"Ta, maafin Mama atas semua yang udah terjadi."Mama berhenti dan menarik napas. Aku hanya mampu menatap dengan pandangan ingin tahu. Menunggu kisah selanjutnya. "Kamu ingat, saat pertama mengajar privat di rumah Mama?""Iya.""Saat itu ada lelaki muda sedang bicara serius dengan Papa di teras. Kamu yang datang dan mengucap salam, mengalihkan perhatian Papa dan juga Evan."Mataku membulat tak percaya. "Ya," ujar Mama seakan melihat tanya di mataku. "Laki-laki itu adalah Evan. Saat itu ia baru saja lulus kuliah, dan ingin magang di kantor Papa."Jadi, sudah bertahun-tahun Evan tahu tentang aku? Oh, tidak. "Saat itu, Evan sebenarnya sudah tertarik padamu, tapi ia tak bisa mengutarakan isi hatinya. Evan sudah dijodohkan dengan wanita pilihan orang tuanya. Dua tahun kemudian mereka menikah. Sayang, tak lama berjodohnya. Clara meninggal saat melahirkan anak pertama. Anaknya pun wafat satu minggu kemudian.""Lalu?""Evan kemudian melanjutkan pendidikan di Amerika. Setelah lulus, ia mengg
Yang tampak di dalam kotak itu adalah lingerie berwarna merah menyala. Segera kututup kembali kotak itu."Apaan, sih, kamu ini, Ri?"Yang kutanya membalas dengan tawa."Bentar lagi kan, Kak Arta mau nikah. Anggap aja kado pernikahan," jawabnya sambil masih tertawa.Aku mencebik dan hendak mendaratkan pukulan kecil di lengannya, tapi ia berhasil menghindar. "Udah, jangan ribut. Ayo, sekarang kamu buka kado terakhir. Dari Evan.""Nggak harus sekarang, kok, Tante," Evan bersuara tanpa diminta. Aku bersyukur dengan ucapannya. Lebih baik kado dari laki-laki itu kubuka saat sendiri nanti. Aku tak ingin jadi bahan ejekan dua kakak adik yang tingkahnya kadang absurd. Riri dan Anang. "Ta, karena ini sudah malam, kami pamit, ya. Besok, Mama minta kamu ke rumah. Kita makan malam bersama."Aku mengangguk. Mengucapkan terima kasih, lalu memeluk mereka satu persatu. Kecuali Evan. Laki-laki itu cukup tahu diri dengan berdiri agak jauh dariku. "Saya nyusul ya, Tante. Ada yang mau dibicarain seben
Sampai Evan pulang, aku tak memberi jawaban pada ajakannya untuk menikah. Ia seperti sedang melakukan monolog di hadapanku saat semua orang sudah meninggalkan hotel.Kami berdiri di balkon. Menatap pemandangan kota di malam hari dari lantai tertinggi hotel. Merasakan belaian angin malam yang cukup dingin. "Aku tahu, masih banyak yang ingin kamu ketahui. Tanyakan saja, Ta. Aku akan menjawab semuanya dengan jujur."Evan menghela napas saat aku tetap diam. "Baiklah. Sepertinya kamu masih butuh waktu untuk berpikir. Satu hal yang kuminta, jangan percaya pada media. Banyak hal tentangku yang salah mereka tuliskan."Hingga Evan berpamitan, aku tak bicara. Seutas senyum terbit di bibirku, untuk sekedar menghargainya. Mengangguk saat ia mengatakan akan menjemput esok hari untuk bersama ke rumah Mama Hana. Satu jam sebelum waktu yang ia janjikan, Windi datang seperti hari sebelumnya. Ia benar-benar menempatkan Evan sebagai konsumen prioritas. Langsung datang saat lelaki itu memintanya ke te
