“Selamat malam, Pak. Boleh saya minta waktu Bapak sebentar besok terkait konsultasi penelitian saya, Pak? Terima kasih.” Begitulah isi pesanku ke Pak Tirta, selaku dosen pembimbing penelitianku. Kalian tahu jawaban beliau apa?
“G” balasnya singkat.
“Mati aku,” pikirku. Meskipun tenggat waktu pengumpulan masih lama, tapi aku sangat butuh konsultasi dengan beliau. Ini semua karena pertanyaan Ustadzah Fisha waktu itu. Ya, walaupun aku juga tidak tahu arah pertanyaannya, sih. Huft, padahal belum tentu juga aku akan dijodohkan, tapi aku malah kabur dari Ustadzah Fisha dan membuat masalah ke Pak Tirta. Payahnya aku!
Aku menjatuhkan badanku ke kasur, dengan kaki masih menggantung di lantai. Suara ponsel berbunyi dengan nama kontak “Ibu” di layar. “Oh, udah jam 8, ya?” Aku merapikan dudukku, lalu mengangkat video call dari seseorang malaikat cantik yang kupanggil dengan sebutan “Ibu”.
“Assalam mualaikum, Ibu!” sapaku dengan senyum.
“W* alaikum salam, anak Ibu, Reina!”
“Heh?” Aku yang tadinya tersenyum lebar, sekarang cemberut pahit. “Ibu! Sejak kapan anak Ibu jadi Reina!” ujarku.
“Haha, becanda-becanda, Sayang,” jawabnya dengan tawa.
“Ada apa, nih, tumben minta video call? Biasanya telpon biasa aja.”
“Hmm, nggak papa. Kangen aja,” jawabku.
“Oh, beneran kangen doang? Bukan karena mau minta uang jajan, nih?”
“Hehe, itu juga kayaknya.” Aku mengobrol basa-basi mengulur waktu, karena masih ada sedikit keraguan dalam hatiku untuk bicara. Aku benar-benar tidak punya petunjuk tentang seperti apa reaksi mereka nanti. Yaa, bukan berarti aku bakal langsung disuruh pulang, sih.
“Oh, iya, Neng Reina nggak lagi sama kamu, kah?”
“Nggak, Bu, tadi dia sama Mama pergi belanja bulanan.” Ibu juga sudah mengenal Reina. Saat libur semester enam kemarin, aku pulang ke Bekasi membawa Reina. Kata ibu ingin mengenal teman yang sering membantuku di Malang. Dan saat kuajak Reina ke Bekasi, ibu dan Reina jadi saling mengenal dan sangat dekat hingga sekarang.
“Iya, ya. Sudah mau awal bulan aja. Gimana penelitian kamu yang ke Jepang itu? Aman?”
“Aman, kok, Bu. Sudah setengah jadi. Akhir bulan depan mungkin udah bisa Kira kumpul.”
“Hayo, kebiasaan kamu, tuh! Jangan suka mepet-mepet, loh, yaa. Ada baiknya waktu yang tersiksa dipake buat me-review pekerjaan saja. Biar makin bagus hasilnya dan minim kesalahan.”
Ibu adalah alumni Universitas Indonesia jurusan Psikologi. Beliau sering kali memberikan saran-saran yang berguna di saat-saat seperti ini. Berbeda dengan ayahku, beliau cenderung lebih emosional. Mungkin kalian pernah dengar istilah, “Laki-laki lebih dominan logika, sedangkan perempuan lebih menggunakan perasaan.” Faktanya, orangtuaku terbalik. Ibuku lebih menggunakan logikanya, sedangkan ayahku penuh dengan perasaan. Unik, bukan?
“Bu, ada Ayah? Kira mau ngomong sesuatu….” Aku menarik napas dalam-dalam, memberanikan diriku mengungkapkan seluruh isi pikiran dan apa yang terjadi denganku belakangan ini. Ayah yang melihatku seperti itu pun jadi ikut panik.
