Sebagai CEO dari Artha Ladju Enterprise, aku tak punya cukup banyak waktu untuk hal-hal selain pekerjaan. Bahkan saat ini sedang berpikir untuk mengundurkan diri dari tugasku sebagai pengacara aktif.Jika aku hadir di sebuah acara pesta, itu lebih karena menjaga kekerabatan dan pertemanan. Seperti malam ini, aku harus menghadiri pesta pernikahan salah satu relasi kantor. Satu hal yang membuatku berpikir keras adalah ketika membaca undangan yang bertuliskan untuk Arta Intan Sari and partner. Siapa yang harus kuanggap sebagai partner? Haruskah kembali mengajak Bima? Laki-laki kepercayaanku itu sudah terlalu sering menjadi teman kondangan.Setelah berpikir ulang beberapa kali, kukirimkan pesan padanya. Seperti biasa, ia langsung menyanggupi. "Sampai kapan lu bakal jadiin gue partner kondangan?"Kupukul lengannya. "Cobalah buka hati, Ta."Aku diam. Bagaimana harus membuka hati jika saat akan memulainya, luka itu kembali tersayat semakin dalam? Pertanyaan itu terus bergema di kepalaku
What? Siapa yang mendekati Dika lagi? Bahkan setelah sepuluh tahun, baru saat reuni kemarin kami bertemu. Di sekolah dulu pun bukan aku yang mendekati Dika, tapi sebaliknya. Siapa sebenarnya perempuan ini?Baru saja aku hendak menjawab kata-katanya, ia berlalu. Meninggalkan aku dengan sejuta tanya. Ah, sudahlah. Aku tak peduli. Sekarang yang penting aku menyiapkan hati untuk perjalanan pulang bersama Evan. Entah bagaimana efek laki-laki itu bisa demikian besarnya padaku. Menatap cermin sekali lagi, aku merapikan rambut lalu berjalan keluar dari toilet. Tampak Evan menunggu sambil bersandar di dinding. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku. Saat melihatku, ia segera memberikan lengannya. Aku menolak dengan hati-hati."Kenapa?" Evan memandang dengan heran."Nggak apa-apa.""Jadi, yang tadi itu cuma akting?"Aku tergelak, Evan menggelengkan kepalanya. "Memangnya perempuan nyinyir itu siapa?""Ibu dari mantanku.""Wah, mantan calon mertua, dong?"Kucubit lengan lelaki itu. Ia tak me
Gambar itu sepertinya diambil diam-diam. Tampak Dika di sana sedang memeluk seorang perempuan berambut pirang dengan pakaian yang menonjolkan bentuk tubuhnya di sana sini. Kusentuh dua jari ke layar ponsel untuk memperbesar foto. Bukankah ini wanita yang tadi menemuiku di toilet? Apakah ia kekasih Dika yang baru? Bahkan aku tidak peduli dengan siapa laki-laki itu menjalin hubungan saat ini. Jika ia sudah beristri pun, aku tak ingin tahu.Lalu apa maksudnya orang ini mengirim foto? Tak ada keinginan sedikit pun di hati, untuk kembali pada mantan yang dulu bahkan tak peduli saat ibunya menghinaku. Aku baru hendak melempar ponsel itu ke atas tempat tidur, saat sebuah pesan yang lain masuk dari nomor yang tak kukenal juga. "Semoga tidurmu nyenyak dan mimpi indah."Siapa pula ini? Aku cek profilnya. Tak ada nama yang ditulis di sana, hanya tanda pagar. Fotonya pun cuma pemandangan lereng Bromo tanpa ada sosok manusia. Kuketik balasan saat itu juga."Siapa ini?"Balasannya datang sepuluh
