur. Namun, ini baru pukul tiga sore. Belum saatnya jam kerja berakhir. Segera aku menegakkan tubuh dan hendak membuka laptop. Tiba-tiba satu pemandangan menakjubkan tertangkap mata. Sebuah buket bunga yang sangat besa

    Last Updated : 2023-07-14
  • Tak Pakai Perhiasan Dikira Melarat   Malam yang Dinanti

    'Iya, tadi Bunda ke sini.'"Lalu, apa jawabanmu?"Aku menghela napas berat."Tanya aja ke Tante Diana."Terlihat Evan langsung mengetik saat pesan dariku sudah centang biru. "Aku butuh jawaban langsung darimu, Ta. Bukan dari Bunda."Pesan itu kubiarkan tanpa jawaban untuk beberapa saat lamanya. Hingga Evan mengirim pesan lagi, dan lagi. "Ta.""Arta.""Arta Intan Sari.""Kamu baik-baik aja, ‘kan?"Aku tersenyum membaca pesan beruntun dari Evan yang mirip gaya abege. "Baiklah, kalau kamu nggak mau jawab pakai kata-kata. Aku telepon kamu sekarang. Angkat teleponnya jika jawabanmu iya. Tak perlu bicara apa-apa. Jika kamu menolak, biarkan teleponku hingga dering terakhir."Mataku membulat. Laki-laki itu sangat gigih, walau tak romantis. Detik berikutnya ponselku berdering. Nama Evan muncul di layar. Dering pertama hingga kelima, aku masih diam. Ada debar yang semakin terasa, hingga ibu jariku menggeser logo telepon berwarna hijau di dering keenam. Hening.Kemudian terdengar hela napas

    Last Updated : 2023-07-14
  • Tak Pakai Perhiasan Dikira Melarat   Tidak Ada yang Bisa Memilikimu

    "Diara. Selamat, ya, Arta. Akhirnya Evan menemukan belahan jiwanya lagi.""Terima kasih, Tante. Saya juga senang bisa berkenalan dengan Tante.""Jangan panggil tante. Evan sudah seperti anakku sendiri. Artinya, karena sebentar lagi kalian akan menikah, maka kamu pun kuanggap sebagai anak sendiri. Panggil mama saja, ya.""Baik, Tan ... eh, Ma."Tante Diara masih terlihat sangat cantik di usianya yang tak lagi muda. Hampir tak terlihat keriput di wajah perempuan itu. Dandanannya pun simple tapi berkelas. Ia mengenakan gaun hitam panjang dipadu syal tenun etnik. "Duduk di sini, Ta." Tante Diara menunjuk kursi di sebelah kiri tempat ia duduk. Dengan gugup aku mengikuti perintahnya, walau tak percaya diri karena harus berdekatan dengan mantan mertua Evan. Bukankah bisa saja saat ini ia sedang menilaiku, dan membandingkan dengan putrinya yang juga pernah jadi istri Evan?"Aku tinggal sebentar, nggak apa 'kan, Ta?" Evan menatapku lembut."Oke," jawabku sedikit ragu.Evan berlalu, sesekali

    Last Updated : 2023-07-14
  • Tak Pakai Perhiasan Dikira Melarat   Pernikahan yang Dipercepat

    Perempuan itu semakin mendekat, berjalan perlahan dengan wajah bengis. Sementara Dika kini mencekal tanganku. Menahan agar tak ada ronta dan pergerakan yang bisa membuat aku lari."Tolong, Dika. Please, nggak gini caranya. Lepasin aku!"Dika tak bersuara, sedangkan jarak Sinta sudah tinggal setengah meter dariku. Tiba-tiba ia mengangkat pisau itu tinggi sekali, lalu menikamkannya ke dadaku. "Tidaaak!" "Ta, Arta! Arta! Kamu kenapa?"Seseorang menepuk pipiku. Segera aku membuka mata. Peluh membanjiri seluruh wajah dan tubuh."Ibu?"Lalu, tadi itu apa? Evan yang pergi, ancaman dari Dika, dan Sinta dengan pisaunya. Semua terlihat nyata dan mengerikan, tapi kini hanya ada Ibu di depanku. Ia sudah rapi dengan mukena biru toska, menatapku dipenuhi kecemasan. "Kamu mimpi buruk?"Jadi, itu semua mimpi? Apa maknanya jika mimpi itu begitu jelas seperti benar-benar terjadi? Aku bangkit dari tidur. Ibu bergeser dan memberiku ruang agar lebih mudah untuk duduk. Menatap wajahnya yang tenang

