Share

Mantan yang Dicampakkan

Author: NH. Soetardjo
last update Last Updated: 2022-10-12 10:28:36

Setelah berbasa-basi sejenak, aku kembali duduk di depan Pak Adi yang kini menjadi canggung bersikap. Ia tak enak hati diduga sebagai suamiku.

"Nggak apa, Pak. Biasa aja. Anggap aja orang itu nggak pernah ada," ujarku berbisik.

Pak Adi mengangguk. Tiba-tiba ia berdeham dengan agak keras, membuat ibu dan ayah Dika menoleh.

"Non Arta jadi pesan makanan dari sini buat enam asisten di rumah?" Pak Adi bertanya dengan suara yang menurutku terlalu keras. Sepertinya ia sengaja agar orang di meja sebelah ikut mendengar.

"O, iya, Pak. Kok, saya bisa lupa, ya? Mbak Ani dan Mbak Jum paling senang kalau dibawain karaage."

Mereka juru masakku yang sebenarnya juga handal membuat karaage dan menu apapun. Namun, Mbak Ani pernah mengatakan, oleh-oleh dariku selalu terasa lebih istimewa, apapun bentuknya. Sejak itu, setiap bepergian, aku berusaha membawakan mereka buah tangan walau hanya makanan atau benda sederhana.

"Jangan lupa tempura udang buat Bi Ijah dan Bi Eha, Non."

Aku mengangguk. Sekilas kedua orang di samping kami melirik.

"Buat Mang Udin dan Mang Ipul apa, dong?"

"Mereka mah, dikasih apa juga doyan, Non. Samain aja ama yang lain, asal jangan ikan mentah."

Aku tertawa. Teringat bagaimana Mang Udin dan Mang Ipul batal memakan sushi yang kubawa, saat tahu bahan dasarnya adalah ikan mentah. Bahkan mereka tetap menolak ketika lain waktu kubawakan sushi yang dimodifikasi, tidak memakai ikan mentah.

Wajah keduanya sangat menggelikan saat itu.

Aku memberikan kode pada pelayan, tepat bersamaan dengan ibunya Dika melakukan hal yang sama. Ia melirik culas. Kubalas dengan senyuman.

Saat pelayan mendekati kami, aku memesan karaage, tempura, udon, sushi, dan ramen masing-masing sebanyak lima porsi.

"Banyak amat pesannya, Non?" Pak Adi bertanya keheranan.

"Nanti sebagian kita berikan untuk satpam komplek, Pak. Sama itu lho, dua pedagang kaki lima yang ada di ujung jalan masuk ke komplek."

"Oh, itu si Didin dan Dudung. Siap, Non. Nanti saya yang kasih ke mereka."

Aku melanjutkan makan bersama Pak Adi sambil menunggu pesanan take away kami selesai. Tak peduli dengan tatapan sinis dari orang tua Dika.

Sebenarnya, aku tidak dendam ataupun membenci mereka. Namun, jika orang tua Dika bersikap seperti musuh saat kami bertemu, bukankah aku lebih baik menarik diri? Malas juga berkonflik dengan pribadi culas dan dengki seperti itu.

Aku dan Dika dekat sejak kelas satu SMA. Tepatnya saat pandangan pertama. Ketika itu sebenarnya tak ada ikrar berpacaran atau komitmen untuk sebuah hubungan yang serius. Kedekatan yang awalnya sebagai sahabat, lama-lama berubah menjadi spesial. Dika yang semula melindungiku layaknya kakak laki-laki terhadap adik perempuan, berubah menjadi posesif dan lebih sering cemburu. Tak ada teman laki-laki lain yang diijinkan mendekat. Bahkan, Dika pernah terlibat perkelahian fisik dengan seorang kakak kelas karena cemburu buta.

"Nggak harus berantem juga, Dika," ujarku kala itu.

"Oh, kamu senang, ya, ditaksir sama si Alfi? Karena dia ketua OSIS?"

"Bukan gitu, tapi hak Alfi atau siapapun buat naksir perempuan manapun."

"Kecuali kamu," jawab Dika dengan berang.