Memilih membuka ponsel dan melihat percakapan di grup alumni kampus. Ada teman yang akan menikah pekan depan. Kami semua diundang dan harus datang bersama partner. Rata-rata dari mereka akan mengajak suami atau istrinya. Sementara aku belum tahu akan mengajak siapa. Tiba-tiba Evan mengambil ponsel dari tanganku. Dengan pandangan tak suka, aku menatapnya. Sejenak, mata kami bertemu, sebelum kemudian saling membuang muka. Evan menghela napas berat."Aku nggak mau kalau ponsel membuat kita berjauhan, padahal duduk hampir tak berjarak. Kamu sedang bersamaku sekarang, jadi jangan ada gadget di antara kita."Aku mendengkus. Belum jadi suami, tapi sudah banyak memberi peraturan. Bagaimana kalau kami jadi menikah? Entahlah. Aku pusing memikirkan ini. "Kenapa kamu bilang kalau kita sudah dijodohkan?"Mata cokelatnya menatapku tajam. Aku pun tak menyangka sebaris kalimat itu bisa terlontar begitu saja. "Maksudmu?""Mama sudah menceritakan semuanya, tapi tak ada satu pun fakta bahwa orang tua
Menatap lalu lintas yang masih ramai dan seperti enggan menjawab. Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Aku sempat melihat sekilas nama yang tertulis di layar, sebelum Evan menggeser tombol hijau. Dari Ray. "Ya," jawabnya tanpa mengucap salam. "....""Apa?""....""Separah apa, dan siapa yang kau curigai?""....""Oke. Aku tahu kamu bisa menangani ini. Besok pagi kutunggu jam enam di rumah.""....""Tolong kontak juga Pak Brata. Tanyakan apakah penawarannya bulan lalu masih berlaku. Bilang kalau saya berubah pikiran. Kamu bisa naikkan harganya dua ratus juta di atas yang dia berikan."Setelah menutup teleponnya, Evan langsung menyalakan mobil dan melaju cepat, tanpa menjawab pertanyaanku. Ada nyala api di matanya yang membuatku jadi sedikit takut, tapi tetap memberanikan diri bertanya. "Siapa Ray itu?"Evan sejenak menoleh
Aku hanya menggeleng. "Jujur, deh. Kak Arta harus cerita ke aku.""Nggak ada apa-apa, Ri. Sungguh," jawabku sambil mengacungkan telunjuk dan jari tengah tangan kanan bersamaan."Nggak. Aku lihat Bang Evan gelisah malam ini. Kalian nggak berantem, 'kan?"Aku menggeleng, tapi Riri terus memaksa untuk berterus terang. Mau tak mau kuceritakan percakapan kami di mobil, termasuk telepon dari Ray yang juga membuat Evan jadi aneh di mataku. Riri menghela napas. "Kak Arta, aku jamin, deh. Bang Evan itu beneran cinta sama Kakak. Bukan karena wajah Kak Arta mirip Clara. Kakak nggak tahu ‘kan, gimana bucinnya Bang Evan sama Kakak? Sebentar lagi Kak Arta bakal lihat sendiri. Pokoknya, percaya aja, deh. Kakak itu spesial buat dia."Kalau Evan memang mencintaiku, kenapa belum mengatakannya? Berulang kali ia memintaku agar menerima lamaran, tapi tak pernah ada kata cinta dalam setiap kalimatnya. Memang benar bahwa cinta tak harus diucapkan, tapi salahkah aku jika ingin mendengar kalimat itu langsun
Beberapa detik berlalu dalam keheningan. Saat kemudian dering ponsel membuyarkan semua. Anang menelepon dan menanyakan keberadaanku. Ia datang ke rumah untuk mengantarkan lukisan terbarunya.Seperti mendapat durian runtuh, aku menemukan alasan untuk meminta Evan segera mengantar pulang, dan kembali menghindari pertanyaannya. Laki-laki itu terlihat sedikit kesal, tapi tetap bersikap manis. Ia segera membukakan pintu mobil untukku dan mengantar hingga ke rumah. Evan juga sempat mengirim pesan sebelum tidur. Kalimat singkat yang mampu membuat pipiku merona. "Selamat istirahat, semoga tidurmu nyenyak."Aku tidak membalasnya.***Aku menghempaskan tubuh ke kursi. Meeting yang cukup melelahkan baru saja berakhir. Rasanya ingin segera pulang dan merebahkan diri di tempat tidur. Namun, ini baru pukul tiga sore. Belum saatnya jam kerja berakhir. Segera aku menegakkan tubuh dan hendak membuka laptop. Tiba-tiba satu pemandangan menakjubkan tertangkap mata. Sebuah buket bunga yang sangat besa
