Share

Tak Pakai Perhiasan Dikira Melarat
Tak Pakai Perhiasan Dikira Melarat
Author: NH. Soetardjo

Reuni Menyebalkan

Author: NH. Soetardjo
last update Last Updated: 2022-10-11 23:40:30

"Lu datang sama siapa, Beib?" Mira menyapaku to the point. Pastinya ia bukan tak tahu, bahwa sampai detik ini aku masih sendiri.

"Sama sopir," jawabku singkat.

"Sopir? Sopir taksi maksudnya?"

Aku hanya tersenyum. Malas menanggapi ocehan nyinyir seperti itu.

"Jangan marah, Beib. Makanya jangan jomlo terus. Nunggu apa, sih? Lu 'kan cantik. Pas SMA dulu bahkan jadi rebutan."

Aku masih belum menanggapi. Ini adalah satu dari banyak hal yang membuatku malas datang ke acara reuni. Kalau bukan karena Niar, tentulah aku tak akan datang.

"Pokoknya, kamu harus datang ke acara reuni kali ini!"

Kalimat itu diucapkan Niar berkali-kali dalam sebulan terakhir. Sahabat sejak kelas satu SMA itu sangat gigih mengajakku datang ke acara tahunan, tapi usahanya selalu gagal. Aku tak pernah mau hadir.

Bagiku, reuni adalah buang waktu. Lima belas menit bagi seorang Arta Intan Sari sangatlah berharga. Aku bisa menghasilkan ratusan dolar dalam waktu sesingkat itu. Lalu, untuk apa menyia-nyiakan waktu dengan menghadiri acara yang isinya hanya makan, pamer kekayaan, dan membicarakan aib orang?

"Iya, Ta. Kenapa Lu belum nikah? Bukannya dulu udah pacaran lama sama Dika?" tanya Meta. Play girl paling terkenal di sekolahku dulu.

"Belum jodoh aja, kali," jawabku malas.

"Eh, Dika juga nggak pernah dateng reuni, lho. Ajaibnya, hari ini dia mau ikutan," ujar Mira lagi.

Aku terkesiap. Satu hal lainnya yang kutakutkan ternyata terjadi. Mangkir dari reuni adalah caraku menghindari lelaki itu.

"Oh, ya? Kebetulan aja kayaknya."

Kucoba menampilkan ekspresi biasa, agar mereka tak melanjutkan pembahasan tentang Dika. Nama itu akan membuat semua yang hadir mengingat kami sebagai pasangan paling favorit, di masa putih abu-abu dulu.

"Ngomong-ngomong, lu kerja di mana, Ta?" tanya Meta lagi. "Nggak pernah ada kabar tentang dirimu sama sekali, deh."

"Gue pengacara."

"Pengangguran banyak acara maksudnya?" kali ini Winda yang bertanya.

Aku tak menjawab. Biarlah ia menyangka demikian. Toh, tak ada gunanya menjelaskan ke orang seperti Winda, bahwa statusku memang juga pengacara di salah satu kantor lawyer ternama negeri ini, 'kan?

"Pantesan dandanan lu biasa aja, Ta. Kenapa nggak pakai baju yang kerenan dikit, sih?" Entah suara siapa itu, aku malas memperhatikan.

"Iya, Ta. Kalau nggak ada, gue pinjemin, deh. Emangnya semenyedihkan itu nasib lu? Bahkan cincin sebiji aja lu nggak pakai. Nggak sanggup beli, ya?" Lagi-lagi entah itu suara siapa.

Aku menunduk. Memainkan dua tangan yang satu pun jemarinya tak berhiaskan emas permata. Niar merangkul bahuku. Gadis itu tetap diam, seperti yang aku minta sebagai syarat untuk mau hadir reuni.

"Iya, sih. Gue semiskin itu. Sampai nggak sanggup beli emas." Seutas senyum getir kuperlihatkan pada mereka.

"Arta maunya mas Jawa."

Semua yang duduk di sana tertawa mendengar ucapan Mira.

