Share

Mantan yang Dicampakkan

Setelah berbasa-basi sejenak, aku kembali duduk di depan Pak Adi yang kini menjadi canggung bersikap. Ia tak enak hati diduga sebagai suamiku.

"Nggak apa, Pak. Biasa aja. Anggap aja orang itu nggak pernah ada," ujarku berbisik.

Pak Adi mengangguk. Tiba-tiba ia berdeham dengan agak keras, membuat ibu dan ayah Dika menoleh.

"Non Arta jadi pesan makanan dari sini buat enam asisten di rumah?" Pak Adi bertanya dengan suara yang menurutku terlalu keras. Sepertinya ia sengaja agar orang di meja sebelah ikut mendengar.

"O, iya, Pak. Kok, saya bisa lupa, ya? Mbak Ani dan Mbak Jum paling senang kalau dibawain karaage."

Mereka juru masakku yang sebenarnya juga handal membuat karaage dan menu apapun. Namun, Mbak Ani pernah mengatakan, oleh-oleh dariku selalu terasa lebih istimewa, apapun bentuknya. Sejak itu, setiap bepergian, aku berusaha membawakan mereka buah tangan walau hanya makanan atau benda sederhana.

"Jangan lupa tempura udang buat Bi Ijah dan Bi Eha, Non."

Aku mengangguk. Sekilas kedua orang di samping kami melirik.

"Buat Mang Udin dan Mang Ipul apa, dong?"

"Mereka mah, dikasih apa juga doyan, Non. Samain aja ama yang lain, asal jangan ikan mentah."

Aku tertawa. Teringat bagaimana Mang Udin dan Mang Ipul batal memakan sushi yang kubawa, saat tahu bahan dasarnya adalah ikan mentah. Bahkan mereka tetap menolak ketika lain waktu kubawakan sushi yang dimodifikasi, tidak memakai ikan mentah.

Wajah keduanya sangat menggelikan saat itu.

Aku memberikan kode pada pelayan, tepat bersamaan dengan ibunya Dika melakukan hal yang sama. Ia melirik culas. Kubalas dengan senyuman.

Saat pelayan mendekati kami, aku memesan karaage, tempura, udon, sushi, dan ramen masing-masing sebanyak lima porsi.

"Banyak amat pesannya, Non?" Pak Adi bertanya keheranan.

"Nanti sebagian kita berikan untuk satpam komplek, Pak. Sama itu lho, dua pedagang kaki lima yang ada di ujung jalan masuk ke komplek."

"Oh, itu si Didin dan Dudung. Siap, Non. Nanti saya yang kasih ke mereka."

Aku melanjutkan makan bersama Pak Adi sambil menunggu pesanan take away kami selesai. Tak peduli dengan tatapan sinis dari orang tua Dika.

Sebenarnya, aku tidak dendam ataupun membenci mereka. Namun, jika orang tua Dika bersikap seperti musuh saat kami bertemu, bukankah aku lebih baik menarik diri? Malas juga berkonflik dengan pribadi culas dan dengki seperti itu.

Aku dan Dika dekat sejak kelas satu SMA. Tepatnya saat pandangan pertama. Ketika itu sebenarnya tak ada ikrar berpacaran atau komitmen untuk sebuah hubungan yang serius. Kedekatan yang awalnya sebagai sahabat, lama-lama berubah menjadi spesial. Dika yang semula melindungiku layaknya kakak laki-laki terhadap adik perempuan, berubah menjadi posesif dan lebih sering cemburu. Tak ada teman laki-laki lain yang diijinkan mendekat. Bahkan, Dika pernah terlibat perkelahian fisik dengan seorang kakak kelas karena cemburu buta.

"Nggak harus berantem juga, Dika," ujarku kala itu.

"Oh, kamu senang, ya, ditaksir sama si Alfi? Karena dia ketua OSIS?"

"Bukan gitu, tapi hak Alfi atau siapapun buat naksir perempuan manapun."

"Kecuali kamu," jawab Dika dengan berang.

"Apa urusanmu? Aku pribadi yang bebas. Kamu sahabatku. bukan kekasih yang berhak melarang orang lain mendekat."

"Oke! Kalau gitu, sejak hari ini kita pacaran. Kamu pacar aku dan nggak boleh dekat dengan lelaki lain."

Aku tersenyum mengingat hari itu. Dika bahkan memberi tahu semua teman yang ditemuinya, bahwa hubungan kami sudah bukan teman biasa.

"Non? Kenapa senyum-senyum sendiri?" Pak Adi menggerakkan kedua tangannya di depan wajahku. Membuyarkan kenangan bertahun silam yang harusnya kulupakan. Bukankah tak ada gunanya?

"Eh, itu, Pak. Saya inget teman yang orangnya lucu."

Pak Adi mengangguk seakan paham.

"Barusan pelayan resto sudah bawa semua pesanan Non Arta ke mobil. Totalnya juga sudah saya bayar pakai kartu debit Non Arta yang ada di saya. Kita udah selesai?"

"Iya, Pak. Sudah."

Aku memang memberikan kartu debit khusus untuk berbagai pembayaran yang biasa diurus Pak Adi termasuk bensin atau tagihan makan saat ia bersamaku.