“Heh… heh… kamu kenapa, Nak? Tumben begitu? Kamu nggak lagi sedih, kan? Atau jangan-jangan kamu HAM—,“
“Ayah!” Ibu mencubit Ayah. “Jangan mikir yang aneh-aneh, deh! Kan bisa aja Kira mau cerita tentang penelitiannya.” Kulihat Ayah menggeliat kesakitan karena cubitan Ibu. Saat melihat itu pun, aku jadi tertawa kecil. Mungkin aku terlalu khawatir dan memikirkannya terlalu berlebihan.
“Apa? Jadi kamu tiba-tiba di-inbox sama Ustadzah Fisha? Masya Allah,” ucap Ibu dengan mata yang berbinar-binar.
“Iya, Bu,”
“Wah, mintain lah, nomor telpon beliau! Nanti Ibu masukin ke grup arisan Ibu,” serunya.
“Nggak mungkin lah, Bu. Emang Ibu, tukang gosip, haha,”
“Bener, tuh, Kira! Kasih tahu Ibu kamu biar nggak sering-sering ngegosip,” sahut Ayah.
“Terus-terus, beliau ngomong apa aja?” Aku pun menjelaskan hal-hal remeh terlebih dahulu. Seperti saat Ustadzah menanyakan kabar atau alasan milih Sastra Inggris.
“Oh, gitu doang? Kirain ada yang lebih seru. Kurang kerjaan juga ustadzah itu inbox kamu kayak gitu, haha!”
Sudah kuduga Ibu akan menganggap ceritaku aneh. Pasalnya, tidak mungkin ada ustadzah tersohor yang tiba-tiba inbox anak kuliahan nanya kabar random. Aku pun mempersiapkan diri mengungkapkan semuanya.
“Gini, Bu… sebenernya, Kira…,” ucapku sambil menunduk. Yang benar saja! Suaraku tidak mau keluar.
“Hei, Kira, lihat ke Ayah coba.” Aku mengangkat kepalaku, melihat ke layar. Saat itu, jari tangan Ayah yang besar membentuk tanda “OK” dan bergerak seperti orang yang sedang ingin menyentil.
“Takk! Kena, deh,” Ayah menyentilku secara online, membuatku tersenyum.
“Apaan, sih, Yah. Nggak ada rasanya, haha,” balasku.
“Kamu ingat, ‘kan, Kira? Biasanya tiap kali kamu ragu, Ayah selalu sentil jidat kamu kayak tadi. Terus Ayah ceramahin kamu, kayak bilang ‘kamu pasti bisa’ atau ‘semangat!’. Waktu kompetisi pidato kamu SMP atau saat kamu dipaksa mencalonkan jadi ketua paduan suara. Kamu selalu ragu di awal. Sama seperti sekarang.”
Jika mengingat masa-masa itu, yang terbayang hanyalah betapa hangatnya kasih sayang kedua orangtuaku. Bahkan hingga aku sudah sebesar ini pun.
“Jadi angkat kepalamu, dan katakanlah. Jangan pernah ragu lagi, ya, Kira.”
Jujur, aku tak pernah menyangka bisa berada di titik ini. Yoshh!!! Keberanianku mulai terisi. Dengan semangat, akupun mengatakan hal yang sedari tadi ingin kuucapkan.
“Ayah… Ibu… kemarin, sebenarnya, Ustadzah Fisha bertanya apakah Kira sudah siap untuk menikah. Jadi malam ini Kira mau tanya, boleh, nggak, Kira nikah?”
“He?” Serentak, mereka mengatakan hal yang sama dengan ekspresi wajah yang berubah drastis.
“Ayah? Ibu? Kok diem?” tanyaku.
“APAAAAA??????” Teriakan mereka memekakkan telingaku yang sedang menggunakan headset.
-------------------------------------------------------------
“Oh, jadi begitu,” ucap Ibu saat aku selesai menceritakan semuanya.
“Tapi tetap saja, kita nggak tahu itu cowok yang mau dijodohin sama kamu itu bibit bobotnya kayak gimana. Kita nggak bisa langsung percaya sama orang gitu, Kira!” Sambung Ayah. Memang kata-kata ayah ada benarnya. Apalagi aku belum bertanya apapun.