"Jadi, karena Dika bukan orang Jawa, makanya nggak berhasil bawa Arta ke pelaminan, ya?" kali ini Winda yang bicara. Suaranya terlalu keras hingga beberapa orang yang duduk di sudut lain memandang kami. Salah satu dari mereka kemudian berdiri, berjalan mendekat ke arah tempat dudukku. Dika.

Lelaki itu menatap tajam padaku. Membuat Mira, Winda, Meta, dan Niar bangkit. Mereka pindah ke sudut lainnya dan membiarkanku sendiri, dan memberi ruang untuk Dika.

"Hai, Ta. Apa kabar?"

"Baik."

"Akhirnya aku bisa lihat kamu lagi. Udah berapa tahun kita nggak ketemu, ya?"

"Sepuluh."

"Wah, aku seistimewa itu, ya? Sampai kamu pun ingat kapan terakhir kita ketemu."

Sebenarnya perutku mual mendengar kalimat yang Dika ucapkan.

"Jelas aja aku ingat malam di saat ibumu menghina dan memperlihatkan penolakan, karena aku cuma gadis miskin yang tak sesuai harapannya."

Dika diam sejenak, lalu menghela napas dan mulai bicara kembali.

"Maaf, aku nggak pernah berpikir Ibu akan memperlakukanmu seperti itu."

"Nggak apa. Udah lewat juga."

Hening beberapa menit, hingga terdengar musik mengalun. Beberapa orang di antara teman-teman mulai menari bersama. Tak peduli pria atau wanita, dan sudah menikah atau belum. Ini satu hal lainnya yang kubenci dari acara reuni. Banyak batasan yang rawan dan bahkan sering dilanggar.

"Kamu udah nikah?" Dika tiba-tiba memecah keheningan di antara kami.

Aku menggeleng. Lelaki itu menatap tajam. Membuatku jengah dan ingin segera meninggalkan tempat ini.

"Kenapa?" Dika bertanya lagi.

"Nggak laku kayaknya," jawabku asal yang disambut gelak tawa Dika. Mira dan teman-temannya bahkan sampai menoleh memperhatikan kami di tengah aktivitasnya menari. Ada banyak tanya yang terlihat jelas di raut wajah mereka.

"Bisa aja kamu, Ta. Seorang Arta Intan Sari yang cantiknya diakui sejagat, mana mungkin nggak laku? Kamu aja kali yang pemilih."

Seutas senyum kembali kulempar pada lelaki itu, masih dengan kegetiran yang sama.

"Aku udah takut buat milih, karena sepuluh tahun lalu justru dicampakkan oleh satu-satunya orang yang kupilih."

"Kok, gitu ngomongnya? Kamu nyindir aku?"

"Nggak perlu sindiran untuk sesuatu yang jelas-jelas itu fakta."

Dika masih ingin bicara, tapi urung saat tiba-tiba musik berhenti dan diganti suara pembawa acara. Sosok di panggung itu menyampaikan bahwa sudah tiba saatnya acara beralih pada lelang amal. Hasilnya akan digunakan untuk membangun lapangan basket dan laboratorium sekolah kami yang sudah tak layak pakai.

Aku dan Dika menyimak acara lelang dalam kebisuan. Laki-laki yang duduk di sebelahku ini sudah mengeluarkan uangnya dua juta rupiah untuk satu kaos bertuliskan nama sekolah kami. Benda itu dilelang pertama kali. Setelahnya ada beberapa benda lain yang mencapai nilai lelang masing-masing sepuluh juta rupiah. Dana yang terkumpul sudah seratus lima puluh juta rupiah.

"Teman-teman, kini tiba benda terakhir yang akan dilelang. Sebuah lukisan yang menampakkan sekolah kita dari sudut paling menakjubkan. Dibuka dengan harga lima juta rupiah. Siapa yang akan memberikan tawaran pertama?"