Kami berdiri, lalu mendekati meja sebelah. Berpamitan pada orang tua Dika atas dasar kesopanan.

"Tinggal di mana sekarang, Arta?" Ibu Dika bertanya saat aku menjabat tangannya.

Kusebutkan alamat rumah yang kutinggali saat ini. Seperti halnya Dika, mata ibunya pun membulat tak percaya. Namun, ia lekas menguasai diri. Tak ingin terlihat terkejut.

"Kamu belum punya anak?"

Bagaimana aku punya anak kalau menikah saja belum? Tentu saja pertanyaan itu hanya di dalam hatiku.

"Cepetan, lho. Umur kamu 'kan lebih tua dari Dika. Lewat dari tiga puluh udah bahaya buat perempuan melahirkan."

Aku hanya tersenyum. Orang seperti ini namanya sudah kugarisbawahi. Adalah sangat tidak beretika, jika menyinggung usia pada orang yang bahkan sudah lebih dari sepuluh tahun tak kau jumpai.

Segera aku undur diri dari hadapan perempuan yang berkilau itu. Kilau yang disebabkan emasnya bergantung di mana-mana, membuat ia seperti toko perhiasan berjalan.

Pak Adi ternyata sudah menunggu di mobil. Dalam sekejap, kami telah meninggalkan restoran. Menembus malam menuju selatan Jakarta.

***

Aku bergegas menuju lift untuk turun ke lantai tiga. Meeting bersama komisaris dan para pemegang saham baru saja usai, tapi aku harus hadir lagi di rapat berikutnya. Kali ini ada presentasi dari perusahaan lain yang menawarkan kerja sama.

Baru saja hendak menutup pintu lift, seorang perempuan dengan pakaian kantor yang tak menutup tubuhnya dengan sempurna berteriak. Kutahan pintu yang hendak tertutup. Wanita dengan perhiasan mencolok itu masuk sambil mengucapkan terima kasih. Di belakangnya ternyata ada seorang laki-laki yang mengikuti.

"Arta?"

Ternyata pria itu adalah Dika.

"Hai."

"Kamu kerja di sini?"

Sejenak aku memikirkan jawaban yang tepat. Haruskah mengatakan apa adanya?

"Yah, begitulah. Kamu sendiri?"

"Oh, aku ada rapat dengan pimpinan perusahaan ini. Kebetulan kantorku menawarkan kerjasama."

Dunia memang sempit. Ternyata orang yang akan meeting denganku kali ini adalah Dika. Dari sekian banyak wakil perusahaan di Indonesia, kenapa harus laki-laki ini yang meeting denganku? Baiklah. Pertunjukan baru saja akan dimulai. Kita lihat akhir dari salah satu episode drama ini.

"Berarti kamu mau ke ruang Arta Loka?"

"Seperti itu yang diinfokan padaku. Kamu tahu lokasinya?"

"Aku juga mau ke sana. Bareng aja."

"Pak Dika, tolong pegang ini sebentar."

Perempuan yang tadi masuk lift bersama Dika tiba-tiba berkata dengan suara manja berlebihan. Ia menyerahkan map yang dibawanya pada laki-laki itu, lalu terlihat sibuk mencari sesuatu dalam tasnya. Saat barang yang dicarinya belum ditemukan, pintu lift terbuka.

Aku keluar lebih dahulu dari keduanya. Berjalan menyusuri lorong menuju ruang Arta Loka, tempat rapat antar perusahaan. Suara langkah kaki Dika dan perempuan itu terdengar di belakangku.

"Silakan. Ini ruang rapatnya," ujarku sambil menunjuk ke arah pintu.

"Makasih, Ta."

Aku tersenyum dan meninggalkan kedua orang itu. Biarlah mereka masuk lebih dahulu. Toh, di sana ada Niar. Ya, sahabatku itu adalah juga sekretaris di kantor ini. Dika pasti terkejut melihatnya.

Menjauh dari ruang Arta Loka, aku membuka ponsel. Mengetik sebuah nama dan menelponnya. Dalam hitungan detik, panggilanku dijawab.

"Satu jam dari sekarang, aku minta data lengkap tentang perusahaan tempat Dika Mahendra Winata bekerja. Termasuk kondisi keuangan perusahaan itu, juga data lengkap kehidupan pribadi Dika."

Lelaki di ujung telepon itu langsung menyatakan kesiapannya. Bima. Ia memang sangat bisa diandalkan.

Aku bergegas ke ruang rapat. Saat membuka pintu, seluruh stafku berdiri dan membungkuk hormat, termasuk Niar. Dengan ragu, Dika dan perempuan yang kuduga adalah sekretarisnya itu melakukan hal yang sama. Ada tanda tanya di wajah mereka.

Seluruh yang hadir di ruangan itu segera duduk kembali setelah kupersilakan. Pak Anto Wijaya, wakilku, berdiri dan angkat bicara.

"Karena pimpinan kita, Ibu Arta Intan Sari sudah hadir, marilah kita mulai rapat ini."

Kutatap Dika yang kini matanya membulat tak percaya. Orang yang pernah dicampakkan oleh keluarganya, ternyata adalah pimpinan tertinggi sebuah perusahaan besar. Aku ingin melihat, apa reaksi ibunya jika Dika mengabarkan tentang hal ini.

***

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status