'Iya, tadi Bunda ke sini.'"Lalu, apa jawabanmu?"Aku menghela napas berat."Tanya aja ke Tante Diana."Terlihat Evan langsung mengetik saat pesan dariku sudah centang biru. "Aku butuh jawaban langsung darimu, Ta. Bukan dari Bunda."Pesan itu kubiarkan tanpa jawaban untuk beberapa saat lamanya. Hingga Evan mengirim pesan lagi, dan lagi. "Ta.""Arta.""Arta Intan Sari.""Kamu baik-baik aja, ‘kan?"Aku tersenyum membaca pesan beruntun dari Evan yang mirip gaya abege. "Baiklah, kalau kamu nggak mau jawab pakai kata-kata. Aku telepon kamu sekarang. Angkat teleponnya jika jawabanmu iya. Tak perlu bicara apa-apa. Jika kamu menolak, biarkan teleponku hingga dering terakhir."Mataku membulat. Laki-laki itu sangat gigih, walau tak romantis. Detik berikutnya ponselku berdering. Nama Evan muncul di layar. Dering pertama hingga kelima, aku masih diam. Ada debar yang semakin terasa, hingga ibu jariku menggeser logo telepon berwarna hijau di dering keenam. Hening.Kemudian terdengar hela napas
Aku keluar kamar guna mencari keberadaan Evan. Bagaimana lelaki yang dulu begitu dingin, sekarang ulahnya ada-ada saja. Setelah memasuki beberapa ruangan, Evan sama sekali tak kutemukan. Di ruang tengah aku berpapasan dengan Bik Ijah yang sedang membersihkan rak hiasan. "Bik, lihat Pak Evan?""Tuan ada di halaman belakang, Non.""Oke. Tolong bilang ke Feni buat jagain Anin yang lagi tidur di kamar. Saya mau ke belakang dulu."Aku melangkah ke halaman belakang. Ternyata Evan sedang duduk di gazebo sambil menekuri laptopnya. Biasanya ia tak membawa pekerjaan ke rumah. Kenapa kali ini sepertinya sibuk sekali?Saat jarak kami semakin dekat, aku ragu untuk melanjutkan langkah. Namun, sepertinya Evan mengetahui kehadiranku. Tanpa menoleh ia bertanya. "Ada apa, Sayang?"Tiba-tiba wajahku terasa panas mengingat lingerie pemberiannya. Tak terbayang aku memakai pakaian itu. Pasti malah terlihat seperti lemper yang dibungkus daun
Ia kembali melemparkan senyum, tapi kali ini sangat terlihat meremehkan. "Ya, aku Tiara. Calon istri Dika. Harusnya sebulan lagi kami menikah, tapi kamu menghancurkan segalanya."Aku berdiri dan sengaja menatap matanya dengan tajam. Wanita ini perlu disadarkan rupanya. "Jangan merasa paling hancur, Mbak. Apa yang dilakukan calon suamimu justru hampir merenggut nyawaku, juga bayi yang ada dalam kandunganku."Tiara membalas tatapanku dengan kilat menyala di matanya. Sementara itu kudengar bunyi ponsel di tas milikku. Itu pasti Evan. Hanya namanya yang kuberi nada dering khusus. Maaf, aku mengabaikanmu kali ini, pikirku. Dalam hati aku berjanji akan meneleponnya setelah urusan dengan Tiara selesai. "Hah, bicaramu seakan paling suci, padahal sama-sama busuk. Sudahlah Evan brengsek itu membuat kekasihku kehilangan pekerjaan, kini Dika juga harus mendekam di penjara.""Itu balasan yang sangat setimpal untuk orang
