Ponselku tiba-tiba berbunyi. Pasti Evan. Kuambil benda itu dari dalam clutch lalu mengaktifkan mode jangan ganggu dari layar atas. Saat ini, membiarkan pimpinan tertinggi Lintas Griya Amerta dengan pikiran dan kecemasannya sendiri, kupikir lebih baik. Bukankah ia juga tak peduli perasaanku?"Ta?" Aku terlonjak. Kapan Dika masuk ke mobil? Sepertinya aku benar-benar larut dalam lamunan, hingga tak menyadari kehadiran lelaki itu. Ia menyodorkan sebuah sandal berwarna khaki. Harganya pasti sangat jauh di bawah koleksiku, tapi terlihat manis. "Pakai, Ta. Aku tahu ini sandal murahan, tapi setidaknya kamu nggak nyeker kayak gitu. Nggak mungkin juga kita ke butik atau desainer sepatu ternama di jam seperti ini.""Makasih."Aku mengambil sepasang sandal itu dari tangan Dika. Label harganya terlihat baru saja dilepas. Ia pasti tak mau aku mengetahui berapa harga sandal ini. Namun, bagaimanapun ia sudah berbaik hati dan perhatian padaku. Tak ada salahnya dibalas dengan sikap manis juga, bukan?
Sebatang cokelat masih kunikmati, sambil menyaksikan pemandangan kota di malam hari. Melalui jendela kaca, bisa kulihat sinar lampu yang bertebaran di antara gedung-gedung dan rumah penduduk. Aku mungkin terpengaruh kalimat yang mengatakan bahwa sedikit cokelat bisa menghilangkan kesedihan. Menghadirkan kebahagiaan di hati yang sedang penat oleh tumpukan masalah. Seseorang yang sering membawakan cokelat adalah Dika. Lelaki yang pernah menjadi kekasihku, kemudian menghilang selama sepuluh tahun, dan kini hadir kembali. Masih kuingat bagaimana cekalan tangannya menghalangi Evan. Laki-laki yang kupikir akan mengejar ke rumah setelah peristiwa di salon itu, ternyata punya feeling kuat. Bahwa Arta pasti memilih menyendiri di kamar hotel pribadinya. Ia bahkan lebih dahulu sampai di sini. Aku yang melihat sosok Evan mendekat, segera berbalik langkah menuju pintu."Tunggu, Ta! Jangan pergi lagi!"Aku mematung. "Please, Ta. Jangan gini.""Kamu nggak punya hak melarang aku.""Iya, aku paha
"Ta, maafin Mama atas semua yang udah terjadi."Mama berhenti dan menarik napas. Aku hanya mampu menatap dengan pandangan ingin tahu. Menunggu kisah selanjutnya. "Kamu ingat, saat pertama mengajar privat di rumah Mama?""Iya.""Saat itu ada lelaki muda sedang bicara serius dengan Papa di teras. Kamu yang datang dan mengucap salam, mengalihkan perhatian Papa dan juga Evan."Mataku membulat tak percaya. "Ya," ujar Mama seakan melihat tanya di mataku. "Laki-laki itu adalah Evan. Saat itu ia baru saja lulus kuliah, dan ingin magang di kantor Papa."Jadi, sudah bertahun-tahun Evan tahu tentang aku? Oh, tidak. "Saat itu, Evan sebenarnya sudah tertarik padamu, tapi ia tak bisa mengutarakan isi hatinya. Evan sudah dijodohkan dengan wanita pilihan orang tuanya. Dua tahun kemudian mereka menikah. Sayang, tak lama berjodohnya. Clara meninggal saat melahirkan anak pertama. Anaknya pun wafat satu minggu kemudian.""Lalu?""Evan kemudian melanjutkan pendidikan di Amerika. Setelah lulus, ia mengg
Yang tampak di dalam kotak itu adalah lingerie berwarna merah menyala. Segera kututup kembali kotak itu."Apaan, sih, kamu ini, Ri?"Yang kutanya membalas dengan tawa."Bentar lagi kan, Kak Arta mau nikah. Anggap aja kado pernikahan," jawabnya sambil masih tertawa.Aku mencebik dan hendak mendaratkan pukulan kecil di lengannya, tapi ia berhasil menghindar. "Udah, jangan ribut. Ayo, sekarang kamu buka kado terakhir. Dari Evan.""Nggak harus sekarang, kok, Tante," Evan bersuara tanpa diminta. Aku bersyukur dengan ucapannya. Lebih baik kado dari laki-laki itu kubuka saat sendiri nanti. Aku tak ingin jadi bahan ejekan dua kakak adik yang tingkahnya kadang absurd. Riri dan Anang. "Ta, karena ini sudah malam, kami pamit, ya. Besok, Mama minta kamu ke rumah. Kita makan malam bersama."Aku mengangguk. Mengucapkan terima kasih, lalu memeluk mereka satu persatu. Kecuali Evan. Laki-laki itu cukup tahu diri dengan berdiri agak jauh dariku. "Saya nyusul ya, Tante. Ada yang mau dibicarain seben