    Last Updated : 2023-07-14
  • Tak Pakai Perhiasan Dikira Melarat   Menghancurkan Mantan

    Griya Lintas Amerta sebenarnya bukan hanya perusahaan properti. Kini sayapnya sudah menguasai semua bidang, termasuk perdagangan, transportasi, dan media massa. Ribuan karyawan yang bergantung nafkah di sana, tersebar di puluhan cabang.Perusahaan yang Evan pimpin itu mempunyai pengaruh dan kekuasaan yang besar, bahkan pada perpolitikan negeri ini. Dalam hitungan detik, ratusan juta rupiah mengalir ke rekening Lintas Griya Amerta. Semuanya tak lepas dari kecerdasan seorang Evan Taqi Hermawan. Laki-laki yang selalu bekerja keras dan tegas dalam bersikap. Melihat semua kesuksesan perusahaan itu, siapa sangka pimpinan tertingginya saat ini sedang membeku di hadapanku. Tak mampu berkata, dan tak mau menatap lawan bicaranya. Mata lelaki itu kini lurus ke depan. Cukup lama kami terkurung dalam keheningan dengan atmosfer yang canggung.Tiba-tiba ia berdiri, lalu berjalan ke arahku. Tidak, ia terus berjalan memutari meja, menuju ke belakang kursi yang aku duduki. Bisa kurasakan saat langkahn

    Last Updated : 2023-07-16
  • Tak Pakai Perhiasan Dikira Melarat   Malam Pertama

    "Dia bahkan bikin stress dokter dan perawat yang ngobatin. Lukanya sendiri belum ditangani, tapi dia mau lihat kondisi lu terus, Ta. Khawatir banget dia sampai pucat mukanya."Benarkah Evan sangat cemas? Benarkah ia takut kehilangan aku? Tiba-tiba aku teringat Niar. "Oh, sampai lupa. Niar, kenalin ini, Bima. Kalian dah pernah ketemu, 'kan? Bima, ini Niar, sahabatku sejak SMA.""Niar.""Bima."Mereka saling berjabatan tangan yang menurutku agak lebih lama dari umumnya. "Lalu, perkembangan penyelidikan kamu gimana, Bim? Evan bilang kecelakaan itu memang disengaja."Bima menarik napas berat. Ia mendekat ke arah tempat tidurku, lalu bicara lirih. "Bukti-bukti menuju pada satu orang, tapi Evan belum memutuskan.""Siapa?""Kamu jangan kaget, ya?"Aku mengangguk dengan keyakinan penuh."Dika. Mantan kamu."Aku menutup mulut dengan tangan kanan yang tidak terluka. Sungguh berita ini sangat buruk. Aku tak habis pikir, bagaimana Dika sependek itu pikirannya. Mencelakai Evan, artinya juga mem

    Last Updated : 2023-07-31
  • Tak Pakai Perhiasan Dikira Melarat   Bulan Madu

    "Kakiku sakit banget.""Ya, Tuhan. Maafkan aku. Sini, dipijat."Evan langsung membimbingku untuk duduk di atas ranjang. Menyingkap gaun pengantin yang kukenakan, kemudian ia mulai memijat perlahan. Hampir setengah jam lamanya ia melakukan itu dengan sabar dan telaten. "Gimana sekarang?"Aku tersenyum. "Udah enak. Ternyata profesi kamu selain sebagai direktur utama, juga merangkap jadi tukang pijit, ya?"Evan mencubit pipiku dengan gemas."Kamu dengar ceramah ustadz saat khutbah nikah tadi?""Iya. Kenapa?""Sebaiknya kita salat sunnah dulu sekarang, seperti yang disampaikan ustadz."Aku mengangguk setuju, lalu menghampiri meja rias dan membersihkan make up di wajah. Evan berdiri di belakangku, sejenak memperhatikan semua gerakan melalui cermin."Aku ke ruang kerja sebentar," ujarnya lalu menghilang di balik pintu. Aku melepas gaun pengantin yang menjuntai dan berat, lalu menggantinya dengan baju tidur satin yang diletakkan di atas ranjang. Entah siapa yang sudah menyiapkannya di san

