"Dia bahkan bikin stress dokter dan perawat yang ngobatin. Lukanya sendiri belum ditangani, tapi dia mau lihat kondisi lu terus, Ta. Khawatir banget dia sampai pucat mukanya."Benarkah Evan sangat cemas? Benarkah ia takut kehilangan aku? Tiba-tiba aku teringat Niar. "Oh, sampai lupa. Niar, kenalin ini, Bima. Kalian dah pernah ketemu, 'kan? Bima, ini Niar, sahabatku sejak SMA.""Niar.""Bima."Mereka saling berjabatan tangan yang menurutku agak lebih lama dari umumnya. "Lalu, perkembangan penyelidikan kamu gimana, Bim? Evan bilang kecelakaan itu memang disengaja."Bima menarik napas berat. Ia mendekat ke arah tempat tidurku, lalu bicara lirih. "Bukti-bukti menuju pada satu orang, tapi Evan belum memutuskan.""Siapa?""Kamu jangan kaget, ya?"Aku mengangguk dengan keyakinan penuh."Dika. Mantan kamu."Aku menutup mulut dengan tangan kanan yang tidak terluka. Sungguh berita ini sangat buruk. Aku tak habis pikir, bagaimana Dika sependek itu pikirannya. Mencelakai Evan, artinya juga mem
"Kakiku sakit banget.""Ya, Tuhan. Maafkan aku. Sini, dipijat."Evan langsung membimbingku untuk duduk di atas ranjang. Menyingkap gaun pengantin yang kukenakan, kemudian ia mulai memijat perlahan. Hampir setengah jam lamanya ia melakukan itu dengan sabar dan telaten. "Gimana sekarang?"Aku tersenyum. "Udah enak. Ternyata profesi kamu selain sebagai direktur utama, juga merangkap jadi tukang pijit, ya?"Evan mencubit pipiku dengan gemas."Kamu dengar ceramah ustadz saat khutbah nikah tadi?""Iya. Kenapa?""Sebaiknya kita salat sunnah dulu sekarang, seperti yang disampaikan ustadz."Aku mengangguk setuju, lalu menghampiri meja rias dan membersihkan make up di wajah. Evan berdiri di belakangku, sejenak memperhatikan semua gerakan melalui cermin."Aku ke ruang kerja sebentar," ujarnya lalu menghilang di balik pintu. Aku melepas gaun pengantin yang menjuntai dan berat, lalu menggantinya dengan baju tidur satin yang diletakkan di atas ranjang. Entah siapa yang sudah menyiapkannya di san
"Lu mau gue tinggal sebulan ngurusin kantor ini sendiri?""Enak aja!""Nah, 'kan. Sekarang bilang, ngapain lu tiba-tiba masuk ke sini? Nanyain oleh-oleh, 'kan?"Niar tergelak. Ia menghempaskan tubuhnya di sofa. "Tahu aja si bos.""Dah keliatan dari wajah lu yang mupeng."Niar kembali terpingkal. "Tuh, yang tas ungu," ujarku sambil menunjuk sebuah kantong kertas besar. "Ini buat gue semua?"Aku mengangguk. Niar langsung bangkit dan berjalan ke arahku. "Makasih Arta cantik yang nggak pernah lupain asisten tersayangnya ini.""Gombal.""Sesekali lu perlu digombalin emang, Ta."Kucubit lengannya kecil. Ia menjerit sambil tertawa. "Amit-amit, dah. Cubitan lu pedes banget. Semoga Evan tahan.""Udah berkali-kali dia jadi korban, kok."Kami tertawa bersama, lalu berhenti karena tiba-tiba pintu terbuka. Aku dan Niar terpana melihat sosok yan
Kembali air mata berjatuhan. Membayangkan anak dalam perutku lahir tanpa diinginkan ayahnya, membuatku merutuki diri sendiri. Andai obat pencegah kehamilan itu aku minum, pasti tak akan seperti ini jadinya.Aku menggeleng perlahan. Tidak. Semuanya sudah takdir. Aku tak boleh berandai-andai. Jika Evan tidak menginginkannya, maka aku yang akan menjaga dan merawat bayi ini sendiri. Tak akan kubiarkan siapa pun menganggu anak ini. Tak terasa tiga puluh menit kulalui dalam lamunan dan air mata. Hingga Evan kembali masuk ke ruangan ini, jejak air mata itu belum berhenti. Ia masuk, lalu memberikan kode agar si perawat keluar. “Pilmu?” dia menggertak sambil mengeluarkan lempeng obat itu.Oh, tidak. Bagaimana mungkin ia bisa menemukannya? Aku sudah menyembunyikan itu di antara lipatan pakaian dalam. Salahku juga kenapa tak langsung membuang semuanya saja.“Jelaskan padaku, Ta. Apa maksudnya ini? Kalau kamu melupakannya, tentu hanya be