Sebuah lukisan dibawa ke atas panggung. Cukup indah. Sepertinya cocok kalau kuletakkan di perpustakaan kantor. Pemikiran itu membuatku tersenyum lagi, kali ini tanpa rasa getir seperti sebelumnya.

"Kenapa senyum-senyum?" Dika ternyata sedang menatapku dengan pandangan tajam.

"Eh, i-itu ... aku hanya teringat sesuatu yang lucu tentang sebuah lukisan."

Dika tak bereaksi mendengar kalimatku. Ia membuang pandangnya ke arah panggung.

Satu persatu teman-temanku memberikan penawaran. Hingga lima belas menit, angka tertinggi diberikan oleh Angga. Lima puluh juta rupiah. Pembawa acara mulai menghitung. Jika sampai hitungan ke lima tak ada yang memberi nilai lebih, maka lukisan itu akan jatuh ke Angga.

Salahkah jika aku ingin memiliki lukisan itu? Tidak, aku bukan egois atau ingin pamer kekayaan. Ini tidak lebih sebagai kontribusi di acara lelang kali ini, selain memang sudah jatuh cinta pada lukisannya.

Tepat saat pembawa acara menyebutkan hitungan ke empat, aku berdiri dan mengangkat tangan. Dika terkejut menatapku, juga Mira dan hampir seluruh yang hadir.

"Arta Intan Sari. Berapa tawaran yang akan diberikan?"

"Seratus lima puluh juta."

Hening. Semua mata menatapku tak percaya. Termasuk Dika yang kini mulutnya setengah terbuka. Aku ingin lihat, bagaimana sikap mereka setelah ini pada seorang Arta. Gadis yang dianggap miskin karena tak memakai perhiasan di tubuhnya.

***

Bersambung

Related chapters

  • Tak Pakai Perhiasan Dikira Melarat   Bertemu Mantan Calon Mertua

    Setelah lelang, acara dilanjutkan dengan makan bersama. Sikap Dika kurasakan berubah seratus delapan puluh derajat. Demikian juga dengan Mira dan yang lainnya. Mungkinkah semua karena cek seratus lima puluh juta yang kuberikan saat lelang? Ternyata memang semua hal butuh uang, tetapi masih banyak juga yang menjadikan uang sebagai segala-galanya. "Pulangnya kuantar ya?""Nggak usah, Ka. Aku dijemput.""Sama siapa? Pacar?""Bukan. Dijemput sopir."Dika tampak terkejut. "Kamu pakai sopir pribadi sekarang?"Aku mengangguk. Wajar jika Dika heran. Arta yang dikenalnya dahulu bahkan tidak pernah tahu rasanya naik mobil pribadi. Disebabkan kemiskinannya pula, orang tua Dika memandangku sebelah mata. Padahal saat itu kami baru pertama kali berkenalan. "Tinggal di mana sekarang?"Aku menyebutkan nama sebuah perumahan mewah di bilangan Jakarta Selatan. Dika mengernyitkan dahi. Sepertinya ia heran, bagaimana mungkin mantan kekasihnya yang dulu tinggal di gang sempit bisa hijrah ke kawasan elit

    Last Updated : 2022-10-12
  • Tak Pakai Perhiasan Dikira Melarat   Mantan yang Dicampakkan

    Setelah berbasa-basi sejenak, aku kembali duduk di depan Pak Adi yang kini menjadi canggung bersikap. Ia tak enak hati diduga sebagai suamiku. "Nggak apa, Pak. Biasa aja. Anggap aja orang itu nggak pernah ada," ujarku berbisik. Pak Adi mengangguk. Tiba-tiba ia berdeham dengan agak keras, membuat ibu dan ayah Dika menoleh. "Non Arta jadi pesan makanan dari sini buat enam asisten di rumah?" Pak Adi bertanya dengan suara yang menurutku terlalu keras. Sepertinya ia sengaja agar orang di meja sebelah ikut mendengar. "O, iya, Pak. Kok, saya bisa lupa, ya? Mbak Ani dan Mbak Jum paling senang kalau dibawain karaage."Mereka juru masakku yang sebenarnya juga handal membuat karaage dan menu apapun. Namun, Mbak Ani pernah mengatakan, oleh-oleh dariku selalu terasa lebih istimewa, apapun bentuknya. Sejak itu, setiap bepergian, aku berusaha membawakan mereka buah tangan walau hanya makanan atau benda sederhana."Jangan lupa tempura udang buat Bi Ijah dan Bi Eha, Non."Aku mengangguk. Sekilas k