"Siap, Bos!"Kututup telepon sambil tersenyum. Membaringkan diri, lalu membuka aplikasi platform novel. Kupilih buku berjudul Luka Istriku karena Cinta karya NH. Soetardjo. Belum selesai tiga bab, aku dikejutkan suara pintu kamar yang diketuk."Masuk.""Maaf, Non. Ada tamu di bawah.""Siapa?""Nggak mau kasih tahu namanya, Non.""Mbak Ani gimana, sih? Jangan panggil saya kalau belum jelas siapa tamunya. Kok, dia bisa masuk? Emangnya Mang Udin kenal? Kenapa dibolehin masuk gitu aja?""Maaf, Non. Saya nggak tahu. Tiba-tiba tamunya udah ada di ruang tamu."Aku menghembuskan napas dengan kesal. Sepertinya mereka perlu diberi pengarahan lagi tentang siapa yang boleh dan tidak untuk bertamu ke rumah ini. Sebagai pengacara, walau sebentar lagi berstatus mantan, aku cukup sering menerima teror di rumah lama. Itu sebabnya memilih pindah alamat."Oke, nanti saya turun. Mau ganti baju dulu. Buatin minum aja tamunya."Mbak Ani mengangguk. Wajahnya menunduk ketakutan. Walau aku tak pernah kasar pa
"Evan?Laki-laki itu berjalan masuk. "Hai," sapanya.Tubuhnya yang tinggi berjalan mendekat. Di tangan kanannya ada tas besar."Aku cuma mau anter titipan dari Mama kamu, Ta," ujarnya lagi.Aku masih terlalu bingung harus bereaksi seperti apa saat ia meletakkan tas kertas besar yang dibawanya ke atas meja. Tatapannya mengunci mataku. Bibirnya tersenyum, tapi senyuman itu tak menyentuh matanya. "Aku pulang," ujarnya dingin. Evan bahkan tak melihat ke arah Dika apalagi menyapanya sebelum berbalik badan. Aku menatap punggung lelaki itu hingga ia mencapai pintu. Sesaat masih terdiam sampai menyadari harus mengejarnya."Van!"Ia berhenti tepat saat kakinya mencapai pintu. Menoleh padaku lalu tersenyum, memperlihatkan barisan gigi putih yang sempurna, tapi tangannya mengepal dan mengabarkan kebalikan dari apa yang terlihat di permukaan. "Ka-kamu nggak mau duduk dulu?" tanyaku setelah jarak kami cukup dekat."Nggak usah," tukasnya cepat. "Kayaknya kamu lagi sibuk, tapi kalau udah selesai,
Dika menggeleng. Ia bangkit dari duduknya. "Ada masalah?""Enggak. Lusa mungkin aku ke kantormu untuk kelanjutan kerjasama kita."Aku berdiri dan mengikuti Dika yang sudah berjalan ke pintu. "Aku rasa kamu harus hubungi Niar dulu untuk janji temu. Kebetulan aku nggak hapal jadwal lusa itu apa aja."Dika mengangguk. "Bye, Ta."Kini aku yang mengangguk. Menatap punggungnya saat ia berjalan menuju mobil, lalu menutup pintu rumah tanpa menunggunya benar-benar keluar dari halaman. Kemudian aku berjalan mendekati meja dan membuka tas besar yang dibawa Evan. Tampak dua kotak silver di dalamnya. Hati-hati aku mengeluarkan kemasan yang paling besar dan tampak mewah itu.Membuka tutupnya, hingga tampaklah sebuah gaun sutra mahal dengan taburan swarovski di bagian dada dan lengan. Rancangan terbaru dari butik paling bergengsi di negeri ini. Belum lama aku melihat launching produknya dalam fashion show yang disiarkan live oleh salah satu televisi swasta. Kotak yang kecil ternyata berisi kalung d
