'Iya, tadi Bunda ke sini.'"Lalu, apa jawabanmu?"Aku menghela napas berat."Tanya aja ke Tante Diana."Terlihat Evan langsung mengetik saat pesan dariku sudah centang biru. "Aku butuh jawaban langsung darimu, Ta. Bukan dari Bunda."Pesan itu kubiarkan tanpa jawaban untuk beberapa saat lamanya. Hingga Evan mengirim pesan lagi, dan lagi. "Ta.""Arta.""Arta Intan Sari.""Kamu baik-baik aja, ‘kan?"Aku tersenyum membaca pesan beruntun dari Evan yang mirip gaya abege. "Baiklah, kalau kamu nggak mau jawab pakai kata-kata. Aku telepon kamu sekarang. Angkat teleponnya jika jawabanmu iya. Tak perlu bicara apa-apa. Jika kamu menolak, biarkan teleponku hingga dering terakhir."Mataku membulat. Laki-laki itu sangat gigih, walau tak romantis. Detik berikutnya ponselku berdering. Nama Evan muncul di layar. Dering pertama hingga kelima, aku masih diam. Ada debar yang semakin terasa, hingga ibu jariku menggeser logo telepon berwarna hijau di dering keenam. Hening.Kemudian terdengar hela napas
"Diara. Selamat, ya, Arta. Akhirnya Evan menemukan belahan jiwanya lagi.""Terima kasih, Tante. Saya juga senang bisa berkenalan dengan Tante.""Jangan panggil tante. Evan sudah seperti anakku sendiri. Artinya, karena sebentar lagi kalian akan menikah, maka kamu pun kuanggap sebagai anak sendiri. Panggil mama saja, ya.""Baik, Tan ... eh, Ma."Tante Diara masih terlihat sangat cantik di usianya yang tak lagi muda. Hampir tak terlihat keriput di wajah perempuan itu. Dandanannya pun simple tapi berkelas. Ia mengenakan gaun hitam panjang dipadu syal tenun etnik. "Duduk di sini, Ta." Tante Diara menunjuk kursi di sebelah kiri tempat ia duduk. Dengan gugup aku mengikuti perintahnya, walau tak percaya diri karena harus berdekatan dengan mantan mertua Evan. Bukankah bisa saja saat ini ia sedang menilaiku, dan membandingkan dengan putrinya yang juga pernah jadi istri Evan?"Aku tinggal sebentar, nggak apa 'kan, Ta?" Evan menatapku lembut."Oke," jawabku sedikit ragu.Evan berlalu, sesekali
Perempuan itu semakin mendekat, berjalan perlahan dengan wajah bengis. Sementara Dika kini mencekal tanganku. Menahan agar tak ada ronta dan pergerakan yang bisa membuat aku lari."Tolong, Dika. Please, nggak gini caranya. Lepasin aku!"Dika tak bersuara, sedangkan jarak Sinta sudah tinggal setengah meter dariku. Tiba-tiba ia mengangkat pisau itu tinggi sekali, lalu menikamkannya ke dadaku. "Tidaaak!" "Ta, Arta! Arta! Kamu kenapa?"Seseorang menepuk pipiku. Segera aku membuka mata. Peluh membanjiri seluruh wajah dan tubuh."Ibu?"Lalu, tadi itu apa? Evan yang pergi, ancaman dari Dika, dan Sinta dengan pisaunya. Semua terlihat nyata dan mengerikan, tapi kini hanya ada Ibu di depanku. Ia sudah rapi dengan mukena biru toska, menatapku dipenuhi kecemasan. "Kamu mimpi buruk?"Jadi, itu semua mimpi? Apa maknanya jika mimpi itu begitu jelas seperti benar-benar terjadi? Aku bangkit dari tidur. Ibu bergeser dan memberiku ruang agar lebih mudah untuk duduk. Menatap wajahnya yang tenang
Griya Lintas Amerta sebenarnya bukan hanya perusahaan properti. Kini sayapnya sudah menguasai semua bidang, termasuk perdagangan, transportasi, dan media massa. Ribuan karyawan yang bergantung nafkah di sana, tersebar di puluhan cabang.Perusahaan yang Evan pimpin itu mempunyai pengaruh dan kekuasaan yang besar, bahkan pada perpolitikan negeri ini. Dalam hitungan detik, ratusan juta rupiah mengalir ke rekening Lintas Griya Amerta. Semuanya tak lepas dari kecerdasan seorang Evan Taqi Hermawan. Laki-laki yang selalu bekerja keras dan tegas dalam bersikap. Melihat semua kesuksesan perusahaan itu, siapa sangka pimpinan tertingginya saat ini sedang membeku di hadapanku. Tak mampu berkata, dan tak mau menatap lawan bicaranya. Mata lelaki itu kini lurus ke depan. Cukup lama kami terkurung dalam keheningan dengan atmosfer yang canggung.Tiba-tiba ia berdiri, lalu berjalan ke arahku. Tidak, ia terus berjalan memutari meja, menuju ke belakang kursi yang aku duduki. Bisa kurasakan saat langkahn
