Rahmi sendiri yang tidak mau repot belanja kebutuhan rumah, dia lebih memilih memberikan uang kepada mamak setiap bulannya.
Dengan menyisihkan sebagian dari gajinya, sebagai penyenang hati mamak katanya agar rejekinnya lancar, tapi setelah bapak tidak bekerja dia memberikan mamak dengan jumlah yang cukup besar dengan alasan dia tidak tega bila mamak harus terus menerus mengajak bapak bertengkar tiap hari karena merasa kekurangan uang.
Aku yang dari awal saat bapak masih bekerja, lebih memilih mengisi kebutuhan rumah seperti belanja sabun cuci baju, cuci piring, bumbu bumbu dapur garam, micin, penyedap rasa, gula, kopi dan membayar air serta listrik tiap bulan, membuat mamak sedikit tidak enak jika meminta uang padaku.
Gaji bapak di gunakan mamak untuk membeli ikan dan sayuran, sisanya mamak pakai untuk kesenangan nya.
Sehabis sholat magrib aku masuk ke dalam kamar mamak, kebetulan bapak masih di masjid setelah isya' baru pulang.
"Mak" sapaku pelan
"Hmm kenapa?" Ucap mamak yang masih fokus menatap layar ponselnya.
"Boleh matikan dulu YouTube itu, atau mamak pause lah, Laila mau bicara serius" ucapku mengiba.
"Bicaralah, biar mataku menonton telingaku mendengar kamu bicara apa" ucap mamak yang masih fokus memperhatikan channel salah satu artis idolanya.
Melihat jawaban mamak yang tak bersahabat aku lebih memilih berdiri, mengurungkan niatku. Saat ini ingin melangkah, aku di kejutkan dengan bahasa mamak yang benar-benar kasar menurutku.
"Anak tidak punya sopan santun" ucapnya.
"Laila kah orang yang mamak maksud?" Tanyaku membalikkan badan.
"Siapa lagi anak di dalam sini kalau bukan kamu?" Mamak berdiri dari posisi tidurnya.
"Bagaimana mamak bisa bilang aku tidak punya sopan santun, dari tadi ku ajak mamak bicara dengan nada lembut, bahasa sopan, aku ingin mengajak mamak bicara serius, tapi tanggapan mamak seperti itu, jadi bagaimana bisa aku bicara dengan nyaman kalau mamak sendiri fokusnya terbagi saat aku berbicara?"
"Sudah macam orangtua gayamu bicara, kalau mau bicara, bicara saja, kalau kamu mau di perhatikan dalam berbicara, kamu nikah sana, lalu punya anak, biar anakmu yang memperhatikanmu saat berbicara, aku ini mamakmu bukan adikmu" jawab mamak dengan suara lantang.
"Yasudah mak, Laila salah, minta maaf ya?" aku lebih memilih minta maaf ,karena aku tau tidak akan ada habisnya bila melanjutkan debat dengan mamak, bukan mendapatkan kemenangan, melainkan dosa, karena terus menjawab ucapan wanita yang sudah bertaruh nyawa untukku.
"Memang kamu salah dan sudah sepantasnya minta maaf, sini cium tangan mamak" ucapnya sambil menjulurkan tangannya ke arahku. Ku raih tangan mamak lalu menyaliminya. Sudah menjadi kebiasaan mamak saat anaknya menyalimi, mamak akan mengelus kepala anaknya dengan lembut.
"Mau bicara apa?" Tambah mamak.
"Mak maaf sebelumnya, kalau Laila memberi mamak jatah uang perminggu, kira-kira berapa nominal yang bisa mencukupi kebutuhan mamak?" Ucapku penuh dengan kehati-hatian, lalu kudapati sorot mata yang berbinar-binar mendengar penuturanku barusan.
"500.000 sepertinya cukup" ucap mamak mantap, aku rasa mamak asal menyebutkan nominal uang yang di butuhkan nya perminggu. Sebenarnya aku sudah memikirkan ini sebelum aku bertanya, aku sudah tau resiko apa yang harus ku tanggung.