Sejak pulang dari rumah sakit, Evan belum pernah menyinggung lagi tentang kehamilanku. Namun, ia juga bersikap seolah aku tidak sedang mengandung anaknya. Ia kini jauh lebih dingin dari sebelumnya. Jarang bicara kecuali aku bertanya.Pagi ini aku berniat masuk kantor. Seperti biasa, sebelum mandi aku menyiapkan pakaian dan aksesoris yang akan dipakai. Memadu padankan agar terlihat elegan dan sempurna, termasuk tas dan sepatu. "Mau ke mana?"Suara Evan yang tiba-tiba masuk ke kamar sangat mengejutkan. Ia berjalan ke arah tempat tidur di sisi yang berseberangan dengan tempatku saat ini meletakkan tas, syal dan beberapa perlengkapan kerja. Lelaki itu menghempaskan tubuhnya sambil menghela napas perlahan. "Kantor.""Memangnya udah kuat?"Aku menoleh ke arahnya. Menatap mata cokelat itu dengan penuh tanya. Apa maksudnya?"Kamu masih sering kelihatan mijit-mijit pelipis. Masih sering pusing, 'kan?"Aku mengangg
Niar mengamatiku dari ujung kepala hingga kaki, kemudian tersenyum. "Hmm, iya, sih. Sekarang tubuh lu tambah seksi karena hamil.""Hah? Masih kelihatan?"Niar tersenyum."Kalau diperhatikan, ya, masih. Jilbab lu pendek gitu. Setelan yang lu pakai juga nggak terlalu longgar.""Ya kali gue mesti pakai gamis ke kantor.""Kenapa nggak? Toh, sekarang banyak gamis-gamis modis yang cocok buat jadi busana kerja."Aku mengibaskan tangan di depan Niar. "Ah, udahlah. Ngadepin permintaan Evan aja gue udah pusing. Ini malah lu nambahin pula."Niar tergelak."Eh, tapi, dengan Evan menganggap bentuk tubuh lu yang berubah saat hamil sekarang ini harus ditutupi, artinya dia udah nggak ambil pusing tentang anak yang bakal lahir di antara kalian?"Aku tersenyum miris. "Dia nggak pernah bahas itu."Andai Niar tahu, selain Evan tak pernah membahas bayi ini, ia juga tak pernah
Aku mengikuti langkahnya menuju ruangan khusus.“Silakan duduk," katanya sambil menunjuk kursi di depan sebuah meja kaca dengan komputer di bawahnya. "Anda benar-benar ingin mengambil keseluruhan uang dari rekening?"“Ya.""Baiklah. Sepertinya saya harus menyerahkan ini pada atasan karena jumlah uang anda tidak sedikit, Bu Arta."Tentu saja uang itu tak sedikit. Tabunganku yang merupakan pimpinan perusahaan sukses sekelas Artha Ladju Enterprise, tentu membuat mata perempuan muda itu membulat saat melihat jumlahnya yang tiba-tiba ingin diambil semua. "Bisakah saya meminta kartu identitas anda, Bu?”Menyerahkan KTP, aku menahan rasa mual yang tiba-tiba menjalar di perut dan mencapai ke tenggorokan. Segera aku mengambil napas panjang sambil menatap Hasna yang keluar ruangan. Tak lama, seorang lelaki yang lima tahun tampak lebih tua dari Hasna masuk. Tangan kirinya memegang
"Bisakah kau diam?" ujar lelaki di balik kemudi sambil mengunci semua pintu.Suara itu seperti aku kenal."Dika?"Ia menoleh, lalu menyeringai. Aku bergidik melihatnya"Akhirnya kau mengenali suaraku, Ta. Ternyata kamu sejahat itu. Mengenal Evan sebentar saja, aku langsung kau lupakan."Ia mulai fokus pada kemudi, sementara tanganku mengepal. "Apa maumu, Dika? Kenapa harus melibatkan nyawa Bunda? Kenapa melakukan ini? Apakah kamu dendam karena kisah kita selesai?"Dika tertawa sambil melirikku sekilas dari kaca tengah. Mata itu, merah dan menyiratkan dendam yang teramat dalam. "Sebaiknya kamu diam, Ta. Jangan banyak bicara kalau mau selamat!""Nggak! Kamu udah salah orang, Dika! Bebaskan Bunda!"Dika tertawa lagi. Kali ini Sinta ikut tergelak."Dika Mahendra Winata tak pernah salah orang. Dendamku cuma satu, pada si brengsek Evan. Maka satu-satunya cara adalah menguras harta, sekalig