"Dia bahkan bikin stress dokter dan perawat yang ngobatin. Lukanya sendiri belum ditangani, tapi dia mau lihat kondisi lu terus, Ta. Khawatir banget dia sampai pucat mukanya."Benarkah Evan sangat cemas? Benarkah ia takut kehilangan aku? Tiba-tiba aku teringat Niar. "Oh, sampai lupa. Niar, kenalin ini, Bima. Kalian dah pernah ketemu, 'kan? Bima, ini Niar, sahabatku sejak SMA.""Niar.""Bima."Mereka saling berjabatan tangan yang menurutku agak lebih lama dari umumnya. "Lalu, perkembangan penyelidikan kamu gimana, Bim? Evan bilang kecelakaan itu memang disengaja."Bima menarik napas berat. Ia mendekat ke arah tempat tidurku, lalu bicara lirih. "Bukti-bukti menuju pada satu orang, tapi Evan belum memutuskan.""Siapa?""Kamu jangan kaget, ya?"Aku mengangguk dengan keyakinan penuh."Dika. Mantan kamu."Aku menutup mulut dengan tangan kanan yang tidak terluka. Sungguh berita ini sangat buruk. Aku tak habis pikir, bagaimana Dika sependek itu pikirannya. Mencelakai Evan, artinya juga mem
"Kakiku sakit banget.""Ya, Tuhan. Maafkan aku. Sini, dipijat."Evan langsung membimbingku untuk duduk di atas ranjang. Menyingkap gaun pengantin yang kukenakan, kemudian ia mulai memijat perlahan. Hampir setengah jam lamanya ia melakukan itu dengan sabar dan telaten. "Gimana sekarang?"Aku tersenyum. "Udah enak. Ternyata profesi kamu selain sebagai direktur utama, juga merangkap jadi tukang pijit, ya?"Evan mencubit pipiku dengan gemas."Kamu dengar ceramah ustadz saat khutbah nikah tadi?""Iya. Kenapa?""Sebaiknya kita salat sunnah dulu sekarang, seperti yang disampaikan ustadz."Aku mengangguk setuju, lalu menghampiri meja rias dan membersihkan make up di wajah. Evan berdiri di belakangku, sejenak memperhatikan semua gerakan melalui cermin."Aku ke ruang kerja sebentar," ujarnya lalu menghilang di balik pintu. Aku melepas gaun pengantin yang menjuntai dan berat, lalu menggantinya dengan baju tidur satin yang diletakkan di atas ranjang. Entah siapa yang sudah menyiapkannya di san
"Lu mau gue tinggal sebulan ngurusin kantor ini sendiri?""Enak aja!""Nah, 'kan. Sekarang bilang, ngapain lu tiba-tiba masuk ke sini? Nanyain oleh-oleh, 'kan?"Niar tergelak. Ia menghempaskan tubuhnya di sofa. "Tahu aja si bos.""Dah keliatan dari wajah lu yang mupeng."Niar kembali terpingkal. "Tuh, yang tas ungu," ujarku sambil menunjuk sebuah kantong kertas besar. "Ini buat gue semua?"Aku mengangguk. Niar langsung bangkit dan berjalan ke arahku. "Makasih Arta cantik yang nggak pernah lupain asisten tersayangnya ini.""Gombal.""Sesekali lu perlu digombalin emang, Ta."Kucubit lengannya kecil. Ia menjerit sambil tertawa. "Amit-amit, dah. Cubitan lu pedes banget. Semoga Evan tahan.""Udah berkali-kali dia jadi korban, kok."Kami tertawa bersama, lalu berhenti karena tiba-tiba pintu terbuka. Aku dan Niar terpana melihat sosok yan
Kembali air mata berjatuhan. Membayangkan anak dalam perutku lahir tanpa diinginkan ayahnya, membuatku merutuki diri sendiri. Andai obat pencegah kehamilan itu aku minum, pasti tak akan seperti ini jadinya.Aku menggeleng perlahan. Tidak. Semuanya sudah takdir. Aku tak boleh berandai-andai. Jika Evan tidak menginginkannya, maka aku yang akan menjaga dan merawat bayi ini sendiri. Tak akan kubiarkan siapa pun menganggu anak ini. Tak terasa tiga puluh menit kulalui dalam lamunan dan air mata. Hingga Evan kembali masuk ke ruangan ini, jejak air mata itu belum berhenti. Ia masuk, lalu memberikan kode agar si perawat keluar. “Pilmu?” dia menggertak sambil mengeluarkan lempeng obat itu.Oh, tidak. Bagaimana mungkin ia bisa menemukannya? Aku sudah menyembunyikan itu di antara lipatan pakaian dalam. Salahku juga kenapa tak langsung membuang semuanya saja.“Jelaskan padaku, Ta. Apa maksudnya ini? Kalau kamu melupakannya, tentu hanya be