“Tapi kalau soal ta’aruf, memang harus rahasia di awal, kan? Biar antara kamu dan dia juga nggak terlalu terikat perasaan. Jadi kalau ta’aruf-nya gagal, kalian nggak terlena dengan syaitan dan patah hati,” balas Ibu.
“Menurut Ibu, langkah dari laki-laki yang mau melamar kamu ini sudah benar. Dia bertanya dulu apakah kamu sudah siap untuk menikah atau belum, sehingga nggak akan membebani kamu atau dirinya nantinya,” lanjut Ibu.
Ibu bilang mungkin laki-laki yang meminta Ustadzah Fisha ini ingin tahu apa yang menjadi prioritasku saat ini. Apakah pendidikan, karir, atau malah sudah punya pandangan untuk berumah tangga, sehingga nantinya dia bisa melihat ke arah mana ta’aruf ini akan berjalan. Apakah berlanjut atau harus berhenti di awal.
“Hmm, jadi Kira harus pilih apa, Bu?” tanyaku.
“Ya, kalau itu sih, terserah kamu. Toh suatu hari nanti kamu pasti akan nikah, kan? Ya, dong? Ibu kan pengen gendong dedek bayi.” Aku hanya mengangguk saat Ibu bilang semua pilihan terserah padaku.
“Apa yang menjadi pertimbangan kamu sekarang, coba jelasin ke kami!” sahut Ayah.
“Jujur, Kira belum kepikiran apapun tentang pernikahan. Menjadi seorang istri, nyiapin kebutuhan suami, atau bahkan menjadi seorang ibu. Tapi, ceramah Ustadzah Fisha waktu itu bikin Kira berpikir, ‘kayaknya kalau menikah dengan orang yang tepat akan sangat membahagiakan.’ Kesempatan di inbox dengan Ustadzah Fisha pun seperti membuka jalan Kira pada pemikiran itu. ‘Kalau Ustadzah yang jodohkan, mungkin orangnya adalah orang yang shaleh, yang dapat menuntunku dengan agama.’ Itu yang menjadi pertimbangan Kira sebenarnya, Bu, Yah.”
“Tapi di sisi lain, Kira juga masih kuliah, bahkan saat ini sedang ngejar beasiswa. Ini juga penting buat Kira. Dan pertanyaan apakah Kira sudah siap berumah tangga pun kian menghantui Kira. Jadi bingung harus gimana.”
Wajar saja kalau aku bingung. Aku belum pernah merasa seperti ini sebelumnya. Di SMA-ku dulu memang terbilang banyak yang mendekatiku, tapi aku tidak hiraukan. Karena saat itu fokusku memang untuk belajar. Ayah juga bilang kalau aku tidak boleh pacaran. Alasannya pun masuk akal, jadi aku tak pernah membalas setiap chat laki-laki yang masuk ke ponselku.
“Kalau Ibu, sih, coba dulu saja. Tanya-tanya dulu, siapa tahu dapet CV cowoknya. Jadi kamu juga bisa menganalisa dengan benar dia cocok atau tidak. Tapi balik lagi, semua pilihan ada di kamu.”
Lega rasanya membicarakan semuanya ke ibu dan ayah. Aku merasa tidak menghadapi ini sendirian. Dalam pikirku, mungkin aku akan mencobanya. Setidaknya sampai aku tahu profil laki-laki tersebut.
“Oh iya, boleh Ibu minta satu hal jika kamu memutuskan untuk melanjutkan pembicaraan ini ke Ustadzah Fisha?” tanya Ibu.
“Apa itu, Bu?”
“Kalau bisa, seluruh proses ini kamu jangan kasih tahu siapa-siapa, ya. Rahasiain aja. Termasuk dengan Reina. Bisa?”
Tunggu dulu! Rahasia? Kenapa? Kenapa aku harus merahasiakan keputusanku lanjut ke Reina? Kalaupun alasannya logis, gimana caranya aku menyembunyikan sesuatu dari orang yang kuanggap kakak dan sekamar denganku.