    Last Updated : 2022-10-12
  • Tak Pakai Perhiasan Dikira Melarat   Ancaman

    Sebagai CEO dari Artha Ladju Enterprise, aku tak punya cukup banyak waktu untuk hal-hal selain pekerjaan. Bahkan saat ini sedang berpikir untuk mengundurkan diri dari tugasku sebagai pengacara aktif.Jika aku hadir di sebuah acara pesta, itu lebih karena menjaga kekerabatan dan pertemanan. Seperti malam ini, aku harus menghadiri pesta pernikahan salah satu relasi kantor. Satu hal yang membuatku berpikir keras adalah ketika membaca undangan yang bertuliskan untuk Arta Intan Sari and partner. Siapa yang harus kuanggap sebagai partner? Haruskah kembali mengajak Bima? Laki-laki kepercayaanku itu sudah terlalu sering menjadi teman kondangan.Setelah berpikir ulang beberapa kali, kukirimkan pesan padanya. Seperti biasa, ia langsung menyanggupi. "Sampai kapan lu bakal jadiin gue partner kondangan?"Kupukul lengannya. "Cobalah buka hati, Ta."Aku diam. Bagaimana harus membuka hati jika saat akan memulainya, luka itu kembali tersayat semakin dalam? Pertanyaan itu terus bergema di kepalaku

    Last Updated : 2022-12-01
  • Tak Pakai Perhiasan Dikira Melarat   Nomor Tak Dikenal

    What? Siapa yang mendekati Dika lagi? Bahkan setelah sepuluh tahun, baru saat reuni kemarin kami bertemu. Di sekolah dulu pun bukan aku yang mendekati Dika, tapi sebaliknya. Siapa sebenarnya perempuan ini?Baru saja aku hendak menjawab kata-katanya, ia berlalu. Meninggalkan aku dengan sejuta tanya. Ah, sudahlah. Aku tak peduli. Sekarang yang penting aku menyiapkan hati untuk perjalanan pulang bersama Evan. Entah bagaimana efek laki-laki itu bisa demikian besarnya padaku. Menatap cermin sekali lagi, aku merapikan rambut lalu berjalan keluar dari toilet. Tampak Evan menunggu sambil bersandar di dinding. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku. Saat melihatku, ia segera memberikan lengannya. Aku menolak dengan hati-hati."Kenapa?" Evan memandang dengan heran."Nggak apa-apa.""Jadi, yang tadi itu cuma akting?"Aku tergelak, Evan menggelengkan kepalanya. "Memangnya perempuan nyinyir itu siapa?""Ibu dari mantanku.""Wah, mantan calon mertua, dong?"Kucubit lengan lelaki itu. Ia tak me

    Last Updated : 2022-12-01
  • Tak Pakai Perhiasan Dikira Melarat   Dika Memaksa

    Gambar itu sepertinya diambil diam-diam. Tampak Dika di sana sedang memeluk seorang perempuan berambut pirang dengan pakaian yang menonjolkan bentuk tubuhnya di sana sini. Kusentuh dua jari ke layar ponsel untuk memperbesar foto. Bukankah ini wanita yang tadi menemuiku di toilet? Apakah ia kekasih Dika yang baru? Bahkan aku tidak peduli dengan siapa laki-laki itu menjalin hubungan saat ini. Jika ia sudah beristri pun, aku tak ingin tahu.Lalu apa maksudnya orang ini mengirim foto? Tak ada keinginan sedikit pun di hati, untuk kembali pada mantan yang dulu bahkan tak peduli saat ibunya menghinaku. Aku baru hendak melempar ponsel itu ke atas tempat tidur, saat sebuah pesan yang lain masuk dari nomor yang tak kukenal juga. "Semoga tidurmu nyenyak dan mimpi indah."Siapa pula ini? Aku cek profilnya. Tak ada nama yang ditulis di sana, hanya tanda pagar. Fotonya pun cuma pemandangan lereng Bromo tanpa ada sosok manusia. Kuketik balasan saat itu juga."Siapa ini?"Balasannya datang sepuluh