"Apa urusanmu? Aku pribadi yang bebas. Kamu sahabatku. bukan kekasih yang berhak melarang orang lain mendekat."

"Oke! Kalau gitu, sejak hari ini kita pacaran. Kamu pacar aku dan nggak boleh dekat dengan lelaki lain."

Aku tersenyum mengingat hari itu. Dika bahkan memberi tahu semua teman yang ditemuinya, bahwa hubungan kami sudah bukan teman biasa.

"Non? Kenapa senyum-senyum sendiri?" Pak Adi menggerakkan kedua tangannya di depan wajahku. Membuyarkan kenangan bertahun silam yang harusnya kulupakan. Bukankah tak ada gunanya?

"Eh, itu, Pak. Saya inget teman yang orangnya lucu."

Pak Adi mengangguk seakan paham.

"Barusan pelayan resto sudah bawa semua pesanan Non Arta ke mobil. Totalnya juga sudah saya bayar pakai kartu debit Non Arta yang ada di saya. Kita udah selesai?"

"Iya, Pak. Sudah."

Aku memang memberikan kartu debit khusus untuk berbagai pembayaran yang biasa diurus Pak Adi termasuk bensin atau tagihan makan saat ia bersamaku.

Kami berdiri, lalu mendekati meja sebelah. Berpamitan pada orang tua Dika atas dasar kesopanan.

"Tinggal di mana sekarang, Arta?" Ibu Dika bertanya saat aku menjabat tangannya.

Kusebutkan alamat rumah yang kutinggali saat ini. Seperti halnya Dika, mata ibunya pun membulat tak percaya. Namun, ia lekas menguasai diri. Tak ingin terlihat terkejut.

"Kamu belum punya anak?"

Bagaimana aku punya anak kalau menikah saja belum? Tentu saja pertanyaan itu hanya di dalam hatiku.

"Cepetan, lho. Umur kamu 'kan lebih tua dari Dika. Lewat dari tiga puluh udah bahaya buat perempuan melahirkan."

Aku hanya tersenyum. Orang seperti ini namanya sudah kugarisbawahi. Adalah sangat tidak beretika, jika menyinggung usia pada orang yang bahkan sudah lebih dari sepuluh tahun tak kau jumpai.

Segera aku undur diri dari hadapan perempuan yang berkilau itu. Kilau yang disebabkan emasnya bergantung di mana-mana, membuat ia seperti toko perhiasan berjalan.

Pak Adi ternyata sudah menunggu di mobil. Dalam sekejap, kami telah meninggalkan restoran. Menembus malam menuju selatan Jakarta.

***

Aku bergegas menuju lift untuk turun ke lantai tiga. Meeting bersama komisaris dan para pemegang saham baru saja usai, tapi aku harus hadir lagi di rapat berikutnya. Kali ini ada presentasi dari perusahaan lain yang menawarkan kerja sama.

Baru saja hendak menutup pintu lift, seorang perempuan dengan pakaian kantor yang tak menutup tubuhnya dengan sempurna berteriak. Kutahan pintu yang hendak tertutup. Wanita dengan perhiasan mencolok itu masuk sambil mengucapkan terima kasih. Di belakangnya ternyata ada seorang laki-laki yang mengikuti.

"Arta?"

Ternyata pria itu adalah Dika.

"Hai."

"Kamu kerja di sini?"

Sejenak aku memikirkan jawaban yang tepat. Haruskah mengatakan apa adanya?

"Yah, begitulah. Kamu sendiri?"

"Oh, aku ada rapat dengan pimpinan perusahaan ini. Kebetulan kantorku menawarkan kerjasama."

Dunia memang sempit. Ternyata orang yang akan meeting denganku kali ini adalah Dika. Dari sekian banyak wakil perusahaan di Indonesia, kenapa harus laki-laki ini yang meeting denganku? Baiklah. Pertunjukan baru saja akan dimulai. Kita lihat akhir dari salah satu episode drama ini.

"Berarti kamu mau ke ruang Arta Loka?"

"Seperti itu yang diinfokan padaku. Kamu tahu lokasinya?"

"Aku juga mau ke sana. Bareng aja."