Detik itu, rasa lega yang menghampiriku sejenak, berubah menjadi perasaan bingung lagi seketika.
Alarm ponselku berdering menunjuk pukul 4 pagi. Waktu sholat subuh sebentar lagi tiba. Aku membangunkan Reina yang sudah tak karuan posisi tidurnya. “Rei, bangun, subuh,” ucapku. “Bentar lagi, Mbok. Masih ngantuk,” Apa? Mbok? Bahkan saat tidur saja dia masih sempat mengejekku. Kuambil air di dalam gayung, lalu kucipratkan ke wajahnya. Tapi apa daya, orang bilang cukup sulit membangunkan kerbau yang sudah tertidur pulas. Aku pun beranjak dari kamar dan pergi mengambil wudhu. Sambil menunggu adzan, aku membuka Al Qur’an dan mengulang hafalanku. Saat ini, aku sudah hafal lima juz. Masya Allah, ‘kan! Adzan berkumandang. Aku mengambil dua rakaat sunnah, yang diikuti dengan dua rakaat subuh. Setelah selesai, aku mengangkat kedua tanganku seraya berdoa meminta semua yang kusemogakan terwujud. “Aamiinn,” Kulepas mukenaku, lalu kuambil ponsel yang dari semalam kutinggal cas. Aku melihat satu notifikasi balasan dari Ustadzah Fisha yang
Akhir pekan ini, gerimis mengetuk langit-langit rumah. Reina masuk ke kamar membawa semangkuk mie rebus yang masih panas. “Ohayou, Kira!” teriaknya, mengucapkan selamat pagi menggunakan satu-satunya kata dalam bahasa Jepang yang ia tahu. “Ohayou ohayou, aja, lu!” jawabku sinis, meski tetap mengambil mie kuah yang ia berikan. “Hmm, hujan-hujan ini enaknya ngapain lagi, ya?” tanya Reina menatap keluar jendela. “Kamu nanya gitu paling bentar lagi nonton India, ‘kan?” “Hehe, ngegosip aja kali, ya. Gimana Ustadzah Fisha, jadi kamu bales?” Sebuah pertanyaan yang paling ingin kuhindari keluar dari mulut Reina. Teringat kembali pesan ibu saat aku video call dengan beliau beberapa waktu lalu. “Kenapa aku harus merahasiakan ini ke Reina juga, Bu? Dia kan sahabatku, aku percaya dengannya,” tanyaku pada Ibu waktu itu. “Ibu paham bahwa Reina adalah sahabat kamu, tapi kita nggak bisa menebak apa yang akan
“Bu, aku terima ajakan ta’aruf Radit,” tulisku di dalam pesan singkat yang kukirim ke Ibu. “Bismillah, ya, Nak. Semoga diberi keberkahan. Jangan lupa kabarin kami tentang prosesnya. Kamu juga boleh meminta syarat-syarat lain jika dirasa perlu,” balas Ibu. Setelah kukirim jawabanku kepada Ustadzah Fisha, beliau mengirimkanku semacam roadmap akan seperti apa ta’aruf ini nantinya berjalan. Kami pun berdiskusi selama 3 hari. Ustadzah Fisha menjelaskan langkah-langkah yang harus dilewati semasa ta’aruf ini, juga hal-hal yang dilarang di dalamnya, termasuk berbicara secara langsung atau lewat pesan tanpa perantara. Oleh karena itu, beliau sekaligus menjadi perantara Radit untuk berkomunikasi mengenai proses yang ada. Aku sempat memberi saran bagaimana jika kita membuat grup berisi kami bertiga, tapi Radit menolak dengan alasan lebih nyaman seperti ini. Setelah berdiskusi, kami pun sepakat akan melalui proses-proses yang telah kami setujui.