"Tidak mampukah?" Tanya mamak lagi padaku dengan sedikit mencondongkan badannya kearahku.
"Insyaallah Laila mampu mak" ucapku mantap.
"Yasudah, kalau gitu mana uangnya?" Mamak mengulurkan telapak tangannya ke arahku.
"Besok Laila ambilkan di koperasi Mak, malam ini Laila tidak ada uang sebanyak itu"
"Kalau tidak ada uangnya, kenapa bertanya sekarang, ku pikir, adalah uang itu di tanganmu malam ini" jawab mamak memalingkan wajahnya.
"Tunggu sebentar, biar Laila tanya dengan Rahmi, mungkin dia ada simpanan. Laila pinjamkan ke Rahmi dulu"
"Ehh jangan" jawaban mamak mencegahku berjalan meninggalkan kamarnya.
"Kenapa mak?" Aku menautkan kedua alisku.
"Kalau kamu pinjam uang sama Rahmi, nanti Rahmi gak bisa ngasih mamak, gak double lah mamak dapat uang dari anak-anak mamak" jelas mamak padaku.
"Ya Allah mamak, kalau sudah dapat jatah mingguan dariku kenapa masih berharap dari Rahmi lagi?" Tanyaku heran.
"Tadi pagi, ku minta uang ke Rahmi katanya nanti malam, kalau aku dapat dari Rahmi 500.000, darimu 500.000 total semua 1000.000 jadinya"
"Astaghfirullah haladzim mamak, Rahmi itu tak ada uang, kalau ada juga itu uang kebutuhan dia selama sebulan" aku mencoba menjelaskan pada mamak.
"Makan di rumah, tidur di rumah, mandi di rumah, cas ponsel di rumah, bawa bekal dari rumah, kebutuhan apa lagi si Rahmi itu, kalau semuanya sudah dia dapatkan dari rumah, semua juga gratis tak perlu bayar" jawab mamak menjabarkan semua yang anaknya lakukan di rumah ini.
"Mak, dia kan sudah dewasa butuh skincare, butuh kuota internet, butuh juga jalan sama kawan-kawannya kalau malam Minggu, pastilah dia butuh uang buat itu semua"
"Gaya-gaya pakai skincare mamak sampai setua ini pun tak pernah pakai skincare, cukup air wudhu mulus wajahku tanpa jerawat, gak internetan di rumah gak mati, cukup internetan di tempat kerjanya kan ada WiFi, kalau fahamnya dia dengan keadaan rumah sedang seperti ini, bapak tidak bekerja, kurangi dulu gaya dia jalan malam Minggu sama kawan-kawan" suara mamak mulai meninggi.
"Jadi menurut mamak, Rahmi tidak mengerti dengan keadaan rumah?"
"Begitulah adikmu" jawab mamak sambil memutar bola matanya.
"Mamak tidak pernah di kasih uang kah sama Rahmi setiap gajian? Tanyaku pura-pura tidak tahu.
"Di kasihnya" jawab mamak ketus.
"Berapa Mak?" Aku mencoba mengetes kejujuran mamak.
"Di kasihnya aku 1.500.000 dua hari yang lalu" ternyata mamak jujur dengan nominal yang di beri Rahmi.
"Terus kenapa mamak minta lagi?"
"Kurang uang itu, harusnya di kasihkannya semua gajinya ke aku, kan kebutuhan rumah ini banyak" jawab mamak mantap.
"Yasudah mak, nanti aku coba bicarakan sama Rahmi" jawabku sebelum keluar dari kamar mamak.
Aku masuk ke dalam kamar, mencoba menemui Rahmi, menyampaikan apa yang harusnya ku sampaikan.
Next?