"Pak Dika, tolong pegang ini sebentar."

Perempuan yang tadi masuk lift bersama Dika tiba-tiba berkata dengan suara manja berlebihan. Ia menyerahkan map yang dibawanya pada laki-laki itu, lalu terlihat sibuk mencari sesuatu dalam tasnya. Saat barang yang dicarinya belum ditemukan, pintu lift terbuka.

Aku keluar lebih dahulu dari keduanya. Berjalan menyusuri lorong menuju ruang Arta Loka, tempat rapat antar perusahaan. Suara langkah kaki Dika dan perempuan itu terdengar di belakangku.

"Silakan. Ini ruang rapatnya," ujarku sambil menunjuk ke arah pintu.

"Makasih, Ta."

Aku tersenyum dan meninggalkan kedua orang itu. Biarlah mereka masuk lebih dahulu. Toh, di sana ada Niar. Ya, sahabatku itu adalah juga sekretaris di kantor ini. Dika pasti terkejut melihatnya.

Menjauh dari ruang Arta Loka, aku membuka ponsel. Mengetik sebuah nama dan menelponnya. Dalam hitungan detik, panggilanku dijawab.

"Satu jam dari sekarang, aku minta data lengkap tentang perusahaan tempat Dika Mahendra Winata bekerja. Termasuk kondisi keuangan perusahaan itu, juga data lengkap kehidupan pribadi Dika."

Lelaki di ujung telepon itu langsung menyatakan kesiapannya. Bima. Ia memang sangat bisa diandalkan.

Aku bergegas ke ruang rapat. Saat membuka pintu, seluruh stafku berdiri dan membungkuk hormat, termasuk Niar. Dengan ragu, Dika dan perempuan yang kuduga adalah sekretarisnya itu melakukan hal yang sama. Ada tanda tanya di wajah mereka.

Seluruh yang hadir di ruangan itu segera duduk kembali setelah kupersilakan. Pak Anto Wijaya, wakilku, berdiri dan angkat bicara.

"Karena pimpinan kita, Ibu Arta Intan Sari sudah hadir, marilah kita mulai rapat ini."

Kutatap Dika yang kini matanya membulat tak percaya. Orang yang pernah dicampakkan oleh keluarganya, ternyata adalah pimpinan tertinggi sebuah perusahaan besar. Aku ingin melihat, apa reaksi ibunya jika Dika mengabarkan tentang hal ini.

***

Bersambung

Related chapters

  • Tak Pakai Perhiasan Dikira Melarat   Ancaman

    Sebagai CEO dari Artha Ladju Enterprise, aku tak punya cukup banyak waktu untuk hal-hal selain pekerjaan. Bahkan saat ini sedang berpikir untuk mengundurkan diri dari tugasku sebagai pengacara aktif.Jika aku hadir di sebuah acara pesta, itu lebih karena menjaga kekerabatan dan pertemanan. Seperti malam ini, aku harus menghadiri pesta pernikahan salah satu relasi kantor. Satu hal yang membuatku berpikir keras adalah ketika membaca undangan yang bertuliskan untuk Arta Intan Sari and partner. Siapa yang harus kuanggap sebagai partner? Haruskah kembali mengajak Bima? Laki-laki kepercayaanku itu sudah terlalu sering menjadi teman kondangan.Setelah berpikir ulang beberapa kali, kukirimkan pesan padanya. Seperti biasa, ia langsung menyanggupi. "Sampai kapan lu bakal jadiin gue partner kondangan?"Kupukul lengannya. "Cobalah buka hati, Ta."Aku diam. Bagaimana harus membuka hati jika saat akan memulainya, luka itu kembali tersayat semakin dalam? Pertanyaan itu terus bergema di kepalaku

    Last Updated : 2022-12-01
  • Tak Pakai Perhiasan Dikira Melarat   Nomor Tak Dikenal