    Last Updated : 2023-07-31
  • Tak Pakai Perhiasan Dikira Melarat   Bayi yang Tidak Diinginkan

    "Lu mau gue tinggal sebulan ngurusin kantor ini sendiri?""Enak aja!""Nah, 'kan. Sekarang bilang, ngapain lu tiba-tiba masuk ke sini? Nanyain oleh-oleh, 'kan?"Niar tergelak. Ia menghempaskan tubuhnya di sofa. "Tahu aja si bos.""Dah keliatan dari wajah lu yang mupeng."Niar kembali terpingkal. "Tuh, yang tas ungu," ujarku sambil menunjuk sebuah kantong kertas besar. "Ini buat gue semua?"Aku mengangguk. Niar langsung bangkit dan berjalan ke arahku. "Makasih Arta cantik yang nggak pernah lupain asisten tersayangnya ini.""Gombal.""Sesekali lu perlu digombalin emang, Ta."Kucubit lengannya kecil. Ia menjerit sambil tertawa. "Amit-amit, dah. Cubitan lu pedes banget. Semoga Evan tahan.""Udah berkali-kali dia jadi korban, kok."Kami tertawa bersama, lalu berhenti karena tiba-tiba pintu terbuka. Aku dan Niar terpana melihat sosok yan

    Last Updated : 2023-08-01

Latest chapter

  • Tak Pakai Perhiasan Dikira Melarat   Bulan Madu Kedua

    Aku keluar kamar guna mencari keberadaan Evan. Bagaimana lelaki yang dulu begitu dingin, sekarang ulahnya ada-ada saja. Setelah memasuki beberapa ruangan, Evan sama sekali tak kutemukan. Di ruang tengah aku berpapasan dengan Bik Ijah yang sedang membersihkan rak hiasan. "Bik, lihat Pak Evan?""Tuan ada di halaman belakang, Non.""Oke. Tolong bilang ke Feni buat jagain Anin yang lagi tidur di kamar. Saya mau ke belakang dulu."Aku melangkah ke halaman belakang. Ternyata Evan sedang duduk di gazebo sambil menekuri laptopnya. Biasanya ia tak membawa pekerjaan ke rumah. Kenapa kali ini sepertinya sibuk sekali?Saat jarak kami semakin dekat, aku ragu untuk melanjutkan langkah. Namun, sepertinya Evan mengetahui kehadiranku. Tanpa menoleh ia bertanya. "Ada apa, Sayang?"Tiba-tiba wajahku terasa panas mengingat lingerie pemberiannya. Tak terbayang aku memakai pakaian itu. Pasti malah terlihat seperti lemper yang dibungkus daun

  • Tak Pakai Perhiasan Dikira Melarat   Balas Dendam

    Ia kembali melemparkan senyum, tapi kali ini sangat terlihat meremehkan. "Ya, aku Tiara. Calon istri Dika. Harusnya sebulan lagi kami menikah, tapi kamu menghancurkan segalanya."Aku berdiri dan sengaja menatap matanya dengan tajam. Wanita ini perlu disadarkan rupanya. "Jangan merasa paling hancur, Mbak. Apa yang dilakukan calon suamimu justru hampir merenggut nyawaku, juga bayi yang ada dalam kandunganku."Tiara membalas tatapanku dengan kilat menyala di matanya. Sementara itu kudengar bunyi ponsel di tas milikku. Itu pasti Evan. Hanya namanya yang kuberi nada dering khusus. Maaf, aku mengabaikanmu kali ini, pikirku. Dalam hati aku berjanji akan meneleponnya setelah urusan dengan Tiara selesai. "Hah, bicaramu seakan paling suci, padahal sama-sama busuk. Sudahlah Evan brengsek itu membuat kekasihku kehilangan pekerjaan, kini Dika juga harus mendekam di penjara.""Itu balasan yang sangat setimpal untuk orang