"Mi" aku mengguncang tubuh Rahmi matanya terpejam."Apa kak?" Jawabnya sambil mengucek matanya."Kakak tadi coba bicara sama mamak, niat kakak mau memberikan mamak jatah perminggu, mamak juga sudah menyetujui, tapi ada sedikit masalah""Masalah apa kak?""Mamak tetap meminta uang darimu, kata mamak harusnya semua gajimu serahkan ke mamak""Gila mamak itu, apa kurang cukup setengah dari gaji yang ku berikan, bahkan lebih dari setengahnya" emosi Rahmi menaik."Sabar dulu, coba bicarakan baik-baik sama mamak mungkin mamak akan mengerti""Sudahlah kak, aku malas debat dengan mamak, kakak tau sendiri macam apa mamak kita, sekali di mintanya A gak akan berubah jadi B, kecuali B itu lebih menarik dari A""Terus mau apa?""Diamkan saja, kalau perlu tidak ku kasih sama sekali gajiku""
"Waktu mamak bilang begitu, apa kata bapak?""Bapak masih beli sayur sama ikan, pas aku lari kesini, ketemu bapak depan gerbang di lihatnya aku nangis, tapi aku langsung lari, bapak teriak, ditanya mau kemananya aku, tak lama ku dengar mamak teriak di suruhnya bapak masuk" Jelas Rahmi padaku."Jualan kakak sudah habis, kamu tunggu dulu, sambil di beresi sisanya ini, kakak mau pergi koperasi sebentar, ambil uangmu yang kakak pinjam semalam".Melihat adikku menangis seperti itu hatiku tidak tega, mamak benar-benar terlalu, hanya karena uang anaknya di ajak bertengkar.Padahal bisa di bilang Rahmi termasuk anak yang pengertian, di umur 18 tahun dia tau bagaimana cara membuat senang hati orangtuanya, dengen menyisihkan sedikit dari gajinya untuk mamak senang-senang.Bahkan setelah bapak tidak bekerja dia mengalah, memberikan 75% dari gajinya tapi tetap saja tidak cukup. Sesampa
"Kita tak perlu masak ya mak?" aku sengaja bertanya seperti itu pada mamak, ingin melihat reaksinya seperti apa."Eh masaklah, kalau tidak masak mau makan apa kita nanti kalau tidak ada lauk" jawab mamak sebelum keluar gerbang."Kata mamak tadi mau beli menu baru bang Hasan" aku mencoba mengingat kan kembali ucapan mamak."Lauk tambahan aja itu yang aku beli di Hasan, kamu hari ini goreng tempe, tahu, masak sayur asem, ikan itu di sambal, jangan lupa cumi itu kamu tepungi Laila" perintah mamak lalu pergi meninggalkan rumah."Pak, mamak itu mau sedekah sama tong sampah lagi kah?" Tanya Rahmi pada bapak."Pak bagaimana ini?" Tanyaku pada bapak."Tak usah di ikuti semua perintah mamak mu nak, cumi itu simpan saja dalam kulkas, beri penjelasan nanti" jawab bapak lembut."Senang betul bapak dan kak Laila memancing rudalnya mamak keluar, kalau
"Tau apanya kamu sama malu Imron, jawab dulu aku" saat mamak menjawab seperti itu, pak RT langsung pergi begitu saja tanpa pamit.Bagiku mamak memang keterlaluan, tapi aku selalu memperhatikan setiap mamak bertemu pak Imron, mamak tetap memandang sinis dan tak pernah bersikap baik."Mak minum dulu es teh ini" Rahmi memberikan segelas teh untuk mamak."Memang benar-benar anak berbakti kamu Rahmi, mamak lagi emosi begini di turunkan nya emosi mamak dengan es teh" jawab mamak sambil menyeruput es tehnya."Laila pijit dulu pundak mamak ini, tegang sekali rasanya, di buat emosi sama janda gila itu" mamak sambil memegang pundaknya.Aku yang mendapatkan perintah dari mamak langsung ku jalankan."Mak, apa masalahnya sama ayuk Nunung?" Rahmi yang sedang memijit kaki mamak mencoba mencari tahu kejadian yang sebenarnya."Kamu panggilnya sekali lagi ayuk, lidahmu yang mamak cin