Sampai Evan pulang, aku tak memberi jawaban pada ajakannya untuk menikah. Ia seperti sedang melakukan monolog di hadapanku saat semua orang sudah meninggalkan hotel.Kami berdiri di balkon. Menatap pemandangan kota di malam hari dari lantai tertinggi hotel. Merasakan belaian angin malam yang cukup dingin. "Aku tahu, masih banyak yang ingin kamu ketahui. Tanyakan saja, Ta. Aku akan menjawab semuanya dengan jujur."Evan menghela napas saat aku tetap diam. "Baiklah. Sepertinya kamu masih butuh waktu untuk berpikir. Satu hal yang kuminta, jangan percaya pada media. Banyak hal tentangku yang salah mereka tuliskan."Hingga Evan berpamitan, aku tak bicara. Seutas senyum terbit di bibirku, untuk sekedar menghargainya. Mengangguk saat ia mengatakan akan menjemput esok hari untuk bersama ke rumah Mama Hana. Satu jam sebelum waktu yang ia janjikan, Windi datang seperti hari sebelumnya. Ia benar-benar menempatkan Evan sebagai konsumen prioritas. Langsung datang saat lelaki itu memintanya ke te
Memilih membuka ponsel dan melihat percakapan di grup alumni kampus. Ada teman yang akan menikah pekan depan. Kami semua diundang dan harus datang bersama partner. Rata-rata dari mereka akan mengajak suami atau istrinya. Sementara aku belum tahu akan mengajak siapa. Tiba-tiba Evan mengambil ponsel dari tanganku. Dengan pandangan tak suka, aku menatapnya. Sejenak, mata kami bertemu, sebelum kemudian saling membuang muka. Evan menghela napas berat."Aku nggak mau kalau ponsel membuat kita berjauhan, padahal duduk hampir tak berjarak. Kamu sedang bersamaku sekarang, jadi jangan ada gadget di antara kita."Aku mendengkus. Belum jadi suami, tapi sudah banyak memberi peraturan. Bagaimana kalau kami jadi menikah? Entahlah. Aku pusing memikirkan ini. "Kenapa kamu bilang kalau kita sudah dijodohkan?"Mata cokelatnya menatapku tajam. Aku pun tak menyangka sebaris kalimat itu bisa terlontar begitu saja. "Maksudmu?""Mama sudah menceritakan semuanya, tapi tak ada satu pun fakta bahwa orang tua
Menatap lalu lintas yang masih ramai dan seperti enggan menjawab. Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Aku sempat melihat sekilas nama yang tertulis di layar, sebelum Evan menggeser tombol hijau. Dari Ray. "Ya," jawabnya tanpa mengucap salam. "....""Apa?""....""Separah apa, dan siapa yang kau curigai?""....""Oke. Aku tahu kamu bisa menangani ini. Besok pagi kutunggu jam enam di rumah.""....""Tolong kontak juga Pak Brata. Tanyakan apakah penawarannya bulan lalu masih berlaku. Bilang kalau saya berubah pikiran. Kamu bisa naikkan harganya dua ratus juta di atas yang dia berikan."Setelah menutup teleponnya, Evan langsung menyalakan mobil dan melaju cepat, tanpa menjawab pertanyaanku. Ada nyala api di matanya yang membuatku jadi sedikit takut, tapi tetap memberanikan diri bertanya. "Siapa Ray itu?"Evan sejenak menoleh
Aku hanya menggeleng. "Jujur, deh. Kak Arta harus cerita ke aku.""Nggak ada apa-apa, Ri. Sungguh," jawabku sambil mengacungkan telunjuk dan jari tengah tangan kanan bersamaan."Nggak. Aku lihat Bang Evan gelisah malam ini. Kalian nggak berantem, 'kan?"Aku menggeleng, tapi Riri terus memaksa untuk berterus terang. Mau tak mau kuceritakan percakapan kami di mobil, termasuk telepon dari Ray yang juga membuat Evan jadi aneh di mataku. Riri menghela napas. "Kak Arta, aku jamin, deh. Bang Evan itu beneran cinta sama Kakak. Bukan karena wajah Kak Arta mirip Clara. Kakak nggak tahu ‘kan, gimana bucinnya Bang Evan sama Kakak? Sebentar lagi Kak Arta bakal lihat sendiri. Pokoknya, percaya aja, deh. Kakak itu spesial buat dia."Kalau Evan memang mencintaiku, kenapa belum mengatakannya? Berulang kali ia memintaku agar menerima lamaran, tapi tak pernah ada kata cinta dalam setiap kalimatnya. Memang benar bahwa cinta tak harus diucapkan, tapi salahkah aku jika ingin mendengar kalimat itu langsun