"Evan?Laki-laki itu berjalan masuk. "Hai," sapanya.Tubuhnya yang tinggi berjalan mendekat. Di tangan kanannya ada tas besar."Aku cuma mau anter titipan dari Mama kamu, Ta," ujarnya lagi.Aku masih terlalu bingung harus bereaksi seperti apa saat ia meletakkan tas kertas besar yang dibawanya ke atas meja. Tatapannya mengunci mataku. Bibirnya tersenyum, tapi senyuman itu tak menyentuh matanya. "Aku pulang," ujarnya dingin. Evan bahkan tak melihat ke arah Dika apalagi menyapanya sebelum berbalik badan. Aku menatap punggung lelaki itu hingga ia mencapai pintu. Sesaat masih terdiam sampai menyadari harus mengejarnya."Van!"Ia berhenti tepat saat kakinya mencapai pintu. Menoleh padaku lalu tersenyum, memperlihatkan barisan gigi putih yang sempurna, tapi tangannya mengepal dan mengabarkan kebalikan dari apa yang terlihat di permukaan. "Ka-kamu nggak mau duduk dulu?" tanyaku setelah jarak kami cukup dekat."Nggak usah," tukasnya cepat. "Kayaknya kamu lagi sibuk, tapi kalau udah selesai,
Dika menggeleng. Ia bangkit dari duduknya. "Ada masalah?""Enggak. Lusa mungkin aku ke kantormu untuk kelanjutan kerjasama kita."Aku berdiri dan mengikuti Dika yang sudah berjalan ke pintu. "Aku rasa kamu harus hubungi Niar dulu untuk janji temu. Kebetulan aku nggak hapal jadwal lusa itu apa aja."Dika mengangguk. "Bye, Ta."Kini aku yang mengangguk. Menatap punggungnya saat ia berjalan menuju mobil, lalu menutup pintu rumah tanpa menunggunya benar-benar keluar dari halaman. Kemudian aku berjalan mendekati meja dan membuka tas besar yang dibawa Evan. Tampak dua kotak silver di dalamnya. Hati-hati aku mengeluarkan kemasan yang paling besar dan tampak mewah itu.Membuka tutupnya, hingga tampaklah sebuah gaun sutra mahal dengan taburan swarovski di bagian dada dan lengan. Rancangan terbaru dari butik paling bergengsi di negeri ini. Belum lama aku melihat launching produknya dalam fashion show yang disiarkan live oleh salah satu televisi swasta. Kotak yang kecil ternyata berisi kalung d
"Kalau saya nggak mau, gimana? Saya itu biasa dandan sendiri. Yang simple nggak pakai ribet.""Please, Kak .... Jangan bikin saya dipecat sama Pak Evan""Lho, kamu ini MUA atau karyawannya Evan, sih?""Saya MUA, Kak, tapi usaha saya semuanya dimodali Pak Evan. Kalau saya nggak ikut aturan beliau, bisa jadi saya harus kembalikan semua modalnya saat ini juga."Aduh, kasian juga kalau perempuan ini harus kehilangan pekerjaan hanya karena aku yang menolak kemauan Evan. Akhirnya dengan pasrah, aku mengajaknya ke kamar. Dalam waktu setengah jam, perempuan yang ternyata bernama Windi itu sudah menyulapku menjadi sosok asing. Aku bahkan tidak mengenali wajah sendiri karena sangat berbeda. Rambutku dibuat sanggul tinggi dengan gaya minimalis. Beberapa helai suraiku dibiarkannya menjuntai di kiri dan kanan dekat telinga. "Non, Pak Evan udah dateng," Mbak Ani menghampiriku yang baru saja hendak memakai gaun pemberian Evan. "Suruh tunggu sebentar, ya, Mbak. Nanti saya turun.""Siap, Non."Bers
Aku menutup mulut dengan telapak tangan kanan. Memandang Evan tak percaya. Laki-laki itu balas menatap dengan pandangan teduhnya. Perlahan tangan kiriku membuka pintu mobil. "Ta! Arta! Kamu mau ngapain? Tunggu, Ta!"Tak kupedulikan panggilan laki-laki itu. Aku keluar dari mobilnya dan mulai melangkah di trotoar. Berjalan lurus dengan menahan kristal bening agar tak jatuh dari mata. Sayangnya, semakin ditahan, justru tambah mendesak memenuhi lensa mata. Ya, aku menangis. Menangisi diri yang seakan tak mampu mencari pasangan hidup. Sangat menyedihkan bukan? Hingga ibu angkatku harus turun tangan melihat anaknya yang tak lagi muda, tapi belum punya pendamping.Hati ini ingin marah, tapi pada siapa? Mama? Tegakah? Wanita yang telah mengangkat kehidupanku dari titik terendah hingga menjadi seperti sekarang. Ia yang mencintaiku laksana ibu kandung. Bahkan kata-kata tidak akan menggambarkan betapa cintanya ia padaku. Mama selalu ada saat dibutuhkan. Setiap saat mau mendengarkan suara hati
