Aku keluar kamar guna mencari keberadaan Evan. Bagaimana lelaki yang dulu begitu dingin, sekarang ulahnya ada-ada saja. Setelah memasuki beberapa ruangan, Evan sama sekali tak kutemukan. Di ruang tengah aku berpapasan dengan Bik Ijah yang sedang membersihkan rak hiasan.
"Bik, lihat Pak Evan?""Tuan ada di halaman belakang, Non.""Oke. Tolong bilang ke Feni buat jagain Anin yang lagi tidur di kamar. Saya mau ke belakang dulu."Aku melangkah ke halaman belakang. Ternyata Evan sedang duduk di gazebo sambil menekuri laptopnya. Biasanya ia tak membawa pekerjaan ke rumah. Kenapa kali ini sepertinya sibuk sekali?Saat jarak kami semakin dekat, aku ragu untuk melanjutkan langkah. Namun, sepertinya Evan mengetahui kehadiranku. Tanpa menoleh ia bertanya."Ada apa, Sayang?"Tiba-tiba wajahku terasa panas mengingat lingerie pemberiannya. Tak terbayang aku memakai pakaian itu. Pasti malah terlihat seperti lemper yang dibungkus daun"Lu datang sama siapa, Beib?" Mira menyapaku to the point. Pastinya ia bukan tak tahu, bahwa sampai detik ini aku masih sendiri. "Sama sopir," jawabku singkat."Sopir? Sopir taksi maksudnya?"Aku hanya tersenyum. Malas menanggapi ocehan nyinyir seperti itu. "Jangan marah, Beib. Makanya jangan jomlo terus. Nunggu apa, sih? Lu 'kan cantik. Pas SMA dulu bahkan jadi rebutan."Aku masih belum menanggapi. Ini adalah satu dari banyak hal yang membuatku malas datang ke acara reuni. Kalau bukan karena Niar, tentulah aku tak akan datang."Pokoknya, kamu harus datang ke acara reuni kali ini!"Kalimat itu diucapkan Niar berkali-kali dalam sebulan terakhir. Sahabat sejak kelas satu SMA itu sangat gigih mengajakku datang ke acara tahunan, tapi usahanya selalu gagal. Aku tak pernah mau hadir. Bagiku, reuni adalah buang waktu. Lima belas menit bagi seorang Arta Intan Sari sangatlah berharga. Aku bisa menghasilkan ratusan dolar dalam waktu sesingkat itu. Lalu, untuk apa menyia-nyiakan waktu dengan
Setelah lelang, acara dilanjutkan dengan makan bersama. Sikap Dika kurasakan berubah seratus delapan puluh derajat. Demikian juga dengan Mira dan yang lainnya. Mungkinkah semua karena cek seratus lima puluh juta yang kuberikan saat lelang? Ternyata memang semua hal butuh uang, tetapi masih banyak juga yang menjadikan uang sebagai segala-galanya. "Pulangnya kuantar ya?""Nggak usah, Ka. Aku dijemput.""Sama siapa? Pacar?""Bukan. Dijemput sopir."Dika tampak terkejut. "Kamu pakai sopir pribadi sekarang?"Aku mengangguk. Wajar jika Dika heran. Arta yang dikenalnya dahulu bahkan tidak pernah tahu rasanya naik mobil pribadi. Disebabkan kemiskinannya pula, orang tua Dika memandangku sebelah mata. Padahal saat itu kami baru pertama kali berkenalan. "Tinggal di mana sekarang?"Aku menyebutkan nama sebuah perumahan mewah di bilangan Jakarta Selatan. Dika mengernyitkan dahi. Sepertinya ia heran, bagaimana mungkin mantan kekasihnya yang dulu tinggal di gang sempit bisa hijrah ke kawasan elit
Setelah berbasa-basi sejenak, aku kembali duduk di depan Pak Adi yang kini menjadi canggung bersikap. Ia tak enak hati diduga sebagai suamiku. "Nggak apa, Pak. Biasa aja. Anggap aja orang itu nggak pernah ada," ujarku berbisik. Pak Adi mengangguk. Tiba-tiba ia berdeham dengan agak keras, membuat ibu dan ayah Dika menoleh. "Non Arta jadi pesan makanan dari sini buat enam asisten di rumah?" Pak Adi bertanya dengan suara yang menurutku terlalu keras. Sepertinya ia sengaja agar orang di meja sebelah ikut mendengar. "O, iya, Pak. Kok, saya bisa lupa, ya? Mbak Ani dan Mbak Jum paling senang kalau dibawain karaage."Mereka juru masakku yang sebenarnya juga handal membuat karaage dan menu apapun. Namun, Mbak Ani pernah mengatakan, oleh-oleh dariku selalu terasa lebih istimewa, apapun bentuknya. Sejak itu, setiap bepergian, aku berusaha membawakan mereka buah tangan walau hanya makanan atau benda sederhana."Jangan lupa tempura udang buat Bi Ijah dan Bi Eha, Non."Aku mengangguk. Sekilas k
Sebagai CEO dari Artha Ladju Enterprise, aku tak punya cukup banyak waktu untuk hal-hal selain pekerjaan. Bahkan saat ini sedang berpikir untuk mengundurkan diri dari tugasku sebagai pengacara aktif.Jika aku hadir di sebuah acara pesta, itu lebih karena menjaga kekerabatan dan pertemanan. Seperti malam ini, aku harus menghadiri pesta pernikahan salah satu relasi kantor. Satu hal yang membuatku berpikir keras adalah ketika membaca undangan yang bertuliskan untuk Arta Intan Sari and partner. Siapa yang harus kuanggap sebagai partner? Haruskah kembali mengajak Bima? Laki-laki kepercayaanku itu sudah terlalu sering menjadi teman kondangan.Setelah berpikir ulang beberapa kali, kukirimkan pesan padanya. Seperti biasa, ia langsung menyanggupi. "Sampai kapan lu bakal jadiin gue partner kondangan?"Kupukul lengannya. "Cobalah buka hati, Ta."Aku diam. Bagaimana harus membuka hati jika saat akan memulainya, luka itu kembali tersayat semakin dalam? Pertanyaan itu terus bergema di kepalaku