  • Tak Pakai Perhiasan Dikira Melarat   Terungkap

    Wajah Evan pucat, sementara Bima membalik foto itu. Ada tulisan tangan di sana. Karena penasaran, aku ikut membaca isinya. [Harusnya aku yang ada di posisimu saat ini.]"Ardi," gumam Evan lirih. Aku dan Bima menatap dengan penuh rasa ingin tahu ke arah Evan. Serentak kami bertanya. "Siapa Ardi?"Evan melangkah ke sofa yang ada di sudut ruangan. Aku dan Bima mengikutinya. Saat kami sudah duduk, Evan mulai bercerita. "Rahasia ini hanya keluargaku yang tahu. Sebenarnya, Evan Taqi Hermawan ini adalah anak lelaki yang tak tahu siapa ayah dan ibunya. Aku tinggal di sebuah panti asuhan sejak bayi. Hingga saat berumur delapan tahun, sepasang suami istri datang untuk mengadopsi anak."Aku menarik napas berat. Ternyata ada rahasia besar dari hidup Evan yang baru dibukanya sekarang. Ia menatapku dan meminta agar duduk lebih dekat di sampingnya. Tangannya meraih jemariku dan meremasnya beberapa saat. "Ibu panti memperk

  • Tak Pakai Perhiasan Dikira Melarat   Kangen

    Setelah beberapa hari di rumah sakit, aku pulang. Tidak. Lebih tepatnya kami semua pulang. Aku, Evan, bayi kami, dan dua orang yang ditugaskan untuk berjaga di depan kamar rawat inap. Kupikir setelah di rumah, tak ada lagi penjaga-penjaga itu. Ternyata justru Evan semakin menambah jumlahnya. Termasuk tim sekuriti yang mengawasi rumah kami. Bahkan kini ada yang perempuan, khusus menjaga aku dan bayi. "Apa kita nggak berlebihan, Van?""Berlebihan gimana? Kamu itu dalam bahaya. Setiap saat bisa jadi sasaran empuk orang-orangnya mereka.""Siapa? Dika? Bukannya dia di penjara?""Saat ini yang mengincar kamu bukan hanya Dika.""Lalu?""Udah, nurut aja kenapa, sih?"Kalau sudah begitu, aku memilih diam. Termasuk ketika kami berdebat tentang nama untuk bayi. Hampir seminggu, buah hati kami belum punya nama. Selalu saja berujung debat tak berkesudahan, saat aku dan Evan mendiskusikan nama yang cocok untuknya.

  • Tak Pakai Perhiasan Dikira Melarat   Penerimaan

    "Bagaimana perasaan Anda, Nyonya Evan?" tanya suster saat ia memeriksaku yang baru tersadar."Badan saya rasanya sakit semua, Sus. Seperti remuk.""Sebentar lagi dokter akan datang memeriksa. Apakah anda merasa sangat haus atau lapar?"Aku memandang perempuan muda berseragam hijau itu sambil mengernyitkan dahi. Apa tadi dia bilang? Haus? "Ah, iya. Anda benar. Saya sangat haus."Tiba-tiba Evan sudah mengulurkan tumbler berukuran sedang. Tatapannya terlihat khawatir. "Hai, makasih. Aku baik-baik aja."Aku meminum air dari dalam tumbler dan hampir menghabiskan separuhnya."Baik versi kamu itu bukan yang sesungguhnya," ujarnya ketus.Suster yang sedang mengambil alat pemeriksa tekanan darah tersenyum melihat kami berdua. Kemudian dengan cekatan memasang alat itu di bagian atas lenganku. "Kamu nggak lapar?" bisik Evan mengabaikan suster yang sedang bekerja Aku melirik padanya

  • Tak Pakai Perhiasan Dikira Melarat   Bayiku

    "Bisakah kau diam?" ujar lelaki di balik kemudi sambil mengunci semua pintu.Suara itu seperti aku kenal."Dika?"Ia menoleh, lalu menyeringai. Aku bergidik melihatnya"Akhirnya kau mengenali suaraku, Ta. Ternyata kamu sejahat itu. Mengenal Evan sebentar saja, aku langsung kau lupakan."Ia mulai fokus pada kemudi, sementara tanganku mengepal. "Apa maumu, Dika? Kenapa harus melibatkan nyawa Bunda? Kenapa melakukan ini? Apakah kamu dendam karena kisah kita selesai?"Dika tertawa sambil melirikku sekilas dari kaca tengah. Mata itu, merah dan menyiratkan dendam yang teramat dalam. "Sebaiknya kamu diam, Ta. Jangan banyak bicara kalau mau selamat!""Nggak! Kamu udah salah orang, Dika! Bebaskan Bunda!"Dika tertawa lagi. Kali ini Sinta ikut tergelak."Dika Mahendra Winata tak pernah salah orang. Dendamku cuma satu, pada si brengsek Evan. Maka satu-satunya cara adalah menguras harta, sekalig