Kalimatku menggantung. Tak mungkin kuulang ucapan Evan saat kami pulang dari acara Pak Bagaskara itu. Memilih membuang pandang ke taman yang tidak terlalu terang. Hanya ada beberapa lampu yang menerangi pohon-pohon di sekitar. "Punya anak perempuan secantik kamu maksudnya?"Aku tersipu. Pastilah saat ini pipi sudah merona karena kalimat Evan yang diulang kembali. Laki-laki itu tertawa. Memperlihatkan barisan gigi putihnya yang rapi."Itu namanya gombalan, Ta. Udah, yuk! Nanti aku ceritain lengkapnya."Evan bangkit dan menarik tanganku. Mau tak mau aku ikut berdiri dan mengikuti langkahnya. "Kayaknya make up kamu perlu diperbaiki, deh. Walau aku lebih suka kamu tanpa segala macam bahan kimia pabrikan itu.""Jelek, ya? Gimana, dong? Atau aku hapus aja? Kita cari toilet."Evan hanya menggeleng. Ia terus melangkah dalam diam sampai kami tiba di mobilnya. Setelah membukakan pintu untukku, laki-laki itu memutar. Dalam sekejap ia sudah siap di belakang kemudi, kemudian kami menembus lalu l
Entah lelaki itu melihatnya atau tidak. Yang jelas, kini aku menjaga gerakan agar tak tertangkap pandangan Evan.Perlahan melepaskan heels dan membiarkannya ada di lantai ruangan. Lalu secepat mungkin aku bangkit dan berlari. Melesat menuju pintu. Dari sudut mata bisa kulihat Evan terkejut."Ta! Arta! Tunggu! Ini nggak seperti yang kamu pikirkan!"Aku sudah tak peduli suara itu. Teriakannya masih terdengar saat kaki ini menapaki tepi jalan. Kupilih berlari ke arah kami datang. Tanpa alas kaki, terus berlari menyusuri trotoar. Tak peduli nyeri yang terasa di bagian telapak karena menginjak pasir, bahkan kadang kerikil atau pecahan batu kecil. Semakin menjauh dari tempat itu, aku tak lagi mendengar suara Evan. Huh! Pasti ia sudah asyik dengan perempuan seksi itu. Segera kupilih berhenti berlari. Mengatur napas yang tersengal, kemudian mulai berjalan.Lalu lintas masih cukup ramai, tapi hampir tak ada orang yang berjalan kaki sepertiku saat ini. Hanya ada beberapa pedagang di tepi jala
Ponselku tiba-tiba berbunyi. Pasti Evan. Kuambil benda itu dari dalam clutch lalu mengaktifkan mode jangan ganggu dari layar atas. Saat ini, membiarkan pimpinan tertinggi Lintas Griya Amerta dengan pikiran dan kecemasannya sendiri, kupikir lebih baik. Bukankah ia juga tak peduli perasaanku?"Ta?" Aku terlonjak. Kapan Dika masuk ke mobil? Sepertinya aku benar-benar larut dalam lamunan, hingga tak menyadari kehadiran lelaki itu. Ia menyodorkan sebuah sandal berwarna khaki. Harganya pasti sangat jauh di bawah koleksiku, tapi terlihat manis. "Pakai, Ta. Aku tahu ini sandal murahan, tapi setidaknya kamu nggak nyeker kayak gitu. Nggak mungkin juga kita ke butik atau desainer sepatu ternama di jam seperti ini.""Makasih."Aku mengambil sepasang sandal itu dari tangan Dika. Label harganya terlihat baru saja dilepas. Ia pasti tak mau aku mengetahui berapa harga sandal ini. Namun, bagaimanapun ia sudah berbaik hati dan perhatian padaku. Tak ada salahnya dibalas dengan sikap manis juga, bukan?
Sebatang cokelat masih kunikmati, sambil menyaksikan pemandangan kota di malam hari. Melalui jendela kaca, bisa kulihat sinar lampu yang bertebaran di antara gedung-gedung dan rumah penduduk. Aku mungkin terpengaruh kalimat yang mengatakan bahwa sedikit cokelat bisa menghilangkan kesedihan. Menghadirkan kebahagiaan di hati yang sedang penat oleh tumpukan masalah. Seseorang yang sering membawakan cokelat adalah Dika. Lelaki yang pernah menjadi kekasihku, kemudian menghilang selama sepuluh tahun, dan kini hadir kembali. Masih kuingat bagaimana cekalan tangannya menghalangi Evan. Laki-laki yang kupikir akan mengejar ke rumah setelah peristiwa di salon itu, ternyata punya feeling kuat. Bahwa Arta pasti memilih menyendiri di kamar hotel pribadinya. Ia bahkan lebih dahulu sampai di sini. Aku yang melihat sosok Evan mendekat, segera berbalik langkah menuju pintu."Tunggu, Ta! Jangan pergi lagi!"Aku mematung. "Please, Ta. Jangan gini.""Kamu nggak punya hak melarang aku.""Iya, aku paha