Wajah Evan pucat, sementara Bima membalik foto itu. Ada tulisan tangan di sana. Karena penasaran, aku ikut membaca isinya. [Harusnya aku yang ada di posisimu saat ini.]"Ardi," gumam Evan lirih. Aku dan Bima menatap dengan penuh rasa ingin tahu ke arah Evan. Serentak kami bertanya. "Siapa Ardi?"Evan melangkah ke sofa yang ada di sudut ruangan. Aku dan Bima mengikutinya. Saat kami sudah duduk, Evan mulai bercerita. "Rahasia ini hanya keluargaku yang tahu. Sebenarnya, Evan Taqi Hermawan ini adalah anak lelaki yang tak tahu siapa ayah dan ibunya. Aku tinggal di sebuah panti asuhan sejak bayi. Hingga saat berumur delapan tahun, sepasang suami istri datang untuk mengadopsi anak."Aku menarik napas berat. Ternyata ada rahasia besar dari hidup Evan yang baru dibukanya sekarang. Ia menatapku dan meminta agar duduk lebih dekat di sampingnya. Tangannya meraih jemariku dan meremasnya beberapa saat. "Ibu panti memperk
Setelah beberapa hari di rumah sakit, aku pulang. Tidak. Lebih tepatnya kami semua pulang. Aku, Evan, bayi kami, dan dua orang yang ditugaskan untuk berjaga di depan kamar rawat inap. Kupikir setelah di rumah, tak ada lagi penjaga-penjaga itu. Ternyata justru Evan semakin menambah jumlahnya. Termasuk tim sekuriti yang mengawasi rumah kami. Bahkan kini ada yang perempuan, khusus menjaga aku dan bayi. "Apa kita nggak berlebihan, Van?""Berlebihan gimana? Kamu itu dalam bahaya. Setiap saat bisa jadi sasaran empuk orang-orangnya mereka.""Siapa? Dika? Bukannya dia di penjara?""Saat ini yang mengincar kamu bukan hanya Dika.""Lalu?""Udah, nurut aja kenapa, sih?"Kalau sudah begitu, aku memilih diam. Termasuk ketika kami berdebat tentang nama untuk bayi. Hampir seminggu, buah hati kami belum punya nama. Selalu saja berujung debat tak berkesudahan, saat aku dan Evan mendiskusikan nama yang cocok untuknya.
"Bagaimana perasaan Anda, Nyonya Evan?" tanya suster saat ia memeriksaku yang baru tersadar."Badan saya rasanya sakit semua, Sus. Seperti remuk.""Sebentar lagi dokter akan datang memeriksa. Apakah anda merasa sangat haus atau lapar?"Aku memandang perempuan muda berseragam hijau itu sambil mengernyitkan dahi. Apa tadi dia bilang? Haus? "Ah, iya. Anda benar. Saya sangat haus."Tiba-tiba Evan sudah mengulurkan tumbler berukuran sedang. Tatapannya terlihat khawatir. "Hai, makasih. Aku baik-baik aja."Aku meminum air dari dalam tumbler dan hampir menghabiskan separuhnya."Baik versi kamu itu bukan yang sesungguhnya," ujarnya ketus.Suster yang sedang mengambil alat pemeriksa tekanan darah tersenyum melihat kami berdua. Kemudian dengan cekatan memasang alat itu di bagian atas lenganku. "Kamu nggak lapar?" bisik Evan mengabaikan suster yang sedang bekerja Aku melirik padanya