Aku menarik napas dalam, mengucap basmalah dalam hati. “Bismillah….” Tombol kirim kutekan, dan tanda terkirim pun muncul di layar laptopku. Naskah penelitian beasiswa ke Jepangku telah resmi terkirim. Rasanya lebih mendebarkan daripada waktu pembuatan. Apalagi menunggu pengumumannya bulan depan membuatku tak bisa menahan rasa penasaran. Aku mengabari kedua orangtuaku. Mereka mengucapkan selamat atas selesainya penelitian yang selama sebulan lebih ini aku kerjakan. Mereka juga mendoakan agar naskahku menjadi salah satu naskah yang menang. Itu karena hasilnya akan sangat bagus jika diletakkan dalam CV dan portofolioku nanti. Meskipun aku sangat ingin pergi ke Jepang, tapi kepentingan akademik pun juga tetap aku pikirkan. Alasan lain aku mengambil beasiswa ini juga karena aku ingin mendapat beasiswa S2 dimana pun nanti aku mendaftar. Entah di dalam negeri, di Jepang, London, atau Turki sekalipun. Aku tahu selama ini mereka banting tulang untukku, jadi aku ingin
“Kamu bohong, Kira!” Hari itu, andai saja aku tak pernah merahasiakan apapun pada Reina. Andai aku berkata jujur, mungkin persahabatan ini tidak akan pernah hancur. _________________________________________________________________ Sore hari ini, aku akan berangkat ke Bekasi. Satu ransel kuisi dengan pakaian dan beberapa buku. Tidak terlalu penuh karena di rumah masih banyak pakaianku yang lain. “Harus hari ini banget, ya, perginya?” kata Reina. “Padahal kan kita bisa pergi bareng ke Jakarta pas libur semester,” lanjutnya. “Yaa, mau gimana Rei, ibu pengen langsung denger ceritaku dan udah kangen pengen ketemu,” jawabku beralasan. “Ibu juga pasti kangen aku, ‘kan? Bisalah ikut….” “No….” Mana mungkin aku membiarkan Reina ikut. Alasan sebenarnya aku pergi saja aku rahasiakan padanya. “Yasudah kalau gitu, ke tempat Radit dulu, yok! Sambil nunggu jam 4,” ajaknya. “Nggak, Rei, yang ada nanti aku
Tiga hari sudah aku meninggalkan kota Malang. Bertemu teman-teman SMA, jalan-jalan ke toko buku, hingga pergi ke pantai bersama ayah dan ibu. Rasanya aku benar-benar telah melepas semua pikiran yang membebaniku kemarin. Bahkan sampai lupa kalau besok, Radit akan tiba di Bekasi. Ustadzah Fisha bilang bahwa Radit harus menyelesaikan beberapa urusan terlebih dahulu di Bandung, sebelum esoknya pergi ke Bekasi. Katanya ada peresmian cabang baru, menjadikan Bandung kota yang mempunyai cabang Pempek Curhat terbanyak di Indonesia setelah Malang. Ada 7 kafe katanya. Aku mengirim foto minuman boba yang ada di tanganku pada Reina. Baru saja ditinggal tiga hari, namun rasa rindu pada sahabatku itu sudah muncul. Setelah sampai di rumah sepulang membeli boba, kulihat ibu berada di dapur dengan banyak sekali bahan makanan. Pikirku, ini kan baru lamaran, kenapa sudah kayak hajatan. Ibu yang melihatku langsung memanggilku untuk membantu. Aku diminta