    What? Siapa yang mendekati Dika lagi? Bahkan setelah sepuluh tahun, baru saat reuni kemarin kami bertemu. Di sekolah dulu pun bukan aku yang mendekati Dika, tapi sebaliknya. Siapa sebenarnya perempuan ini?Baru saja aku hendak menjawab kata-katanya, ia berlalu. Meninggalkan aku dengan sejuta tanya. Ah, sudahlah. Aku tak peduli. Sekarang yang penting aku menyiapkan hati untuk perjalanan pulang bersama Evan. Entah bagaimana efek laki-laki itu bisa demikian besarnya padaku. Menatap cermin sekali lagi, aku merapikan rambut lalu berjalan keluar dari toilet. Tampak Evan menunggu sambil bersandar di dinding. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku. Saat melihatku, ia segera memberikan lengannya. Aku menolak dengan hati-hati."Kenapa?" Evan memandang dengan heran."Nggak apa-apa.""Jadi, yang tadi itu cuma akting?"Aku tergelak, Evan menggelengkan kepalanya. "Memangnya perempuan nyinyir itu siapa?""Ibu dari mantanku.""Wah, mantan calon mertua, dong?"Kucubit lengan lelaki itu. Ia tak me

    Last Updated : 2022-12-01
  • Tak Pakai Perhiasan Dikira Melarat   Dika Memaksa

    Gambar itu sepertinya diambil diam-diam. Tampak Dika di sana sedang memeluk seorang perempuan berambut pirang dengan pakaian yang menonjolkan bentuk tubuhnya di sana sini. Kusentuh dua jari ke layar ponsel untuk memperbesar foto. Bukankah ini wanita yang tadi menemuiku di toilet? Apakah ia kekasih Dika yang baru? Bahkan aku tidak peduli dengan siapa laki-laki itu menjalin hubungan saat ini. Jika ia sudah beristri pun, aku tak ingin tahu.Lalu apa maksudnya orang ini mengirim foto? Tak ada keinginan sedikit pun di hati, untuk kembali pada mantan yang dulu bahkan tak peduli saat ibunya menghinaku. Aku baru hendak melempar ponsel itu ke atas tempat tidur, saat sebuah pesan yang lain masuk dari nomor yang tak kukenal juga. "Semoga tidurmu nyenyak dan mimpi indah."Siapa pula ini? Aku cek profilnya. Tak ada nama yang ditulis di sana, hanya tanda pagar. Fotonya pun cuma pemandangan lereng Bromo tanpa ada sosok manusia. Kuketik balasan saat itu juga."Siapa ini?"Balasannya datang sepuluh

    Last Updated : 2023-02-14
  • Tak Pakai Perhiasan Dikira Melarat   Pertemuan Dika dan Evan

    "Siap, Bos!"Kututup telepon sambil tersenyum. Membaringkan diri, lalu membuka aplikasi platform novel. Kupilih buku berjudul Luka Istriku karena Cinta karya NH. Soetardjo. Belum selesai tiga bab, aku dikejutkan suara pintu kamar yang diketuk."Masuk.""Maaf, Non. Ada tamu di bawah.""Siapa?""Nggak mau kasih tahu namanya, Non.""Mbak Ani gimana, sih? Jangan panggil saya kalau belum jelas siapa tamunya. Kok, dia bisa masuk? Emangnya Mang Udin kenal? Kenapa dibolehin masuk gitu aja?""Maaf, Non. Saya nggak tahu. Tiba-tiba tamunya udah ada di ruang tamu."Aku menghembuskan napas dengan kesal. Sepertinya mereka perlu diberi pengarahan lagi tentang siapa yang boleh dan tidak untuk bertamu ke rumah ini. Sebagai pengacara, walau sebentar lagi berstatus mantan, aku cukup sering menerima teror di rumah lama. Itu sebabnya memilih pindah alamat."Oke, nanti saya turun. Mau ganti baju dulu. Buatin minum aja tamunya."Mbak Ani mengangguk. Wajahnya menunduk ketakutan. Walau aku tak pernah kasar pa