"Bisakah kau diam?" ujar lelaki di balik kemudi sambil mengunci semua pintu.Suara itu seperti aku kenal."Dika?"Ia menoleh, lalu menyeringai. Aku bergidik melihatnya"Akhirnya kau mengenali suaraku, Ta. Ternyata kamu sejahat itu. Mengenal Evan sebentar saja, aku langsung kau lupakan."Ia mulai fokus pada kemudi, sementara tanganku mengepal. "Apa maumu, Dika? Kenapa harus melibatkan nyawa Bunda? Kenapa melakukan ini? Apakah kamu dendam karena kisah kita selesai?"Dika tertawa sambil melirikku sekilas dari kaca tengah. Mata itu, merah dan menyiratkan dendam yang teramat dalam. "Sebaiknya kamu diam, Ta. Jangan banyak bicara kalau mau selamat!""Nggak! Kamu udah salah orang, Dika! Bebaskan Bunda!"Dika tertawa lagi. Kali ini Sinta ikut tergelak."Dika Mahendra Winata tak pernah salah orang. Dendamku cuma satu, pada si brengsek Evan. Maka satu-satunya cara adalah menguras harta, sekalig
Aku mengikuti langkahnya menuju ruangan khusus.“Silakan duduk," katanya sambil menunjuk kursi di depan sebuah meja kaca dengan komputer di bawahnya. "Anda benar-benar ingin mengambil keseluruhan uang dari rekening?"“Ya.""Baiklah. Sepertinya saya harus menyerahkan ini pada atasan karena jumlah uang anda tidak sedikit, Bu Arta."Tentu saja uang itu tak sedikit. Tabunganku yang merupakan pimpinan perusahaan sukses sekelas Artha Ladju Enterprise, tentu membuat mata perempuan muda itu membulat saat melihat jumlahnya yang tiba-tiba ingin diambil semua. "Bisakah saya meminta kartu identitas anda, Bu?”Menyerahkan KTP, aku menahan rasa mual yang tiba-tiba menjalar di perut dan mencapai ke tenggorokan. Segera aku mengambil napas panjang sambil menatap Hasna yang keluar ruangan. Tak lama, seorang lelaki yang lima tahun tampak lebih tua dari Hasna masuk. Tangan kirinya memegang
Niar mengamatiku dari ujung kepala hingga kaki, kemudian tersenyum. "Hmm, iya, sih. Sekarang tubuh lu tambah seksi karena hamil.""Hah? Masih kelihatan?"Niar tersenyum."Kalau diperhatikan, ya, masih. Jilbab lu pendek gitu. Setelan yang lu pakai juga nggak terlalu longgar.""Ya kali gue mesti pakai gamis ke kantor.""Kenapa nggak? Toh, sekarang banyak gamis-gamis modis yang cocok buat jadi busana kerja."Aku mengibaskan tangan di depan Niar. "Ah, udahlah. Ngadepin permintaan Evan aja gue udah pusing. Ini malah lu nambahin pula."Niar tergelak."Eh, tapi, dengan Evan menganggap bentuk tubuh lu yang berubah saat hamil sekarang ini harus ditutupi, artinya dia udah nggak ambil pusing tentang anak yang bakal lahir di antara kalian?"Aku tersenyum miris. "Dia nggak pernah bahas itu."Andai Niar tahu, selain Evan tak pernah membahas bayi ini, ia juga tak pernah
Sejak pulang dari rumah sakit, Evan belum pernah menyinggung lagi tentang kehamilanku. Namun, ia juga bersikap seolah aku tidak sedang mengandung anaknya. Ia kini jauh lebih dingin dari sebelumnya. Jarang bicara kecuali aku bertanya.Pagi ini aku berniat masuk kantor. Seperti biasa, sebelum mandi aku menyiapkan pakaian dan aksesoris yang akan dipakai. Memadu padankan agar terlihat elegan dan sempurna, termasuk tas dan sepatu. "Mau ke mana?"Suara Evan yang tiba-tiba masuk ke kamar sangat mengejutkan. Ia berjalan ke arah tempat tidur di sisi yang berseberangan dengan tempatku saat ini meletakkan tas, syal dan beberapa perlengkapan kerja. Lelaki itu menghempaskan tubuhnya sambil menghela napas perlahan. "Kantor.""Memangnya udah kuat?"Aku menoleh ke arahnya. Menatap mata cokelat itu dengan penuh tanya. Apa maksudnya?"Kamu masih sering kelihatan mijit-mijit pelipis. Masih sering pusing, 'kan?"Aku mengangg