  • Tak Pakai Perhiasan Dikira Melarat   Karena Uang

    Aku mengikuti langkahnya menuju ruangan khusus.“Silakan duduk," katanya sambil menunjuk kursi di depan sebuah meja kaca dengan komputer di bawahnya. "Anda benar-benar ingin mengambil keseluruhan uang dari rekening?"“Ya.""Baiklah. Sepertinya saya harus menyerahkan ini pada atasan karena jumlah uang anda tidak sedikit, Bu Arta."Tentu saja uang itu tak sedikit. Tabunganku yang merupakan pimpinan perusahaan sukses sekelas Artha Ladju Enterprise, tentu membuat mata perempuan muda itu membulat saat melihat jumlahnya yang tiba-tiba ingin diambil semua. "Bisakah saya meminta kartu identitas anda, Bu?”Menyerahkan KTP, aku menahan rasa mual yang tiba-tiba menjalar di perut dan mencapai ke tenggorokan. Segera aku mengambil napas panjang sambil menatap Hasna yang keluar ruangan. Tak lama, seorang lelaki yang lima tahun tampak lebih tua dari Hasna masuk. Tangan kirinya memegang

  • Tak Pakai Perhiasan Dikira Melarat   Sandera

    Niar mengamatiku dari ujung kepala hingga kaki, kemudian tersenyum. "Hmm, iya, sih. Sekarang tubuh lu tambah seksi karena hamil.""Hah? Masih kelihatan?"Niar tersenyum."Kalau diperhatikan, ya, masih. Jilbab lu pendek gitu. Setelan yang lu pakai juga nggak terlalu longgar.""Ya kali gue mesti pakai gamis ke kantor.""Kenapa nggak? Toh, sekarang banyak gamis-gamis modis yang cocok buat jadi busana kerja."Aku mengibaskan tangan di depan Niar. "Ah, udahlah. Ngadepin permintaan Evan aja gue udah pusing. Ini malah lu nambahin pula."Niar tergelak."Eh, tapi, dengan Evan menganggap bentuk tubuh lu yang berubah saat hamil sekarang ini harus ditutupi, artinya dia udah nggak ambil pusing tentang anak yang bakal lahir di antara kalian?"Aku tersenyum miris. "Dia nggak pernah bahas itu."Andai Niar tahu, selain Evan tak pernah membahas bayi ini, ia juga tak pernah

  • Tak Pakai Perhiasan Dikira Melarat   Tidak untuk Lelaki Lain

    Sejak pulang dari rumah sakit, Evan belum pernah menyinggung lagi tentang kehamilanku. Namun, ia juga bersikap seolah aku tidak sedang mengandung anaknya. Ia kini jauh lebih dingin dari sebelumnya. Jarang bicara kecuali aku bertanya.Pagi ini aku berniat masuk kantor. Seperti biasa, sebelum mandi aku menyiapkan pakaian dan aksesoris yang akan dipakai. Memadu padankan agar terlihat elegan dan sempurna, termasuk tas dan sepatu. "Mau ke mana?"Suara Evan yang tiba-tiba masuk ke kamar sangat mengejutkan. Ia berjalan ke arah tempat tidur di sisi yang berseberangan dengan tempatku saat ini meletakkan tas, syal dan beberapa perlengkapan kerja. Lelaki itu menghempaskan tubuhnya sambil menghela napas perlahan. "Kantor.""Memangnya udah kuat?"Aku menoleh ke arahnya. Menatap mata cokelat itu dengan penuh tanya. Apa maksudnya?"Kamu masih sering kelihatan mijit-mijit pelipis. Masih sering pusing, 'kan?"Aku mengangg

DMCA.com Protection Status