POV: Radit Saat orang-orang berkata hidupku enak dan penuh dengan privilege, mereka hanya tidak tahu seberapa seringnya aku menangis. Namaku Radit, mahasiswa jurusan Sastra Inggris di salah satu universitas di Malang. Ini adalah tahun pertamaku masuk kuliah, setelah tahun lalu menghadapi gapyear. Aku lahir dari keluarga yang biasa-biasa aja, di tengah keluarga besar yang serba mewah. Ini karena ayahku adalah seseorang yang berpegang teguh dengan prinsipnya. Ia ingin kaya dari bisnis yang ia buat sendiri. Bukan prinsip yang buruk memang, tapi sikapnya terlalu mengedepankan mimpinya ternyata menelantarkan kami keluarganya. Ayah merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Dua adiknya bekerja di dalam struktur pemerintahan, sedangkan hanya dia yang memilih jalan menjadi pebisnis. Orangtua beliau kerap kali memperingatkan tentang risiko berbisnis, namun ia enggan mendengarkan. Pilihannya tersebut ternyata bukan hanya men
“Kamu boleh bercita-cita menjadi pebisnis di masa depan, Dit, tapi Ayah tidak akan pernah mengizinkanmu cuti!” tegas Ayah, saat mendengar keputusan cuti kuliahku di meja makan. “Tapi, Yah, kalau aku nggak bantu Ayah, siapa yang bakal ngebiayain kita sehari-hari? Hutang-hutang ayah juga.” “Itu bukan urusanmu, Radit. Ayah bisa lunasin hutang-hutang Ayah sendiri sambil cari uang untuk semester kamu. Jangan khawatir soal itu.” “Ayah!” panggilku dengan nada agak tinggi, membuat Ayah yang tadinya ingin pergi dari ruang makan berhenti. “Tolong, Yah. Aku cuma mau bantu Ayah ngelewatin ini. Untuk Tasya juga.” “Ayah sudah gagal mempertahankan Ibu kamu, Nak, jangan buat Ayah menghancurkan masa depanmu lagi. Ayah sudah bersyukur Tasya dapat beasiswa pendidikan gratis. Harusnya dengan itu kamu bisa terbantu untuk kuliahmu.” Aku mengerti perasaan Ayah. Bagaimana kehati-hatian beliau timbul atas kelalaian yang beliau perbuat. Tapi aku tidak ingin men
Bab 15“Kamu berantem sama Reina, Nak?” tanya Ibu di telepon.“Iya, Bu. Kayaknya pas aku di Bekasi semuanya kebongkar.”“Waduh! Kalau gitu kamu pindah ngekos aja deh, Nak. Biar nanti Ibu minta ayah bantu carikan kosan yang murah.” Begitulah Ibu, selalu cepat dalam memberi arahan. Tidak buruk memang. Tapi kali ini, aku harus tegas pada diriku sendiri.“Bu, Kira nggak akan pindah. Kira akan jujur ke Reina tentang semuanya,” ucapku.“Kamu yakin, Nak? Kan Ibu sudah pernah minta kamu untuk nggak bilang siapapun.”“Tapi, Bu, Reina itu sahabatku!”“Nak, kejadian ini saja bisa berpotensi membatalkan ta’aruf kamu. Apalagi kalau nanti kamu ungkapin semuanya ke Reina. Kamu yakin dia bakal terima?” Suara Ibu mulai meninggi.Aku menghela nafas satu dua kali. Berusaha mengatur emosiku, agar tidak terpancing dengan amarah yang tidak perl
POV: AdzkiraKereta tiba di stasiun Malang. Selama di perjalanan, aku merasa gelisah. Aku takut bahwa apa yang kusembunyikan kini terbongkar semua.Aku memesan ojek online menuju rumah. Aku mengirimi mama pesan bilang bahwa aku telah sampai. Beliau pun menjawab dengan alhamdulillah.Tiba di depan rumah, mama berada di teras menunggu k pulanganku. Aku mencium tangannya, lalu beliau memelukku.“Kamu masuk dulu ke dalam, taruh semua bawaanmu. Kita bicara sebentar.” Aku mengangguk dan segera masuk ke dalam rumah.Aku membuka pintu kamar, lalu kulihat, ada Reina di dalam. Kami bertatap-tatapan sejenak.“Selamat dating, Kira….” Cara ia menyapaku sungguh tidak biasa. Membuat suasana canggung di kamar semakin terasa.“Rei…,”“Begini, Ra. Aku pikir ada baiknya kita pisah kamar dulu. Soalnya aku lagi ngerjain skripsi, jadi biar fokus.” Sebuah