    Last Updated : 2023-02-14
  • Tak Pakai Perhiasan Dikira Melarat   Dia Duda

    "Evan?Laki-laki itu berjalan masuk. "Hai," sapanya.Tubuhnya yang tinggi berjalan mendekat. Di tangan kanannya ada tas besar."Aku cuma mau anter titipan dari Mama kamu, Ta," ujarnya lagi.Aku masih terlalu bingung harus bereaksi seperti apa saat ia meletakkan tas kertas besar yang dibawanya ke atas meja. Tatapannya mengunci mataku. Bibirnya tersenyum, tapi senyuman itu tak menyentuh matanya. "Aku pulang," ujarnya dingin. Evan bahkan tak melihat ke arah Dika apalagi menyapanya sebelum berbalik badan. Aku menatap punggung lelaki itu hingga ia mencapai pintu. Sesaat masih terdiam sampai menyadari harus mengejarnya."Van!"Ia berhenti tepat saat kakinya mencapai pintu. Menoleh padaku lalu tersenyum, memperlihatkan barisan gigi putih yang sempurna, tapi tangannya mengepal dan mengabarkan kebalikan dari apa yang terlihat di permukaan. "Ka-kamu nggak mau duduk dulu?" tanyaku setelah jarak kami cukup dekat."Nggak usah," tukasnya cepat. "Kayaknya kamu lagi sibuk, tapi kalau udah selesai,

    Last Updated : 2023-02-15
  • Tak Pakai Perhiasan Dikira Melarat   Make Up Artist untuk Arta

    Dika menggeleng. Ia bangkit dari duduknya. "Ada masalah?""Enggak. Lusa mungkin aku ke kantormu untuk kelanjutan kerjasama kita."Aku berdiri dan mengikuti Dika yang sudah berjalan ke pintu. "Aku rasa kamu harus hubungi Niar dulu untuk janji temu. Kebetulan aku nggak hapal jadwal lusa itu apa aja."Dika mengangguk. "Bye, Ta."Kini aku yang mengangguk. Menatap punggungnya saat ia berjalan menuju mobil, lalu menutup pintu rumah tanpa menunggunya benar-benar keluar dari halaman. Kemudian aku berjalan mendekati meja dan membuka tas besar yang dibawa Evan. Tampak dua kotak silver di dalamnya. Hati-hati aku mengeluarkan kemasan yang paling besar dan tampak mewah itu.Membuka tutupnya, hingga tampaklah sebuah gaun sutra mahal dengan taburan swarovski di bagian dada dan lengan. Rancangan terbaru dari butik paling bergengsi di negeri ini. Belum lama aku melihat launching produknya dalam fashion show yang disiarkan live oleh salah satu televisi swasta. Kotak yang kecil ternyata berisi kalung d

    Last Updated : 2023-02-15
  • Tak Pakai Perhiasan Dikira Melarat   Makan Malam yang Aneh

    "Kalau saya nggak mau, gimana? Saya itu biasa dandan sendiri. Yang simple nggak pakai ribet.""Please, Kak .... Jangan bikin saya dipecat sama Pak Evan""Lho, kamu ini MUA atau karyawannya Evan, sih?""Saya MUA, Kak, tapi usaha saya semuanya dimodali Pak Evan. Kalau saya nggak ikut aturan beliau, bisa jadi saya harus kembalikan semua modalnya saat ini juga."Aduh, kasian juga kalau perempuan ini harus kehilangan pekerjaan hanya karena aku yang menolak kemauan Evan. Akhirnya dengan pasrah, aku mengajaknya ke kamar. Dalam waktu setengah jam, perempuan yang ternyata bernama Windi itu sudah menyulapku menjadi sosok asing. Aku bahkan tidak mengenali wajah sendiri karena sangat berbeda. Rambutku dibuat sanggul tinggi dengan gaya minimalis. Beberapa helai suraiku dibiarkannya menjuntai di kiri dan kanan dekat telinga. "Non, Pak Evan udah dateng," Mbak Ani menghampiriku yang baru saja hendak memakai gaun pemberian Evan. "Suruh tunggu sebentar, ya, Mbak. Nanti saya turun.""Siap, Non."Bers

    Last Updated : 2023-02-15
  • Tak Pakai Perhiasan Dikira Melarat   Jagain Jodoh Sejak Lama