"Kalau saya nggak mau, gimana? Saya itu biasa dandan sendiri. Yang simple nggak pakai ribet.""Please, Kak .... Jangan bikin saya dipecat sama Pak Evan""Lho, kamu ini MUA atau karyawannya Evan, sih?""Saya MUA, Kak, tapi usaha saya semuanya dimodali Pak Evan. Kalau saya nggak ikut aturan beliau, bisa jadi saya harus kembalikan semua modalnya saat ini juga."Aduh, kasian juga kalau perempuan ini harus kehilangan pekerjaan hanya karena aku yang menolak kemauan Evan. Akhirnya dengan pasrah, aku mengajaknya ke kamar. Dalam waktu setengah jam, perempuan yang ternyata bernama Windi itu sudah menyulapku menjadi sosok asing. Aku bahkan tidak mengenali wajah sendiri karena sangat berbeda. Rambutku dibuat sanggul tinggi dengan gaya minimalis. Beberapa helai suraiku dibiarkannya menjuntai di kiri dan kanan dekat telinga. "Non, Pak Evan udah dateng," Mbak Ani menghampiriku yang baru saja hendak memakai gaun pemberian Evan. "Suruh tunggu sebentar, ya, Mbak. Nanti saya turun.""Siap, Non."Bers
Aku menutup mulut dengan telapak tangan kanan. Memandang Evan tak percaya. Laki-laki itu balas menatap dengan pandangan teduhnya. Perlahan tangan kiriku membuka pintu mobil. "Ta! Arta! Kamu mau ngapain? Tunggu, Ta!"Tak kupedulikan panggilan laki-laki itu. Aku keluar dari mobilnya dan mulai melangkah di trotoar. Berjalan lurus dengan menahan kristal bening agar tak jatuh dari mata. Sayangnya, semakin ditahan, justru tambah mendesak memenuhi lensa mata. Ya, aku menangis. Menangisi diri yang seakan tak mampu mencari pasangan hidup. Sangat menyedihkan bukan? Hingga ibu angkatku harus turun tangan melihat anaknya yang tak lagi muda, tapi belum punya pendamping.Hati ini ingin marah, tapi pada siapa? Mama? Tegakah? Wanita yang telah mengangkat kehidupanku dari titik terendah hingga menjadi seperti sekarang. Ia yang mencintaiku laksana ibu kandung. Bahkan kata-kata tidak akan menggambarkan betapa cintanya ia padaku. Mama selalu ada saat dibutuhkan. Setiap saat mau mendengarkan suara hati
Aku keluar kamar guna mencari keberadaan Evan. Bagaimana lelaki yang dulu begitu dingin, sekarang ulahnya ada-ada saja. Setelah memasuki beberapa ruangan, Evan sama sekali tak kutemukan. Di ruang tengah aku berpapasan dengan Bik Ijah yang sedang membersihkan rak hiasan. "Bik, lihat Pak Evan?""Tuan ada di halaman belakang, Non.""Oke. Tolong bilang ke Feni buat jagain Anin yang lagi tidur di kamar. Saya mau ke belakang dulu."Aku melangkah ke halaman belakang. Ternyata Evan sedang duduk di gazebo sambil menekuri laptopnya. Biasanya ia tak membawa pekerjaan ke rumah. Kenapa kali ini sepertinya sibuk sekali?Saat jarak kami semakin dekat, aku ragu untuk melanjutkan langkah. Namun, sepertinya Evan mengetahui kehadiranku. Tanpa menoleh ia bertanya. "Ada apa, Sayang?"Tiba-tiba wajahku terasa panas mengingat lingerie pemberiannya. Tak terbayang aku memakai pakaian itu. Pasti malah terlihat seperti lemper yang dibungkus daun
Ia kembali melemparkan senyum, tapi kali ini sangat terlihat meremehkan. "Ya, aku Tiara. Calon istri Dika. Harusnya sebulan lagi kami menikah, tapi kamu menghancurkan segalanya."Aku berdiri dan sengaja menatap matanya dengan tajam. Wanita ini perlu disadarkan rupanya. "Jangan merasa paling hancur, Mbak. Apa yang dilakukan calon suamimu justru hampir merenggut nyawaku, juga bayi yang ada dalam kandunganku."Tiara membalas tatapanku dengan kilat menyala di matanya. Sementara itu kudengar bunyi ponsel di tas milikku. Itu pasti Evan. Hanya namanya yang kuberi nada dering khusus. Maaf, aku mengabaikanmu kali ini, pikirku. Dalam hati aku berjanji akan meneleponnya setelah urusan dengan Tiara selesai. "Hah, bicaramu seakan paling suci, padahal sama-sama busuk. Sudahlah Evan brengsek itu membuat kekasihku kehilangan pekerjaan, kini Dika juga harus mendekam di penjara.""Itu balasan yang sangat setimpal untuk orang