    Last Updated : 2023-02-14
  • Tak Pakai Perhiasan Dikira Melarat   Pertemuan Dika dan Evan

    "Siap, Bos!"Kututup telepon sambil tersenyum. Membaringkan diri, lalu membuka aplikasi platform novel. Kupilih buku berjudul Luka Istriku karena Cinta karya NH. Soetardjo. Belum selesai tiga bab, aku dikejutkan suara pintu kamar yang diketuk."Masuk.""Maaf, Non. Ada tamu di bawah.""Siapa?""Nggak mau kasih tahu namanya, Non.""Mbak Ani gimana, sih? Jangan panggil saya kalau belum jelas siapa tamunya. Kok, dia bisa masuk? Emangnya Mang Udin kenal? Kenapa dibolehin masuk gitu aja?""Maaf, Non. Saya nggak tahu. Tiba-tiba tamunya udah ada di ruang tamu."Aku menghembuskan napas dengan kesal. Sepertinya mereka perlu diberi pengarahan lagi tentang siapa yang boleh dan tidak untuk bertamu ke rumah ini. Sebagai pengacara, walau sebentar lagi berstatus mantan, aku cukup sering menerima teror di rumah lama. Itu sebabnya memilih pindah alamat."Oke, nanti saya turun. Mau ganti baju dulu. Buatin minum aja tamunya."Mbak Ani mengangguk. Wajahnya menunduk ketakutan. Walau aku tak pernah kasar pa

    Last Updated : 2023-02-14
  • Tak Pakai Perhiasan Dikira Melarat   Dia Duda

    "Evan?Laki-laki itu berjalan masuk. "Hai," sapanya.Tubuhnya yang tinggi berjalan mendekat. Di tangan kanannya ada tas besar."Aku cuma mau anter titipan dari Mama kamu, Ta," ujarnya lagi.Aku masih terlalu bingung harus bereaksi seperti apa saat ia meletakkan tas kertas besar yang dibawanya ke atas meja. Tatapannya mengunci mataku. Bibirnya tersenyum, tapi senyuman itu tak menyentuh matanya. "Aku pulang," ujarnya dingin. Evan bahkan tak melihat ke arah Dika apalagi menyapanya sebelum berbalik badan. Aku menatap punggung lelaki itu hingga ia mencapai pintu. Sesaat masih terdiam sampai menyadari harus mengejarnya."Van!"Ia berhenti tepat saat kakinya mencapai pintu. Menoleh padaku lalu tersenyum, memperlihatkan barisan gigi putih yang sempurna, tapi tangannya mengepal dan mengabarkan kebalikan dari apa yang terlihat di permukaan. "Ka-kamu nggak mau duduk dulu?" tanyaku setelah jarak kami cukup dekat."Nggak usah," tukasnya cepat. "Kayaknya kamu lagi sibuk, tapi kalau udah selesai,

    Last Updated : 2023-02-15
  • Tak Pakai Perhiasan Dikira Melarat   Make Up Artist untuk Arta