POV: ReinaTak pernah kubayangkan sebelumnya, seseorang yang akan melukaiku seperti ini adalah sahabat baikku sendiri. Dengan teganya ia merahasiakan kedekatan dirinya dengan orang yang aku cintai.Semua bermula di waktu Adzkira mendapat pesan dari Ustadzah Fisha. Sebuah percakapan yang lambat laun mengarah ke sebuah pertanyaan tentang pernikahan. Jujur, aku ikut kaget saat Ustadzah menanyakan kesiapan Kira dalam menikah. Namun awalnya, ketika pertanyaan itu terlontar, Kira memutuskan untuk meninggalkan pembicaraan.Beberapa hari kemudian, kami pergi ke kafe Radit. Orang yang kutaruh hatiku padanya semenjak semester dua perkuliahan. Radit memberi saran pada Adzkira untuk membicarakan hal itu pada orangtuanya.Aku tak ada saat Kira berbicara dengan ibunya. Yang kutahu, beliau hanya menitip salam. Saat kutanya pada Kira apakah dia sudah cerita, ia jawab sudah.“Terus, kamu mau lanjut, kah?” tanyaku malam itu. “Kayak
POV: AdzkiraTa’aruf hari pertama pun selesai…“Alhamdulillah, terimakasih atas kehadirannya, ya, Nak Radit,” sahut Ibu.“Iya, Tante, terimakasih kembali. Makanannya juga enak-enak,” balasnya. Ustadzah Fisha dan Radit pun pamit.Hari ini benar-benar hari yang melelahkan. Sayangnya, aku sama sekali tidak mendapat petunjuk apapun tentang apa yang Ayah dan Radit bicarakan tadi. Aku hanya tahu bahwa Ayah mengizinkan kami untuk melanjutkan ke tahap selanjutnya. Senang, sih, tapikan penasaran!“Bu… Bu…, Ayah ada ceritakah, kemarin Radit ngomong apa aja?” tanyaku pada Ibu keesokan harinya.“Tunggu, kamu siapa?” jawab Ibu, yang tidak hanya berpura-pura lupa dengan acara kemarin, ia juga pura-pura melupakanku. Oh, Ibu, tahukah engkau betapa penasarannya anakmu ini.“Udah kamu nggak usah banyak tanya. Nanti aja nanyanya ke orangnya kalo udah sah,&r
“Kamu boleh bercita-cita menjadi pebisnis di masa depan, Dit, tapi Ayah tidak akan pernah mengizinkanmu cuti!” tegas Ayah, saat mendengar keputusan cuti kuliahku di meja makan. “Tapi, Yah, kalau aku nggak bantu Ayah, siapa yang bakal ngebiayain kita sehari-hari? Hutang-hutang ayah juga.” “Itu bukan urusanmu, Radit. Ayah bisa lunasin hutang-hutang Ayah sendiri sambil cari uang untuk semester kamu. Jangan khawatir soal itu.” “Ayah!” panggilku dengan nada agak tinggi, membuat Ayah yang tadinya ingin pergi dari ruang makan berhenti. “Tolong, Yah. Aku cuma mau bantu Ayah ngelewatin ini. Untuk Tasya juga.” “Ayah sudah gagal mempertahankan Ibu kamu, Nak, jangan buat Ayah menghancurkan masa depanmu lagi. Ayah sudah bersyukur Tasya dapat beasiswa pendidikan gratis. Harusnya dengan itu kamu bisa terbantu untuk kuliahmu.” Aku mengerti perasaan Ayah. Bagaimana kehati-hatian beliau timbul atas kelalaian yang beliau perbuat. Tapi aku tidak ingin men
POV: Radit Saat orang-orang berkata hidupku enak dan penuh dengan privilege, mereka hanya tidak tahu seberapa seringnya aku menangis. Namaku Radit, mahasiswa jurusan Sastra Inggris di salah satu universitas di Malang. Ini adalah tahun pertamaku masuk kuliah, setelah tahun lalu menghadapi gapyear. Aku lahir dari keluarga yang biasa-biasa aja, di tengah keluarga besar yang serba mewah. Ini karena ayahku adalah seseorang yang berpegang teguh dengan prinsipnya. Ia ingin kaya dari bisnis yang ia buat sendiri. Bukan prinsip yang buruk memang, tapi sikapnya terlalu mengedepankan mimpinya ternyata menelantarkan kami keluarganya. Ayah merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Dua adiknya bekerja di dalam struktur pemerintahan, sedangkan hanya dia yang memilih jalan menjadi pebisnis. Orangtua beliau kerap kali memperingatkan tentang risiko berbisnis, namun ia enggan mendengarkan. Pilihannya tersebut ternyata bukan hanya men