    Aku menutup mulut dengan telapak tangan kanan. Memandang Evan tak percaya. Laki-laki itu balas menatap dengan pandangan teduhnya. Perlahan tangan kiriku membuka pintu mobil. "Ta! Arta! Kamu mau ngapain? Tunggu, Ta!"Tak kupedulikan panggilan laki-laki itu. Aku keluar dari mobilnya dan mulai melangkah di trotoar. Berjalan lurus dengan menahan kristal bening agar tak jatuh dari mata. Sayangnya, semakin ditahan, justru tambah mendesak memenuhi lensa mata. Ya, aku menangis. Menangisi diri yang seakan tak mampu mencari pasangan hidup. Sangat menyedihkan bukan? Hingga ibu angkatku harus turun tangan melihat anaknya yang tak lagi muda, tapi belum punya pendamping.Hati ini ingin marah, tapi pada siapa? Mama? Tegakah? Wanita yang telah mengangkat kehidupanku dari titik terendah hingga menjadi seperti sekarang. Ia yang mencintaiku laksana ibu kandung. Bahkan kata-kata tidak akan menggambarkan betapa cintanya ia padaku. Mama selalu ada saat dibutuhkan. Setiap saat mau mendengarkan suara hati

    Last Updated : 2023-02-16

Latest chapter

  • Tak Pakai Perhiasan Dikira Melarat   Bulan Madu Kedua

    Aku keluar kamar guna mencari keberadaan Evan. Bagaimana lelaki yang dulu begitu dingin, sekarang ulahnya ada-ada saja. Setelah memasuki beberapa ruangan, Evan sama sekali tak kutemukan. Di ruang tengah aku berpapasan dengan Bik Ijah yang sedang membersihkan rak hiasan. "Bik, lihat Pak Evan?""Tuan ada di halaman belakang, Non.""Oke. Tolong bilang ke Feni buat jagain Anin yang lagi tidur di kamar. Saya mau ke belakang dulu."Aku melangkah ke halaman belakang. Ternyata Evan sedang duduk di gazebo sambil menekuri laptopnya. Biasanya ia tak membawa pekerjaan ke rumah. Kenapa kali ini sepertinya sibuk sekali?Saat jarak kami semakin dekat, aku ragu untuk melanjutkan langkah. Namun, sepertinya Evan mengetahui kehadiranku. Tanpa menoleh ia bertanya. "Ada apa, Sayang?"Tiba-tiba wajahku terasa panas mengingat lingerie pemberiannya. Tak terbayang aku memakai pakaian itu. Pasti malah terlihat seperti lemper yang dibungkus daun

  • Tak Pakai Perhiasan Dikira Melarat   Balas Dendam

    Ia kembali melemparkan senyum, tapi kali ini sangat terlihat meremehkan. "Ya, aku Tiara. Calon istri Dika. Harusnya sebulan lagi kami menikah, tapi kamu menghancurkan segalanya."Aku berdiri dan sengaja menatap matanya dengan tajam. Wanita ini perlu disadarkan rupanya. "Jangan merasa paling hancur, Mbak. Apa yang dilakukan calon suamimu justru hampir merenggut nyawaku, juga bayi yang ada dalam kandunganku."Tiara membalas tatapanku dengan kilat menyala di matanya. Sementara itu kudengar bunyi ponsel di tas milikku. Itu pasti Evan. Hanya namanya yang kuberi nada dering khusus. Maaf, aku mengabaikanmu kali ini, pikirku. Dalam hati aku berjanji akan meneleponnya setelah urusan dengan Tiara selesai. "Hah, bicaramu seakan paling suci, padahal sama-sama busuk. Sudahlah Evan brengsek itu membuat kekasihku kehilangan pekerjaan, kini Dika juga harus mendekam di penjara.""Itu balasan yang sangat setimpal untuk orang