    Dika menggeleng. Ia bangkit dari duduknya. "Ada masalah?""Enggak. Lusa mungkin aku ke kantormu untuk kelanjutan kerjasama kita."Aku berdiri dan mengikuti Dika yang sudah berjalan ke pintu. "Aku rasa kamu harus hubungi Niar dulu untuk janji temu. Kebetulan aku nggak hapal jadwal lusa itu apa aja."Dika mengangguk. "Bye, Ta."Kini aku yang mengangguk. Menatap punggungnya saat ia berjalan menuju mobil, lalu menutup pintu rumah tanpa menunggunya benar-benar keluar dari halaman. Kemudian aku berjalan mendekati meja dan membuka tas besar yang dibawa Evan. Tampak dua kotak silver di dalamnya. Hati-hati aku mengeluarkan kemasan yang paling besar dan tampak mewah itu.Membuka tutupnya, hingga tampaklah sebuah gaun sutra mahal dengan taburan swarovski di bagian dada dan lengan. Rancangan terbaru dari butik paling bergengsi di negeri ini. Belum lama aku melihat launching produknya dalam fashion show yang disiarkan live oleh salah satu televisi swasta. Kotak yang kecil ternyata berisi kalung d

    Last Updated : 2023-02-15

Latest chapter

  • Tak Pakai Perhiasan Dikira Melarat   Bulan Madu Kedua

    Aku keluar kamar guna mencari keberadaan Evan. Bagaimana lelaki yang dulu begitu dingin, sekarang ulahnya ada-ada saja. Setelah memasuki beberapa ruangan, Evan sama sekali tak kutemukan. Di ruang tengah aku berpapasan dengan Bik Ijah yang sedang membersihkan rak hiasan. "Bik, lihat Pak Evan?""Tuan ada di halaman belakang, Non.""Oke. Tolong bilang ke Feni buat jagain Anin yang lagi tidur di kamar. Saya mau ke belakang dulu."Aku melangkah ke halaman belakang. Ternyata Evan sedang duduk di gazebo sambil menekuri laptopnya. Biasanya ia tak membawa pekerjaan ke rumah. Kenapa kali ini sepertinya sibuk sekali?Saat jarak kami semakin dekat, aku ragu untuk melanjutkan langkah. Namun, sepertinya Evan mengetahui kehadiranku. Tanpa menoleh ia bertanya. "Ada apa, Sayang?"Tiba-tiba wajahku terasa panas mengingat lingerie pemberiannya. Tak terbayang aku memakai pakaian itu. Pasti malah terlihat seperti lemper yang dibungkus daun

  • Tak Pakai Perhiasan Dikira Melarat   Balas Dendam

    Ia kembali melemparkan senyum, tapi kali ini sangat terlihat meremehkan. "Ya, aku Tiara. Calon istri Dika. Harusnya sebulan lagi kami menikah, tapi kamu menghancurkan segalanya."Aku berdiri dan sengaja menatap matanya dengan tajam. Wanita ini perlu disadarkan rupanya. "Jangan merasa paling hancur, Mbak. Apa yang dilakukan calon suamimu justru hampir merenggut nyawaku, juga bayi yang ada dalam kandunganku."Tiara membalas tatapanku dengan kilat menyala di matanya. Sementara itu kudengar bunyi ponsel di tas milikku. Itu pasti Evan. Hanya namanya yang kuberi nada dering khusus. Maaf, aku mengabaikanmu kali ini, pikirku. Dalam hati aku berjanji akan meneleponnya setelah urusan dengan Tiara selesai. "Hah, bicaramu seakan paling suci, padahal sama-sama busuk. Sudahlah Evan brengsek itu membuat kekasihku kehilangan pekerjaan, kini Dika juga harus mendekam di penjara.""Itu balasan yang sangat setimpal untuk orang