"Ini baru makan enak, kalau tadi tak ada nafsuku makan sama sekali, melihat lauk hanya di masak setengah" ucap mamak selesai makan.Rahmi menyenggol kakiku dari bawah meja, memberi isyarat bahwa dia benar-benar ingin menjawab kata-kata mamak tapi tidak mampu di lakukannya."Pak, mana?" Tanya mamak pada bapak."Apa mak?" Tanya bapak balik."Nafkah" jawab mamak singkat. Bapak mengeluarkan 3 lembaran merah lalu di serahkan ke mamak."300.000 ribu aja pak?" Mamak menautkan alisnya."Alhamdulillah mak" jawab bapak."Cukup apalah uang segini, beli lauk pauk habislah sehari" mamak memasukkan kasar uang itu ke dalam kantung dasternya. Lalu meninggalkan kami bertiga masuk ke dalam kamar."Mak" panggil bapak lagi sebelum mamak menutup pintu kamarnya."Apa lagi?" Jawab mamak ketus."Ada masalah apa sa
"Pak, ada masalah apanya mamak sama pak Imron, kenapa mamak itu kalau Laila tengok tak pernahlah baik sikap mamak sama pak Imron setiap ketemu juga mamak selalu sinis" tanyaku penasaran."Biarlah kak, itu urusan mamak, nanti bapak coba tanya mamak lagi lebih jelasnya" jawab bapak."Pak tapi ada satu lagi yang buat kami terkejut" ucapku ragu."Apalah yang buat anak gadis bapak terkejut, coba ceritakan""Yuk Nunung bilang, bapak pernah kasihkannya uang" jawabku ragu."Astaghfirullah" bapak terkejut mengelus dadanya."Benar Nunung bilang begitu?" Tanya bapak memastikan."Iya pak, tetangga juga dengar itu, terus mamak jalan mau di hampiri yuk Nunung, tapi lari dia pak langsung di kuncinya pintu
"Sebenarnya masalah pamernya tidak ku ambil pusing, tapi kalau sudah pamer, di traktirnya semua ibu-ibu yang duduk di warung si Yati nanti, belum lagi kalau datang si Hasan. Di bayarinya si Tutik biang gosip itu, yang ku tau Cek Ali belum ada gawe lagi, sudah taunya aku pasti duitnya itu kalau tidak darimu pasti dari Rahmi, kasihanlah aku sama kamu dua orang capek cari uang tapi mamakmu foya-foya" Sambung Yuk Nunung lagi. "Ayuk tak sedang memfitnah mamak kan?" "Ya Allah Ya Karim, Laila apa untung ayuk fitnah Cek Kasih, tak dapat uang pun aku dari fitnah itu" "Tapi kemarin ayuk tega bawa nama bapak seperti itu" "Iyolah kalau yang itu ayuk salah, maafkan ayuk, niatnya nanti malam ayuk mau main ke rumah kamu, mau minta maaf sama Cek Ali, tapi suruh Rahmi ajak Cek Kasih keluar, kalau ada Cek Kasih, mana bisa aku minta maaf, pastilah jadi ribut lagi" "Tak usahlah yuk, biar n
"Hahaha Ya Allah lupanya aku, kalau pak Kasim sudah tak ada, maafkan ayuk, Laila kalau tak percaya tanyalah bapakmu" ucap yuk Nunung. "Nantilah, sekarang Laila mau pulang dulu, di rumah belum masak, sudah jam 11 nya ini, telat sudah Laila masak" aku berdiri membereskan tempat jualanku. "Yasudah ayuk pamit dulu, makasih risoles nya, enak loh" "Laila yang makasih sama ayuk sudah banyak membantu tadi" jawabku "Tak masalah, kalau besok mau di bantu lagi ajaklah ayuk, tak usah gaji, kasih risole saja sudah cukup" ucapnya. Aku hanya tersenyum mendengar tawaran yuk Nunung tak ku tanggapi lebih. Sepanjang jalan pulang aku sibuk memikirkan apa yang di sampaikan yuk Nunung barusan, kalau memang benar begitu kenapa bapak tidak cerita apa-apa kepadaku atau Rahmi, kenapa di tutup rapat-rapat seperti ini. "Assalamualaikum" aku