  • Tak Pakai Perhiasan Dikira Melarat   Terungkap

    Wajah Evan pucat, sementara Bima membalik foto itu. Ada tulisan tangan di sana. Karena penasaran, aku ikut membaca isinya. [Harusnya aku yang ada di posisimu saat ini.]"Ardi," gumam Evan lirih. Aku dan Bima menatap dengan penuh rasa ingin tahu ke arah Evan. Serentak kami bertanya. "Siapa Ardi?"Evan melangkah ke sofa yang ada di sudut ruangan. Aku dan Bima mengikutinya. Saat kami sudah duduk, Evan mulai bercerita. "Rahasia ini hanya keluargaku yang tahu. Sebenarnya, Evan Taqi Hermawan ini adalah anak lelaki yang tak tahu siapa ayah dan ibunya. Aku tinggal di sebuah panti asuhan sejak bayi. Hingga saat berumur delapan tahun, sepasang suami istri datang untuk mengadopsi anak."Aku menarik napas berat. Ternyata ada rahasia besar dari hidup Evan yang baru dibukanya sekarang. Ia menatapku dan meminta agar duduk lebih dekat di sampingnya. Tangannya meraih jemariku dan meremasnya beberapa saat. "Ibu panti memperk

  • Tak Pakai Perhiasan Dikira Melarat   Kangen

    Setelah beberapa hari di rumah sakit, aku pulang. Tidak. Lebih tepatnya kami semua pulang. Aku, Evan, bayi kami, dan dua orang yang ditugaskan untuk berjaga di depan kamar rawat inap. Kupikir setelah di rumah, tak ada lagi penjaga-penjaga itu. Ternyata justru Evan semakin menambah jumlahnya. Termasuk tim sekuriti yang mengawasi rumah kami. Bahkan kini ada yang perempuan, khusus menjaga aku dan bayi. "Apa kita nggak berlebihan, Van?""Berlebihan gimana? Kamu itu dalam bahaya. Setiap saat bisa jadi sasaran empuk orang-orangnya mereka.""Siapa? Dika? Bukannya dia di penjara?""Saat ini yang mengincar kamu bukan hanya Dika.""Lalu?""Udah, nurut aja kenapa, sih?"Kalau sudah begitu, aku memilih diam. Termasuk ketika kami berdebat tentang nama untuk bayi. Hampir seminggu, buah hati kami belum punya nama. Selalu saja berujung debat tak berkesudahan, saat aku dan Evan mendiskusikan nama yang cocok untuknya.

  • Tak Pakai Perhiasan Dikira Melarat   Penerimaan

    "Bagaimana perasaan Anda, Nyonya Evan?" tanya suster saat ia memeriksaku yang baru tersadar."Badan saya rasanya sakit semua, Sus. Seperti remuk.""Sebentar lagi dokter akan datang memeriksa. Apakah anda merasa sangat haus atau lapar?"Aku memandang perempuan muda berseragam hijau itu sambil mengernyitkan dahi. Apa tadi dia bilang? Haus? "Ah, iya. Anda benar. Saya sangat haus."Tiba-tiba Evan sudah mengulurkan tumbler berukuran sedang. Tatapannya terlihat khawatir. "Hai, makasih. Aku baik-baik aja."Aku meminum air dari dalam tumbler dan hampir menghabiskan separuhnya."Baik versi kamu itu bukan yang sesungguhnya," ujarnya ketus.Suster yang sedang mengambil alat pemeriksa tekanan darah tersenyum melihat kami berdua. Kemudian dengan cekatan memasang alat itu di bagian atas lenganku. "Kamu nggak lapar?" bisik Evan mengabaikan suster yang sedang bekerja Aku melirik padanya

  • Tak Pakai Perhiasan Dikira Melarat   Bayiku

    "Bisakah kau diam?" ujar lelaki di balik kemudi sambil mengunci semua pintu.Suara itu seperti aku kenal."Dika?"Ia menoleh, lalu menyeringai. Aku bergidik melihatnya"Akhirnya kau mengenali suaraku, Ta. Ternyata kamu sejahat itu. Mengenal Evan sebentar saja, aku langsung kau lupakan."Ia mulai fokus pada kemudi, sementara tanganku mengepal. "Apa maumu, Dika? Kenapa harus melibatkan nyawa Bunda? Kenapa melakukan ini? Apakah kamu dendam karena kisah kita selesai?"Dika tertawa sambil melirikku sekilas dari kaca tengah. Mata itu, merah dan menyiratkan dendam yang teramat dalam. "Sebaiknya kamu diam, Ta. Jangan banyak bicara kalau mau selamat!""Nggak! Kamu udah salah orang, Dika! Bebaskan Bunda!"Dika tertawa lagi. Kali ini Sinta ikut tergelak."Dika Mahendra Winata tak pernah salah orang. Dendamku cuma satu, pada si brengsek Evan. Maka satu-satunya cara adalah menguras harta, sekalig