  • Tak Pakai Perhiasan Dikira Melarat   Terungkap

    Wajah Evan pucat, sementara Bima membalik foto itu. Ada tulisan tangan di sana. Karena penasaran, aku ikut membaca isinya. [Harusnya aku yang ada di posisimu saat ini.]"Ardi," gumam Evan lirih. Aku dan Bima menatap dengan penuh rasa ingin tahu ke arah Evan. Serentak kami bertanya. "Siapa Ardi?"Evan melangkah ke sofa yang ada di sudut ruangan. Aku dan Bima mengikutinya. Saat kami sudah duduk, Evan mulai bercerita. "Rahasia ini hanya keluargaku yang tahu. Sebenarnya, Evan Taqi Hermawan ini adalah anak lelaki yang tak tahu siapa ayah dan ibunya. Aku tinggal di sebuah panti asuhan sejak bayi. Hingga saat berumur delapan tahun, sepasang suami istri datang untuk mengadopsi anak."Aku menarik napas berat. Ternyata ada rahasia besar dari hidup Evan yang baru dibukanya sekarang. Ia menatapku dan meminta agar duduk lebih dekat di sampingnya. Tangannya meraih jemariku dan meremasnya beberapa saat. "Ibu panti memperk

  • Tak Pakai Perhiasan Dikira Melarat   Kangen

    Setelah beberapa hari di rumah sakit, aku pulang. Tidak. Lebih tepatnya kami semua pulang. Aku, Evan, bayi kami, dan dua orang yang ditugaskan untuk berjaga di depan kamar rawat inap. Kupikir setelah di rumah, tak ada lagi penjaga-penjaga itu. Ternyata justru Evan semakin menambah jumlahnya. Termasuk tim sekuriti yang mengawasi rumah kami. Bahkan kini ada yang perempuan, khusus menjaga aku dan bayi. "Apa kita nggak berlebihan, Van?""Berlebihan gimana? Kamu itu dalam bahaya. Setiap saat bisa jadi sasaran empuk orang-orangnya mereka.""Siapa? Dika? Bukannya dia di penjara?""Saat ini yang mengincar kamu bukan hanya Dika.""Lalu?""Udah, nurut aja kenapa, sih?"Kalau sudah begitu, aku memilih diam. Termasuk ketika kami berdebat tentang nama untuk bayi. Hampir seminggu, buah hati kami belum punya nama. Selalu saja berujung debat tak berkesudahan, saat aku dan Evan mendiskusikan nama yang cocok untuknya.

  • Tak Pakai Perhiasan Dikira Melarat   Penerimaan

    "Bagaimana perasaan Anda, Nyonya Evan?" tanya suster saat ia memeriksaku yang baru tersadar."Badan saya rasanya sakit semua, Sus. Seperti remuk.""Sebentar lagi dokter akan datang memeriksa. Apakah anda merasa sangat haus atau lapar?"Aku memandang perempuan muda berseragam hijau itu sambil mengernyitkan dahi. Apa tadi dia bilang? Haus? "Ah, iya. Anda benar. Saya sangat haus."Tiba-tiba Evan sudah mengulurkan tumbler berukuran sedang. Tatapannya terlihat khawatir. "Hai, makasih. Aku baik-baik aja."Aku meminum air dari dalam tumbler dan hampir menghabiskan separuhnya."Baik versi kamu itu bukan yang sesungguhnya," ujarnya ketus.Suster yang sedang mengambil alat pemeriksa tekanan darah tersenyum melihat kami berdua. Kemudian dengan cekatan memasang alat itu di bagian atas lenganku. "Kamu nggak lapar?" bisik Evan mengabaikan suster yang sedang bekerja Aku melirik padanya

  • Tak Pakai Perhiasan Dikira Melarat   Bayiku

    "Bisakah kau diam?" ujar lelaki di balik kemudi sambil mengunci semua pintu.Suara itu seperti aku kenal."Dika?"Ia menoleh, lalu menyeringai. Aku bergidik melihatnya"Akhirnya kau mengenali suaraku, Ta. Ternyata kamu sejahat itu. Mengenal Evan sebentar saja, aku langsung kau lupakan."Ia mulai fokus pada kemudi, sementara tanganku mengepal. "Apa maumu, Dika? Kenapa harus melibatkan nyawa Bunda? Kenapa melakukan ini? Apakah kamu dendam karena kisah kita selesai?"Dika tertawa sambil melirikku sekilas dari kaca tengah. Mata itu, merah dan menyiratkan dendam yang teramat dalam. "Sebaiknya kamu diam, Ta. Jangan banyak bicara kalau mau selamat!""Nggak! Kamu udah salah orang, Dika! Bebaskan Bunda!"Dika tertawa lagi. Kali ini Sinta ikut tergelak."Dika Mahendra Winata tak pernah salah orang. Dendamku cuma satu, pada si brengsek Evan. Maka satu-satunya cara adalah menguras harta, sekalig

