Sampai Evan pulang, aku tak memberi jawaban pada ajakannya untuk menikah. Ia seperti sedang melakukan monolog di hadapanku saat semua orang sudah meninggalkan hotel.Kami berdiri di balkon. Menatap pemandangan kota di malam hari dari lantai tertinggi hotel. Merasakan belaian angin malam yang cukup dingin. "Aku tahu, masih banyak yang ingin kamu ketahui. Tanyakan saja, Ta. Aku akan menjawab semuanya dengan jujur."Evan menghela napas saat aku tetap diam. "Baiklah. Sepertinya kamu masih butuh waktu untuk berpikir. Satu hal yang kuminta, jangan percaya pada media. Banyak hal tentangku yang salah mereka tuliskan."Hingga Evan berpamitan, aku tak bicara. Seutas senyum terbit di bibirku, untuk sekedar menghargainya. Mengangguk saat ia mengatakan akan menjemput esok hari untuk bersama ke rumah Mama Hana. Satu jam sebelum waktu yang ia janjikan, Windi datang seperti hari sebelumnya. Ia benar-benar menempatkan Evan sebagai konsumen prioritas. Langsung datang saat lelaki itu memintanya ke te
Memilih membuka ponsel dan melihat percakapan di grup alumni kampus. Ada teman yang akan menikah pekan depan. Kami semua diundang dan harus datang bersama partner. Rata-rata dari mereka akan mengajak suami atau istrinya. Sementara aku belum tahu akan mengajak siapa. Tiba-tiba Evan mengambil ponsel dari tanganku. Dengan pandangan tak suka, aku menatapnya. Sejenak, mata kami bertemu, sebelum kemudian saling membuang muka. Evan menghela napas berat."Aku nggak mau kalau ponsel membuat kita berjauhan, padahal duduk hampir tak berjarak. Kamu sedang bersamaku sekarang, jadi jangan ada gadget di antara kita."Aku mendengkus. Belum jadi suami, tapi sudah banyak memberi peraturan. Bagaimana kalau kami jadi menikah? Entahlah. Aku pusing memikirkan ini. "Kenapa kamu bilang kalau kita sudah dijodohkan?"Mata cokelatnya menatapku tajam. Aku pun tak menyangka sebaris kalimat itu bisa terlontar begitu saja. "Maksudmu?""Mama sudah menceritakan semuanya, tapi tak ada satu pun fakta bahwa orang tua
Menatap lalu lintas yang masih ramai dan seperti enggan menjawab. Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Aku sempat melihat sekilas nama yang tertulis di layar, sebelum Evan menggeser tombol hijau. Dari Ray. "Ya," jawabnya tanpa mengucap salam. "....""Apa?""....""Separah apa, dan siapa yang kau curigai?""....""Oke. Aku tahu kamu bisa menangani ini. Besok pagi kutunggu jam enam di rumah.""....""Tolong kontak juga Pak Brata. Tanyakan apakah penawarannya bulan lalu masih berlaku. Bilang kalau saya berubah pikiran. Kamu bisa naikkan harganya dua ratus juta di atas yang dia berikan."Setelah menutup teleponnya, Evan langsung menyalakan mobil dan melaju cepat, tanpa menjawab pertanyaanku. Ada nyala api di matanya yang membuatku jadi sedikit takut, tapi tetap memberanikan diri bertanya. "Siapa Ray itu?"Evan sejenak menoleh
Aku hanya menggeleng. "Jujur, deh. Kak Arta harus cerita ke aku.""Nggak ada apa-apa, Ri. Sungguh," jawabku sambil mengacungkan telunjuk dan jari tengah tangan kanan bersamaan."Nggak. Aku lihat Bang Evan gelisah malam ini. Kalian nggak berantem, 'kan?"Aku menggeleng, tapi Riri terus memaksa untuk berterus terang. Mau tak mau kuceritakan percakapan kami di mobil, termasuk telepon dari Ray yang juga membuat Evan jadi aneh di mataku. Riri menghela napas. "Kak Arta, aku jamin, deh. Bang Evan itu beneran cinta sama Kakak. Bukan karena wajah Kak Arta mirip Clara. Kakak nggak tahu ‘kan, gimana bucinnya Bang Evan sama Kakak? Sebentar lagi Kak Arta bakal lihat sendiri. Pokoknya, percaya aja, deh. Kakak itu spesial buat dia."Kalau Evan memang mencintaiku, kenapa belum mengatakannya? Berulang kali ia memintaku agar menerima lamaran, tapi tak pernah ada kata cinta dalam setiap kalimatnya. Memang benar bahwa cinta tak harus diucapkan, tapi salahkah aku jika ingin mendengar kalimat itu langsun