Tiga hari sudah aku meninggalkan kota Malang. Bertemu teman-teman SMA, jalan-jalan ke toko buku, hingga pergi ke pantai bersama ayah dan ibu. Rasanya aku benar-benar telah melepas semua pikiran yang membebaniku kemarin. Bahkan sampai lupa kalau besok, Radit akan tiba di Bekasi. Ustadzah Fisha bilang bahwa Radit harus menyelesaikan beberapa urusan terlebih dahulu di Bandung, sebelum esoknya pergi ke Bekasi. Katanya ada peresmian cabang baru, menjadikan Bandung kota yang mempunyai cabang Pempek Curhat terbanyak di Indonesia setelah Malang. Ada 7 kafe katanya. Aku mengirim foto minuman boba yang ada di tanganku pada Reina. Baru saja ditinggal tiga hari, namun rasa rindu pada sahabatku itu sudah muncul. Setelah sampai di rumah sepulang membeli boba, kulihat ibu berada di dapur dengan banyak sekali bahan makanan. Pikirku, ini kan baru lamaran, kenapa sudah kayak hajatan. Ibu yang melihatku langsung memanggilku untuk membantu. Aku diminta
“Kamu bohong, Kira!” Hari itu, andai saja aku tak pernah merahasiakan apapun pada Reina. Andai aku berkata jujur, mungkin persahabatan ini tidak akan pernah hancur. _________________________________________________________________ Sore hari ini, aku akan berangkat ke Bekasi. Satu ransel kuisi dengan pakaian dan beberapa buku. Tidak terlalu penuh karena di rumah masih banyak pakaianku yang lain. “Harus hari ini banget, ya, perginya?” kata Reina. “Padahal kan kita bisa pergi bareng ke Jakarta pas libur semester,” lanjutnya. “Yaa, mau gimana Rei, ibu pengen langsung denger ceritaku dan udah kangen pengen ketemu,” jawabku beralasan. “Ibu juga pasti kangen aku, ‘kan? Bisalah ikut….” “No….” Mana mungkin aku membiarkan Reina ikut. Alasan sebenarnya aku pergi saja aku rahasiakan padanya. “Yasudah kalau gitu, ke tempat Radit dulu, yok! Sambil nunggu jam 4,” ajaknya. “Nggak, Rei, yang ada nanti aku
Aku menarik napas dalam, mengucap basmalah dalam hati. “Bismillah….” Tombol kirim kutekan, dan tanda terkirim pun muncul di layar laptopku. Naskah penelitian beasiswa ke Jepangku telah resmi terkirim. Rasanya lebih mendebarkan daripada waktu pembuatan. Apalagi menunggu pengumumannya bulan depan membuatku tak bisa menahan rasa penasaran. Aku mengabari kedua orangtuaku. Mereka mengucapkan selamat atas selesainya penelitian yang selama sebulan lebih ini aku kerjakan. Mereka juga mendoakan agar naskahku menjadi salah satu naskah yang menang. Itu karena hasilnya akan sangat bagus jika diletakkan dalam CV dan portofolioku nanti. Meskipun aku sangat ingin pergi ke Jepang, tapi kepentingan akademik pun juga tetap aku pikirkan. Alasan lain aku mengambil beasiswa ini juga karena aku ingin mendapat beasiswa S2 dimana pun nanti aku mendaftar. Entah di dalam negeri, di Jepang, London, atau Turki sekalipun. Aku tahu selama ini mereka banting tulang untukku, jadi aku ingin