What? Siapa yang mendekati Dika lagi? Bahkan setelah sepuluh tahun, baru saat reuni kemarin kami bertemu. Di sekolah dulu pun bukan aku yang mendekati Dika, tapi sebaliknya. Siapa sebenarnya perempuan ini?Baru saja aku hendak menjawab kata-katanya, ia berlalu. Meninggalkan aku dengan sejuta tanya. Ah, sudahlah. Aku tak peduli. Sekarang yang penting aku menyiapkan hati untuk perjalanan pulang bersama Evan. Entah bagaimana efek laki-laki itu bisa demikian besarnya padaku. Menatap cermin sekali lagi, aku merapikan rambut lalu berjalan keluar dari toilet. Tampak Evan menunggu sambil bersandar di dinding. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku. Saat melihatku, ia segera memberikan lengannya. Aku menolak dengan hati-hati."Kenapa?" Evan memandang dengan heran."Nggak apa-apa.""Jadi, yang tadi itu cuma akting?"Aku tergelak, Evan menggelengkan kepalanya. "Memangnya perempuan nyinyir itu siapa?""Ibu dari mantanku.""Wah, mantan calon mertua, dong?"Kucubit lengan lelaki itu. Ia tak me
Gambar itu sepertinya diambil diam-diam. Tampak Dika di sana sedang memeluk seorang perempuan berambut pirang dengan pakaian yang menonjolkan bentuk tubuhnya di sana sini. Kusentuh dua jari ke layar ponsel untuk memperbesar foto. Bukankah ini wanita yang tadi menemuiku di toilet? Apakah ia kekasih Dika yang baru? Bahkan aku tidak peduli dengan siapa laki-laki itu menjalin hubungan saat ini. Jika ia sudah beristri pun, aku tak ingin tahu.Lalu apa maksudnya orang ini mengirim foto? Tak ada keinginan sedikit pun di hati, untuk kembali pada mantan yang dulu bahkan tak peduli saat ibunya menghinaku. Aku baru hendak melempar ponsel itu ke atas tempat tidur, saat sebuah pesan yang lain masuk dari nomor yang tak kukenal juga. "Semoga tidurmu nyenyak dan mimpi indah."Siapa pula ini? Aku cek profilnya. Tak ada nama yang ditulis di sana, hanya tanda pagar. Fotonya pun cuma pemandangan lereng Bromo tanpa ada sosok manusia. Kuketik balasan saat itu juga."Siapa ini?"Balasannya datang sepuluh
"Siap, Bos!"Kututup telepon sambil tersenyum. Membaringkan diri, lalu membuka aplikasi platform novel. Kupilih buku berjudul Luka Istriku karena Cinta karya NH. Soetardjo. Belum selesai tiga bab, aku dikejutkan suara pintu kamar yang diketuk."Masuk.""Maaf, Non. Ada tamu di bawah.""Siapa?""Nggak mau kasih tahu namanya, Non.""Mbak Ani gimana, sih? Jangan panggil saya kalau belum jelas siapa tamunya. Kok, dia bisa masuk? Emangnya Mang Udin kenal? Kenapa dibolehin masuk gitu aja?""Maaf, Non. Saya nggak tahu. Tiba-tiba tamunya udah ada di ruang tamu."Aku menghembuskan napas dengan kesal. Sepertinya mereka perlu diberi pengarahan lagi tentang siapa yang boleh dan tidak untuk bertamu ke rumah ini. Sebagai pengacara, walau sebentar lagi berstatus mantan, aku cukup sering menerima teror di rumah lama. Itu sebabnya memilih pindah alamat."Oke, nanti saya turun. Mau ganti baju dulu. Buatin minum aja tamunya."Mbak Ani mengangguk. Wajahnya menunduk ketakutan. Walau aku tak pernah kasar pa
"Evan?Laki-laki itu berjalan masuk. "Hai," sapanya.Tubuhnya yang tinggi berjalan mendekat. Di tangan kanannya ada tas besar."Aku cuma mau anter titipan dari Mama kamu, Ta," ujarnya lagi.Aku masih terlalu bingung harus bereaksi seperti apa saat ia meletakkan tas kertas besar yang dibawanya ke atas meja. Tatapannya mengunci mataku. Bibirnya tersenyum, tapi senyuman itu tak menyentuh matanya. "Aku pulang," ujarnya dingin. Evan bahkan tak melihat ke arah Dika apalagi menyapanya sebelum berbalik badan. Aku menatap punggung lelaki itu hingga ia mencapai pintu. Sesaat masih terdiam sampai menyadari harus mengejarnya."Van!"Ia berhenti tepat saat kakinya mencapai pintu. Menoleh padaku lalu tersenyum, memperlihatkan barisan gigi putih yang sempurna, tapi tangannya mengepal dan mengabarkan kebalikan dari apa yang terlihat di permukaan. "Ka-kamu nggak mau duduk dulu?" tanyaku setelah jarak kami cukup dekat."Nggak usah," tukasnya cepat. "Kayaknya kamu lagi sibuk, tapi kalau udah selesai,