Beberapa detik berlalu dalam keheningan. Saat kemudian dering ponsel membuyarkan semua. Anang menelepon dan menanyakan keberadaanku. Ia datang ke rumah untuk mengantarkan lukisan terbarunya.Seperti mendapat durian runtuh, aku menemukan alasan untuk meminta Evan segera mengantar pulang, dan kembali menghindari pertanyaannya. Laki-laki itu terlihat sedikit kesal, tapi tetap bersikap manis. Ia segera membukakan pintu mobil untukku dan mengantar hingga ke rumah. Evan juga sempat mengirim pesan sebelum tidur. Kalimat singkat yang mampu membuat pipiku merona. "Selamat istirahat, semoga tidurmu nyenyak."Aku tidak membalasnya.***Aku menghempaskan tubuh ke kursi. Meeting yang cukup melelahkan baru saja berakhir. Rasanya ingin segera pulang dan merebahkan diri di tempat tidur. Namun, ini baru pukul tiga sore. Belum saatnya jam kerja berakhir. Segera aku menegakkan tubuh dan hendak membuka laptop. Tiba-tiba satu pemandangan menakjubkan tertangkap mata. Sebuah buket bunga yang sangat besa
'Iya, tadi Bunda ke sini.'"Lalu, apa jawabanmu?"Aku menghela napas berat."Tanya aja ke Tante Diana."Terlihat Evan langsung mengetik saat pesan dariku sudah centang biru. "Aku butuh jawaban langsung darimu, Ta. Bukan dari Bunda."Pesan itu kubiarkan tanpa jawaban untuk beberapa saat lamanya. Hingga Evan mengirim pesan lagi, dan lagi. "Ta.""Arta.""Arta Intan Sari.""Kamu baik-baik aja, ‘kan?"Aku tersenyum membaca pesan beruntun dari Evan yang mirip gaya abege. "Baiklah, kalau kamu nggak mau jawab pakai kata-kata. Aku telepon kamu sekarang. Angkat teleponnya jika jawabanmu iya. Tak perlu bicara apa-apa. Jika kamu menolak, biarkan teleponku hingga dering terakhir."Mataku membulat. Laki-laki itu sangat gigih, walau tak romantis. Detik berikutnya ponselku berdering. Nama Evan muncul di layar. Dering pertama hingga kelima, aku masih diam. Ada debar yang semakin terasa, hingga ibu jariku menggeser logo telepon berwarna hijau di dering keenam. Hening.Kemudian terdengar hela napas
"Diara. Selamat, ya, Arta. Akhirnya Evan menemukan belahan jiwanya lagi.""Terima kasih, Tante. Saya juga senang bisa berkenalan dengan Tante.""Jangan panggil tante. Evan sudah seperti anakku sendiri. Artinya, karena sebentar lagi kalian akan menikah, maka kamu pun kuanggap sebagai anak sendiri. Panggil mama saja, ya.""Baik, Tan ... eh, Ma."Tante Diara masih terlihat sangat cantik di usianya yang tak lagi muda. Hampir tak terlihat keriput di wajah perempuan itu. Dandanannya pun simple tapi berkelas. Ia mengenakan gaun hitam panjang dipadu syal tenun etnik. "Duduk di sini, Ta." Tante Diara menunjuk kursi di sebelah kiri tempat ia duduk. Dengan gugup aku mengikuti perintahnya, walau tak percaya diri karena harus berdekatan dengan mantan mertua Evan. Bukankah bisa saja saat ini ia sedang menilaiku, dan membandingkan dengan putrinya yang juga pernah jadi istri Evan?"Aku tinggal sebentar, nggak apa 'kan, Ta?" Evan menatapku lembut."Oke," jawabku sedikit ragu.Evan berlalu, sesekali
Perempuan itu semakin mendekat, berjalan perlahan dengan wajah bengis. Sementara Dika kini mencekal tanganku. Menahan agar tak ada ronta dan pergerakan yang bisa membuat aku lari."Tolong, Dika. Please, nggak gini caranya. Lepasin aku!"Dika tak bersuara, sedangkan jarak Sinta sudah tinggal setengah meter dariku. Tiba-tiba ia mengangkat pisau itu tinggi sekali, lalu menikamkannya ke dadaku. "Tidaaak!" "Ta, Arta! Arta! Kamu kenapa?"Seseorang menepuk pipiku. Segera aku membuka mata. Peluh membanjiri seluruh wajah dan tubuh."Ibu?"Lalu, tadi itu apa? Evan yang pergi, ancaman dari Dika, dan Sinta dengan pisaunya. Semua terlihat nyata dan mengerikan, tapi kini hanya ada Ibu di depanku. Ia sudah rapi dengan mukena biru toska, menatapku dipenuhi kecemasan. "Kamu mimpi buruk?"Jadi, itu semua mimpi? Apa maknanya jika mimpi itu begitu jelas seperti benar-benar terjadi? Aku bangkit dari tidur. Ibu bergeser dan memberiku ruang agar lebih mudah untuk duduk. Menatap wajahnya yang tenang