  • Tak Pakai Perhiasan Dikira Melarat   Karena Uang

    Aku mengikuti langkahnya menuju ruangan khusus.“Silakan duduk," katanya sambil menunjuk kursi di depan sebuah meja kaca dengan komputer di bawahnya. "Anda benar-benar ingin mengambil keseluruhan uang dari rekening?"“Ya.""Baiklah. Sepertinya saya harus menyerahkan ini pada atasan karena jumlah uang anda tidak sedikit, Bu Arta."Tentu saja uang itu tak sedikit. Tabunganku yang merupakan pimpinan perusahaan sukses sekelas Artha Ladju Enterprise, tentu membuat mata perempuan muda itu membulat saat melihat jumlahnya yang tiba-tiba ingin diambil semua. "Bisakah saya meminta kartu identitas anda, Bu?”Menyerahkan KTP, aku menahan rasa mual yang tiba-tiba menjalar di perut dan mencapai ke tenggorokan. Segera aku mengambil napas panjang sambil menatap Hasna yang keluar ruangan. Tak lama, seorang lelaki yang lima tahun tampak lebih tua dari Hasna masuk. Tangan kirinya memegang

  • Tak Pakai Perhiasan Dikira Melarat   Sandera

    Niar mengamatiku dari ujung kepala hingga kaki, kemudian tersenyum. "Hmm, iya, sih. Sekarang tubuh lu tambah seksi karena hamil.""Hah? Masih kelihatan?"Niar tersenyum."Kalau diperhatikan, ya, masih. Jilbab lu pendek gitu. Setelan yang lu pakai juga nggak terlalu longgar.""Ya kali gue mesti pakai gamis ke kantor.""Kenapa nggak? Toh, sekarang banyak gamis-gamis modis yang cocok buat jadi busana kerja."Aku mengibaskan tangan di depan Niar. "Ah, udahlah. Ngadepin permintaan Evan aja gue udah pusing. Ini malah lu nambahin pula."Niar tergelak."Eh, tapi, dengan Evan menganggap bentuk tubuh lu yang berubah saat hamil sekarang ini harus ditutupi, artinya dia udah nggak ambil pusing tentang anak yang bakal lahir di antara kalian?"Aku tersenyum miris. "Dia nggak pernah bahas itu."Andai Niar tahu, selain Evan tak pernah membahas bayi ini, ia juga tak pernah

  • Tak Pakai Perhiasan Dikira Melarat   Tidak untuk Lelaki Lain

    Sejak pulang dari rumah sakit, Evan belum pernah menyinggung lagi tentang kehamilanku. Namun, ia juga bersikap seolah aku tidak sedang mengandung anaknya. Ia kini jauh lebih dingin dari sebelumnya. Jarang bicara kecuali aku bertanya.Pagi ini aku berniat masuk kantor. Seperti biasa, sebelum mandi aku menyiapkan pakaian dan aksesoris yang akan dipakai. Memadu padankan agar terlihat elegan dan sempurna, termasuk tas dan sepatu. "Mau ke mana?"Suara Evan yang tiba-tiba masuk ke kamar sangat mengejutkan. Ia berjalan ke arah tempat tidur di sisi yang berseberangan dengan tempatku saat ini meletakkan tas, syal dan beberapa perlengkapan kerja. Lelaki itu menghempaskan tubuhnya sambil menghela napas perlahan. "Kantor.""Memangnya udah kuat?"Aku menoleh ke arahnya. Menatap mata cokelat itu dengan penuh tanya. Apa maksudnya?"Kamu masih sering kelihatan mijit-mijit pelipis. Masih sering pusing, 'kan?"Aku mengangg

DMCA.com Protection Status