Wajah Evan pucat, sementara Bima membalik foto itu. Ada tulisan tangan di sana. Karena penasaran, aku ikut membaca isinya. [Harusnya aku yang ada di posisimu saat ini.]"Ardi," gumam Evan lirih. Aku dan Bima menatap dengan penuh rasa ingin tahu ke arah Evan. Serentak kami bertanya. "Siapa Ardi?"Evan melangkah ke sofa yang ada di sudut ruangan. Aku dan Bima mengikutinya. Saat kami sudah duduk, Evan mulai bercerita. "Rahasia ini hanya keluargaku yang tahu. Sebenarnya, Evan Taqi Hermawan ini adalah anak lelaki yang tak tahu siapa ayah dan ibunya. Aku tinggal di sebuah panti asuhan sejak bayi. Hingga saat berumur delapan tahun, sepasang suami istri datang untuk mengadopsi anak."Aku menarik napas berat. Ternyata ada rahasia besar dari hidup Evan yang baru dibukanya sekarang. Ia menatapku dan meminta agar duduk lebih dekat di sampingnya. Tangannya meraih jemariku dan meremasnya beberapa saat. "Ibu panti memperk
Setelah beberapa hari di rumah sakit, aku pulang. Tidak. Lebih tepatnya kami semua pulang. Aku, Evan, bayi kami, dan dua orang yang ditugaskan untuk berjaga di depan kamar rawat inap. Kupikir setelah di rumah, tak ada lagi penjaga-penjaga itu. Ternyata justru Evan semakin menambah jumlahnya. Termasuk tim sekuriti yang mengawasi rumah kami. Bahkan kini ada yang perempuan, khusus menjaga aku dan bayi. "Apa kita nggak berlebihan, Van?""Berlebihan gimana? Kamu itu dalam bahaya. Setiap saat bisa jadi sasaran empuk orang-orangnya mereka.""Siapa? Dika? Bukannya dia di penjara?""Saat ini yang mengincar kamu bukan hanya Dika.""Lalu?""Udah, nurut aja kenapa, sih?"Kalau sudah begitu, aku memilih diam. Termasuk ketika kami berdebat tentang nama untuk bayi. Hampir seminggu, buah hati kami belum punya nama. Selalu saja berujung debat tak berkesudahan, saat aku dan Evan mendiskusikan nama yang cocok untuknya.
"Bagaimana perasaan Anda, Nyonya Evan?" tanya suster saat ia memeriksaku yang baru tersadar."Badan saya rasanya sakit semua, Sus. Seperti remuk.""Sebentar lagi dokter akan datang memeriksa. Apakah anda merasa sangat haus atau lapar?"Aku memandang perempuan muda berseragam hijau itu sambil mengernyitkan dahi. Apa tadi dia bilang? Haus? "Ah, iya. Anda benar. Saya sangat haus."Tiba-tiba Evan sudah mengulurkan tumbler berukuran sedang. Tatapannya terlihat khawatir. "Hai, makasih. Aku baik-baik aja."Aku meminum air dari dalam tumbler dan hampir menghabiskan separuhnya."Baik versi kamu itu bukan yang sesungguhnya," ujarnya ketus.Suster yang sedang mengambil alat pemeriksa tekanan darah tersenyum melihat kami berdua. Kemudian dengan cekatan memasang alat itu di bagian atas lenganku. "Kamu nggak lapar?" bisik Evan mengabaikan suster yang sedang bekerja Aku melirik padanya