  • Tak Pakai Perhiasan Dikira Melarat   Karena Uang

    Aku mengikuti langkahnya menuju ruangan khusus.“Silakan duduk," katanya sambil menunjuk kursi di depan sebuah meja kaca dengan komputer di bawahnya. "Anda benar-benar ingin mengambil keseluruhan uang dari rekening?"“Ya.""Baiklah. Sepertinya saya harus menyerahkan ini pada atasan karena jumlah uang anda tidak sedikit, Bu Arta."Tentu saja uang itu tak sedikit. Tabunganku yang merupakan pimpinan perusahaan sukses sekelas Artha Ladju Enterprise, tentu membuat mata perempuan muda itu membulat saat melihat jumlahnya yang tiba-tiba ingin diambil semua. "Bisakah saya meminta kartu identitas anda, Bu?”Menyerahkan KTP, aku menahan rasa mual yang tiba-tiba menjalar di perut dan mencapai ke tenggorokan. Segera aku mengambil napas panjang sambil menatap Hasna yang keluar ruangan. Tak lama, seorang lelaki yang lima tahun tampak lebih tua dari Hasna masuk. Tangan kirinya memegang

  • Tak Pakai Perhiasan Dikira Melarat   Sandera

    Niar mengamatiku dari ujung kepala hingga kaki, kemudian tersenyum. "Hmm, iya, sih. Sekarang tubuh lu tambah seksi karena hamil.""Hah? Masih kelihatan?"Niar tersenyum."Kalau diperhatikan, ya, masih. Jilbab lu pendek gitu. Setelan yang lu pakai juga nggak terlalu longgar.""Ya kali gue mesti pakai gamis ke kantor.""Kenapa nggak? Toh, sekarang banyak gamis-gamis modis yang cocok buat jadi busana kerja."Aku mengibaskan tangan di depan Niar. "Ah, udahlah. Ngadepin permintaan Evan aja gue udah pusing. Ini malah lu nambahin pula."Niar tergelak."Eh, tapi, dengan Evan menganggap bentuk tubuh lu yang berubah saat hamil sekarang ini harus ditutupi, artinya dia udah nggak ambil pusing tentang anak yang bakal lahir di antara kalian?"Aku tersenyum miris. "Dia nggak pernah bahas itu."Andai Niar tahu, selain Evan tak pernah membahas bayi ini, ia juga tak pernah

  • Tak Pakai Perhiasan Dikira Melarat   Tidak untuk Lelaki Lain

    Sejak pulang dari rumah sakit, Evan belum pernah menyinggung lagi tentang kehamilanku. Namun, ia juga bersikap seolah aku tidak sedang mengandung anaknya. Ia kini jauh lebih dingin dari sebelumnya. Jarang bicara kecuali aku bertanya.Pagi ini aku berniat masuk kantor. Seperti biasa, sebelum mandi aku menyiapkan pakaian dan aksesoris yang akan dipakai. Memadu padankan agar terlihat elegan dan sempurna, termasuk tas dan sepatu. "Mau ke mana?"Suara Evan yang tiba-tiba masuk ke kamar sangat mengejutkan. Ia berjalan ke arah tempat tidur di sisi yang berseberangan dengan tempatku saat ini meletakkan tas, syal dan beberapa perlengkapan kerja. Lelaki itu menghempaskan tubuhnya sambil menghela napas perlahan. "Kantor.""Memangnya udah kuat?"Aku menoleh ke arahnya. Menatap mata cokelat itu dengan penuh tanya. Apa maksudnya?"Kamu masih sering kelihatan mijit-mijit pelipis. Masih sering pusing, 'kan?"Aku mengangg

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status