"Bisakah kau diam?" ujar lelaki di balik kemudi sambil mengunci semua pintu.Suara itu seperti aku kenal."Dika?"Ia menoleh, lalu menyeringai. Aku bergidik melihatnya"Akhirnya kau mengenali suaraku, Ta. Ternyata kamu sejahat itu. Mengenal Evan sebentar saja, aku langsung kau lupakan."Ia mulai fokus pada kemudi, sementara tanganku mengepal. "Apa maumu, Dika? Kenapa harus melibatkan nyawa Bunda? Kenapa melakukan ini? Apakah kamu dendam karena kisah kita selesai?"Dika tertawa sambil melirikku sekilas dari kaca tengah. Mata itu, merah dan menyiratkan dendam yang teramat dalam. "Sebaiknya kamu diam, Ta. Jangan banyak bicara kalau mau selamat!""Nggak! Kamu udah salah orang, Dika! Bebaskan Bunda!"Dika tertawa lagi. Kali ini Sinta ikut tergelak."Dika Mahendra Winata tak pernah salah orang. Dendamku cuma satu, pada si brengsek Evan. Maka satu-satunya cara adalah menguras harta, sekalig
Aku mengikuti langkahnya menuju ruangan khusus.“Silakan duduk," katanya sambil menunjuk kursi di depan sebuah meja kaca dengan komputer di bawahnya. "Anda benar-benar ingin mengambil keseluruhan uang dari rekening?"“Ya.""Baiklah. Sepertinya saya harus menyerahkan ini pada atasan karena jumlah uang anda tidak sedikit, Bu Arta."Tentu saja uang itu tak sedikit. Tabunganku yang merupakan pimpinan perusahaan sukses sekelas Artha Ladju Enterprise, tentu membuat mata perempuan muda itu membulat saat melihat jumlahnya yang tiba-tiba ingin diambil semua. "Bisakah saya meminta kartu identitas anda, Bu?”Menyerahkan KTP, aku menahan rasa mual yang tiba-tiba menjalar di perut dan mencapai ke tenggorokan. Segera aku mengambil napas panjang sambil menatap Hasna yang keluar ruangan. Tak lama, seorang lelaki yang lima tahun tampak lebih tua dari Hasna masuk. Tangan kirinya memegang
Niar mengamatiku dari ujung kepala hingga kaki, kemudian tersenyum. "Hmm, iya, sih. Sekarang tubuh lu tambah seksi karena hamil.""Hah? Masih kelihatan?"Niar tersenyum."Kalau diperhatikan, ya, masih. Jilbab lu pendek gitu. Setelan yang lu pakai juga nggak terlalu longgar.""Ya kali gue mesti pakai gamis ke kantor.""Kenapa nggak? Toh, sekarang banyak gamis-gamis modis yang cocok buat jadi busana kerja."Aku mengibaskan tangan di depan Niar. "Ah, udahlah. Ngadepin permintaan Evan aja gue udah pusing. Ini malah lu nambahin pula."Niar tergelak."Eh, tapi, dengan Evan menganggap bentuk tubuh lu yang berubah saat hamil sekarang ini harus ditutupi, artinya dia udah nggak ambil pusing tentang anak yang bakal lahir di antara kalian?"Aku tersenyum miris. "Dia nggak pernah bahas itu."Andai Niar tahu, selain Evan tak pernah membahas bayi ini, ia juga tak pernah
Sejak pulang dari rumah sakit, Evan belum pernah menyinggung lagi tentang kehamilanku. Namun, ia juga bersikap seolah aku tidak sedang mengandung anaknya. Ia kini jauh lebih dingin dari sebelumnya. Jarang bicara kecuali aku bertanya.Pagi ini aku berniat masuk kantor. Seperti biasa, sebelum mandi aku menyiapkan pakaian dan aksesoris yang akan dipakai. Memadu padankan agar terlihat elegan dan sempurna, termasuk tas dan sepatu. "Mau ke mana?"Suara Evan yang tiba-tiba masuk ke kamar sangat mengejutkan. Ia berjalan ke arah tempat tidur di sisi yang berseberangan dengan tempatku saat ini meletakkan tas, syal dan beberapa perlengkapan kerja. Lelaki itu menghempaskan tubuhnya sambil menghela napas perlahan. "Kantor.""Memangnya udah kuat?"Aku menoleh ke arahnya. Menatap mata cokelat itu dengan penuh tanya. Apa maksudnya?"Kamu masih sering kelihatan mijit-mijit pelipis. Masih sering pusing, 'kan?"Aku mengangg